Anda di halaman 1dari 45

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Motivasi

a. Pengertian Motivasi

Pada hakikatnya perilaku manusia berkaitan dengan tujuan

perilaku dirangsang untuk keinginan mencapai tujuan. Motivasi

berasal dari kata “mofere” yang artinya dorongan atau pergerakan

atau dari kata motif yang artinya corak atau ragam. Jadi motivasi

merupakan suatu dorongan yang merangsang perbuatan seseorang

untuk mencapai suatu tujuan.

Motivasi merupakan pemberian daya penggerak yang menciptakan

suatu keinginan agar mau bekerja sama, bekerja efektif dan

terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai

kepuasan (Malayo, 2010).

Menurut Robin 2011, motivasi merupakan suatu kerelaan untuk

berupaya semaksimal mungkin dalam pencapaian tujuan organisasi

yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha untuk memuaskan

beberapa kemampuan individu.

11
12

b. Macam – Macam Motivasi

Hamzah (2015) membagi motivasi menjadi 2 jenis, yaitu:

1) Motivasi intrinsik

Merupakan perbuatan individu yang benar-benar didasari oleh

suatu dorongan yang tidak diketahui secara jelas, tetapi bukan

karena insting, yang artinya bersumber pada suatu motif yang

tidak dipengaruhi dari lingkungan. Perilaku yang disebabkan

oleh motif semacam itu muncul tanpa perlu adanya ganjaran

atas perbuatan, dan tidak perlu hukuman untuk melakukannya,

inilah yang biasa disebut motif intrinsik (Hamzah, 2015).

Menurut Sondang (2012) motivasi intrinsik sebagai salah satu

hal yang terjadi selama seseorang berada dalam keadaan sakit

menikmati suatu aktivitas dan memperoleh kepuasan selama

terlibat dalam aktivitas tersebut meliputi kebutuhan, (needs),

minat (interest), kesenangan (enjoyment), dan rasa ingin tahu

(curiosity). Motivasi intrinsik juga diartikan sebagai motif-

motif yang menjadi aktif atau berfungsi tidak memerlukan

rangsangan dari luar, karena sudah ada didalam diri setiap

individu untuk mendorong agar patuh terhadap program

pengobatan tuberkulosis (Sardiman, 2011).

2) Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik merupakan prilaku individu yang hanya

muncul karena adanya hukuman atau tidak muncul karena


13

adanya hukuman. Motif yang menyebabkan perilaku ini,

seakan-akan dari luar berupa ganjaran atau hukuman (Hamzah,

2015). Petri (Ghufron & Risnawita, 2010) menjelaskan bahwa

motivasi ekstrinsik sendiri pada dasarnya merupakan tingkah

laku yang digerakan oleh kekuatan eksternal individu. Sumber

motivasi ekstrinsik menurut Hamzah (2015) meliputi imbalan

(rewards), tekanan sosial (social pressure), dan penghindaran

diri dari hukuman (punishment). Motivasi ekstrinsik adalah

motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang

dari luar. Dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya,

tidak secara langsung dilihat dengan esensi apa yang

dilakukannya itu. Oleh karena itu motivasi untuk sembuh

sangat penting untuk penderita TB paru karena dapat

menimbulkan sikap yang positif sehingga menggerakkan

kekuatan pada individu, mengarahkan untuk menimbulkan

suatu orientasi tingkah laku yang patuh terhadap program

pengobatan TB.

Menurut Sardiman (2011) motivasi dilihat dari dasar

pembentukannya di bagi menjadi 2, yakni:

1) Motif - motif bawaan

Motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir, jadi

motivasi itu ada tanpa dipelajari. Contohnya: dorongan untuk

makan, dorongan untuk minum, dorongan untuk bekerja,


14

dorongan untuk beristirahat, dorongan seksual. Motif-motif ini

seringkali disebut motif-motif yang disyaratkan secara biologis.

2) Motif - motif yang dipelajari

Motif - motif yang dipelajari merupakan motif – motif yang

timbul karena didapat dari pembelajaran. Sebagai contoh:

dorongan untuk belajar suatu cabang ilmu pengetahuan,

dorongan untuk mengajar sesuatu didalam masyarakat. Motif-

motif ini seringkali disebut dengan motif-motif yang

diisyaratkan secara sosial. Sebab manusia hidup dalam

lingkungan sosial dengan sesama manusia yang lain, sehingga

motivasi itu terbentuk.

Jenis motivasi menurut (Sardiman, 2011) yaitu:

1) Motif atau kebutuhan organis, meliputi: kebutuhan untuk

minum, makan, bernapas, seksual, berbuat dan kebutuhan

untuk beristirahat.

2) Motif - motif darurat

Motif ini antara lain: dorongan untuk menyelamatkan diri,

dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk memburu.

Jelasnya motivasi jenis ini muncul karena rangsangan dari luar.

3) Motif - motif objektif

Motif – motif objektif menyangkut kebutuhan untuk

melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi, untuk menaruh


15

minat. Motif ini muncul karena dorongan untuk dapat

menghadapi dunia luar secara efektif.

c. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Menurut Hamzah (2015) ada dua faktor yang mempengaruhi

motivasi yaitu :

1) Faktor internal. Faktor ini merupakan faktor dari dalam diri

manusia itu sendiri atau yang melekat pada diri pribadi.

Misalnya pengalaman masa lalu, harapan masa depan.

Faktor internal meliputi:

a) Faktor fisik

Faktor fisik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

kondisi fisik misal status kesehatan pasien. Fisik yang

kurang sehat dan cacat yang tidak dapat disembuhkan

berbahaya bagi penyesuaian pribadi dan sosial. Pasien yang

mempunyai hambatan fisik karena kesehatannya buruk

sebagai akibat mereka selalu frustasi terhadap kesehatannya.

b) Faktor kebutuhan untuk sembuh (proses mental)

Motivasi merupakan suatu proses yang tidak terjadi begitu

saja, tapi ada kebutuhan yang mendasari munculnya

motivasi tersebut. Pasien dengan fungsi mental yang normal

akan menyebabkan bias yang positif terhadap diri. Seperti

halnya adanya kemampuan untuk mengontrol kejadian-

kejadian dalam hidup yang harus dihadapi, keadaan


16

pemikiran dan pandangan hidup yang positif dari diri pasien

dalam reaksi terhadap perawatan akan meningkatkan

penerimaan diri serta keyakinan diri sehingga mampu

mengatasi kecemasan dan selalu berfikir optimis untuk

kesembuhannya.

c) Faktor herediter

Bahwa manusia diciptakan dengan berbagai macam tipe

kepribadian yang secara herediter dibawa sejak lahir. Ada

tipe kepribadian tertentu yang mudah termotivasi atau

sebaliknya. Orang yang mudah sekali tergerak perasaannya,

setiap kejadian menimbulkan reaksi perasaan padanya.

Sebaliknya ada yang hanya bereaksi apabila menghadapi

kejadian-kejadian yang memang sungguh penting.

d) Keinginan dalam diri sendiri

Keinginan untuk lepas dari keadaan sakit yang mengganggu

aktivitasnya sehari-hari, masih ingin menikmati prestasi

yang masih berada dipuncak karir, merasa belum

sepenuhnya mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki.

e) Kematangan usia

Kematangan usia akan mempengaruhi pada proses berfikir

dan pengambilan keputusan dalam melakukan pengobatan

yang menunjang kesembuhan pasien.


17

f) Persepsi Penderita

Persepsi merupakan tindakan menyusun, mengenali dan

menafsirkan informasi sensori guna memberikan gambaran

dan pemahaman tentang penyakit yang dideritanya, dengan

persepsi seorang penderita TB paru yang baik maka dengan

sendirinya timbul motivasi untuk patuh terhadap program

pengobatan.

2) Faktor eksternal

Merupakan faktor motivasi yang berasal dari luar diri seseorang

yang merupakan pengaruh dari orang lain atau lingkungan.

Faktor eksternal ini meliputi:

a) Faktor lingkungan

Lingkungan adalah suatu yang berada disekitar pasien baik

fisik, psikologis, maupun sosial (Notoatmodjo, 2007).

Lingkungan rumah sakit sangat berpengaruh terhadap

motivasi pasien untuk sembuh. Lingkungan rumah sakit

yang tidak mendukung dan kurang kondusif akan membuat

stres bertambah. Secara fisik misalnya penataan ruangan

dirumah sakit, kontruksi bangunan akan meningkatkan

ataupun mengurangi stress dan secara biologis lingkungan

ini tidak mengganggu kenyamanan yang dapat memicu stres,

sedangkan lingkungan sosial salah satunya adalah dukungan

perawat kususnya dukungan sosial.


18

b) Dukungan sosial

Dukungan sosial sebagai informasi verbal dan non verbal,

saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan

orang-orang yang akrab dengan subyek di dalam lingkungan

sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat

memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada

tingkah laku penerima. Dukungan sosial sangat

mempengaruhi dalam memotivasi pasien untuk sembuh,

meliputi dukungan emosional, informasi,finansial, dan

perhatian.

c) Fasilitas Kesehatan

Ketersediaan fasilitas yang menunjang dalam pengobatan TB

paru dapat mempengaruhi motivasi pasien untuk melakukan

hal yang membuat terhindar dari ketidakpatuhan penbobatan

TB serta meningkatkan motivasi untuk sembuh. Termasuk

dalam fasilitas adalah tersediannya sumber biaya yang

mencukupi, tersedianya alat-alat medis yang menunjang

kesembuhan penderita TB paru.

d) Media

Media merupakan sarana untuk menyampaikan pesan atau

info kesehatan. Adanya media ini penderita TB paru menjadi

lebih tahu tentang kesehatannya dan pada akhirnya dapat


19

memotivasi untuk patuh dalam mengikuti program

pengobatan mengikuti sampai sembuh.

d. Fungsi Motivasi

Menurut Sardiman (2007), fungsi motivasi ada tiga, yakni:

1) Mendorong manusia untuk berbuat, motivasi dalam hal ini

merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan

dikerjakan.

2) Menentukan arah perbuatan, yaitu ke arah tujuan yang hendak

dicapai, sehingga motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan

yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

3) Menyeleksi perbuatan, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan

apa yang harus dikerjakan yang sesuai guna mencapai tujuan,

dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat

bagi tujuan tersebut.

Sedangkan menurut Hamalik (2005) fungsi motivasi adalah:

1) Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan. Tanpa

motivasi tidak akan ada suatu perbuatan atau tindakan.

2) Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan

perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3) Motivasi berfungsi sebagai penggerak. Besar kecilnya motivasi

akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.


20

e. Tujuan Pemberian Motivasi

Menurut Hamzah (2015) tujuan pemberian motivasi terdiri atas :

1) Mendorong gairah dan semangat untuk sembuh.

2) Meningkatkan moral dan kepuasan.

3) Meningkatkan produktifitas dari penderita itu sendiri.

4) Mempertahankan loyalitas dan kestabilan atau hubungan saling

menguntungkan.

5) Meningkatkan kedisiplinan agar patuh terhadap program

pengobatan.

f. Teknik Motivasi

Menurut Hamzah (2015) teknik motivasi terdiri atas :

1) Motivasi positif. Teknik dengan cara memberikan pujian atau

hadiah kepada mereka yang berpartisipasi baik.

2) Motivasi negatif. Teknik dengan cara memberikan hukuman.

g. Teori Motivasi

Secara umum, teori motivasi dibagi menjadi dua kategori, yaitu

teori kandungan (content), yang memusatkan perhatian pada

kebutuhan dan sasaran tujuan, dan teori proses, yang banyak

berkaitan dengan bagaimana orang berprilaku dan mengapa mereka

berperilaku dengan cara tertentu.


21

1) Teori pendorong (Drive Theory)

Dorongan kekuatan terhadap suatu arah untuk patuh terhadap

program pengobatan yang dijalankan sehingga mencapai

kesembuhan.

2) Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Setiap kali membicarakan motivasi, hierarki kebutuhan Maslow

pasti disebut-sebut. Hierarki itu didasarkan pada anggapan

bahwa pada waktu orang telah memuaskan satu tingkat

kebutuhan tertantu, mereka ingin bergeser ketingkat yang lebih

tinggi. Maslow (Hamzah, 2015) mengemukakan lima tingkat

kebutuhan, yakni antara lain :

a) Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan yang harus dipuaskan untuk dapat tetap hidup,

termasuk makanan, minuman, perumahan, pakaian, udara

untuk bernapas, dan sebagainya.

b) Kebutuhan akan rasa aman

Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpuaskan,

perhatian dapat diarahkan kepada kebutuhan akan keselamatan.

Keselamatan itu, termasuk merasa aman dari setiap jenis

ancaman fisik atau kehilangan, serta merasa terjamin. Pada

waktu seseorang telah mempunyai pendapatan cukup untuk

memenuhi semua kebutuhan kejiwaan, seperti membeli

makanan dan perumahan, perhatian diarahkan kepada


22

meyediakan jaminan melalui pengambilan polis asuransi,

mendaftarkan diri masuk perserikatan pekerja, dan sebagainya.

c) Kebutuhan akan cinta kasih atau kebutuhan sosial

Ketika seseorang telah memuaskan kebutuhan fisiologis dan

rasa aman, kepentingan berikutnya adalah hubungan antar

manusia. Cinta kasih dan kasih sayang yang diperlukan pada

tingkat ini, mungkin disadari melalui hubungan-hubungan antar

pribadi yang mendalam, tetapi juga yang dicerminkan dalam

kehidupan untuk menjadi bagian berbagai kelompok sosial.

Dalam kaitannya dengan pekerjaan sementara orang mungkin

melakukan pekerjaan tertentu karena kebutuhan mendapatkan

uang untuk memelihara gaya hidup dasar. Akan tetapi, mereka

juga menilai pekerjaan dengan dasar hubungan kemitraan

sosial yang ditimbulkannya.

d) Kebutuhan akan penghargaan

Percaya diri dan harga diri maupun kebutuhan akan pengakuan

orang lain. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, hal itu berarti

memiliki pekerjaan yang dapat diakui sebagai yang bermanfaat,

menyediakan sesuatu yang dapat dicapai, serta pengakuan

umum dan kehormatan di dunia luar.

e) Kebutuhan aktualisasi diri

Kebutuhan tersebut ditempatkan paling atas hierarki Maslow

dan berkaitan dengan keinginan pemenuhan diri. Ketika semua


23

kebutuhan lain sudah dipuaskan, seseorang ingin mencapai

secara penuh potensinya. Tahap terakhir itu mungkin tercapai

hanya oleh beberapa orang (Hamzah, 2010).

h. Hambatan atau Kendala Motivasi

Menurut Sondang (2012) kendala motivasi terdiri atas :

1) Motivasi setiap individu yang tidak sama

2) Kemampuan organisasi terbatas dalam menyediakan fasilitas

dan intensif

3) Manajer sulit memberikan intensif yang adil dan layak

2. Kepatuhan

a. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat

pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang

disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Widoyono, 2008).

Kepatuhan pasien merupakan perilaku pasien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Widoyono,

2008). Penderita yang patuh berobat adalah yang menyeselaikan

pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama

minimal 6 bulan (Depkes RI, 2010).

Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai

2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan Droup Out jika lebih
24

dari 2 bulan berturut- turut tidak datang berobat setelah dikunjungi

petugas kesehatan (Depkes RI, 2010).

Menurut Widoyono, (2008) pengobatan memerlukan jangka waktu

yang panjang akan memberikan pengaruh - pengaruh pada

penderita seperti:

1) Merupakan suatu tekanan psikologis bagi seorang penderita

tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan

harus menjalani pengobatan sekian lama.

2) Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah

menjalani pengobatan 1-2 bulan atau lebih lama keluhan akan

segera berkurang atau hilang sama sekali penderita akan merasa

sembuh dan malas untuk meneruskan pengobatan kembali.

3) Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga

menurunkan motivasi yang akan semakin menurun dengan

lamanya waktu pengobatan.

4) Pengobatan yang lama merupakan beban dilihat dari segi biaya

yang harus dikeluarkan.

5) Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan

rasa tidak enak terhadap penderita.

6) Sukar untuk menyadarkan penderita untuk terus minum obat

selama jangka waktu yang ditentukan. Karena jangka waktu

pengobatan yang ditetapkan lama maka terdapat beberapa

kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat


25

teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat

secara teratur (defaulting), penderita sama sekali tidak patuh

dalam pengobatan yaitu putus berobat (droup out) (Widoyono,

2008).

b. Macam – Macam Kepatuhan

Menurut Cramer (2007) kepatuhan penderita dapat dibedakan :

1) Kepatuhan penuh (Total compliance). Pada keadaan ini

penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu

yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara

teratur sesuai petunjuk.

2) Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance). Yaitu

penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama

sekali.

c. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Widoyono (2008) faktor – faktor yang mempengaruhi

kepatuhan adalah :

1) Faktor komunikasi. Berbagai aspek komunikasi antara pasien

dengan dokter mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya

informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan

terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter,

ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan.

2) Pengetahuan. Ketetapan dalam memberikan informasi secara

jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian


26

antibitoik. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut

setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.

3) Fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan merupakan sarana

penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap

penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga

kesehatan yang meliputi jumlah tenaga kesehatan, gedung serba

guna untuk penyuluhan dan lain - lain.

Sementara itu menurut Cramer (2007), bahwa faktor - faktor yang

mempengaruhi kepatuhan adalah:

a) Dorongan Pribadi.

Dorongan yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri.

Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatan yang

sangat berpengaruh terhadap faktor - faktor yang berhubungan

dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya.

b) Keyakinan.

Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani

kehidupan. Penderita Yang berpegang teguh terhadap keyakinan

yang akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa

serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku

akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan kontrol penyakitnya

dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita

memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran

dan larangan kalau tahu akibatnya.


27

c) Dukungan keluarga

Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling

dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang

dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari

keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan

kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola

penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran

- saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan

penyakitnya.

d) Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota

keluarga lain merupakan faktor - faktor yang penting dalam

kepatuhan terhadap program - program medis. Keluarga dapat

mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan

dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.

e) Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat

mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama

berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru

tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat

mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan

antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara

terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien


28

yang telah mampu berapdatasi dengan program pengobatanya

Faktor lain adalah peran Pengawas Minum Obat (PMO), kolaborasi

petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk

mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu

dievaluasi untuk menentukan tingkat kepatuhan dan keberhasilanya

(Purwanta, 2005).

Pengobatan dilakukan setiap hari dan dalam jangka panjang,

sehingga kepatuhan minum obat (adherence) juga sering menjadi

masalah yang harus dipikirkan sejak awal pengobatan. Minum obat

yang tidak rutin terbukti telah menyebabkan resistensi obat yang

dapat menyebabkan kegagalan pengobatan. Berdasarkan hal

tersebut, tentu perlu adanya pengaturan penggunaan obat sesuai

tujuannya terutama obat seperti yang dikehendaki. Aturan minum

obat sangat berpengaruh pada kepatuhan penderita (complience)

(Widoyono, 2008).

d. Cara Mengukur Kepatuhan

Kepatuhan terhadap pengobatan Tuberkulosis merupakan kunci

dalam pengendalian Tuberkulosis. Akan tetapi, tingkat kepatuhan

dalam pengobatan merupakan sebuah fenomena kompleks yang

dinamis dengan berbagai faktor yang berdampak pada perilaku

pasien dalam pengobatan. Tingkat kepatuhan pasien dapat diukur

dengan menggunakan metode Modified Morisky Scale (MMS)

(Case Management Society of America, 2006). Modified Morisky


29

Scale (MMS) merupakan alat ukur kepatuhan pengobatan

Tuberkulosis yang dapat diaplikasikan dengan 6 buah pertanyaan

dijawab ya atau tidak. Pada MMS pertanyaan nomor 1, 2 dan 6

mengenai dorongan pribadi. Pertanyaan nomor 3, 4 dan 5

mengenai pengetahuan. Setiap jawaban “Ya” mendapat nilai 1 dan

setiap jawaban “tidak” mendapat nilai 0. Jika pasien menjawab

benar 3-6, maka pasien tersebut termasuk kategori patuh. Jika 0-2

maka pasien tersebut termasuk kategori tidak patuh (Case

Management Society of America, 2006).

3. Tuberkulosis Paru

a. Pengertian Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang dapat

menyerang hampir seluruh organ tubuh dengan gejala bervariasi

dan disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis (Mansjoer,

2007).

Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan

oleh basil Mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu

penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar

basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone

infection (Hood, 2005).

b. Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Menurut Mansjoer (2005) klasifikasi Tuberkulosis Paru terdiri

atas:
30

1) Tuberkulosis paru

a) BTA mikroskopik langsung (+) atau biakan (+), tetapi

kelainan foto thoraks menyokong TB, dan gejala klinis

sesuai TB.

b) BTA mikroskopik langsung atau biakan (-), tetapi kelainan

rontgen dan klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan

pada pengobatan awal anti TB (initial therapy). Pasien

golongan ini memerlukan pengobatan yang adekuat.

2) Bekas tuberkulosis paru

Ada riwayat TB pada pasien di masaa lalu dengan atau tanpa

pengobatan atau gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi

stabil pada foto serial dan sputum BTA (-). Kelompok ini tidak

perlu diobati.

3) Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :

a) TB paru tersangka yang diobati (sputum BTA negatif, tapi

tanda-tanda lain positif).

b) TB paru tersangka yang tidak diobati (sputum BTA negatif

dan tanda-tanda lain meragukan).

c. Penyebab Tuberkulosis Paru

Penyebab penyakit Tuberkulosis Paru adalah Mycobacterium

Tuberkulosis yang berbentuk batang panjang 1 – 4 /µm dengan

tebal 0,3 – 0,5 µm dan tahan asam (Widoyono, 2008).


31

d. Pathofisiologi Tuberkulosis Paru

Menurut Price (2005) Penyebaran kuman micobacterium

tuberkolosis masuk melalui tiga tempat yaitu saluran pernafasan ,

saluran pencernaan dan adanya luka yang terbuka pada kulit.

Infeksi kuman ini sering terjadi melalui udara ( airbone ) yang cara

penularannya dengan inhalasi droplet yang mengandung kuman

dari orang yang terinfeksi sebelumnya.

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang dikendalikan oleh sistem

imunitas diperantarai oleh sel. Sel efektor adalah makrofag, dan

limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsi. Tipe imunitas

seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di

tempat infeksi oleh limfosit. Respon ini disebut sebagai reaksi

hipersentivitas selular.

Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan alveolus

biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil.

Adanya basil yang mencapai ruang alveolus, ini terjadi dibawah

lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, maka hal ini

bisa membangkitkan reaksi peradangan. Berkembangnya leukosit

pada hari hari pertama ini di gantikan oleh makrofag. Pada alveoli

yang terserang mengalami konsolidasi dan menimbulkan tanda dan

gejala pneumonia akut. Basil ini juga dapat menyebar melalui

getah bening menuju kelenjar getah bening regional, sehingga

makrofag yang mengadakan infiltrasi akan menjadi lebih panjang


32

dan yang sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epitelloid yang

dikelilingi oleh limfosit, proses tersebut membutuhkan waktu 10-

20 hari.

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative

padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang

mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya

yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon

berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk

jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu

kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Bila terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut fokus ghon dan

bergabungnya serangan kelenjar getah bening regional dan lesi

primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang

mengalami pencampuran ini juga dapat diketahui pada orang sehat

yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.

Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan,

dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan

kavitas. Pada proses ini akan dapat terulang kembali dibagian

selain paru-paru ataupun basil dapat terbawa sampai ke laring,

telinga tengah dan usus.

Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup

sekalipun tanpa adanya pengobatan dan dapat meninggalkan

jaringan parut fibrosa. Peradangan mereda lumen bronkus dapat


33

menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dengan

perbatasan bronkus rongga. Sekret dapat mengental sehingga tidak

dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas

penuh dengan sekret dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang

tidak lepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam

waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan

menjadi tempat peradangan aktif.

Pada permulaan penyebaran akan terjadi beberapa kemungkinan

yang bisa muncul yaitu penyebaran limfohematogen yang dapat

menyebar melewati getah bening atau pembuluh darah. Kejadian

ini dapat meloloskan kuman dari kelenjar getah bening dan menuju

aliran darah dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan lesi pada

organ tubuh yang lain.

e. Tanda dan Gejala Tuberkulosis Paru

Menurut Sudoyo (2006) tanda dan gejala Tuberkulosis Paru :

1) Batuk

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya

iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang

produk-poduk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada

setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada

setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaknbi

setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan

bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian


34

setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang

lebih lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat

pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada

ulkus dinding bronkus.

2) Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi

kadang-kadang panas panas badan dapat mencapai 40-41°C.

Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi

kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang

timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak

pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini

sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat

ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

3) Sesak napas

Pada penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas

akan ditemukan pada penyakit yang sudah meliputi setengah

bagian paru-paru.

4) Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila

infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan

pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik

atau melepaskan nafasnya.


35

5) Kelelahan

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala

malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu

maka, berat badan makin kurus, sakit kepala, nyeri otot,

keringat malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat

dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

f. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Diagnosis TBC paru pada orang dewasa menurut Depkes RI

(2010) dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada

pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan

dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen

Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Bila hanya 1

spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut

yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

1) Hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TBC BTA positif.

2) Hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak

SPS diulangi.

3) Hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA

positif.

4) Hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen

dada, untuk mendukung TBC, didiagnosis TBC.


36

5) Hasil rontgen mendukung TBC, didiagnosis sebagai penderita

TBC BTA negatif rontgen positif

6) Hasil rontgen tidak mendukung TBC, penderita tersebut bukan

TBC.

g. Pengobatan Tuberkulosis Paru

1) Jenis Obat Anti TB menurut Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis (2010) :

a) Isoniazid (H)

Isoniazid (dikenal dengan INH) bersifat bakterisid, efektif

terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu

kuman yang sedang berkembang. Efek samping yang

mungkin timbul berupa neuritis perifer, hepatitis rash,

demam Bila terjadi ikterus, pengobatan dapat dikurangi

dosisnya atau dihentikan sampai ikterus membaik. Efek

samping ringan dapat berupa kesemutan, nyeri otot, gatal-

gatal. Pada keadaan ini pemberian INH dapat diteruskan

sesuai dosis.

b) Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dorman

(persisten). Efek samping rifampisin adalah hepatitis, mual,

reaksi demam, trombositopenia. Rifampisin dapat

menyebabkan warna merah atau jingga pada air seni dan

keringat, dan itu harus diberitahukan pada keluarga atau


37

penderita agar tidak menjadi cemas. Warna merah tersebut

terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak

berbahaya.

c) Pirazinamid (P)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada

dalam sel dengan suasana asam. Efek samping pirazinamid

adalah hiperurikemia, hepatitis, atralgia.

d) Ethambutol (E)

Bersifat bakteriostatik, ethambutol dapat menyebabkan

gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman

penglihatan, buta warna merah dan hijau, maupun optic

neuritis.

2) Pengobatan TB ada 2 tahap menurut Depkes 2010 yaitu :

a) Tahap intensif

Penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung

untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap rifampisisn.

Bila saat tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu. Sebagian besar TB BTA positif menjadi

negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.

Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting

untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.


38

b) Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat jangka waktu

lebih panjang dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah

terjadinya resistensi. Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan.

3) Panduan Obat Anti Tuberkulosis

Tabel 2

Panduan Obat Anti Tuberkulosis Kategori I

Tahap Lama (H) / day R day Z day F day Jumlah Hari x

menelan obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 60
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 54
Sumber : Depkes RI 2010 dalam Pedila (2013).

Tabel 3
Panduan Obat kategori 2

Tahap Lama (H) R Z E E Strep Jumlah hari X

@300 @450 @500 @250 @500 injeksi menelan obat

mg mg mg mg mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0.5% 60

1 bulan 1 1 3 3 - - 30

Lanjutan 5 bulan 2 1 3 2 66
Sumber : Depkes RI 2010 dalam Pedila (2013).

Tabel 4
Panduan Obat kategori 3

Tahap Lama H@ 200mg R@450mg P@500mg Hari X

menelan obat
39

Intensif 2 bulan 1 1 3 60
Lanjutan 4 bulan 2 1 1 54

3xweek
Sumber : Depkes RI 2010 dalam Pedila (2013).

Tabel 5
Obat Anti TB sisipan (HRZE)

Tahap Lama H@300mg R@450mg Z@500mg E day Menelan X


@250 Hari
mg
Intensif
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 30
harian)
Sumber : Depkes RI 2010 dalam Pedila (2013).

h. Pemantauan Kemajuan Hasil Pengobatan TB Paru

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan menurut Depkes RI (2010)

dilakasanakan dengan pemeriksaan ulang secara mikroskopis.

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan

dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan

pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak dapat dipakai untuk

memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan

pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali

(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila

kedua spesimen tersebut negatif. Bila salah asatu spesimen positif,

maka hasil pemerikasaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan

dilakukan pada :

1) Akhir tahap intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu


40

sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang penderita BTA

positif dengan kategori 2. Pemeriksaan dahak pada akhir tahap

intensif dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi

konversi dahak, yaitu perubahan BTA positif menjadi negatif.

a) Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1:

Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar (seharusnya 80

%) dari penderita sudah BTA negatif (konversi). Penderita

ini dapat meneruskan pengobatan dendan tahap lanjutan.

Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2

hasilnya masih BTA positif, pengobatan diteruskan dengan

OAT sisispan selama 1 bulan. Setelah peket sisipan satu

selesai, dahak diperikasa kembali. Pengobatan tahap

lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemerikasaan ulang

dahak BTA masih tetap positif.

b) Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan ketegori 2:

Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih

positif, tahap intensif harus diteruskan lagi, selama 1 bulan

dengan OAT sisipan. Setelah satu bulan diberi sisipan

dahak diperiksa kembali. Pengobatan tahap lanjutan tetap

diberikan meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang BTA

masih positif. Bila memungkinkan spesimen dahak

penderita dikirim untuk dilakukan biakan dan uji kepekaan

obat (sensitivity test). Sementara pemeriksaan dilakukan,


41

penderita meneruskan pengobatan tahap lanjutan. Bila hasil

uji kepekaan obat menunjukam bahwa kuman sudah

resisten terhadap 2 atau lebih OAT, maka penderita dirujuk

ke unit pelayanan spesialistik yang dapat menangani kasus

resisten. Bila tidak mungkin, maka pengobatan dengan

tahap lanjutan diteruskan sampai selesai.

c) Pengobatan penderita BTA negatif hasil Rontgen positif

dengan ketegori 3 (ringan) atau 1 (berat): Penderita TBC

paru BTA negatif, rontgen positif, baik dengan pengobatan

ketegori 3 (ringan) atau kategori 1 (berat), tetap dilakukan

pemeriksaan ulang dahak pada tahap akhir bulan ke dua.

Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA positif, maka ada

2 kemungkinan :

1) Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama (pada saat

diagnosis sebenarnya adalah BTA positif tapi

dilaporkan sebagai BTA negatif.

2) Penderita berobat tidak teratur.

2) Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang penderita BTA

positif kategori 2.
42

3) Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu akhir bulan ke 6 pengobatan pada

penderita baru BTA posistif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif,

dengan kategori 2. Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan

sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan bertujuan

untuk menilai hasil pengobatan (“sembuh”, atau “gagal”).

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah

menyelesaikanpengobatannya secra lengkap, dan pemeriksaan

ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 kali berturut-turut

hasilnya negatif (yaitu pada akhir pengobatan dan/atau sebulan

sebelum akhir pengobatan, dan pada satu pemeriksaan follow

up sebelumnya).

i. Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut

Hasil pengobatan seorang penderita menurut Depkes RI (2010)

dapat diketegorikan sebagai: Sembuh, Pengobatan Lengkap,

Meninggal, Pindah (Transfer Out), Defaulter (lalai) / DO dan

Gagal.

1) Sembuh

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah

menyelesaikan pengobatannya secra lengkap, dan pemeriksaan

ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 kali berturut-turut


43

hasilnya negatif (yaitu pada AP dan/atau sebulan sebelum AP,

dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya).

2) Pengobatan lengkap

Pengobatan dalah penderita yang telah menyelesaikan

pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan

ulang dahak 2 kali bertirut-turut negatif. Tindak lanjut:

penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya

memeriksakan diri dengan prosedur tetap.

3) Meninggal

Meninggal dalah penderita yang dalam masa pengobatan

diketahui meninggal karena sebab apapun.

4) Pindah

Pindah adalah penderita yang pindah berobat ke daerah

kabupaten/kota lain. Tindak Lanjut : penderita yang ingin

pindah, dibuatkan surat pindah dan bersama sisa obat dikirim

ke Unit Pelayanan Kesehatan yang baru. Hasil pengobatan

penderita dikirim ke Unit Pelayanan Kesehatan asal, dengan

formulir.

5) Defaulted atau Drop Out

Adalah penderita yang tidak mengamabil obat selam 2 bulan

berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

Tindak lanjut: lacak penderita tersebut dan diberi penyuluhan


44

pentingnya berobat secra teratur. Apabila penderita akan

melanjutkan pengobatan, lakukan pemeriksaan dahak. Bila

positif mulai pengobatan dengan kategori 2, bila negatif sisa

pengobatan kategori 1 dilanjutkan.

6) Gagal

Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap

positif atau kembali menjadi positif pda satu bulan sebelum

akhir pengobatan atau akhir pengobatan. Tindak lanjut:

Penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan

kategori 2 mulai dari awal. Penderita BTA positif pengobatan

ulang dengan kategori 2 dirujuk ke UPK spesialistik atau INH

seumur hidup.

j. Kesembuhan TB Paru

Kesembuhan penyakit TB menurut Depkes RI (2010) yaitu suatu

kondisi dimana individu telah menunjukan peningkatan kesehatan

dan memiliki salah satu indikator kesembuhan penyakit TBC,

diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan

pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada akhir

pengobatan dan minimal satu pemeriksaan follow up sebelumnya

negative (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2010).

Kesembuhan penyakit TB yaitu suatu kondisi dimana individu

telah menunjukan peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu

indikator kesembuhan penyakit TBC, diantaranya: perubahan berat


45

badan dan perlu dilakukan tes BTA terhadap sputum. Target

Angka kesembuhan nasional > 85%.

Rumus:

Jumlah penderita baru BTA positif yang sembuh


x 100 %
Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati

Menurut pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis tahun

2010, faktor-faktor yang mempengaruhi angka kesembuhan antara

lain adalah keberadaan Pengawas Minum Obat, dan pelayanan

kesehatan. Menurut teory green modifikasi Nizar menyatakan :

1) Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yaitu faktor

pencetus yang mempermudah terjadinya kesembuhan antara lain

pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan penderita TB paru

dalam program pengobatan yang terdiri atas perilaku

pemeliharaan kesehatan dengan minum obat yang teratur,

penggunaan fasilitas kesehatan untuk mengambil obat dan

memeriksakan sputum, perilaku kesehatan lingkungan dengan

tidak membuang dahak sembarangan agar tidak menularkan

kuman pada orang lain.

2) Faktor yang memungkinkan (enabling factor) yaitu faktor yang

memungkinkan terjadinya perubahan status kesehatan

dikarenakan antara lain adalah pemakaian obat anti tuberkulosis,

Pelayanan kesehatan dan peran pengawas minum obat.


46

3) Faktor penguat (reinforcing factor) terwujud dalam sikap dan

perilaku kelompok yaitu baik dukungan keluarga maupun PMO.

k. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Kesembuhan

Tuberkulosis Paru

1) Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yaitu faktor

pencetus yang mempermudah terjadinya kesembuhan terwujud

dalam:

a) Pengetahuan TB Paru

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu“ dan ini terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Pengetahuan penderita TB paru yang tinggi

dapat meningkatkan kepatuhan terhadap program

pengobatan yang sedang dijalani (Notoatmodjo, 2007).

b) Sikap penderita TB Paru

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan

(overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu

perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu

kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.

Disamping fasilitas juga diperlukan faktor pendukung

(support) dari pihak lain. Sikap patuh dalam program

pengobatan mempercepat proses penyembuhan dan

mengurangi terjadinya resiko resistensi kuman terhadap

penyakit TB paru yang diderita (Notoatmodjo, 2007).


47

c) Perilaku kesehatan

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu

sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara

lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,

kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Uraian ini

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia

adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang

diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar. Perilaku yang diharapkan adalah penderita

menggunakan masker selama bepergian, tidak membuang

dahak sembarang tempat, membuka jendela agar cahaya

masuk didalam rumah dan menutup mulut saat batuk

sehingga kuman TB tidak menular pada orang lain

(Notoatmodjo, 2007).

2) Faktor yang memungkinkan (enabling factor) yaitu faktor yang

memungkinkan terjadinya perubahan status kesehatan

dikarenakan antara lain adalah pemakaian obat anti

tuberkulosis, pelayanan kesehatan dan peran pengawas minum

obat.

a) Obat Anti TB

Obat Anti TB berfungsi untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan


48

rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman

terhadap obat anti tuberkulosis.

b) Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang diberikan oleh

petugas kesehatan kepada klien yang sehat maupun yang

sakit mencakup bio, psiko, sosial dan spiritual untuk

memenuhi kebutuhan manusia. Tersedianya puskesmas dan

rumah sakit yang mempunyai program DOTS dalam

menanggulangi penyakit TB paru.

c) Pengawas Minum Obat

Menurut Depkes RI (2010) PMO adalah seseorang yang

ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau

penderita tuberkulosis dalam meminum obatnya secara

teratur dan tuntas. Tugas PMO antara lain mengawasi

pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau

berobat secara teratur, mengingatkan pasien untuk periksa

ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi

penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB paru yang

mempunyai gejala-gejala yang mencurigakan TB paru

untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan

kesehatan.
49

3) Faktor penguat (reinforcing factor) terwujud dalam sikap dan

perilaku kelompok yaitu dukungan keluarga, perawat dan

dokter.

a) Dukungan keluarga adalah persepsi seseorang bahwa

dirinya menjadi bagian dari jaringan sosial yang di

dalamnya tiap anggotanya saling mendukung. Dukungan

yang diberikan berupa dorongan penderita TB paru agar

patuh terhadap program pengobatannya sehingga tidak

menimbulkan resistensi dan tidak menularkan kuman

micobacterium tuberculosis pada orang lain.

b) Perawat

Peran perawat dalam meberikan asuhan keperawatan

adalah pendidikan kesehatan untuk mengubah perilaku

individu maupun kelompok yaitu dengan memberikan

pengetahuan, ketrampilan dan sikap agar patuh terhadap

program TB yang dijalankan oleh penderita.

c) Dokter

Hasil evaluasi kemajuan pengobatan TB ditentukan oleh

dokter dengan syarat penderita patuh terhadap pengobatan

dan kunjungan di fasilitas kesehatan selama dinyatakan

belum sembuh dan belum tuntas.

B. Kerangka Teori
50

Kerangka teori adalah suatu uraian dan hubungan atau kaitan antara

konsep terhadap yang lainnya atau antara variabel yang satu dengan

variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2012).

Faktor Kesembuhan Tuberkulosis Paru


Predisposising factor Enabling factor Reinforcing factor
1. Pengetahuan 1. Obat Anti TB 1. Keluarga
2. Sikap 2. Pelayanan Kesehatan 2. Dokter
3. Perilaku 3. Pengawas Minum 3. Perawat
1. Obat (PMO)
2.
3.

Faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Faktor internal Faktor eksternal Motivasi


1. Fisik 1. Lingkungan Kesembuhan
2. Proses Mental 2. Dukungan
3. Herediter sosial
4. Keinginan diri 3. Fasilitas
5. Kepatuhan pengobatan
Kematangan usia kesehatan
TB
4. Media
6. Persepsi penderita

Patuh Tidak Patuh

1. Sembuh 1. Drop Out


2. Pengobatan 2. Gagal
lengkap selama 3. Meninggal
enam bulan

Skema 1 Kerangka Teoritis


Sumber : Kerangka teori penelitian ini berdasarkan : Hamzah (2015), Cramer (2007), Widoyono
(2008), Mansjoer (2010), Notoatmodjo (2007).

C. Kerangka Konsep
51

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan

atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara

variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin

diteliti (Notoatmodjo, 2010). Berikut kerangka konsep penelitian :

Variabel bebas Variabel terikat (dependent variabel) :


(Independent variabel):
Kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru
Motivasi kesembuhan dewasa di Rumah Sakit Khusus Paru Respira
Yogyakarta tahun 2016.
pasien TB Paru dewasa
di Rumah Sakit Khusus Menilai kepatuhan dengan kategori Nominal:
Paru Respira
Yogyakarta tahun 1. Patuh
2016. 2. Tidak patuh

Menilai motivasi Variabel Counvonding (Faktor – faktor yang


kesembuhan dengan mempengaruhi motivasi dan kepatuhan) :
kategori Ordinal yaitu : 1. Predisposing factor (Faktor yang mempermudah)
a) Pengetahuan
1. Tinggi b) Sikap
2. Sedang c) Perilaku
3. Rendah
2. Enabling factor (Faktor yang memungkinkan)
a) Obat Anti TB
b) Pelayanan Kesehatan
c) Pengawas Minum Obat (PMO)

3. Reinforcing factor (Faktor penguat)


a) Dukungan keluarga
b) Dokter
c) Perawat

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak Diteliti

Skema 2 : Kerangka Konsep Penelitian


Sumber : Sardirman (2011), Cramer (2007), Widoyono (2008).
D. Hipotesis Penelitian
52

1. Ho : Tidak ada hubungan antara motivasi kesembuhan dengan

kepatuhan minum obat pada pasien TB paru dewasa di Rumah Sakit

Khusus Paru Respira Yogyakarta tahun 2016.

2. Hα : Ada Hubungan antara motivasi kesembuhan dengan kepatuhan

minum obat pada pasien TB paru dewasa di Rumah Sakit Khusus Paru

Respira Yogyakarta tahun 2016.

E. Asumsi Peneliti

Semakin tinggi motivasi kesembuhan pasien TB Paru dewasa di Rumah

Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta tahun 2016, maka semakin patuh

minum obat TB, sebaliknya apabila semakin rendah motivasi kesembuhan

pasien TB Paru dewasa di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta

tahun 2016, maka semakin tidak patuh minum obat TB.

F. Variabel Penelitian

1. Definisi konseptual

a. Variabel Independen

Motivasi kesembuhan menurut Robin (2011) merupakan suatu

kerelaan untuk berupaya semaksimal mungkin dalam pencapaian

tujuan kesembuhan yang dipengaruhi oleh usaha atau kemampuan

individu.

b. Variabel Dependen
53

Kepatuhan minum obat menurut Widoyono (2008) adalah tingkat

pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan

oleh dokternya atau oleh orang lain dan dalam pengobatannya

dilakukan secara teratur dan lengkap tanpa terputus minimal enam

bulan.

2. Definisi Operasional

a. Motivasi kesembuhan adalah dorongan dari dalam diri individu

untuk bebas dari penyakit TB paru yang diderita. Indikator motivasi

ini dilihat dari kebutuhan untuk sembuh (proses mental), keinginan

dalam diri, persepsi penderita, dukungan sosial, fasilitas kesehatan

dan media kesehatan. Motivasi kesembuhan ini diukur pada pasien

TB paru dewasa yang memulai pengobatannya yang ditemukan di

Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta . Untuk jenis

instrumennya menggunakan kuisioner dengan skala Guttman

(Ya/tidak) dengan 12 pernyataan positif dan negatif yang terdiri dari

motivasi internal dan eksternal. Pernyataan positif jika dijawab “ya”

nilai “1” dan jika dijawab “tidak” nilai ‘0”, pernyataan negatif

apabila dijawab tidak nilai “1” dan jika dijawab “ya” nilai “0”

sedangkan cara memilih jawaban yaitu dengan memberi tanda

centang (√) pada kolom yang sudah disediakan. Skor tertinggi dari

seluruh pernyataan adalah 12 dan skor terendahnya 0.

Pengukuran kriteria menggunakan rumus Sturges :


54

Interval = nilai tertinggi - nilai terendah


kategori

Interval = 12 – 0 = 4
3

Kriteria hasilnya yaitu :

Motivasi kesembuhan tinggi : bila skor 8-12

Motivasi kesembuhan sedang : bila skor 4-7

Motivasi kesembuhan rendah : bila skor 0-3

b. Kepatuhan minum obat adalah ketaatan pasien terhadap suatu

program pengobatan yang dijalankan selama sakit secara teratur dan

lengkap tanpa terputus selama masa pengobatan yang ditentukan

oleh tenaga kesehatan. Tingkat kepatuhan pasien diukur dengan

menggunakan metode Modified Morisky Scale (MMS) (Case

Management Society of America, 2006). Indikator kepatuhan ini

terdiri dari dorongan pribadi dan pengetahuan akan pengobatan.

Kepatuhan dalam hal ini adalah pasien dewasa yang menjalani

pengobatan TB Paru di Rumah Sakit Khusus Paru Respira

Yogyakarta. Untuk jenis instrumennya menggunakan kuisioner

dengan skala Guttman (Ya/tidak), dengan 6 pertanyaan, jika dijawab

Ya nilai “1” dan dijawab tidak nilai “0”. Cara memilih jawaban

dengan memberi tanda centang (√) pada kolom yang sudah

disediakan. Skor tertinggi dari seluruh pernyataan adalah 6 dan skor

terendahnya 0. Jika pasien menjawab benar 3-6, maka pasien

tersebut termasuk kategori patuh. Jika 0-2, maka pasien tersebut


55

termasuk kategori tidak patuh (Case Management Society of

America, 2006).

Anda mungkin juga menyukai