Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH IMUNILOGI

IMUNISASI

Nama Anggota Kelompok II (A3.C) :

1. Putu Ayu Nita Pebriyanti (18021077)


2. Ni Kadek Sucahya Oktapiani (18021078)
3. Ni Putu Sasmitha Sekar Putri A.P (18021080)
4. I Putu Arya Yayang Kresna Yuda (18021081)
5. Pande I Ketut Sukadiasa (18021082)
6. Ni Putu Sintya Devi Widyarini (18021083)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas mengenai Imunisasi

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan tantangan dan


hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini,
semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada
kita sekalian.

Denpasar, Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................................i

KATA PENGANTAR ...................................................................................................ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................iii

I. PENDAHULUAN ....................................................................................................1

II. PEMBAHASAN .......................................................................................................4

2.1 Imunisasi Pasif buatan dan alami......................................................................4

2.1 Pembagian Imunisasi Pasif.....................................................................5

2.2 Definisi Vaksin ..................................................................................................13

2.3 Keberhasilan Vaksin dalam Profilaksis Imun ...................................................14

III. PENUTUP ...............................................................................................................17

VI. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan kematian pada bayi


dengan memberikan vaksin. Dengan imunisasi, seseorang menjadi kebal terhadap
penyakit khususnya penyakit infeksi. Dengan demikian, angka kejadian penyakit
infeksi akan menurun, kecacatan serta kematian yang ditimbulkannya akan
berkurang (Cahyono, 2010).
Vaksin yang pertama kali dibuat adalah vaksin cacar (smallpox). Pada
tahun 1778, Edward Jenner, berhasil mengembangkan vaksin cacar dari virus
cacar sapi atau cowpox. Sebelum ditemukan vaksin cacar, penyakit ini sangat
ditakuti masyarakat karena sangat mematikan, bahkan penyakit ini sempat
menyebar ke seluruh dunia dan menelan banyak jiwa (Achmadi, 2006).
Namun saat ini, kejadian penyakit cacar jarang ditemukan karena WHO
telah berhasil memberantasnya melalui program imunisasi. Tidak hanya cacar
(smallpox), angka kejadian penyakit-penyakit infeksi lain juga menurun dengan
ditemukannya vaksin terhadap penyakit-penyakit tersebut (Depkes, 2006).
Strategisnya imunisasi sebagai alat pencegahan, menjadikan imunisasi
sebagai program utama suatu negara. Bahkan merupakan salah satu alat
pencegahan penyakit yang utama di dunia. Di Indonesia, imunisasi merupakan
andalan program kesehatan (Achmadi, 2006). Pada tahun 1974, WHO
mencanangkan Expanded Programme on Immunization (EPI) atau Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu dengan cara
meningkatkan cakupan imunisasi pada anak-anak di seluruh belahan dunia. Hasil
dari program EPI ini cukup memuaskan, dimana terjadi peningkatan angka
cakupan imunisasi dunia dari 5% menjadi 80% (Ali, 2003).
Program imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang
terlaksana di Indonesia dimulai tahun 1956. Melalui program ini, Indonesia
dinyatakan bebas dari penyakit cacar oleh WHO sejak tahun
1974.Pengembangan Program Imunisasi (PPI) pada tahun 1977 sebagai fase
awal menurunkan angka kesakitan serta kematian balita atau Penyakit yang Dapat

1
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Melalui PPI sejak tahun 1980 imunisasi rutin
dilakukan dan dikembangkan sampai sekarang dengan pemberian tujuh jenis
vaksin yaitu BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B (HB), TT dan DT (Depkes,
2005).
Salah satu indikator keberhasilan program imunisasi adalah tercapainya
Universal Child Immunization (UCI). Pencapaian UCI merupakan gambaran
cakupan imunisasi pada bayi (0-11 bulan) secara nasional hingga ke tingkat
pedesaan. WHO dan UNICEF menetapkan indikator cakupan imunisasi adalah
90% di tingkat nasional dan 80% di semua kabupaten. Pada tahun 1990, Indonesia
telah mencapai target UCI, dimana paling sedikit 80% bayi di setiap desa telah
mendapatkan imunisasi dasar lengkap sebelum berumur satu tahun (Depkes,
2005).
Persentase desa/kelurahan UCI di Indonesia, selama 6 tahun terakhir
belum menunjukkan perkembangan yang bermakna. Pencapaian tertinggi terjadi
pada tahun 2005 yaitu sebesar 76,23%. Capaian tahun 2009 hanya sebesar 69,76%
desa/kelurahan UCI di Indonesia, lebih rendah dibandingkan tahun 2008 sebesar
74,02%. Angka tersebut juga masih di bawah target UCI tahun 2009 sebesar 98%
dan standar pelayanan minimal yang menetapkan target 100% desa/kelurahan UCI
pada tahun 2010 untuk setiap kabupaten/kota (Profil Kesehatan Indonesia, 2009).
Indonesia telah menginvestasikan hampir US$100 juta di Indonesia
kampanye dengan tujuan mencapai cakupan 95%. Fase pertama di 2017 adalah
kesuksesan besar dengan berkhir 35 juta anak-anak di vaksinasi di pulau utama
Jawa. Dengan cakupan mendekati 100% kasus campak turun tajam (WHO, 2018).
Menargetkan 32 juta anak di 28 provinsi, fase kedua dari kampanye, yang
diluncurkan pada tahun 2008. Agustus, 2008, telah dirusak oleh tantangan. Baru –
baru ini wabah polio yang diturunkan dari vaksin di Papua Nugini telah
mewajibkan bundling vaksin polio oral dengan MR di sebelah Papua,
memberikan tantangan logistic tambahan di provinsi paling terpencil di Indonesia.
Gempa bumi di Lombok pada Agustus 2018 dan Tsunami di Sulawesi September
2018, berkontribusi pada interupsi local. Dan di minggu – minggu awal kampanye
2018, beberapa kelompok – kelompok muslim penting menarik dukungan
mengarah ke suspense di lusinan kabupaten (Pronyk, 2019).

2
Kampanye, awalnya direncanakan selama 2 bulan telah dua kali
diperpanjang untuk mencapai cakrawala 5 bulan target 95%. Pembukaan kembali
khususnya lambat di pulau konservatif dan berpenduduk padat Sumatera, rumah
bagi dua pertiga dari yang tidak divaksinasi anak – anak, dengan cakupan
serendah 10% di satu provinsi. Saat kampanye berakhir, hampir 10 juta anak –
anak tetap tidak diimunisasi. Ada kekhawatiran tentang potensi kejatuhan untuk
imunisasi rutin, yang akan mengacaukan pengurangan anak Indonesia yang
mengesankan kematian (Pronyk et al, 2019).

BAB II

PEMBAHASAN

3
2.1 Imunisasi Pasif

Imunisasi adalah proses di mana kekebalan diberikan, baik dengan


injeksi antigen (Imunisasi aktif) atau dengan injeksi serum yang mengandung
antibodi spesifik (pasif). Imunisasi telah menyelamatkan jutaan nyawa.Vaksin
modern aman dan efektif. Namun, suka produk obat lain, vaksin tidak bebas
dari reaksi yang merugikan ( Nova Scotia,2008).

Tujuan pemberian imunisasi untuk seseorang, yaitu untuk mencegah


terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, menghilangkan penyakit tertentu
pada sekelompok masyarakat, dan menghilangkan penyakit tertentu dari
dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini hanya
dapat dilakukan pada penyakit yang ditularkan melalui manusia seperti
difteria (Matondang, 2008).

Imunitas pasif adalah transfer antibodi yang diproduksi oleh satu


manusia atau hewan lain ke yang lain. Kekebalan pasif memberikan
perlindungan terhadap beberapa infeksi, tetapi ini perlindungan bersifat
sementara. Antibodi akan menurun selama periode minggu hingga bulan, dan
penerima tidak akan lagi dilindungi (Siegrist CA,2008).

Imunisasi pasif dapat didefinisikan sebagai administrasi antibodi


terhadap reseptor, dengan tujuan memberikan perlindungan segera terhadap
agen mikroba, racun substansi atau sel. Umumnya ditunjukkan ketikaindividu
yang kebal terkena penyakit menular dan imunisasi aktif tidak tersedia
(misalnya, pernapasan virus syncytial - RSV) atau merupakan kontraindikasi
(misalnya,varicella untuk pasien yang mengalami imuno depresi) atau belum
diberikan sebelum pajanan (misalnya, rabies atau tetanus).Imunisasi pasif
terjadi bila seseorang menerima antibodi atau produk sel dari orang lain yang
telah mendapat imunisasi aktif.Transfer sel yang kompoten imun kepada
pejamu yang sebelumnya imun inkompeten,disebut transfer adoptif.Imunisasi
menginduksi respons imun. Pencegahan sebelum terjadi pajanan biasa
dilakukan sebagai imunisasi aktif pada anak. Antiserum kuda telah digunakan
secara luas di waktu yang lalu tetapi penggunaaannya sekarang lebih terbatas
oleh karena bahaya penyakit serum (Karnen & Iris, 2014).

4
Imunitas pasif dapat diperoleh melalui antibody dari ibu atau dari
globulin gama homolog yang dikumpulkan. Beberapa serum mengandung
titer tinggi antibody terhadap patogen spesifik dan digunakan pada terapi atau
dalam usaha pencegahan terhadap berbagai penyakit (Karnen & Iris, 2014)

2.1.1 Pembagian Imunisasi Pasif


Dilihat dari cara timbulnya kekebalan pada imunisasi maka
terdapat dua jenis imunisasi yaitu imunisasi aktif dan imunisaasi pasif.
a. Imunisasi pasif alamiah
imunisasi pasif alami adalah kekebalan yang diperoleh
bukan dari tubuhnya sendiri, melainkan dari tubuh orang lain.
(Plotkin S,2008)
1. Imunitas maternal melalui plasenta
Antibodi dalam darah ibu merupakan proteksi pasif kepada
janin. IgG dapat berfungsi antitoksik,antivirus dan
antibakterial terhadap H. influenza B atau S. agalacti B. Ibu
yang mendapat vaksinasi aktif akan memberikan proteksi
pasif kepada janin dan bayi. (Karnen & Iris, 2014)
2. Imunitas maternal melalui kolstrum
ASI mengandung berbagai komponen sistem imun
.Beberapa di antaranya berupa Enchanment Growth Factor
untuk bakteri yang diperlukan dalam usus atau faktor yang
justru dapat menghambat tumbuhnya kuman tertentu
(lisozim,laktoferin,interferon,sel T,sel B ,granulosit)
.Antibodi ditemukan dalam ASI dan kadarnya lebih tinggi
dalam kolostrum (ASI pertama segera setelah partus).

Daya proteksi antibody kelenjar susu tergantung dari


antingen yang masuk kedalam usus ibu dan gerakan sel yang
dirangsang antingen .Antibodi terhadap mikroorganisme yang
menempati usus ibu dapat ditemukan dalam kolostrum sehingga
selanjutnya bayi memperoleh proteksi terhadap mikroorganisme
yang masuk saluran cerna.Adanya antibodi terhadap
enteropatogen(E.koli,S.tifi murium ,Sigela,virus polio,Coksaki dan

5
Echo) dalam ASI telah dibuktikan .Antibodi terhadap patogen
nonalimentari seperti antitoksin tetanus,difteri dan hemolisin anti-
streptokok telah pula ditemukan dalam kolostrum..Limfosit yang
tuberculin sensitif dapat juga ditransfer kebayi melalui
kolostrum,tetapi peranan nya dalam transfer CMI belum diketahui.
(Karnen& Iris, 2014)

b. Imunisasi pasif buatan


imunisasi pasif buatan adalah kekebalan yang diperoleh
dari antibodi yang sudah jadi dan terlarut dalam serum. (Plotkin
S,2008)
1. Immune Serum Globulin nonspesifik (Human Normal
Immunoglobulin)
Innate Immunity adalah pertahanan tubuh yang mempunyai
sifat tidak spesifik dan merupakan bagian sistem imun yang
berfungsi sebagai barier terdepan pada awal terjadinya infeksi
penyakit, oleh karena itu sering disebutnatural atau native
immunity (Murray et al.1995).
Yang termasuk innate immunity adalah : Makrofage, sel
darah merah dan sel assesories, selain itu juga bahan biokimia
dan fisik barier seperti kulit yang 8 mensekresi lisosim dan
dapat merusak bakteri seperti S.aureus. oleh karena itu sistem
ini spesifik untuk alam. Sehingga jika ada organisme
melakukan penetrasi melalui permukaan epithel akan dianulir
oleh sitem Retikulum Endothelium (RE) yang merupakan
turunan dari sel sumsung tulang yang berfungsi menangkap,
internelisasi dan merusak agen infeksius. Dalam hal ini yang
bertindak memfagositosit adalah sel kuffer. Selain itu juga sel
darah merah termasuk eosinophil, PMN dan monosit dapat
migrasi ke dalam jaringan yang dapat merangsang secara
invasive (Murray et al.1995).
Imunisasi pasif tidak diberikan secara rutin ,hanya
ddiberikan dalam keadaan tertentu hanya penderita yang

6
terpajan dengan bahan yang berbahaya terhadapnya dan
sebagai regimen jangka panjang pada penderita dengan
defisiensi antibodi. Jenis imunitas diperoleh sgera setelah
suntikan,tetapi hanya berlangsung selama masa hidup antibodi
in vivo yang sekitar 3 minggu untuk kebanyakan bentuk
proteksi oleh Ig. Imunisasi pasif dapat berupa tindakan
profilaktik atau teraupetik,tetapi sedikit kurang berhasil sebagai
terapi.Tergantung dari isi dan kemurnian antisera ,preparat
dapat disebut globulin imun atau globulin imun spesifik.
(Karnen & Iris, 2014)
2. Immune Serum Globulin spesifik
Adaptive Immunity adalah merupakan sistem pertahanan
tibuh lapis kedua, jika innate immunity tidak mampu
mengeliminasi agen penyakit. Hal ini terjadi jika fagosit tidak
mengenali agen infeksius sebab hanya sedikit reseptor yang
cocok untuk agen infeksius atau agen tidak bertindak sebagai
faktor antigen terlarut (solube antigen) yang aktif. Jika hal ini
terus menerus, maka akan diperlukan molekul spesifik yang
akan berikatan langsung dengan antigen infeksius yang dikenal
dengan antibodi dan selanjutnya akan terjadi proses fagotosis
Sistem Imun ini disebut Spesifik karena : dilakukan hanya
oleh sel darah putih Limfosit, membentuk kekebalan tubuh,
dipicu oleh antigen (senyawa asing) sehingga terjadi
pembentukan antibodi dan setiap antibodi spesifik untuk
antigen tertentu. Limfosit berperan dalam imunitas yang
diperantarai sel dan antibodi.
Plasma atau serum yang diperoleh dari donor yang dipilih
sesudah imunisasi atau booster atau konvalen dari suatu
penyakit.

a. Hepatitis B Immune Globulin

7
Hepatitis B merupakan penyakit inflamasi dan
nekrosis dari sel-sel hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B. HBIG yang diperoleh dari pool plasma
manusia yang menunjukkan titer tinggi antibody HBsAg.
HBIG juga dapat diberikan pada masa perinatal kepada
anak yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi virus
hepatitis B,para tenaga medis yang tertusuk jarum
terinfeksi atau pada mereka setelah kontak dengan
seseorang hepatitis B yang HBsAg positif .(WHO, 2002)

Virus ini memiliki tiga antigen spesifik, yaitu


antigen surface, envelope, dan core. Hepatitis B surface
antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang
ditemukan pada permukaan VHB, dahulu disebut dengan
Australia (Au) antigen atau hepatitis associated antigen
(HAA). Adanya antigen ini menunjukkan infeksi akut
atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B
core antigen (HbcAg) merupakan antigen spesifik yang
berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB (WHO,
2002). Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin dalam
serum penderita infeksi VHB karena hanya berada di

8
hepatosit. Hepatitis B envelope antigen (HBeAg)
merupakan antigen yang lebih dekat hubungannya
dengan nukleokapsid VHB. Antigen ini bersirkulasi
sebagai protein yang larut di serum. Antigen ini timbul
bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan hilang
bebebrapa minggu sebelum HBsAg hilang. Antigen ini
ditemukan pada infeksi akut dan pada beberapa karier
kronis (Mandal & Wilkins, 2006).

HBsAg tidak hanya diproduksi dari cccDNA, tetapi


juga berasal dari rentetan DNA VHB pada antigen
permukaan open-reading frame (ORF) yang berintegrasi
dengan genome hepatosit. HBsAg diproduksi dalam
jumlah banyak dan bersirkulasi di serum pada individu
yang terinfksi VHB. Secara teori, cccDNA merupakan
indikator terbaik dalam aktivitas transkripsi VHB di
hepatosit. Level HBsAg berhubungan dengan level
cccDNA (Mandal & Wilkins ,2006).

Antigen VHB diekspresikan pada permukaan


hepatosit dan melalui antigen presenting cell (APC) akan
dipresentasikan kepada sel T helper. Sel T helper yang
teraktivasi akan meningkatkan pembentukan sel B yang
distimulasi antigen menjadi sel plasma penghasil
antibodi dan meningkatkan aktivasi sel T sitotoksik. Sel
T sitotoksik bersifat menghancurkan secara langsung
hepatosit yang terinfeksi. Hal ini yang diperkirakan
menjadi penyebab utama kerusakan hepatosit. Sel T
sitotoksik juga dapat menghasilkan interferon-γ dan
tumor necrosis factor alfa (TNF-α) yang memiliki efek
antivirus tanpa menghancurkan sel target (Ganem et al.,
2004).

9
Gambar 5. Respon imun terhadap virus hepatitis B
(Sumber: Ganem et al., 2004)

b. ISG Hepatitis A
Faktor risiko Hepatitis A dapat ditinjau dari 3
penyebab, antara lain; 1) Faktor penyebab (host), 2)
Faktor pejamu (host), 3) Faktor lingkungan
(environment). Faktor penyebab Hepatitis A adalah
virus Hepatitis A. Faktor pejamu dipengaruhi oleh
umur, jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga dan
pekerjaan, penggunaan sumber air minum yang tidak
terlindung, cara mendapatkan makanan dan minuman,
perilaku hidup bersih dan sehat, cuci tangan dengan air
dan sabun dan perilaku penyi mpangan seksual/
homoseksual. Faktor lingkungan dipengaruhi oleh
iklim/ musim/ waktu periksa, sanitasi lingkungan,
kepemilikan kamar mandi dan jamban, pengelolaan air
limbah, adanya tempat sampah, jumlah tempat makan/
pedagang kaki lima/ warung dan kepadatan penduduk
Penanganan hepatitis A ini dapat diberikan ISG
Hepatitis A sebagai proteksi sebelum dan sesudah
pajanan.Juga diberikan untuk mencegah hepatitis A

10
pada mereka yang akan mengunjungi negara dengan
prevalensi hepatitis A tinggi.
Imunitas secara pasif diperoleh dengan memberikan
imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma
donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapat
vaksin. Kekebalan ini tidak akan berlangsung lama
karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Pencegahan ini
dapat digunakan segera pada mereka yang telah terpapar
kontak atau sebelum kontak (pada wisatawan yang ingin
pergi ke daerah endemis).
Pemberian dengan menggunakan HB-Ig (Human
Normal Imunoglobulin), dosis yang dianjurkan adalah
0,02 mL/kg BB, diberikan dalam kurun waktu tidak
lebih dari satu minggu setelah kontak, dan berlaku untuk
2 bulan
c. ISG Campak
ISG dapat diberikan sebelum vaksinasi dengan virus
campak yang dilemahkan kepada anak-anak yang
imunodefisien.
Imunisasi campak akan merangsang respon imun
humoral maupun seluler. Oleh karena kekebalan seluler
sukar diukur dan dinilai maka respon imun pasca
imunisasi biasanya ditentukan dengan mengukur respon
imun humoral. Antibodi yang terbentuk pasca imunisasi
campak adalah sama seperti infeksi alami, mula-mula
IgM dalam serum yang meningkat antara 3-4 minggu,
setelah minggu ke-6, IgM ini sulit dideteksi lagi.
Selanjutnya IgG yang meningkat, setelah 2-4 bulan
menurun sampai 6 bulan kemudian menetap untuk
waktu yang lama (Markowitz, 1994; Redd, 1999). IgG
campak ini akan meningkat lagi bila mengalami kontak
campak berulang atau mengalami natural booster atau

11
dengan kata lain akan terbentuk respon imun sekunder
(Markowitz, 1994; Redd, 1999).
d. Human Rabies Immune Globulin
HRIG yang diperoleh dari serum manusia yang hiper
imun terhdap rabies. HRIG digunakan untuk mengobati
para penderita dengan anjing gila.HRIG dapat diberikan
bersaaman dengan imunisasi aktif oleh karena antibody
dibentuk lambat.Karena tiidak tersedianya serum asal
manusia ,kadang diberikan serum asal kuda.
e. Human Varicella – Zoster Immune Globulin
HVIG dipilih oleh karena mengandung antibodi dengan
titer tinggi terhadap virus varisela – zoster .Produk ini
digunakan sebagai profilaksis pada anak imunodefisien
untuk mencegah terjangkit varisela,tetapi tidak
menguntungkan untuk digunakan pada penderita dengan
varisela aktif atau herpes zoster. Produk ini digunakan
sebagai profilaksis pada anak imunodefisien untuk
mencegah terjangkit varisela,tetapi tidak
menguntungkan untuk digunakan pada penderita dengan
varisela aktif atau herpes zoster.
f. Antisera terhadap virus Sitomegalo
Antisera terhadap virus Sitomegalo di berikan secara
rutin kepada mereka yang mendapat transplan sumsum
tulang untuk mengurangi reaktivasi virus bila diberikan
obat imunosupresif dalam usaha mengurangi
kemungkinan penolakan tandur.
g. Antibodi Rhogam
Antibodi Rhhogam terhadap antingen RhD,diberikan
dalam usaha mencegah imunisasi oleh eritrosit fetal
yang Rh+,.Rho (D) Immune globulin (RhoGAM) adalah
preparat asal manusia,diberikan kepada wanita Resus

12
negative dalam 72 jam sesudah melahirkan,keguguran
atau absorsi dengan bayi /janin Resus postif.
h. Tetanus Immune Globulin
TIG adalah antitoksin yang diberikan sebagai proteksi
pasif setelah menderita luka.Biasanya diberikan IM
dengan Toksoid tetapi pada lengan yang
seblaiknya.oksoid tetapi pada lengan yang seblaiknya.
i. Vaccinia Immune Globulin
VIG yang diberikan kepada penderita dengan eksim
atau imunokompromais yang terpajan dengan vaksinia
dan pada anggota tentara.
(Karnen & Iris, 2014)

2.2 Definisi Vaksin


Pengertian vaksin yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 42 Tahun 2013, vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang
sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang
telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid,
protein rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan
kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu (Menteri
Kesehatan.2013).
Vaksin yang digunakan pada program imunisasi di Indonesia saat ini
berjumlah delapan jenis, yaitu vaksin BCG, vaksin DPT, vaksin TT, vaksin
Polio (Oral PolioVaccine), vaksin Campak, vaksin Hepatitis B, dan vaksin
DPT-HB (Menteri Kesehatan.2013).

13
Gambar 1 : Contoh vaksin
Terdapat dua jenis vaksin yaitu vaksin bakteri dan vaksin virus. Vaksin
bakteri atau respons imun antibacterial meliputi lisis melalui antibody dan
komplemen, opsonisasi, fagositosis yang diaktifkan dengan eliminasi bakteri
di hati,limpa dan sel-sel dari system fagosit makrofag. Yang berperan pada
opsonin dan fagositosis bakteri negative-Gram adalah IgG dan IgM saja atau
komplemen C3b. Vaksin virus atau respons antivirus adalah kompleks, pleh
karena ada beberapa factor yang berperan seperti tempat virus masuk
tubuh,tempat virus melekat pada sel, induksi interferon, respons antibody dan
CMI. Virus influenza yang menginfeksi epitel pernapasan dan berkembang
intraseluler dapat menyebar ke sel epitel berdekatan. Respon imun yang bai
harus mencakup efek antibody pada permukaan epitel (Karnen & Iris, 2014).

2.3 Keberhasilan vaksinasi dalam Profilaksis Imun

Vaksinasi bertujuan untuk memberikan imunitas yang efektif dengan


menciptakan ambang mekanisme efektor imun yang adekuat dan sesuai,
beserta populasi sel memory yang dapat berkembang cepat pada kontak baru
dengan antigen dan memberikan proteksi terhadap infeksi. Kadang-kadang
seperti pada polio diperlukan titer antibodi yang tinggi dalam darah dan pada
infeksi mikrobakteria seperti tuberkolosis imunitas selular yang mengaktifkan
makrofag adalah yang paling efektif, sedang pada infeksi virus influenza
antibodi dan Tc memegang peranan penting (Karnen & Iris, 2014).

Lokasi respon imun juga sangat penting misalnya kolera, yang


memerlukan antibodi dalam lumen untuk mencegah adherens dan kolonisasi
di dinding saluran cerna. Sejumlah kondisi harus dipenuhi untuk memperoleh

14
vaksin yang berhasil. Antigen harus dengan cepat dapat dibaca, preparat
harus stabil dalam penyimpanan, harga murah, mudah pemberian dan
tentunya aman (Karnen & Iris, 2014).

Adapun beberapa factor yang mempengaruhi keberhasilan imunisasi :

1. Status imun pejamu


Terjadinya antibodi spesifik pejamu terhadap vaksin yang
diberikan akan mempengaruhi keberhasilan imunisasi. Pada bayi
semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus
campak. Apabila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar
antibodi spesifik campak masih tinggi, maka akan memberikan
efek yang kurang memuaskan (Hidayat, 2005).
2. Faktor genetik pejamu
Interaksi sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
secara genetik, respon imun manusia terbagi menjadi respon baik,
cukup dan rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap
antigen lain dapat sangat tinggi respon imunnya. Oleh karena itu
sering ditemukan keberhasilan vaksinasi tidak sampai 100%
(Hidayat, 2005).
3. Kualitas dan kuantitas vaksin
Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respon imun misalnya
vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal dan sistemik,
sedangkan vaksin polio paranteral hanya memberikan imunitas
sistemik saja. Dosis vaksin yang tidak tepat juga mempengaruhi
respon imun. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respon imun
yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu rendah tidak dapat
merangsang sel-sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat
diketahui dari hasil uji klinis,karena itu dosis vaksin harus sesuai
dengan dosis yang direkomendasikan. Frekuensi dan jarak
pemberian juga mempengaruhi respon imun. Bila pemberian
vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik
masih tinggi, maka antigen yang masuk akan segera dinetralkan,
sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan

15
dapat terjadi reaksi arthus. Pemberian vaksin ulang (booster)
sebaiknya mengikuti anjuran sesuai hasil uji klinis (Hidayat,
2005).

16
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Imunitas pasif dapat dibedakan menjadi dua yaitu imunisasi pasif
alami dan buatan. Imunisasi pasif alami adalah kekebalan yang diperoleh
bukan dari tubuhnya sendiri sedangkan imunisasi pasif buatan adalah
kekebalan yang diperoleh dari antibodi yang sudah jadi dan terlarut dalam
serum.
Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati,
masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah
diolah yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan
spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi.
Vaksinasi bertujuan untuk memberikan imunitas yang efektif.
Sejumlah kondisi harus dipenuhi untuk memperoleh vaksin yang berhasil.
Antigen harus dengan cepat dapat dibaca, preparat harus stabil dalam
penyimpanan, harga murah, mudah pemberian dan tentunya aman.

17
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. 2006. Imunisasi Mengapa Perlu ?. Jakarta: Buku Kompas


Adapted from Nova Scotia Immunization Manual, by the Government of Nova
Scotia, 2008. Adapted with permission.
Ali M. 2003. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Bekerja dan Ibu Tidak
Bekerja Tentang Imunisasi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Medan:
Universitas Sumatra Utara
Cahyono, S. B. 2010. Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta: Kanisius
Depkes RI. 2005. Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas. Jakarta: Depkes
RI
Depkes RI. 2006. Modul Pelatihan Tenaga Pelaksana Imunisasi Puskesmas.
Jakarta: Depkes RI
Ganem D, Prince AM. 2004. Hepatitis B Virus Infection: Natural History and
Clinical Consequences. The New England Journal of Medicine.
350(11):1118-29.
Hidayat, A.A. Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta:
Salemba Medika
Karnen Garna .B & Iris Rengganis.2014.”Imunologi Dasar Edisi ke-11(cetakan
ke-2)”.Jakarta : Badan Penerbit FKUI
Kementrian Kesehatan Indonesia. 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Mandal B.K., Wilkins, Dunbar dan Mayon. 2006. Penyakit Infeksi. Jakarta:
Erlangga.
Matondang C S. 2008. Aspek Imunologi Imunisasi, in : Buku Ajar Alergi-
Imunologi Anak. Jakarta: IDAI.
Plotkin S. Correlates of vaccine-induced immunity. Clin Infect Dis 2008; 47:401–
9.
Pronyk P., Sugihantono A., Sitohang V., Moran T., Kadanale S., Muller Sam,
Whetman C., dan Robert Kezala. 2019. Vaccine Hesitancy in Indonesia.
Johannesburg : University of the Witwatersrand.
Siegrist C-A. Vaccine immunology. In Plotkin SA, Orenstein WA, Offit PA.
Vaccines, 5th ed. China: Saunders, 2008:17–36
World Health Organization. 2002. Hepatitis B. Department of Communicable
Diseases Surveillance and Response.

18
WHO, 2018. Distribution of Measles Case by Country and by Month.

19

Anda mungkin juga menyukai