Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan kemiskinan dan hampir bisa dikatakan hanya
menyerang mereka yang berasal dari kaum termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di daerah-
daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau
melalui luka di kulit yang didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada mayoritas pasien,
penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas dan
sendi. Walaupun hampir seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi bakteri sekunder dan bekas
luka merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 -10 tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima pengobatan
akan mengalami lesi yang merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang rawan, kulit, serta jaringan halus,
yang akan mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan serta stigma social.
Beban Penyakit Selama periode 1990 an, frambusia merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang
terdapat hanya di tiga negara di Asia Tenggara, yaitu India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang
gencar dalam pemberantasan frambusia, tidak terdapat lagi laporan mengenai penyakit ini sejak tahun 2004.
Sebelumnya, penyakit ini dilaporkan terdapat di 49 distrik di 10 negara bagian dan pada umumnya didapati pada
suku ? suku didalam masyarakat. India kini telah mendeklarasikan pemberantasan penyakit frambusia dengan
sasaran tidak adanya lagi laporan mengenai kasus baru dan membebaskan India bebas dari penyakit ini
sebelum tahun 2008. yaitu Zeroincidence + No sero positive cases among < 5 children.
Di Indonesia, sebanyak 4.000 kasus tiap tahunnya dilaporkan dari 8 dari 30 provinsi. 95 % dari keseluruhan
jumlah kasus yang dilaporkan tiap tahunnya dilaporkan dari empat provinsi :Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Tenggara, Papua dan Maluku. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit ini sempat tersendat pada tahun-
tahun terakhir, terutama disebabkan oleh keterbatasan sumber daya. Upaya-upaya harus diarahkan pada
dukungan kebijakan dan perhatian yang lebih besar sangat dibutuhkan demi pelaksanaan yang lebih efektif dan
memperkuat program ini.
Di Timor Leste, Frambusia dianggap penyakit endemic di 6 dari 13 distrik. Data yang dapat dipercaya tidak
terdapat di negara ini. Pendekatan yang terpadu sedang direncanakan, dengan mengkombinasikan
pemberantasan penyakit kaki gajah dan frambusia, serta pengontrolan cacing tanah. Sinergi program semacam
ini merupakan pendekatan utama yang harus didukung.
Frambusia dapat diberantas karena penyakit ini dapat dideteksi dengan mudah oleh petugas kesehatan di klinik-
klinik serta dapat disembuhkan dengan satu kali penyuntikan penisilin aksi lama. Secara geografis, penyakit ini
hanya terbatas pada sebuah daerah yang terpencil dan terlokalisir di tempat tersebut. Memperkenalkan
pemberantasan frambusia dapat menjadi pintu masuk untuk pemberian penanganan kesehatan primer ke dalam
populasi yang termarjinalkan secara social dan terisolasi secara geografis.
Secara histories, penggunaan strategi yang meliputi pendeteksian kasus secara aktif dan penanganan tepat
waktu dari kedua kasus ini serta kontak dengan keluarga penderita terbukti dapat memberantas penyakit ini.
Pada akhirnya, pemberantasan frambusia dapat menurunkan angka kemiskinan dan memberdayakan
masyarakat tradisional sehingga Negara-negara mampu mencapai Millenium Development Goals (MDGs) atau
paling tidak mampu menyediakan akses ke kondisi kesehatan dan sanitasi pada tingkat dasar. Berdasarkan
argument-argument ini, WHO telah mendeklarasikan bahwa pemberantasan frambusia merupakan prioritas
untuk daerah Asia Tenggara, dan hal ini dapat diwujudkan.
Untuk menjalankan misi pemberantasan penyakit ini, WHO telah mempersiapkan kerangka kerja Regional
Strategic Plan dan sebuah draft dokumen pendukung untuk mobilitas sumber daya. Regional Strategic Plan
2006 -2010 telah diselesaikan dalam sebuah pertemuan yang diadakan di Bali, Indonesia pada bulan Juli 2006
dan kerangka kerja National Strategic Plan untuk Indonesia dan Timor Leste telah dibuat.Dengan
pendeklarasian pemberantasan frambusia di India, Indonesia dan Timor Leste diharapkan meningkatkan upaya-
upaya untuk memberantas penyakit frambusia. Kedua negara ini akan membutuhkan dukungan sumber daya
dan teknis untuk memberantas penyakit frambusia sebelum tahun 2010.
Strategi-strategi untuk mencapai pemberantasan penyakit ini meliputi pendeteksian kasus secara aktif di daerah-
daerah yang terjangkiti penyakit ini ; pengobatan yang tepat, serta pemberian penisilin dosis tunggal ; pelatihan
tenaga medis di daerah - daerah yang terjangkiti mengenai diagnosa, penanganan, pencegahan, dan
pengontrolan penyakit ini ; advokasi dan kampanye IEC guna menciptakan kesadaran masyarakat dan
dukungan administrative, program pemantauan regular, dan peningkatan kerja sama.
Guna mencapai tujuan pemberantasan ini, kedua negara ini membutuhkan komitmen politik dan dukungan
kebijaksanaan, pengerahan sumber daya yang memadai, dan peningkatan dukungan teknis untuk memperkuat
program ini, serta pelaksanaan strategi dan yang berkesinambungan dan dinamis.
BAB II
FRAMBUSIA
2.1. Pengertian
Frambusia adalah penyakit menular, kumat-kumatan, bukan termaksud penyakit menular venerik, yang
disebabkan oleh Treponema palidum subs. pertinue dengan gejala utama pada kulit dan tulang.
Penyakit framboesia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps (berulang). Dalam bahasa Inggris
disebut Yaws, ada juga yang disebut Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di
zaman dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan
penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah bahasa Jawa dengan istilah “ora
Patheken”. Framboesia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat
karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyarakat
akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya
fasilitas kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan masyarakat
tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa
dan alami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita..
2.2. Epidemiologi
Endemis epidemiologi penyakit ini terdapat di daerah beriklim panas di Asia Tenggara dan Selatan,
termaksud Indonesia dan suku-suku terasing diAustralia bagian utara, Afrika serta Amerika Latin.
Pada tahun 1957, Frambusia di Indonesia tercatat sebanyak 1.369.082 penderita dan pada tahun 1976
pernah dinyatakan bebas dari Frambusia, tetapi kenyataan di tempat-tempat yang terpencil dan jauh
dari kota-kota besar masih sering ditemukan.
Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis di pedesaan yang panas,
lembab, ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada laki-laki. Prevalensi
frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin
secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia,
namun kasus frambusia mulai ditemukan lagi di sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika Barat
dengan penyebaran infeksi tetap berfokus di daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India dan
Thailand Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New Guinea, kasus frambusia selalu
berubah sesuai dengan perubahan iklim. Di daerah endemik frambusia prevalensi infeksi meningkat
selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di Indonesia pada tahun 1949
meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah
Timur Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985 sampai pada tahun 1995
dengan prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi
kurang dari 1 per 10.000 penduduk di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target
secara nasional Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per 100.000
penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah
Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong
frambusia yang jumlahnya tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka
dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai
banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur,
Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu
faktor host (manusia), agent (vector)dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu
pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan. (Depkes, 2004).
2.3. Penyebab
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies
pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui
hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan
kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca
panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi
lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya
fasilitas kesehatan umum yang memadai.
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Depkes,2005),
yaitu :
Penularan secara langsung (direct contact) .
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain. Hal ini
dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada
kulit seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Penularan mungkin juga
terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan selaput lendir.
Penularan secara tidak langsung ( indirect contact) .
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau serangga,
tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit
(selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke dalam kulit
melalui luka tersebut. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat
mengalami 2 kemungkinan:
a Infeksi effective. Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang
biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi
jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang
yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.
b Infeksi ineffective. Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat
berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit.
Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen
dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit
frambusia (Depkes, 2005).
1. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini penederita belum menunjukan gejala penyakit. Namun, tidak menutup kemungkinan si
penyakit telah ada dalam tubuh si penderita.
2. Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi Framboesia adalah dari 2 sampai 3 minggu
3. Tahap Dini
Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
4. Tahap Lanjut
Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki, sendi dan tulang, sehingga mengalami
kecacatan. Kelainan pada kulit ini biasanya kering, kecuali jika disertai infeksi (borok).
5. Tahap Pasca Patogenesis
Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya mempunyai tiga kemungkinan yaitu :
a Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena
dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 % dari penderita
b Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap ada dalam tubuh.
c Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika tidak diobati akan menimbulkan cacat kepada si
penderita.
2.5. Patofisiologi
Frambusia di sebabkan oleh Treponemaa Pallidum, yang disebabkan karena kontak langsung dengan
penderita ataupun kontak tidak langsung. Treponema palidum ini biasanya menyerang kulit dan tulang.
Pada awal terjadinya infeksi, agen akan berkembang biak didalam jaringan penjamu, setelah itu akan
muncul lesi intinal berupa papiloma yang berbentuk seperti buah arbei, yang memiliki permukaan yang
basah, lembab, tidak bernanah dan tidak sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu tubuh, sakit
kepala, nyeri tulang dan persendian. Apabila tidak segera diobati agen akan menyerang dan merusak
kulit, otot, serta persendian. Terjadinya kelainan tulang dan sendi sering mengenai jari-jari dan tulang
ektermitas yang menyebabkan atrofi kuku dan deformasi ganggosa yaitu suatu kelainan berbentuk
nekrosis serta dapat menyebabkan kerusakan pada tulang hidung dan septum nasi dengan gambaran-
gambaran hilangnya hilangya bentuk hidung. Kelainan pada kulit adanya ulkus-ulkus yang
meninggalkan jaringan parut dapat membentuk keloid dan kontraktur.
Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi:
pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri frambusia;
secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri treponema pada kulit;
latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada;
tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan, (Smith, 2006 ; Greenwood, et al, 1994 ;
Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005).
Frambusia
Kontak
langsung kontak tak langsung
Infeksi
(Jari-jari dan tulang ektermitas)
Lesi
Papula
Kerusakan tulang hidung kecacatan
ulkus-ulkus &
septum nasi
keloid Hilangnya bentuk
hidung
Kemiskinan
Sanitas lingkungan Kurang air bersih
Frambusia
Infeksi
Kulit Tulang
& sendi
Kecacatan
Papiloma Paltum tulang hidung tibia
Deformasi
Ganggosa
Mikropula
Nodular
Junskta Artikular Hyperkeratosis
nodular
Guma/ulkus-ulkus nodulen
Keloid
2.6. Pemeriksaan Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan treponema, VDRL, TPHA, dan pada
keadaan tertentu, diperlukan pemeriksaan patologi. Mikroskop pandangan gelap, pada fase dini,
diperlukan untuk pemeriksaan treponema. Dapat pula diaplikasikan pengecatan giemsa, Ziel-Nelson
atauu tinta Hindia untuk pemeriksaan Burry.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung FA ( Flourescent Antibody) dari eksudat yang
berasal dari lesi primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL
(venereal disease research laboratory ), RPR (rapid plasma reagin) reaktif pada stadium awal penyakit
menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang spesifik, dalam
beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer rendah seumur hidup. Test
serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS ( fluorescent trepanomal antibody – absorbed ), MHA-TP
(microhemag-glutination assay for antibody to t. pallidum ) biasanya tetap reaktif seumur hidup.
2.7. Pengobatan
Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2, 4 juta unit untuk orang dewasa dan untuk 1,2 juta uunit
anak-anak. Hingga saat ini , penisilin merupakan obat pilihian, tetapi bagi mereka yang peka dapat
diberikan tetrasiklin atau eritromisin 2 gr / hari selama 5-10 hari.
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan pengobatan utama adalah
benzatin penicilin dengan dosis yang sama, alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian
tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin. Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah
sebagai berikut :
Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5% maka seluruh penduduk
diberikan pengobatan.
Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5% maka penderita, kontak, dan
seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan pengobatan
Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun < 2% maka penderita,
kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan
Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh murid dalam kelas yang
sama. Dosis dan cara pengobatan sbb:
Pilihan utama
Umur Nama obat Dosis Pemberian Lama
pemberian
< 10 thn Benz.penisilin 600.000 IU IM Dosis Tunggal
≥ 10 tahun Benz.penisilin 1.200.000 IU IM Dosis Tunggal
Alternatif
< 8 tahun Eritromisin 30mg/kgBB bagi 4 Oral 15 hari
dosis
8-15 tahun Tetra atau erit. 250mg,4×1 hri Oral 15 hari
>8 tahun Doxiciclin 2-5mg/kgBB bagi 4 Oral 15 hari
dosis
Dewasa 100mg 2×1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang
alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui
atau anak dibawah umur 8 tahun
2.8. Diagnosa Keperawatan
Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi
Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun.
Gangguan mobilisasi b/d kecacatan
Gangguan citra tubuh b/d perubahan postur tubuh
Ansietas b/d perubahan kesehatan.
Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap perawatan kulit
Perencanaan keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan
Intervensi Rasional
menggunakan penyangkalan
untuk meurunkan dan
menyaring informasi secara
Berikan orientasi konstan dan
keseluruhan.
konsisten Membantu pasien tetap
berhubungan dengan
Dorong pasien untuk bicara
lingkungan dan realitas.
tentang penyakitnya Pasien perlu membicarakan
HOME
BUSINESS»
DOWNLOADS»
PARENT CATEGORY»
FEATURED
HEALTH»
UNCATEGORIZED
Askep Klien Dengan Frambusia
Senin, Februari 07, 2011 Kulkel No comments
1. Pengertian
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub
spesiespertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis),
penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak
langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama
didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang
dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk,
kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas
kesehatan umum yang memadai.
Frambusia Stadium 2
2. Insiden dan Epidemologi
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika,
Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta
penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun
waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastic dari
jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat
kurangnya fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini,
diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Masih adalah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di daerah kantong-
kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan
adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya
frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas
kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan pada saat
krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua provinsi. Tahun 2000
sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun melaporkan adanya frambusia.
Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa
frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control
Project Simplified) dan “Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”.
Namun, kenyataannya sampai saat ini frambusia masih ditemukan. Hal ini bisa disebabkan
oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan
pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan
pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah
sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya
daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah.
3. Etiologi
Frambusia, yang disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah penyakit menular bukan
seksual pada manusia yang pada umumnya menyerang anak – anak berusia di bawah 15
tahun. Penyakit ini terutama menyerang kulit dan tulang serta banyak didapati pada
masyarakat miskin, pedesaan dan marjinal di beberapa bagian Afrika, Asia dan Amerika
Selatan, dimana kepadatan penduduk, kekurangan persediaan air, dan keadaan sanitasi serta
kebersihan yang buruk terdapat di mana – mana.
Jadi, penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan kemiskinan dan hampir bisa
dikatakan hanya menyerang mereka yang berasal dari kaum termiskin serta masyarakat
kesukuan yang terdapat di daerah – daerah terpencil yang sulit dijangkau. Bisa dikatakan
bahwa “penyakit frambusia bermula dimana jalan berakhir”.
4. Manifestasi Klinis
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma)
pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan bertahan sampai
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang
khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut
dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat
menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati akan cacat.
Penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak
kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia,
tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga
mengenai otot dan persendian.
5. Patofisiologi
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau
melalui luka di kulit yang didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada mayoritas pasien,
penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas dan
sendi. Walaupun hamper seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi bakteri sekunder dan bekas
luka merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 – 10 tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima
pengobatan akan mengalami lesi yang merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang rawan, kulit, serta
jaringan halus, yang akan mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan serta stigma social.
6. . Cara Penularan Frambusia
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Depkes,2005), yaitu :
b) Infeksi ineffective
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan
kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema
pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat
infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005).
Penularan penyakit frambusia pada umumnya terjadi secara langsung sedangkan penularan secara tidak
langsung sangat jarang terjadi (FKUI, 1988).
7. Stadium Frambusia
Frambusia umumnya menyerang anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Rata-rata terjadi
antara usia 6 – 10 tahun. Jenis kelamin tertentu tidak terkait dengan penyakit ini.
Terdapat 3 stadium frambusia yang dikenal, yakni :
1. Stadium Primer.
Setelah masa inkubasi antara 9-90 hari (rata-rata 3 minggu), lesi primer atau induk frambusia
berkembang pada sisi yang terkena penularan berupa gigitan, goresan dan gesekan dengan
kulit yang terkena frambusia. Umumnya terjadi di daerah anggota gerak (lengan dan kaki).
Lesi berwarna kemerahan, tidak nyeri dan kadang-kadang gatal-gatal berbentol/kutil (papul).
Papul-papul tersebut akan meluas dengan diameter 1-5 cm untuk kemudian menjadi ulkus
(luka terbuka) dengan dasar berwarna kemerahan seperti buah berry. Lesi-lesi satelit bisa
bersatu membentuk plak. Karena jumlah treponema yang banyak, maka lesi tersebut sangat
menular. Pembesaran kelenjar limfa, demam serta rasa nyeri merupakan tanda dari stadium
ini. Induk frambusia akan pecah dalam 2-9 bulan yang meninggalkan bekas dengan bagian
tengah yang bersifat hipopigmentasi.
1. Stadium Sekunder.
Sekitar 6-16 minggu setelah stadium primer. Lesi kulit atau lesi anakan yang menyerupai lesi
induk tapi berukuran lebih kecil yang biasanya ditemukan dipermukaan tubuh dan sebagian
di rongga mulut atau hidung. Lesi anakan ini akan meluas, membentuk ulkus dan
menghasilkan cairan-cairan fibrin yang berisi treponema, yang kemudia mengering menjadi
krusta. Cairan tersebut menarik lalat-lalat untuk hinggap dan kemudian menyebarkannya ke
orang lain. Kadang-kadang bentuk serupa infeksi jamur dapat terlihat. Kondisi ini
diakibatkan proses penyembuhan inti dari papiloma atau gabungan dari lesi yang membentuk
bundaran. Lesi di aksila atau di lipat paha menyerupai condylomatalata. Papil-papil di telapak
kaki berberntuk tipis, hiperkeratosis yang akan menjadi erosi. Rasa nyeri menandai stadium
ini.
1. Stadium Tersier.
Pada stadium ini, sekitar 10% kasus setelah 5-15 tahun akan kembali kambuh, yang ditandai
dengan lesi kulit yang destruktif, lesi pada tulang dengan kemungkinan terkenanya jaringan
saraf dan penglihatan penderita. Bertambahnya ukuran, tidak nyeri, perkembangan nodul-
nodul dibawah kulit dengan penampakan nanah nekrosis dan ulkus. Ulkus tersebut terinfeksi
karena rusaknya struktur kulit dibawahnya. Bentuk hiperkeratosis dan keratoderma pada
telapak tangan dan kaki sangat jelas terlihat. Stadium ini dapat menyerang tulang dan
persendian. Infeksi tulang (osteitis) yang terutama menyerang tulang kaki dan tangan. Infeksi
ini apabila tidak terkendali akan menyebabkan hancurnya struktur tulang, dan berakhir
dengan kecacatan dan kelumpuhan.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau
pemeriksaan mikroskopik langsung FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test
serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (venereal disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin)
reaktif pada stadium awal penyakit menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang
spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer rendah seumur hidup. Test
serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent trepanomal antibody – absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination
assay for antibody to t. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup.
9. Pencegahan
Frambusia bila tidak segera ditangani akan menjadi penyakit kronik, yang bisa kambuh dan
menumbulkan gejala pada kulit, tulang dan persendian. Pada 10% kasus pasien stadium
tersier, terjadi lesi kulit yang destruktif dan memburuk menjadi lesi pada tulang dan
persendian. Kemungkinan kambuh dapat terjadi lebih dari 5 tahun setelah terkena infeksi
pertama.
Strategi Pemberantasan frambusia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
¯ Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan
penderita.
¯ Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan
dilakukan pencarian kontak.
¯ Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
¯ Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta
penyediaan sabun untuk mandi.
10. Pengobatan
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan
dosis yang sama, alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin. Anjuran
pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai berikut :
1) Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5% maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
2) Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5% maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15
tahun atau kurang diberikan pengobatan
3) Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun < 2% maka penderita, kontak serumah dan
kontak erat diberikan pengobatan
4) Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara
pengobatan sbb: Tabel 1. Dosis dan cara pengobatan frambusia Pilihan utama Umur Nama obat Dosis Pemberian Lama
pemberian < 10 thn Benz.penisilin 600.000 IU IM Dosis Tunggal ≥ 10 tahun Benz.penisilin 1.200.000 IU IM Dosis Tunggal
Alternatif < 8 tahun Eritromisin 30mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari 8-15 tahun Tetra atau erit. 250mg,4x1 hri Oral 15 hari
>8 tahun Doxiciclin 2-5mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari
Dewasa 100mg 2x1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin
tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun
(Sumber: Pedoman Eradikasi Frambusia, Departemen Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian dan Penyehatan
Lingkungan, 2007)
Sumber Referensi :
- http://herodessolutiontheogeu.blogspot.com/2010/11/penyakit-frambusia-patek-yaws.html
- http://www.indosiar.com/ragam/59632/frambusia-yaws-penyakit-yang-mudah-diberantas
- http://drhandri.wordpress.com/2008/01/07/frambusia-penyakit-yang-hampir-punah
kumpulan tugasku
Jumat, 02 Mei 2014
frambusia
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ada dua penyakit kulit yang perlu diwaspadai karena sering diabaikan yaitu
Kusta dan Frambusia. Kusta dan frambusia merupakan penyakit kulit menular dan
menahun yang mudah disembuhkan apabila ditemukan secara dini. Bila ditemukan
sedini mungkin dan diobati dengan baik maka dapat mencegah penderita dari
kecacatan tetap dan sembuh dalam waktu 6 bulan. Oleh karena itu, peran serta
masyarakat sangat penting dalam menemukan penderita dan melaporkan ke
Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan.
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia
terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik,
sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye
pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti
menemukan terjadinya penurunan yang drastik dari jumlah penderita penyakit ini.
Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas
kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan
sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Masih adakah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di
daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31
provinsi di Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti
bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak
ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans
frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia
dan pada saat krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari
semua provinsi. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap
tahun melaporkan adanya frambusia. Pemerintah pada Pelita III (pertengahan
pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa frambusia sudah harus dapat
dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan
“Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”. Namun, oleh karena
metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan
pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh
pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya
frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang
kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan
sarana dan prasarana wilayah.
B. RUMUSAN MASALAH
Apa yang di maksud dengan frambusia?
Bagaimana epidemiologi dari penyakit frambusia?
Bagaimana etilogi penyakit frambusia?
Bagaimana manifestasi klinis frambusia?
Bagaimana upaya pencegahan frambusia?
Bagaimana pengobatan frambusia
C. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian frambusia
Agar mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi dari penyakit frambusia.
Agar mahasiswa dapat mengetahui etiologi frambusia
Agar mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis frambusia
Agar mahasiswa dapat mengetahui upaya pencegahan frambusia
Agar mahasiswa dapat mengetahui pengobatan frambusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN FRAMBOESIA
Framboesia atau Patek ( kamus kedokteran ). Penyakit framboesia atau
patek adalah suatu penyakit kronis, relaps (berulang). Dalam bahasa Inggris
disebut Yaws, ada juga yang menyebut Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa
disebut Pathek. Di zaman dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya
sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah
masuk dalam khasanah bahasa Jawa dengan istilah “ora Patheken”.
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh
Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema
penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang
dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan
kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan
karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya
jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air
bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum
yang memadai.
Framboesia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang buruk,
kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air
bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum
yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan masyarakat tentang
penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini
merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit
pada penderita..
B. EPIDEMIOLOGI FRAMBUSIA
Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan
kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan
1960-an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia, namun kasus frambusia
mulai ditemukan lagi di sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika Barat dengan
penyebaran infeksi tetap berfokus di daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia,
India dan Thailand Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New
Guinea, kasus frambusia selalu berubah sesuai dengan perubahan iklim.
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985
sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara dramatis
dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk
di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target secara nasional
Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per
100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus per
100.000 penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan
Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya
tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka
dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi
yang masih mempunyai banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan
sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT.
Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu faktor host(manusia),
agent (vector) dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam faktor host
yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan.
1. Agent
Penyebab penyakit frambusia adalahTreponema pallidum, subspesies pertenue
dari spirochaeta. Framboesia berdasarkan karakteristik Agen :
a. Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang biak di
dalam jaringan penjamu.
b. Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya
benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa
nanah.
c. Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan
menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat
seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai
dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
d. Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak jaringan kulit
dalam tubuh penjamu.
e. Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu
dengan yang lainnya.
f. Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak
antibody yang ada di dalam sang penjamu.
2. Host
Manusia dan mungkin Primata kelas tinggi. Sangat berpeluang tertular
penyakit ini. Ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada
laki-laki.
3. Environment
Lingkungan Fisik:
Di daerah tropis di pedesaan yang panas dan lembab. Di daerah endemik
frambusia prevalensi infeksi meningkat selama musim hujan. Menurut WHO
(2006) bahwa kasus frambusia di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD,
Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar
Wilayah Timur Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan
Papua.
D. FAKTOR RESIKO
1. Distribusi
Terutama menyerang anak-anak yang tinggal didaerah tropis di pedesaan
yang panas, lembab, lebih sering ditemukan pada laki-laki. Prevalensi frambusia
secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan
penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an, namun penyakit
frambusia muncul lagi di sebagian besar daerah katulistiwa dan afrika barat
dengan penyebaran fokus-fokus infeksi tetap di daerah Amerika latin, kepulauan
Karibia, India, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan.
2. Determinan
Faktor penyebab penyakit Framboesia adalah Treponema pallidum sub
spesies pertenue. Namun bukan hanya Agen saja tetapi lingkungan si penjamu
juga dapat mempengaruhi timbulnya penyakit Framboesia seperti sanitasi
lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyrakat akan kebersihan diri,
kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk, kurangnya
fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak langsung dengan kulit
penderita penyakit Framboesia.
E. PATOFISIOLOGI FRAMBUSIA
Frambusia di sebabkan oleh Treponemaa Pallidum, yang disebabkan karena
kontak langsung dengan penderita ataupun kontak tidak langsung. Treponema
palidum ini biasanya menyerang kulit dan tulang.
Pada awal terjadinya infeksi, agen akan berkembang biak didalam jaringan
penjamu, setelah itu akan muncul lesi intinal berupa papiloma yang berbentuk
seperti buah arbei, yang memiliki permukaan yang basah, lembab, tidak bernanah
dan tidak sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu tubuh, sakit kepala,
nyeri tulang dan persendian. Apabila tidak segera diobati agen akan menyerang
dan merusak kulit, otot, serta persendian.
Terjadinya kelainan tulang dan sendi sering mengenai jari-jari dan tulang
ektermitas yang menyebabkan atrofi kuku dan deformasi ganggosa yaitu suatu
kelainan berbentuk nekrosis serta dapat menyebabkan kerusakan pada tulang
hidung dan septum nasi dengan gambaran-gambaran hilangnya bentuk hidung.
Kelainan pada kulit adanya ulkus-ulkus yang meninggalkan jaringan parut dapat
membentuk keloid dan kontraktur.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan
melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui
benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada mayoritas pasien, penyakit
frambusia terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga mempengaruhi
tulang bagian atas dan sendi. Walaupun hamper seluruh lesi frambusia hilang
dengan sendirinya, infeksi bakteri sekunder dan bekas luka merupakan
komplikasi yang umum. Setelah 5 – 10 tahun, 10 % dari pasien yang tidak
menerima pengobatan akan mengalami lesi yang merusak yang mampu
mempengaruhi tulang, tulang rawan, kulit, serta jaringan halus, yang akan
mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan serta stigma social.
Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi:
a. pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri
frambusia;
b. secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri treponema pada kulit;
c. latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada;
d. tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan,
F. JENIS KLASIFIKASI
Jenis klasifikasi penyakit framboesia yaitu penyakit menular melalui :
1) Dapat menular melalui air yaitu terbukti dengan banyaknya para penderita
penyakit Framboesia di daerah yang sanitasi air dan lingkungannya tidak terjaga
atau kotor yang dapat memungkinkan Agen untuk berkembang biak dan menulari
Penjamu.
2) Dapat menular melalui kulit yaitu dengan melakukan kontak langsung penderita
yang dimana si Agen berkembang biak di si penderita.
c) Stadium III :
Pada stadium ini , terjadi guma atau ulkus-ulkus indolen dengan tepi yang curam
atau bergaung, bila sembuh, lesi ini meninggalkan jaringan parut, dapat
membentuk keloid dan kontraktur. Bila terjadi infeksi pada tulang dapat
mengakibatkan kecacatan dan kerusakan pada tulang. Kerusakan sering terjadi
pada palatum, tulang hidung, tibia.
Manifestasi klinis frambusia juga dibagi dalam beberapa tahap, antara lain :
a) Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini penederita belum menunjukan gejala penyakit. Namun, tidak
menutup kemungkinan si penyakit telah ada dalam tubuh si penderita.
b) Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi Frambusia adalah dari 2 sampai 3 minggu
c) Tahap Dini
Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan
permukaan basah tanpa nanah.
d) Tahap Lanjut
Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki, sendi dan
tulang, sehingga mengalami kecacatan. Kelainan pada kulit ini biasanya kering,
kecuali jika disertai infeksi (borok).
e) Tahap Pasca Patogenesis
Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya mempunyai tiga
kemungkinan, yaitu:
1. Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di
daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 % dari penderita.
2. Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap ada dalam
tubuh.
3. Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika tidak diobati akan
menimbulkan cacat kepada si penderita.
J. DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan treponema,
VDRL, TPHA, dan pada keadaan tertentu, diperlukan pemeriksaan patologi.
Mikroskop pandangan gelap, pada fase dini, diperlukan untuk pemeriksaan
treponema. Dapat pula diaplikasikan pengecatan giemsa, Ziel-Nelson atauu tinta
Hindia untuk pemeriksaan Burry.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik
langsung FA dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test
serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (Venereal Disease Research
Laboratory), RPR (Rapid Plasma Reagin) reaktif pada stadium awal penyakit
menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi
yang spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus
reaktif pada titer rendah seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya
FTA-ABS (Fluorescent Trepanomal Antibody – Absorbed), MHA-TP
(Microhemagglutination assay for antibody to T. pallidum) biasanya tetap reaktif
seumur hidup.
Dan dapat dilakukan dengan 3 metode dalam Epidemiologi yaitu :
1 Anamnese
2 Tanda (Sign)
3 Tes (Uji/Pemeriksaan)
K. UPAYA PENCEGAHAN
a. Upaya Pencegahan (tahap Prepatogenesis)
Walaupun penyebab infeksi sulit dibedakan dengan teknik yang ada pada
saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari penyakit tersebut sulit
ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit treponematosisi satu sama
lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis dan faktor linkungan saja.
Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini dapat dipergunakan untuk
manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan treponematosis non
venereal lainnya.
1. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor penyebab,
lingkungan serta factor penjamu.
a. Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk mengurangi
penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha
antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan untuk
menghilangkan mikro-organisme penyebab penyakit, penyemprotan/insektisida
dalam rangka menurunkan dan menghilangkan sumebr penularan maupun
memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam
rangka memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi atau
menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita
serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi atau menghindari perilaku
yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
b. Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti
peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk
pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan lingkungan biologis seperti
pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta peningkatan lingkungan
sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antar individu dan kehidupan
sosial masayarakat.
c. Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi, status
kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta
berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan status psikologis,
persiapan perkawinan serta usaha menghindari pengaruh factor keturunan, dan
peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas gizi, serta olahraga
kesehatan.
J. Program Pemberantasan
Strategi Pemberantasan framboesia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
1. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk
menemukan penderita.
2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan
kesehatan (UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS).
4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air
bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.
2) Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi
lingkungan sampai luka sembuh.
3) Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan
discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
4) Karantina: Tidak perlu
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak
dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan
gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi
rendah, obati semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta
setiap orang yang kontak dengan sumber infeksi.
7) Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala
aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin G
(Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10 tahun.
C. Upaya penanggulangan wabah:
Lakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah dengan
prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah:
1) pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk dengan survei lapangan;
2) pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan kelompok
masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif; 3)
lakukan survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan disuatu negara.
D. Implikasi bencana: Tidak pernah terjadi penularan pada situasi bencana tetapi
potensi ini tetap ada pada kelompok pengungsi didaerah endemis tanpa fasilitas
sanitasi yang memadai.
E. Tindakan Internasional:
Untuk melindungi suatu negara dari risiko timbulnya reinfeksi yang sedang
melakukan program pengobatan massal aktif untuk masyarakat,
maka negara tetangga di dekat daerah endemis harus melakukan penelitian untuk
menemukan cara penanganan yang cocok untuk penyakit frambusia. Terhadap
penderita yang pindah melewati perbatasan negara, perlu dilakukan pengawasan
(lihat sifilis bagian I, 9E). Manfaatkan Pusat Kerjasama WHO.
Komplikasi
Tanpa pengobatan, sekitar 10% dari individu yang terkena mengembangkan
menodai dan melumpuhkan komplikasi setelah lima tahun karena penyakit ini
dapat menyebabkan kerusakan berat pada kulit dan tulang. Hal ini juga dapat
menyebabkan kelainan bentuk rahang kaki, hidung, langit-langit dan bagian atas.
L PENGOBATAN FRAMBUSIA
Pengobatan framboesia dilakukan dengan memberikan antibiotika.
Antibiotika golongan penicillin merupakan obat pilihan pertama. Bila penderita
alergi terhadap penicillin, dapat diberikan antibiotika tetrasiklin, eritromisin
atau doksisiklin.
Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2, 4 juta unit untuk orang dewasa
dan untuk 1,2 juta unit untuk anak-anak. Hingga saat ini, penisilin merupakan obat
pilihian, tetapi bagi mereka yang peka dapat diberikan tetrasiklin atau
eritromisin 2 gr/hari selama 5-10 hari.
Menurut Departemen Kesehatan RI, bahwa pilihan pengobatan utama
adalah benzatin penisilin, dan pengobatan alternatif dapat dilakukan dengan
pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin.
Pilihan utama
Alternatif
DIAGNOSA KEPERAWATAN :
Ø Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi
Ø Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun.
Ø Gangguan mobilisasi b/d kecacatan
Ø Gangguan citra tubuh b/d perubahan postur tubuh
Ø Ansietas b/d perubahan kesehatan.
Ø Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap perawatan kulit
3 Gangguan Citra Pasien dapat Kaji adanya gangguan Gangguan citra diri akan
Tubuh b/d mengembangkan pada citra diri pasien menyertai setiap
Perubahan Postur peningkatan (menghindari kontak penyakit atau keadaan
Tubuh penerimaan diri mata, ucapan yang byata bagi pasien.
merendahkan diri Kesan seseorang
sendiri, ekspresi terhadap dirinya
perasaan muak pada sendiri akan
kondisi kulit berpengaruh pada
Berikan kesempatan dirinya sendiri
untuk pasien Pasien membutuhkan
mengungkapkan. pengalaman
Dengarkan dengan cara didengarkan dan
yang terbuka dan tidak dipahami. Mendukung
menghakimi untuk upaya pasien untuk
mengekspresikan memperbaiki citra diri
berduka atau ansietas
tentang perubahan
citra tubuh
Bersikap realistis
selama pengobatan,
Meningkatkan
pada penyuluhan
kepercayaan dan
kesehatan
mengadakan hubungan
antara pasien dengan
Jangan memberikan
perawat
keyakinan yang salah
Meningkatkan perilaku
positif dan memberikan
kesempatan untuk
menyusun tujuan dan
rencana untuk masa
depan berdasarkan
Dorong interaksi
realita
keluarga dan dengan
Mempertahankan pola
rehabilitasi
komunikasi dan
memberikan dukungan
terus-menerus pada
pasien dan keluarga
4 Resiko Terjadi · Mencapai Ukur tanda-tanda vital Memberikan informasi
Infeksi b/d penyembuhan termasuk suhu data dasar. Peningkatan
Kerusakan Pada tepat waktu, suhu secara berulang-
Kulit, Pertahanan tanpa komplikasi ulang dari demam yang
Tubuh Menurun terjadi untuk
menunjukkan pada
tubuh bereaksi pada
proses infeksi yang
baru.
Tekankan pentingnya Mencegah kontaminasi
tekhnik mencuci tangan silang, menurunkan
yang baik untuk semua resikoinfeksi
individu yang kontak
dengan pasien
Gunakan sapu tangan, Mencegah terpajan
masker dan tekhnik pada organism infeksius
aseptic selama
perawatan dan berikan
pakaian yang steril atau
Untuk mengetahui
baru
perubahan respon
Observasi lesi secara
terhadap terapi
periodic
Mengurangi pathogen
pada system
Berikan lingkungan yang
integument dan
bersih dan berventilasi
mengurangi
baik. Periksa
kemungkinan pasien
pengunjung atau staf
mengalami infeksi
terhadap tanda infeksi
nosocomial
dan pertahankan
kewaspadaan sesuai
indikasi Membunuh atau
Kolaborasi pemberian mencegah pertumbuhan
preparat antibiotic mikroorganisme
dengan dokter penyebab infeksi
5 · Ansietas b/d Pasien dapat Berikan penjelasan yang Pengetahuan diharapkan
Perubahan menunjukkan sering dan informasi menurunkan ketakutan
Kesehatan penurunan tentang prosedur dan ansietas, dan
ansietas sehingga perawatan memperjelas kesalahan
dapat menerima konsep dan
perubahan status meningkatkan kerja
kesehatannnya sama
dengan cara Meningkatkan rasa
Libatkan pasien atau
sehat control dan kerja sama,
orang yang terdekat
menurunkan perasaan
dalam proses
tak berdaya atau putus
pengambilan keputusan
asa
Kaji status mental
Pada awalnya pasien
terhadap penyakit
dapat menggunakan
penyangkalan untuk
meurunkan dan
menyaring informasi
Berikan orientasi secara keseluruhan
konstan dan konsisten Membantu pasien tetap
berhubungan dengan
lingkungan dan realitas
Dorong pasien untuk Pasien perlu
bicara tentang membicarakan apa yang
penyakitnya terjadi terus-menerus
untuk membantu
beberapa rasa terhadap
situasi apa yang
Jelaskan pada pasien menakutkan
apa yang Pernyataan kompensasi
terjadi.Berikan menujukkan realitas
kesempatan untuk situasi yang dapat
bertanya dan berikan membantu pasien atau
jawaban terbuka atau orang yang terdekat
jujur menerima realita dan
mulai menerima apa
yang terjadi
Identifikasi metode Perilaku masa lalu yang
koping atau penangan berhasil dapat
siuasi stress digunakan untuk
sebelumnya membantu situasi saat
ini
Dorong keluarga dan Mempertahankan kontak
orang yang terdekat dengan realitas
untuk mengunjungi dan keluarga, membuat rasa
mendiskusikan yang kedekatan dan
terjadi pada keluarga. kesinambunga hidup
Mengingatkan pasien
kejadian masa lalu dan
akan dating
Kolaborasi sedative
Obat ansietas
ringan sesuai indikasi
diperlukan untuk
periode singkat sampai
pasien lebih stabil
secara psikis
6 · Kurang Pasien Tentukan apakah pasien Memberikan data dasar
Pengetahuan b/d mendapatkan mengetahui tentang untuk mengembangkan
Kurang Informasi informasi yang kondisi dirinya rencana penyuluhan
Terhadap adekuat tentang Pantau agar pasien Pasien harus memiliki
Perawatan Kulit perawatan kulit mendapatkan informasi perasaan bahwa ada
yang benar, sesuatu yang dapat
memperbaiki kesalahan diperbuat
persepsi informasi
Berikan informasi yang
spesifik dalam bentuk Informasi tertulis
tulisan dapat membantu
Jelaskan mengingatkan pasien
penatalaksanaan minum Meningkatkan
obat: dosis, frekuensi, partisipasi pasien,
tindakan, dan perlunya memahami aturan
terapi dalam jangka terapi dan mencegah
waktu lama putus obat
Dorong pasien agar
mendapat status nutrisi
Penampakkan kulit
yang sehat
mencerminkan
kesehatan umum
seseorang. Perubahan
kulit dapat menandakan
status nutrisi yang
abnormal. Nutrisi yang
optimal meningkatkan
regenerasi jaringan dan
penyembuhan umum
Tekankan perlunya atau
kesehatan
pentingnya
Dukungan jangka
mengevaluasi perawatan
panjang dengan evaluasi
atau rehabilitasi
ulang continue dan
perubahan terapi
dibutuhkan untuk
penyembuhan optimal
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan
olehTreponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari
Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan
seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit
penderita dengan kulit sehat.
Frambusia, yang disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah penyakit
menular bukan seksual pada manusia yang pada umumnya menyerang anak-anak
berusia di bawah 15 tahun.
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit
berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini
tidak sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan
melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui
benturan, gigitan, maupun pengelupasan.
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan
saraf dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah endemis pada musim
hujan penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium
pertama pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma; masa tunas
berkisar antara 3-6 minggu.
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema
partenue dapat mengalami 2 kemungkinan yaitu Infeksi effective dan Infeksi
ineffective. Terdapat 3 stadium Frambusia yang dikenal, yakni : Stadium Primer,
Stadium Sekunder, dan Stadium Tersier.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung
FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau
sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (venereal
disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin). Test serologis
trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent trepanomal antibody – absorbed),
MHA-TP (microhemag-glutination assay for antibody to t. pallidum).
Pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang
sama, alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian Tetrasiklin,
Doxicicline, dan Eritromisin.
Pencegahan dan Pemberantasan penyakit Frambusia dapat dilakukan
dengan cara yaitu : Upaya Pencegahan; Pengawasan Penderita, Kontak, dan
Lingkungan Sekitarnya; dan Upaya Penanggulangan Wabah.
Diagnosa Keperawatan yang sering muncul pada penyakit Frambusia adalah
Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi, Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan
pada kulit, pertahanan tubuh menurun, Gangguan mobilisasi b/d kecacatan,
Gangguan citra tubuh b/d perubahan postur tubuh, Ansietas b/d perubahan
kesehatan, dan Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap perawatan
kulit.
B. SARAN
Sebagai mahasiswa keperawatan kita harus mengetahui tentang penyakit
Frambusia. Hal ini ditujukan apabila mahasiswa menemukan kasus Frambusia di
lingkungannya, agar dapat melakukan tindakan lebih awal pada klien dengan
Frambusia. Selain itu, rencana asuhan keperawatan pada klien dengan Frambusia
sangat penting dipelajari mahasiswa agar dapat membuat rencana asuhan
keperawatan tentang Frambusia dan merawat klien jika berhadapan langsung
pada klien dengan Frambusia.
Berikut ini ada beberapa hal penting dalam strategi pemberantasan
Penyakit Frambusia yang terdiri dari 4 hal pokok, yaitu :
1. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk
menemukan penderita.
2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan
kesehatan (UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS).
4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana
air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.
DAFTAR PUSTAKA