PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
DALAM RUU CIPTA KERJA
i
ii
A. PENGANTAR
1
B. PERIZINAN BERBASIS RISIKO BERPOTENSI
MELEMAHKAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN
HIDUP
2
Sayangnya, pengelompokan risiko dalam RUU Cipta Kerja juga menimbulkan risiko
lainnya, yaitu:
(1) Faktor penilaian risiko terbatas pada aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan,
dan/atau pemanfaatan sumber daya.
Pasal 8 ayat (4) memang masih membuka ruang bagi aspek lainnya sesuai dengan
sifat kegiatan usaha. Dalam penjelasannya, Pasal 8 ayat (4) tidak menjelaskan kriteria
aspek lainnya tersebut dan hanya menyebutkan “aspek keamanan atau pertahanan
sesuai dengan kegiatan usaha”. Kriteria penentuan aspek lainnya diprediksi juga akan
sangat birokratis karena menunggu Peraturan Pemerintah.
Selain itu, penilaian risiko erat kaitannya dengan persepsi yang mungkin berbeda dari
satu orang dan orang lain. Seharusnya, faktor risiko tidak dinilai sesempit ini, lebih
fleksibel dan memiliki kriteria yang jelas.
Sebagai contoh, penggolongan risiko yang digunakan di Inggris membuka sangat
luas faktor-faktor yang menjadi dasar penilaian. Beberapa diantaranya meliputi risiko
hukum, risiko informasi, risiko teknologi, risiko keamanan, risiko operasional, dan
lainnya. 4
(2) Tidak jelas sejauh apa indikator yang diperhitungkan dalam masing-masing faktor
penilaian risiko.
Sebagai contoh, tidak tergambar juga sejauh apa faktor lingkungan tersebut
dipertimbangkan dalam penentuan risiko. Selain itu, dalam penentuan risiko
lingkungan hidup juga seharusnya didasari atas inventarisasi lingkungan hidup yang
memadai, data terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan yang
komprehensif, serta standar-standar yang sangat ketat. Sayangnya, justru
ketersediaan data dan standar yang ketat ini yang menjadi pekerjaan rumah
pemerintah, sehingga dikhawatirkan risiko lingkungan hidup tidak dipertimbangkan
secara komprehensif dan matang.
(3) Rumus perhitungan tingkat risiko berpotensi mengabaikan usaha atau kegiatan yang
berdampak terhadap perubahan lingkungan.
Mengacu kepada Naskah Akademik RUU CK, manfaat dari penggunaan perizinan
berusaha berbasis risiko terhadap pelaku usaha adalah adanya kemudahan dalam
perizinan, yaitu: mengurangi izin usaha, memangkas perizinan dan memangkas biaya
perizinan serta hal terkait lainnya seperti pengawasan. 5 Tentunya hal ini
mengkhawatirkan karena kemungkinan besar bertujuan mengeluarkan beberapa
jenis usaha dan kegiatan dari daftar wajib AMDAL. Konsekuensinya beberapa usaha
berpotensi masuk ke dalam kategori risiko menengah atau bahkan rendah.
4 HM Government, “The Orange Book: Management of Risk – Principles and Concepts”, Annex-IV
5 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 87.
3
Padahal jika mengacu kepada rumus perhitungan tingkat risiko, komponen dampak
telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau
Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Permen
LHK 38/2019).6 Komponen dampak tersebut antara lain: luas wilayah penyebaran
dampak, intensitas dan lamanya dampak, sifat kumulatif dampak, dan sebagainya.
Hal yang tidak ada atau tidak spesifik dalam Permen LHK 38/2019 adalah
aspek probabilitas. Penting untuk dipastikan bahwa aspek probabilitas tidak
memberikan ruang bagi usaha yang berbahaya, berdampak penting, memberikan
ancaman serius, dsb, tidak termasuk ke dalam kategori risiko tinggi. Karenanya
mekanisme untuk langsung menentukan usaha sebagai risiko tinggi tanpa melalui
perhitungan seperti yang dilakukan oleh Permen LHK 38/2019 harus dilakukan. 7
Sayangnya mekanisme tersebut tidak diatur dalam RUU CK dan dimuat dalam NA.
4
C. BERKURANGNYA MAKNA PERIZINAN LINGKUNGAN
1. Izin lingkungan
Dalam UU 32/2009 izin lingkungan memiliki fungsi strategis yaitu: (i) bungkus
“yuridis” AMDAL, (ii) sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan, (iii) sebagai “pintu masuk” untuk pengawasan dan penegakan hukum dan
(iv) untuk mengintegrasikan izin-izin di bidang lingkungan hidup seperti: izin
pembuangan air limbah, izin pengelolaan limbah B3, dan sebagainya.8 Karena fungsi
strategisnya tersebut menjadi wajar izin lingkungan merupakan syarat untuk
mendapatkan izin usaha.
Dari keempat fungsi strategis tersebut, hilangnya fungsi (i), (ii) dan (iii) merupakan
kerugian bagi lingkungan hidup. Sedangkan hilangnya fungsi (iv) merupakan justru
utamanya merugikan pemerintah dan pelaku usaha, karena menghilangkan kesempatan
untuk mengintegrasikan dan menyederhanakan perizinan. Padahal dalam Pasal 63
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP 24/2018) pengintegrasian izin-
izin ke dalam izin lingkungan sudah diatur mekanismenya. Karena izin lingkungan
dihapus, maka izin yang seharusnya diintegrasikan menjadi tetap tersebar.
8 Raynaldo Sembiring, et.al, Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, 2014), hlm. 138-139.
5
2. AMDAL
Berbeda dengan izin lingkungan, ketentuan mengenai AMDAL mengalami
beberapa perubahan yang mengurangi makna AMDAL tersebut. Pertama, berubahnya
kriteria usaha berdampak penting. Mengacu kepada Naskah Akademik RUU CK,
berubahnya kriteria usaha berdampak penting karena hal-hal detail akan diatur dalam
peraturan pelaksana dan agar adanya fleksibilitas bagi pemerintah pusat untuk
mengikuti dinamika masyarakat dan perkembangan global. 9 Alasan pengaturan dalam
peraturan pelaksana justru menimbulkan kerumitan baru karena harus membongkar
peraturan lama dan berpotensi kontraproduktif dengan tujuan penyusunan RUU CK yang
ingin melakukan penyederhanaan perizinan.
Kedua, dihapusnya Komisi Penilai AMDAL (KPA) dan dimungkinkannya hanya
pihak swasta saja menggantikan peran KPA. Penghapusan KPA pada pokoknya
menghilangkan kesempatan masyarakat dari semua kategori untuk dapat berpartisipasi
dan turut dalam mengambil keputusan. Dalam RUU CK, uji kelayakan AMDAL dapat
diserahkan kepada lembaga dan/atau ahli bersertifikat.10 Permasalahannya adalah
keputusan atau kebijakan yang berdampak lingkungan diserahkan hanya kepada pihak
swasta saja, tanpa ada peran pemerintah dan masyarakat (secara formal). Hal ini karena
dihapusnya KPA yang secara normatif jauh lebih partisipatif.
9 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 342 (Matriks Analisis Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
lampiran 1b hlm. 6)
10 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 4 terhadap perubahan pasal 24 ayat (3) UU No. 32
Tahun 2009, hlm. 82
6
D. MENYEMPITNYA RUANG PARTISIPASI PUBLIK
DAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP
INFORMASI LINGKUNGAN
Dalam RUU CK, penyempitan peran masyarakat dalam perumusan AMDAL juga
terjadi. Berdasarkan RUU CK masyarakat yang perlu menjadi objek konsultasi publik
hanyalah masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan.11 Berikut adalah perubahan redaksional pasal tersebut:
11 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 6 terhadap perubahan pasal 26 UU No. 32 Tahun 2009,
hlm. 83.
7
Menilik pada sejarah historis UU No. 32 Tahun 2009, pelibatan ketiga unsur
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyusunan AMDAL. Dalam Naskah
Akademik UU 32/2009 dinyatakan bahwa masyarakat terdampak belum tentu
mengetahui informasi terkait dengan rencana pembangunan, maupun memiliki
pengetahuan tentang dampak pembangunan tersebut terhadap mereka. 12 Oleh karena
itu, pelibatan kedua unsur lainnya tersebut akan menjadi jawaban adanya gap
pengetahuan tersebut. Sayangnya, justru kedua unsur ini perannya dihapus dalam RUU
CK.
Selain itu, RUU CK juga semakin mempersempit akses masyarakat terhadap
informasi. Hal ini terlihat dari dibatasinya cara untuk mengakses keputusan kelayakan
lingkungan hidup serta mempersempit ruang untuk mendapatkan informasi terkait
keputusan tersebut.13 Berikut adalah perbandingan perubahan redaksional pasal
tersebut:
Dalam perubahan pasal tersebut terlihat bahwa RUU Cipta Kerja mempersempit
ruang masyarakat untuk dapat mengakses informasi keputusan kelayakan lingkungan
hidup. Sebelumnya masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi keputusan
tersebut mulai dari tahap adanya permohonan, namun dalam RUU Cipta Kerja akses
informasi tersebut baru dapat diakses setelah keputusan tersebut terbit. Selain itu, RUU
Cipta Kerja juga mempersempit cara untuk memberikan pengumuman terkait keputusan
tersebut dengan hanya memberikan pengumuman melalui sistem elektronik dan/atau
cara lain yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Secara historis, pengumuman dalam Pasal 39 ini merupakan pengejawantahan
dari keterbukaan informasi. Adanya pengumuman tersebut seharusnya digunakan untuk
membuka peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, khususnya
bagi mereka yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar
pendapat, dan lain-lain.14 Dengan ditutupnya kewajiban melakukan pengumuman sejak
adanya permohonan, maka hal ini juga akan menutup pintu partisipasi publik dalam
proses pengambilan keputusan. Ditambah lagi, cara untuk dapat mengakses
pengumuman yang kini dibatasi, mengingat tidak semua lapisan masyarakat di
Indonesia dapat mengakses internet. Hal ini akan semakin mempersempit ruang
masyarakat untuk mendapatkan akses informasi yang layak.
12 Risalah RUU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sabtu 18 Juli 2009, hlm. 82
13 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ps. 23 poin 18 terhadap perubahan pasal 39 UU No. 32 Tahun 2009,
hlm. 85.
14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, penjelasan ps. 39 ayat (1)
8
E. PENGAWASAN KEPATUHAN YANG DIPREDIKSI
AKAN SEMAKIN MELEMAH
Setidaknya ada 3 hal penting dari konsep pengawasan yang diatur dalam UU
32/2009: (i) adanya pembagian kewenangan dari pemerintah pusat sampai pemerintah
kabupaten/kota, (ii) adanya pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) sebagai pejabat
fungsional yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemantauan sampai dengan
menghentikan pelanggaran tertentu, dan (iii) adanya kewenangan Menteri LHK untuk
melakukan pengawasan lapis kedua (oversight).
Sayangnya ketiga hal ini diubah dan dihapus. Kewenangan pengawasan saat ini
menjadi terpusat di Pemerintah Pusat. Sedangkan kewenangan PPLH dan oversight
sudah dihapuskan. Kondisi ini akan membuat pengawasan terhadap kepatuhan akan
semakin melemah khususnya karena “beban” yang besar yang harus ditanggung
pemerintah pusat. Selain itu ketiadaan PPLH membuat hilangnya spesialisasi dalam
pengawasan dan kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan segera. Pun
dengan oversight, karena sudah umum diketahui pengawasan di daerah sering tidak
efektif sehingga oversight harus dilakukan.
Penghapusan kewenangan pemerintah daerah dan oversight berimplikasi
terhadap data sejarah kepatuhan yang menjadi faktor penting dalam menilai probabilitas
kerusakan.15 Bagaimanapun juga lokasi usaha beroperasi mayoritas berada dalam
wilayah administrasi pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi. Sehingga
pemerintah daerah lah yang paling dekat dan lebih mungkin untuk mengetahui data
kepatuhan pelaku usaha. Dalam RUU CK, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan
yang diatribusikan dalam undang-undang. Selain itu, kewenangan oversight juga
dihapuskan. Sehingga pengumpulan data kepatuhan tentu menjadi terhambat. Yang
lebih penting lagi pasti memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan hidup.
9
F. TIDAK JELASNYA KONSEP
PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK
10
Salah satunya ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat
PT. Bumi Mekar Hijau (2015-2016), bahkan dalam memori banding yang diperiksa
oleh Pengadilan Tinggi Palembang, Kementerian LHK melalui kuasa hukumnya
mendalilkan Pasal 49 UU 41/1999 tersebut sebagai strict liability.16 Sayangnya,
justru ketentuan ini dalam RUU CK dihapus dan diganti hanya untuk “wajib
mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan”.
Di samping itu, rumusan Strict liability di dalam UU 322/2009 itu juga berubah.
Sekalipun ketentuan pertanggung jawaban mutlak tidak dihapus, namun
redaksional pasal diubah menjadi sebagai berikut:
16 Lih. Memori Banding KLHK dalam Putusan No. 51/PDT/2016/PT.PLG, hlm. 90-91
17 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 383-384 (Matriks Analisis Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
lampiran 1b, hlm. 47-48)
11
2. Penghapusan Pengecualian Larangan Membakar Bagi Peladang Tradisional
Merupakan Pengabaian Terhadap Kearifan Lokal dan Potensial Memindahkan
Beban Pertanggungjawaban
Catatan:
Pasal 69 ayat (1) huruf h:
Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan
cara membakar
18 Rapat Panitia Kerja dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu 26 Agustus 2009. Lihat: Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, "Risalah RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup: RPDU tanggal 13 Juli
2009", (Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2009), hlm. 49-55.
12
Dalam praktiknya, Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h UU 32/2009 terkait
larangan membakar ini kerap dijadikan landasan hukum untuk memidanakan para
peladang. Sebagai contoh dua kasus peladang di Kalimantan Tengah yang diproses
tahun 2019 lalu. Menurut Jaksa Penuntut Umum, kedua peladang ini terbukti
melakukan pembersihan lahan, mengumpulkan potongan kayu, dan dedaunan
kering untuk kemudian dibakar. Kedua peladang tersebut didakwa karena
menyebabkan Kawasan hutan terbakar seluas satu hektare. Padahal, praktik
membuka lahan untuk berladang dengan cara membakar ini merupakan praktik
turun menurun dan mereka hanya membakar sebatas untuk kepentingan ketahanan
pangan lokal, dan bukan untuk merusak lingkungan hidup. 19 Dikhawatirkan
pemidanaan ini akan terus berlanjut apabila ketentuan terkait pengecualian
terhadap kearifan lokal dalam Pasal 69 ayat (2) nantinya dihapus dalam RUU CK.
Lebih lanjut, penghapusan pengecualian larangan membakar berpotensi
memindahkan beban pertanggungjawaban dari pelaku usaha ke masyarakat. Hal ini
sangat dimungkinkan karena umumnya pembelaan pelaku usaha sebagai tergugat
bahwa kebakaran terjadi karena bencana alam atau kontribusi dari pihak ketiga.
Kontribusi dari pihak ketiga ini yang memungkinkan para peladang tradisional atau
masyarakat yang melakukan pembakaran dengan kearifan lokal dipidana.
13
G. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas beberapa kesimpulan yang dapat ditarik
adalah:
14
6. Penghapusan ketentuan pengecualian larangan membakar
untuk menjalankan kearifan lokal berpotensi hanya akan
mengakibatkan banyak masyarakat dan peladang tradisional
yang dipidana. Bahkan, sangat dimungkinkan adanya
perpindahan beban pertanggungjawaban.
Keenam kesimpulan ini menunjukkan bahwa pengaturan
perizinan berbasis risiko dalam RUU CK hanya akan mempersulit
implementasi RUU CK. Lebih dari itu, perubahan dan
penghapusan norma akan memberikan dampak negatif bagi
masyarakat dan lingkungan hidup. Terakhir, kesalahan konsep
khususnya terkait strict liability tidak hanya membahayakan
masyarakat dan lingkungan, melainkan juga terhadap ilmu
pengetahuan.
15
16
17
18