Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

KASUS KORUPSI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktikum Mata Kuliah Pendidikan dan Budaya Anti
Korupsi
Program Studi Diploma III Kesehatan bidang Analis Kesehatan
Dosen Pengampu : Enik Sulistyowati, SP., M.Si

Disusun Oleh :

Kelompok 5
Anis Isnaini S. P1337434119015
Moniffa Dwi N. A. P1337434119024
Nida Sabilla P1337434119049

Semester 3

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

2020
TUGAS PRAKTIKUM PBAK

Kasus Korupsi e-KTP


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_korupsi_e-KTP
A. Kronologi kejadian :
Kasus korupsi e-ktp adalah kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan KTP
elektronik untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Mulanya proyek ini
berjalan lancar dengan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri
dalam negeri. Namun kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang
tender proyek e-KTP membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan
Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak itu
KPK melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang
di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai
saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani, Chairuman Harahap
bahkan hingga Diah Anggraini.
Pada pelaksanaannya, proyek e-KTP dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari
beberapa perusahaan atau pihak terkait. Untuk memutuskan konsorsium mana yang
berhak melakukan proyek, maka pemerintah kemudian melaksanakan lelang tender pada
21 Februari hingga 15 Mei 2011. Di sela-sela proses lelang, Lembaga Sosial Masyarakat
(LSM) bernama Government Watch (Gowa) menilai bahwa terjadi kejanggalan pada
proses lelang. Mereka beranggapan bahwa perusahaan yang mengikuti tender tidak
sesuai dengan persyaratan seperti yang terangkum dalam PP 54/2010. Setelah melalui
serangkaian proses, Pada 21 Juni 2011 pemerintah mengumumkan konsorsium yang
menjadi pemenang lelang. Mereka adalah konsorsium PNRI yang terdiri dari beberapa
perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo
dan PT Sandipala Artha Putra. Hasil itu diambil berdasarkan surat keputusan Mendagri
Nomor: 471.13-476 tahun 2011. Sebagai tindak lanjut, konsorsium PNRI kemudian
melakukan penandatanganan kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP tahun anggaran
2011-2012 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 5.841.896.144.993. Kontrak tersebut
disepakati pada 1 Juli 2011.
Awalnya proses perekaman e-KTP akan dilaksanakan pada 1 Agustus 2011. Namun
karena terlambatnya pengiriman perangkat peralatan e-KTP, jadwal perekaman berubah
menjadi 18 Agustus 2011 untuk 197 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Belum sampai
perekaman dilakukan di berbagai kabupaten dan kota, pihak kepolisian mengabarkan
bahwa mereka mencurigai terjadinya korupsi pada proyek e-KTP. Kecurigaan itu
berangkat dari laporan konsorsium yang kalah tender yang menyatakan bahwa terjadinya
ketidak sesuaian prosedur yang dilakukan oleh panitia saat lelang tender berlangsung.
Kecurigaan bahwa adanya praktek korupsi pada proyek e-KTP juga dirasakan oleh
Government Watch (GOWA) yang berbuntut pada laporan kepada KPK pada 23 Agustus
2011. Mereka berspekulasi bahwa telah terjadi upaya pemenangan terhadap satu
konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender berdasarkan investigasi yang telah
dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2011. Dari hasil investigasi tersebut mereka
mendapatkan petunjuk berupa dugaan terjadinya kolusi pada proses lelang oleh
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan menemukan fakta bahwa
telah terjadi 11 penyimpangan, pelanggaran dan kejanggalan kasatmata dalam pengadaan
lelang.
Pada awal September 2011 KPK menuding bahwa Kemendagri tidak menjalankan 6
rekomendasi dalam pelaksanaan proyek e-KTP. Keenam rekomendasi tersebut adalah: 1)
penyempurnaan desain.; 2) menyempurnakan aplikasi SIAK dan mendorong penggunaan
SIAK di seluruh wilayah Indonesia dengan melakukan percepatan migrasi non SIAK ke
SIAK; 3) memastikan tersedianya jaringan pendukung komunikasi data online/semi
online antara Kabupaten/kota dengan MDC di pusat agar proses konsolidasi dapat
dilakukan secara efisien; 4) Pembersihan data kependudukan dan penggunaan biometrik
sebagai media verifikasi untuk menghasilkan NIK yang tunggal; 5) Pelaksanakan e-KTP
setelah basis database kependudukan bersih/NIK tunggal, tetapi sekarang belum tunggal
sudah melaksanakan e-KTP; dan 6) Pengadaan e-KTP harus dilakukan secara elektronik
dan sebaiknya dikawal ketat oleh LKPP.
Tak lama setelah itu Konsorsium Lintas Peruri Solusi melaporkan Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia lelang dalam proses pengadaan e-KTP, Sugiharto
dan Drajat Wisnu Setiawan ke Polda Metro Jaya dengan barang bukti berupa surat
kontrak pada 1 Juli 2011, surat jaminan penerimaan uang Rp 50 juta dan tiga orang saksi.
Konsorsium Lintas Peruri Solusi menduga bahwa telah terjadinya penyalahgunaan
wewenang sehingga dana untuk e-KTP membesar hingga Rp 4 triliun lebih dalam proses
tender. Seiring berjalannya waktu, indikasi korupsi pada proyek e-KTP semakin terbuka
lebar. Pada 2012 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menemukan indikasi
korupsi pada proyek e-KTP lebih awal ketimbang KPK berdasarkan temuan investigator.
Indikasi tersebut tertuang pada keputusan KPPU berupa hukuman pada Konsorsium
Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan PT Astragraphia untuk membayar
denda Rp 24 miliar ke negara karena melanggar pasal 22 UU No. 4/1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada November 2012.
Indikasi korupsi juga dipaparkan oleh Muhammad Nazaruddin pada 31 Juli 2013.
Saat diperiksa oleh KPK terkait kasus Hambalang, ia menyerahkan bukti-bukti terkait
korupsi e-KTP. Lewat pengacaranya, Elza Syarief, ia juga menuding telah terjadi
penggelembungan dana pada proyek e-KTP. Dari total proyek sebesar RP 5,9 triliun,
45% di antaranya merupakan mark-up. Ia juga mengatakan bahwa Ketua Fraksi Partai
Golkar Setya Novanto dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum
terlibat dalam kasus ini.
Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya
menetapkan Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka
pertama dalam kasus korupsi e-KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan
wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-
2013, melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga
diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta.
KPK terus mencari bukti dan melakukan sidang-sidang untuk menguak siapa saja
yang terlibat dalam kasus korupsi ini. Per 30 September 2016, KPK menetapkan mantan
Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan
korupsi serupa dengan Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain
dengan melakukan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman
diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp 2,9 miliar dan 6.000 dollar Singapura.
Pada Rabu, 23 Maret 2017 ditetapkan tersangka baru Andi Narogong Ia adalah orang
ketiga yang ditetapkan sebagai tersangka pada kasus korupsi e-KTP setelah Irman dan
Sugiharto. Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi berperan dalam meloloskan anggaran
Rp 5,9 triliun untuk pembuatan KTP elektronik dan agar rencananya lancar, ia juga
membagikan uang kepada para petinggi dan anggota komisi II DPR serta Badan
Anggaran. Andi juga berperan dalam mengatur tender dengan membentuk tim
Fatmawati, sesuai dengan lokasi rukonya serta terlibat dalam merekayasa proses lelang,
mulai dari menentukan spesifikasi teknis hingga melakukan mark up dalam pengadaan
KTP elektronik.
Setelah penangkapan Andi, Sidang-sidang banyak dilakukan dan menyebutkan nama
Setya Novanto sebagai tersangka. Pada Senin, 17 Juli 2017 KPK pertama kali
menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di
DPR sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP untuk 2011-2012. Penetapannya
menjadikan ia sebagai tersangka keempat yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka
setelah Irman, Sugiharto dan Andi Narogong. Setya Novanto diduga melakukan
penyalahgunaan wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi dengan ikut mengambil andil dalam pengaturan anggaran proyek e-KTP
sebesar Rp 5,9 triliun sehingga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor. Tindakan Setya Novanto
disangkakan berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Namun hal tersebut dibatalkan oleh Hakim Cepi Iskandar.
Sampai akhirnya, per 19 Juli 2017, KPK telah menetapkan anggota DPR periode
2009-2014 sekaligus politisi Partai Golkar, Markus Nari sebagai salah satu tersangka
berdasarkan Pasal 3 atau 2 ayat 1 UU Nomor 31 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam
penambahan anggaran e-KTP di DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5 miliar
kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-KTP sebesar Rp 1,4 triliun.
Di samping itu ia juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 miliar, berupaya
menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam menguak kasus e-KTP dan
diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan
yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Pada 27 September 2017 KPK menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur utama
PT Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP.
Penetapan tersebut dilakukan berdasarkan dua bukti yang ditemukan oleh penyidik KPK
beserta fakta-fakta yang dibeberkan oleh Irman, Sugiharto dan Andi Narogong dalam
persidangan. Anang terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah uang kepada Setya
Novanto dan anggota DPR lainnya dari Andi Narogong. Hal itu membuatnya melanggar
Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang tentang pemberantasan Tipikor Nomor
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1)
ke-1 KUHP.
Pada 10 November 2017 akhirnya KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka
untuk kedua kalinya setelah sempat dibatalkan oleh Hakim Cepi. Melalui bukti-bukti
yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta bahwa negara harus
menanggung keruigan sebesar Rp 2,314 triliun.
B. Jenis Korupsi
Jenis korupsi dipandang dari segi tipologi, kasus e-KTP merupakan jenis korupsi
transaktif dan investif.
- Dijelaskan bahwa kasus korupsi e-KTP melibatkan suap menyuap antar pejabat
negara. Hal ini diawali dengan upaya suap untuk pemenangan terhadap satu
konsorsium perusahaan dalam proses lelang tender untuk memegang proses
berlangsungnya e-KTP. Dengan adanya penerimaan suap ini, jenis kasus korupsi e-
KTP adalah Korupsi transaktif (transactive corruption). Menunjukkan adanya
kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima, demi keuntungan
kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh
kedua-duanya.
- Selain menerima suap, pelaku korupsi e-KTP juga diperkaya dengan banyak
gratifikasi. Dari grativikasi yang diterima, kasus korupsi e-KTP termasuk jenis
korupsi Investif. Korupsi investif (investive corruption) adalah pemberian barang atau
jasa tanpa ada pertalian langsung dari keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.

Selain itu, dianggap sebagai Against The Rule Corruption, artinya korupsi yang
dilakukan sepenuhnya bertentangan dengan hukum, misalnya penyuapan,
penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Dan korupsi ini termasuk jenis korupsi dibidang materil dimana korupsi yang
menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi dibidang
ekonomi dan menyangkut bidang kepentingan umum. Korupsi e-KTP ini termasuk
tindakan yang sepenuhnya melanggar hukum dan berhubungan dengan materi atau
keuangan.

C. Orang-orang yang terlibat pada kasus korupsi e-KTP


- Made Oka diduga menjadi perantara jatah proyek e-KTP sebesar 5 persen bagi Setya
Novanto melalui kedua perusahaan miliknya.
- Irvanto Hendra Pambudi merupakan keponakan Setya Novanto.
- Sugiharto merupakan Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi
Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri
itu merupakan tersangka awal kasus e-KTP.
- Irman merupakan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementerian Dalam Negeri.
- Andi Agustinus atau yang dikenal sebagai Andi Narogong merupakan pengusaha
pelaksana proyek e-KTP.
- Setya Novanto mantan Ketua DPR itu didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku
anggota DPR dalam proyek pengadaan KTP elektronik.
- Markus Nari ialah anggota DPR.
- Anang Sugiana Sudiharjo, Direktur Utama PT Quadra Solution.
D. Pandangan Agama terhadap Kasus Korupsi
Korupsi ialah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum
(negara,rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus diatas praktik
korupsi dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintah. Dalam
istilah politik Bahasa arab, korupsi sering disebut “al-fasad atau riswah”. Tetapi yang
lebih spesifik adalah “ikhtilas atau “nahb al-amwal al-ammah”.
Islam diturunkan Allah SWT adalah untuk dijadikan pedoman dalam menata
kehidupan umat manusia, baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Tidak
ada sisi yang tidak diatur oleh islam. Aturan atau konsep itu bersifat mengikat bagi
setiap orang yang mengaku muslim. Konsep islam juga bersifat totalitas dan
komprehensif, tak boleh dipilah-pilah seperti yang dilakukan kebanyakan pada zaman
sekarang. Mengambil sebagian dan membuang bagian lainnya, adalah sikap yang tercela
dalam pandangan islam sebagaimana disebutkan dalam surat al-baqoroh:85.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah
rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok
hukum (pidana) islam. Karena mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni dimensi
halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi adalah masuk pada dimensi haram Karena
korupsi menghalalkan sesuatu yang haram, dan korupsi merupakan wujud manusia yang
tidak memanfaatkan keluasan dalam memperoleh rezeki Allah SWT. Dan islam
membagi istilah korupsi kedalam beberapa dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah
(pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi
dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum islam merupakan perbuatan
tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak
menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku
suap-menyuap ancaman hukumannya berupa hukuman ta’zir yang disesuikan dengan
peran masing-masing dalam kejahatan.yang kedua, korupsi dalam dimensi pencurian
(saraqah), yang berarti mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi,
artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya, jadi saraqah adalah mengambil
barang orang lain dengan cara melawan hukum atau melawan hak dan tanpa
sepengetahuan pemiliknya.
Korupsi dalam islam terdapat pengungkapan “ghulul” dan “akhdul amwal bil bathil”,
sebagaimana disebutkan oleh al-qur’an dalam surat al-baqarah:188. “dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Dalam hadist ubadah bin ash shamit radhiyallahu anhu, bahwa nabi SAW bersabda
yang artinya: “......(karena) sesunggunhya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan
api neraka bagi pelakunya. Sedangkan dalam hadist lebih kongret lagi, dinyatakan bahwa
rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat penyuap, penerima suap dalam proses
hukum.”
Tidaklah Allah SWT melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan
dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan ghulul (korupsi),
tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut.
E. Faktor Internal dan Eksternal
a) Faktor internal merupakan faktor penyebab korupsi yang terlahir dari dalam diri
sendiri. Faktor internal terdiri dari, yaitu:
1. Sifat tamak/rakus
Sifat tamak atau rakus merupakan sifat manusia yang merasa selalu kurang dengan
apa yang telah dimilikinya, atau bisa juga disebut dengan rasa kurang bersyukur.
Orang yang tamak memiliki hasrat untuk menambah harta serta kekayaannya
dengan melakukan tindakan yang merugikan orang lain seperti korupsi.
2. Moral yang kurang kuat
Orang yang tidak memiliki moral yang kuat tentunya akan mudah tergoda
melakukan perbuatan korupsi. Salah satu penyebab korupsi ini merupakan tonggak
bagi ketahanan diri seseorang dalam kehidupannya. Bila seseorang memang sudah
tidak memiliki moral yang kuat, atau kurang konsisten bisa menyebabkan
mudahnya pengaruh dari luar masuk ke dalam dirinya.
3. Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup tentunya menjadi salah tu penyebab korupsi yang disebabkan oleh
faktor eksternal. Bila seseorang memiliki gaya hidup yang konsumtif dan
pendapatannya lebih kecil dari konsumsinya tersebut, maka hal ini akan menjadi
penyebab korupsi. Tentunya hal ini sangat erat kaitannya dengan pendapatan
seseorang.
b). Faktor eksternal merupakan faktor penyebab korupsi yang datangnya dari luar.
Faktor eksternal terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi hampir mirip dengan perilaku konsumtif pada faktor internal.
Bedanya, disini lebih ditekankan kepada pendapatan seseorang, bukan kepada sifat
konsumtifnya. Dengan pendapatan yang tidak mencukupi, bisa menjadi penyebab
korupsi dilakukan seseorang.
2. Aspek Politis
Pada aspek politis, korupsi bisa terjadi karena kepentingan politik serta meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Biasanya dalam aspek politis ini bisa membentuk
rantai rantai penyebab korupsi yang tidak terputus. Dari seseorang kepada orang
lainnya.
3. Aspek Organisasi
Dalam aspek organisasi, penyebab korupsi bisa terjadi karena beberapa hal, seperti
kurang adanya keteladan kepemimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang
benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas yang benar, serta kelemahan sistim
pengendalian manajemen dan lemahnya pengawasan.

Anda mungkin juga menyukai