Anda di halaman 1dari 24

TEORI BELAJAR PIAGET DAN VYGOTSKY

Mata Kuliah : Belajar dan Pembelajaran


Kode Mata Kuliah : KIP 619104
Semester : 2/Genap
Jumlah SKS : 2 ( dua ) SKS
Dosen Pengampu : 1. Dra. Nelly Astuti, M.Pd
2. Frida Destini, S.Pd, M.Pd

S1 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki
kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri
sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah,
diperlukan layanan pendidikan yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri
manusia tersebut, dengan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk
mewujudkannya.

Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus


diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing individu. Pengetahuan juga bukan
merupakan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang
terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam
mengembangkan pengetahuannya.

Banyak peserta didik yang salah menangkap apa yang diberikan oleh
gurunya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja
dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan sendiri oleh peserta didik
tersebut. Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan,
tetapi hanya sebagai fasilitator, yang menyediakan stimulus baik berupa
strategi pembelajaran, bimbingan dan bantuan ketika peserta didik, mengalami
kesulitan belajar, ataupun menyediakan media dan materi pembelajaran agar
peserta didik itu merasa termotivasi, tertarik untuk belajar sehingga
pembelajaran menjadi bermakna dan ahirnya peserta didik tersebut mampu
mengkontruksi sendiri pengetahuaanya.

Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum


pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan
berhasilkan menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan
sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah
konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu
salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam
mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.

Melihat dari permasalahan tersebut, melatarbelakangi makalah kami.


Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar
konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang
dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena
dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang
siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
a. Apakah definisi belajar?

b. Bagaimanakah pembelajaran menurut paradigma konstruktivisme ?

c. Bagaimanakah teori belajar menurut piaget?

d. Bagaimanakah teori belajar menurut vygotsky?

C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui apakah definisi belajar

b. Mengetahui pembelajaran menurut paradigma konstruktivisme

c. Mengetahui teori belajar menurut piaget

d. Mengetahui teori belajar menurut vygotsky


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Belajar
Sejak dilahirkan, manusia telah begitu banyak mengalami proses belajar.
Itu berarti bahwa aktivitas belajar sangat akrab dengan kehidupan manusia.
Banyak ahli pendidikan, pembelajaran, dan psikologi yang telah mencoba
mendefinisikan "belajar". Seringkali perumusan dan penafsiran yang dihasilkan
berbeda satu sama lain sesuai sudut pandang masing-masing. Namun demikian,
pada bagian ini kita hanya akan melihat beberapa pendapat ahli yang relatif
lebih mirip dan lebih sederhana sehingga memudahkan untuk menarik definisi
sendiri.
Belajar dalam arti luas merupakan suatu proses yang memungkinkan
timbulnya atau berubahnya suatu tingkah laku baru yang bukan disebabkan
oleh kematangan dan sesuatu hal yang bersifat sementara sebagai hasil dari
terbentuknya respons utama.Belajar merupakan aktivitas, baik fisik maupun
psikis yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang baru pada diri
individu yang belajar dalam bentuk kemampuan yang relatif konstan dan
bukan disebabkan oleh kematangan atau sesuatu yang bersifat sementara.
Menurut Muhibbin Syah (2003:64) menyebutkan beberapa definisi
belajar menurut para ahli,antara lain:
a. Skinner dalam bukunya Educational psychology: The Teaching-
Teaching Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses
adaptasi yang berlangsung secara progressif. Pendapat ini
diungkapkan dalam pernyatannya ‘’…a process of progressive
behavior adaption.’’Berdasarkan eksperimennya B.F.Skinner percaya
bahwa proses adaptasi tersebut akan mendapatkan hasil yang optimal
apabila diberi penguat(reinforcer).

b. Chaplin dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan


dua macam rumusan.Rumusan pertama berbunyi: ‘’…Acquisition of
any relatively permanent change in behavior as a result of practice and
experience’’(belajar adalah perubahan tingkahlaku yang relatif menetap
sebagai akibat latihan dan pengalaman).Rumusan keduanya
adalah’’process of acquiring responses as a result of special
practice’’(belajar adalah proses memperoleh respon-respon sebagai
akibat adanya latihan khusus.

c. Hintzman (1978) dalam bukunya The Psychology Of Learning and


Memory berpendapat bahwa ‘’ Learning is a change in organism due
toexperience which can affect the the organism behavior”(belajar
adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme yang di
sebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku
organisme tersebut).Jadi , dalam pandangan Hintzman ,perubahan yang
ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar
apabila memengaruhi organisme.

d. Wittig(1981) dalam bukunya Psychology Of Learning mendefinisikan


belajar sebagai many relatively permanent change in a organis’m
behavioral repertoire that occurs a result of experience (belajar adalah
perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam keseluruhan
tingkahlaku suatu orgnisme sebagai hasil pengalaman). Definisi witting
tidak menekankan perubahan yang disebut behavioralchange tetapi
behavioral repertoire change,yakni perubahan yangmenyangkut aspek
psikofisik organisme.

e. Rober(1989) dalam kamusnya , Dictionary of Psychology membatasi


belajar dengan dua macam definisi. Pertama belajar adalah The process
of acquiring knowledge (proses memperoleh pengetahuan). Kedua
belajajar adalah a relatively permanent response potentiality which
occurs as a result of reinforced practice(suatu perubahan kemampuan
bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat).

Dalam definisi tersebut ada beberapa macam istilah , diantaranya:


a). Relatively permanent(yang secara umum menetap). Istilah ini
bermakna bahwa perubahan yang berupa sementara seperti perubahan
karena mabuk,lelah,jenuh bukanlah termasuk belajar.

b). Response potentiality (kemampuan bereaksi).Istilah ini merupakan


pengakuan terhadap adanya perbedaan antara belajar dan penampilan
atau kinerja hasil-hasilbelajar.

c). Reiforced (yang diperkuat). Istilah ini bemakna bahwa kemajuanyang


didapati dari proses belajar mungkin akan musnah atau sangat lemah
apabila tidak diberi penguat.

d). Practice (praktek atau latihan). Istilah ini bermakna bahwa proses
belajar membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin
kelestarian kinerja akademik yang telah dicapai siswa.

Timbulnya perbedaan para ahli tersebut disebabkan adanya perbedaan


sudut pandang.Bertolak dari berbagai definisi yang telah terurai tadi , jadi
dapat disimpulkan bahwa teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu
proses belajar yang menuntun terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar
dapat didefenisikan sebagai integrasi prinsip-prinsip yang menuntun di dalam
merancang kondisi demi tercapainya tujuan pendidikan. Oleh karena itu
dengan adanya teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam
menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan.

B. Pembelajaran Menurut Paradigma Konstruktivisme

a. Pandangan Tentang Belajar Menurut Teori Konstruktivisme

Menurut Weinberger & Combs dalam As Janah Verrawati dan Ali


Mustadi(2017) Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang
menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-
unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan
pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun
universitas, meskipun belum jelas terlihat. Berdasarkan faham
konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta
memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba
sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu
pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing.

Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola
pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu
aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah
bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan
menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan
sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina
sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan
pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan
mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau
pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada
pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap
untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah
kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.

From the constructivism perspective, information processing occurs


within active learners. Active learners process information by
selecting, maintaining, and transforming the information that generate new
knowledge and better skills (Helti Lygia Mampouw et al 2016:13). John
Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa
pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran
sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara
berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan keikutsertakan
peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.

Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam


konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku
dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara
melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah
kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan
peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh
guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada
kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan
berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan
penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada
pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik.

Menurut Brooks & Brooks (1993) semula konstruktivisme adalah


lebih merupakan suatu filosofi dan bukan suatu strategi, pendekatan,
maupun model pembelajaran. “Constructivism is not an instructional
strategy to be deployed under appropriate conditions. Rather,
constructivism is an underlying philosophy or way of seeing the world”.
Bahkan menurut Von Glasersfeld (1987: 204) konstruktivisme sebagai
"teori pengetahuan dengan akar dalam ―filosofi, psikologi dan
cybernetics". Von Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme apapun
namanya secara aktif dan kreatif akan selalu membentuk konsepsi
pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan
aktif menerima apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi dan
interaksinya. Hal itu secara aktif dan kreatif terutama dengan membangun
pengetahuan itu.

Kognisi adalah adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir


pengalaman dunia itu, dan bukan untuk menemukan suatu tujuan
kenyataan (von Glasersfeld, 1995). Dengan demikian ‘konstruktivisme‘
merupakan istilah luas yang digunakan oleh para filsuf, ahli kurikulum,
psikologi, maupun pendidik, yang menurut Glasersfeld (1987: 204)
konstruktivisme sebagai "teori pengetahuan dengan akar dalam ―filosofi,
psikologi, dan cybernetics" menekankan; (1) pembelajar aktif dalam
mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri; (2) interaksi social itu penting
bagi pengkonstruksian pengetahuan. Perspektif konstruktivis berpijak
pada, antara lain; penelitian John Dewey (1859-1952), Bartlett (1886-
1969) , Piaget (1896-1980), Vygotsky (1896-1934), Ausubel (1918–2008),
Jerome Bruner (1915-1980).
Menurut Weinberger & Combs As Janah Verrawati dan Ali
Mustadi(2017) Teori konstruktivisme menekankan pada siswa sebagai
pembelajar aktif, sehingga dalam penerapannya teori konstruktivisme
sering disebut sebagai strategi pengajaran yang berpusat pada siswa
(student-centered instruction). Di ruang kelas yang berpusat pada siswa,
guru menjadi “pemandu di samping” dan bukan “orang bijaksana di atas
panggung”, dengan membantu siswa menemukan makna mereka sendiri
dan bukan mengendalikan semua kegiatan di ruang kelas (Weinberger &
Combs: 2001). Menurut Drake (2012: 273), thematic approach is one of
the teaching strategy that uses themes toward creating anactive, interest-
ing, and meaningful learning. Hal ini sesuai dengan pendekatan tematik
merupakan bentuk strategi pembelajaran yang menggunakan tema melalui
penciptaan pembelajaran yang aktif, menarik, dan bermakna. Dikatakan
bermakna karena peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep
melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar
konsep. Melalui kurikulum 2013, peserta didik akan didorong menjadi
insan yang kreatif, produktif, inovatif, dan afektif melalui kompetensi-
kompetensi yang berimbang antara spiritual, pengetahuan, sikap, dan
psikomotor/keterampilan.

a. Konsep Dasar dalam Kontruktivisme

a). Scaffolding
Dalam lingkungan pembelajaran, proses pembentukan makna dalam
diri siswa membutuhkan dukungan guru berupa topangan (scaffolding).
Topangan adalah bantuan yang diberikan dalam wilayah perkembangan
terdekat (zone of proximal development) siswa (Wood et al. dalam
Confrey: 1995). Topangan diberikan berdasarkan apa yang sudah
bermakna bagi siswa, sehingga apa yang sebelumnya belum dapat
dimaknai sendiri oleh siswa sekarang dapat bermakna berkat topangan
itu. Dengan demikian, topangan diberikan kepada siswa dalam situasi
yang interaktif, dalam arti guru memberikan topangan berdasarkan
interpretasi akan apa yang sudah bermakna bagi siswa, dan siswa
mengalami perkembangan dalam proses pembentukan makna berkat
topangan itu. Scafollding merupakan bantuan yang diberikan kepada
siswa untuk belajar dan untuk memecahkan masalah. Bantuan tersebut
dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke
dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-
tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

b). Proses Top Down


Pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran lebih menekankan
proses pengajaran secara top-down dari pada bottom-up. Konteks
Topdown adalah siswa mulai dengan masalah kompleks untuk
dipecahkan dan kemudian siswa memecahkan atau menemukan (dengan
bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan
(Slavin, 1994).

c). Zone of Proximal Development (ZPD)


Zone of proximal development (ZPD) dimaknai sebagai “jarak
antara tingkat perkembangan sesungguhnya dalam bentuk kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri, dengan tingkat perkembangan
potensial dalam bentuk kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan guru atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih
mampu)” (Slavin, 1994). Siswa yang bekerja dalam ZPD mereka, berarti
siswa tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas-tugasnya, dan dapat
terselesaikan jika mendapat bantuan dari teman sebaya atau guru.

d). Pembelajaran Kooperatif


Vygotsky dalam Slavin (1997) menyarankan agar dalam
pembelajaran digunakan pendekatan pembelajaran kooperatif,
pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan. Salah satu implikasi
penting teori Vygotsky dalam pendidikan adalah perlunya kelas
berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat
berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan dapat saling
memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-
masing ZPD mereka. Pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran kelas
yang menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif, atas dasar
teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-
konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-
masalah yang mereka hadapi dengan temannya. Model pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran yang
penting, yaitu prestasi akademik, penerimaan akan penghargaan dan
pengembangan keterampilan sosial. Meskipun pembelajaran kooperatif
mencakup berbagai tujuan sosial, namun pembelajaran kooperatif dapat
juga digunakan untuk meningkatkan prestasi akademik.

b. Prinsip Prinsip dalam Pembelajaran yang Berpaham Konstruktivitis

a). Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun
sosial;

b). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dan guru ke siswa, kecuali hanya
dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar;

c). Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi


perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta
sesuai dengan konsep ilmiah;

d). Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi siswa berjalan mulus.

e). Evaluasi dalam pembelajaran, dalam pandangan konstruktivis, evaluasi


menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan
keterampilan yang terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam
konteks nyata; menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan
ganda, bukan hanya satu jawaban benar; evaluasi harus diintegrasikan ke
dalam tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta
menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, bukan sebagai
kegiatan yang terpisah.

c. Tujuan Pembelajaran dalam Pandangan Konstruktivis


Tujuan pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah
membangun pemahaman. Pemahaman memberi makna tentang apa yang
dipelajari. Belajar menurut pandangan konstruktivis tidak ditekankan untuk
memperoleh pengetahuan yang banyak tanpa pemahaman. Pembelajaran
sejarah menurut pandangan konstruktivis adalah membantu siswa untuk
membangun konsep/prinsip sejarah dengan kemampuannya sendiri melalui
proses internalisasi, sehingga konsep/prinsip tersebut terbangun kembali,
transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru
(Subakti:2010)

d. Ciri pembelajaran konstruktivisme

a). Siswa terlibat secara aktif dalam belajarnya. Keterlibatan ini tidak
sekedar perintah atau petunjuk dari guru, tetapi siswa diberi kesempatan
untuk berkreativitas mengusulkan suatu topik, masalah, atau
berargumentasi. Keterlibatan dapat dalam forum klasikal maupun
kelompok.

b). Siswa belajar materi sejarah secara bermakna dalam bekerja dan berfikir.
Agar siswa dapat memberi makna tentang materi sejarah yang sedang
dibahas, maka perlu sebuah materi yang bersifat analisis yang berdasar
pada hukum kausalitas. Materi tidak bisa diberikan yang bersifat hapalan,
tetapi harus diangkat dari kehidupan seharihari dan kemudian
dihubungkan dengan fakta sejarah yang pernah terjadi.

c). Siswa belajar bagaimana belajar itu. Melalui pemberian masalah yang
berbobot masalah, maka diharapkan siswa mampu belajar memahami,
menerapkan dan kemudian mampu bersikap terhadap hasil analisis
permasalahan. Dengan demikian siswa tidak hanya menghapal, tetapi
sungguh dihadapkan tuntutan kemampuan analisis.

d). Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu
dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi
(materi) kompleks terjadi. Informasi yang diberikan jangan hanya
tunggal, tetapi harus terkait dengan informasi lain dan dengan disiplin
lain. Dengan demikian siswa akan mendapatkan informasi yang utuh dan
komprehensif.

e). Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan (inkuiri).


Permasalahan yang diajukan seharusnya mampu menimbulkan
rangsangan pada siswa untuk melakukan penelitian, pengamatan atau
menuntut suatu analisis. Dengan demikian siswa selalu dirangsang untuk
dapat menghubungkan berbagai informasi yang diterimanya dan
kemudian mampu mengendapkan dalam pemikirannya. Muaranya
adalah siswa akan terbiasa untuk berpikir secara mendalam.

f). Berorientasi pada pemecahan masalah. Sejarah bukan hanya deretan


fakta, namun berdasarkan waktu, kontinyitas dan perubahan. Masalah
yang muncul di dalam masyarakat pada masa global ini sebenarnya
memiliki hubungan dengan fakta sejarah yang lalu. Oleh sebab itu,
permasalahan yang dimunculkan untuk dikaji oleh siswa adalah
permasalahan kekinian yang harus dicari logika kausalitasnya dengan
masa lalu. Selain bahan ajar yang disiapkan harus bermakna bagi kognitif
siswa agar siswa terlibat secara emosional maupun sosial, dalam
pembelajaran konstruktivis guru perlu menciptakan lingkungan
pembelajaran yang kondusif.

e. Lingkungan Pembelajaran yang Perlu Diupayakan oleh Guru dalam


Pembelajaran Konstruktivis

a). Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang


telah siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses
pembentukan pengetahuan;

b). Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak


semuamengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat
diselesaikan dengan berbagai cara;
c). Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan
dengan melibatkan pengalaman kongkret, misalnya untuk memahami
suatu konsep sejarah melalui kenyataan dalam kehidupan sehari-hari;

d). Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya


transmisi sosial, yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang
dengan orang lain atau lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama
antara siswa, guru, siswa-siswa;

e). Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis


sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif;

f). Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga sejarah menjadi
menarik dan siswa mau belajar

C. Teori Belajar oleh Piaget

Menurut Piaget dalam Helti Lygia Mampouw et al (2016) Piaget describes


this process as anenhanced cognitive scheme, which is a result of the merging
of old information and newlyreceived information. Menurut Jean Piaget dalam
Hamzah .B.Uno (2006:10) bahwa proses belajar sebenernya terdiri dari tiga
tahapan, yakni (1) asimilasi, (2) akomodasi, dan (3) equiblirasi. Proses
asimilasi adalah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang
sudah baru. Equibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi.

Menurut Piaget dalam Drs. M. Dalyono(2003:37) tahap-tahap


perkembangan pribadi serta perubahan umur merupakan faktor mempengaruhi
kemampuan belajar individu. Pertumbuhan kapasitas mental memberikan
kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada.

Selanjutnya Ratna Wilis dalam Fatimah Ibda (2015) membagi tingkat-


tingkat perkembangan, yaitu:
1) Sensori motoris : 0-2 tahun
2) Praoprasional : 2-7 tahun
3) Oprasional konkret :7- 11 tahun
4) Oprasional formal : 11- sampai mati

a. Tahap Sensorimotor
Sepanjang tahap ini mulai dari lahir hingga berusia dua tahun,
bayi belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui
indera mereka yang sedang berkembang dan melalui aktivitas motor.
( Diane, E. Papalia, Sally Wendkos Old and Ruth Duskin Feldman,
2008:212). Aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat dria (sensori) dan
gerak (motor), artinya dalam peringkat ini, anak hanya mampu
melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat drianya dan
pergerakannya. Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan
kognitif selanjutnya, aktivitas sensori motor terbentuk melalui proses
penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungan. ( Mohd. Surya, 2003: 57).

b. Tahap Pra-operasional
Pada tingkat ini, anak telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam
menghadapi berbagai hal diluar dirinya. Aktivitas berfikirnya belum
mempunyai sistem yang teroganisasikan. Anak sudah dapat memahami
realitas di lingkungan dengan menggunakan tanda –tanda dan simbol.
Cara berpikir anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak
konsisten, dan tidak logis. Hal ini ditandai dengan ciri-ciri:

1. Transductive reasoning, yaitu cara berfikir yang bukan induktif atau


deduktif tetapi tidak logis.

2. Ketidak jelasan hubungan sebab-akibat, yaitu anak mengenal


hubungan sebabakibat secara tidak logis.

3. Animisme, yaitu menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti


dirinya.
4. Artificialism, yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan
itu mempunyai jiwa seperti manusia.

5. Perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang


dilihat atau di dengar.

6. Mental experiment yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk


menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya.

7. Centration, yaitu anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri


yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya
Egosentrisme, yaitu anak melihat dunia lingkungannya menurut
kehendak dirinya. ( Mohd. Surya, 2003: 57-58).

c. Tahap Operasional Konkrit


Pada tahap ini, anak sudah cukup matang untuk menggunakan
pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang
ada saat ini. Dalam tahap ini, anak telah hilang kecenderungan
terhadap animism dan articialisme. Egosentrisnya berkurang dan
kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik.
Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap
operasional kongkrit masih mengalami kesulitan besar dalam
menyelesaikan tugas-tugas logika. (Matt Jarvis, 2011:149-150).
Sebagai contoh anak-anak yang diberi tiga boneka dengan warna
rambut yang berlainan (edith, susan dan lily), tidak mengalami
kesulitan untuk mengidentifikasikan boneka yang berambut paling
gelap. Namun ketika diberi pertanyaan, “rambut edith lebih terang
dari rambut susan. Rambut edith lebih gelap daripada rambut lily.
Rambut siapakah yang paling gelap?”, anak-anak pada tahap
operasional kongkrit mengalami kesulitan karena mereka belum
mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambing-lambang.

d. Tahap Operasional Formal


Pada umur 12 tahun keatas, timbul periode operasi baru.
Periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya
untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. ( Matt Jarvis,
2011:111). Kemajuan pada anak selama periode ini ialah ia tidak
perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkrit, ia
mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Anak-anak sudah
mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi
argumen dan karena itu disebut operasional formal.

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu
lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua
(praoprasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ketahap
yang lebih tinggi (oprasional konkrit dan oprasional formal). Secara umum,
semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur cara berpikirnya.
Dalam kaitan ini seorang guru seyogyanya, memahami tahap-tahap
perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan materi belajar, jumlah dan
jenis yang sesuai tahap-tahap tersebut.

Guru yang mengajar, tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini akan


cenderung menyulitkan para siswanya. Misalnya saja, mengajarkan konsep
abstrak tentang matematika kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa
adanya usaha untuk “mengkonkretkan” konsep tersebut, tidak akan percuma,
tetapi justru akan lebih membingungkan para siswa itu.

D. Teori Belajar Vygotsky

Penerapan teori konstruktivisme Lev Vygotsky adalah memberdayakan


teman sebaya sebagai ahli. Maka salah satu penerapan strategi yang dapat
dilakukan adalah pembelajaran peer tutoring. Pembelajaran Peer Tutoring
(Tutor Sebaya) merupakan salah satu bentuk penerapan teori konstruktivisme
sosial terutama pada pengaplikasian konsep ZPD. Dimana seorang murid
mengajar murid lainnya (Santrock, 2013). Peer Tutoring merupakan kegiatan
interaksi antar siswa yang memudahkan siswa untuk mengeluarkan pendapat
atau pikiran kepada temannya sendiri, hal ini meminimalisir kelemahan siswa
yang memiliki rasa malu/sungkan untuk bertanya kepada guru. Dalam tutoring
teman lintas usia, teman yang mengajar biasanya usianya lebih tua sedangkan
tutoring teman seusia, teman yang mengajar biasanya teman sekelas. Tutoring
teman lintas usia biasanya lebih efektif dari pada tutoring teman seusia
(Santrock dalam As Janah Verrawati dan Ali Mustadi(2017).

Berikut adalah strategi peer tutoring yang dapat dilakukan dalam


pembelajaran:

1. Gunakan tutoring lintas usia jika memungkinkan

2. Biarkan siswa berpartisipasi baik sebagai pengajar maupun


yangdiajari. Ini akan membantu siswa belajar bahwa mereka bisa
membantu dan dibantu. Memasangkan kawan akrab biasanya bukan
strategi yang baik karena mereka akan kesulitan untuk fokus pada
tugas yang diberikan.

3. Jangan ijinkan tutor memberikan tes kepada yang diajari. Ini bisa
melemahkan kerjasama diantara murid.

4. Sisihkan waktu untuk melatih tutor. Diskusikan tentang strategi peer


tutoring yang kompeten. Tunjukkan cara kerja scaffolding. Beri
penjelasan yang jelas dan teratur kepada tutor, dan
persilahkan mereka bertanya pada tugas mereka.

Dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky dikemukakan bahwa


pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial, interaksi sosial dapat terjalin
pada dua orang atau lebih, sehingga selain kegiatan peer tutoring yang
dilakukan oleh dua siswa yang saling berinteraksi, belajar dalam kelompok
juga sangat memungkinkan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya.

Glasersfeld (1989) menjelaskan bagaimana pengaruh konstruktivisme


terhadap belajar dalam kelompok. Menurutnya, dalam kelompok belajar
siswa dapat mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang
akan dilakukan terhadap persoalan tersebut. Inilah salah satu jalan
menciptakan refleksi yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang
dipikirkan dan dilakukan. Berdasarkan pendapat tersebut maka salah satu
penerapan teori Lev Vygotsky dalam proses pembelajaran yang menekankan
adanya interaksi sosial dapat berupa pembelajaran kooperatif. Pembelajaran
akan lebih efektif dengan melibatkan komunitas orang belajar. Melalui
pembelajaran kooperatif siswa dapat berinteraksi dengan siswa lain untuk
menemukan gagasan baru maupun memecahkan suatu permasalahan. Ketika
siswa telah mampu menemukan suatu gagasan maupun telah berhasil
memecahkan suatu masalah melalui interaksi dengan siswa lain maka siswa
tersebut dapat membangun pemahamannya sendiri terhadap gagasan yang
telah ia temukan maupun masalah yang telah ia hadapi.

Selain adanya interaksi antar siswa dalam pembelajaran kooperatif,


interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran juga
mempengaruhi siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Guru
sebagai pembelajar hendaknya mampu membangun interaksi
yang baik dengan siswa untuk menumbuhkan motivasi belajar dan rasa ingin
tahu sehingga siswa memiliki keinginan untuk membentuk suatu pemahaman
dan mampu memperbaiki pemahaman atas pengetahuan sebelumnya.

Menurut Suparno dalam As Janah Verrawati dan Ali Mustadi (2017)


peran guru dalam pembelajaran konstruktivis adalah sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas
sebagai berikut:

1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa


bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian

2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang


keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka
(Watts & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa
berfikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman
yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus
menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik
(Tobin, Tippins & Gallard: 1994) 3. memonitor, mengevaluasi dan
menunjukkan apakah peikiran siswa berjalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru
membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.

Hal ini sesuai dengan kurikulum 2013 yang menempatkan guru sebagai
fasilitator dalam pembelajaran dan peserta didik sebagai pelaku belajar.
Menitik pada pembelajaran konstruktivis yang berorientasi pada siswa dalam
membangun sendiri pengetahuannya, maka seorang guru harus melihat bahwa
siswa bukanlah lembaran kertas putih bersih atau sebuah bejana kosong. Hal
ini berangkat dari fakta bahwa siswa yang berada di tataran kelas yang paling
rendahpun telah hidup beberapa tahun dan menemukan suatu cara yang
berlaku untuk menghadapi lingkungan hidup mereka. Mereka sudah
membawa “pengetahuan awal”. Pengetahuan yang mereka punyai adalah
dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Karena itu, guru perlu
mengerti taraf pengetahuan anak.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Belajar adalah membangun penafsiran diri terhadap dunia nyata melalui


pengalaman-pengalaman dan interaksi, selanjutnya belajar merupakan proses
aktif untuk membangunkan pengetahuan. Kemudian pengajaran juga suatu
proses membangunkan pengetahuan dan mengkomunikasikan pengetahuan,
sementara belajar terstruktur bukan merupakan suatu tugas, tetapi meminta
peserta didik mempergunakan piranti secara aktual dalam situasi dunia nyata
dan aktif mempelajari masalah-masalah serta berpikir reflektif. Berpikir
reflektif ini menjadi dasar proses konseptualisasi di dalam memahami dan
mengaplikasikan pengalaman yang didapat pada situasi dan konteks lain.

Pada dasarnya, penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau


bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu disebut teori belajar.
Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih
meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar. Konstruktivisime
merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan
disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama
dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah
dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum jelas terlihat.
Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak
serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk
yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu
pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing.

Adapun ahli yang mengemukakan tentang teori belajar yaitu Piaget dan
Vygotsky. Jean Piaget memandang perkembangan kognitif sebagai suatu
proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman
realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang
baru dilahirkan sampai mengijak usia dewasa mengalami beberapa tahap
perkembangan kognitif yang jelas.

Sedangkan Lev Vygotsky berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung


baik pada faktor biologis dan faktor sosial juga sangat penting artinya bagi
perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan konsep,
penalaran logis, dan pengambilan keputusan. Dengan kata lain teori Vygotsky
ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran.

B. Saran
Dalam mempelajari makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami
isi bacaan dan memepelajarinya lebih lanjut terkait teori-teori pembelajaran,
mengingat pentingnya penyesuaian teori belajar yang akan diaplikasikan dalam
proses belajar mengajar dengan karateristik yang heterogen dari peserta didik.
Selain itu, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi pembaca. Kami menyadari makalah yang kami susun masih
memiliki banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun
sangat kami perlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Dalyono,M.2003.Psikologi Pendidikan.Jakarta:PT Ranika Cipta

Febrianto, Herry.2012.MAKALAH TENTANG TEORI ALBERT PIAGET &


VYGOTSKY. https://herryfebrianto.blogspot. com/2012/05/ makalah-
tentang.html (4 Maret 2020)

Galih.2016. Makalah Analisis Perkembangan Kognitif Dan Bahasa Anak Usia


Dini Menurut Teori Piaget, Vygotsky Dan Brunner. http://e-masgalih.
blogspot.com/2016/02/makalah-analisis-perkembangan-kognitif.html (4
Maret 2020)

Ibda, Fatimah.2015.PERKEMBANGAN KOGNITIF: TEORI JEAN PIAGET.


INTELEKTUALITA.Vol 3, No.1. Diambil dari file:///C:/Users/user/
Downloads /piaget.pdf (2 Maret 2020)

Mampouw,Helti Lygia Agung Lukito dan Suwarsono.2016. International


Journal of Active Learning. Student's Understanding of Graph Based on
Information.Processing.vol 1.No.1:13.

Subakti,Y.R.2010. Paradigma Pembelajaran Sejarah.PARADIGMA


PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS KONSTRUKTIVISME. Vol. 24,
No. 1. Daiambil dari file:///C:/Users/user/Downloads/PARADIGMA%
20 PEMBELAJARAN %20SEJARAH%20YR%20Subakti.pdf ( 2 Maret
2020)

Syah,Muhibbin.2003.Psikologi Belajar.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada

Uno, Hamzah.B.2006.Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran.


Jakarta:PT Bumi Aksara
Verrawati ,As Janah dan Ali Mustadi.Tt. IMPLIKASI TEORI
KONSTRUKTIVISME VYGOTSKY DALAM PELAKSANAAN MODEL
PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF DI SD. Diambil dari
file:///C:/Users/user/Downloads/IMPLIKASI-TEORI-
KONSTRUKTIVISME-VYGOTSKY-DALAM-PELAKSANAAN-
MODEL-PEMBELAJARAN-TEMATIK-INTEGRATIF-DI-SD-1.pdf.
( 2 Maret 2020)

Anda mungkin juga menyukai