NIM : 191520101013 UTS : PEMULIAAN TANAMAN PRODI : MAGISTER AGRONOMI 2019/2020
PEMBUAHAN IN VITRO PADA TANAMAN KENTANG
(Solanum tuberosum L.)
BAB.I. PENDAHULUAN
1.1, Latar Belakang
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman sayuran yang mendapat prioritas dalam pengembangannya karena kentang mempunyai daya saing kuat dibandingkan tanaman sayuran lainnya. Peran kentang di Indonesia semakin meningkat, baik sebagai produk segar maupun produk olahan. Kebutuhan kentang semakin meningkat dewasa ini, terutama berkaitan dengan semakin menjamurnya makanan siap saji (fast Food) dan industri makanan ringan (snack) yang semuanya membutuhkan kentang bermutu tinggi. Karena itu posisi komoditas kentang untuk masa mendatang diharapkan menjadi pilihan diversifikasi sumber karbohidrat yang membantu penguatan ketahanan pangan. Kultivar kentang prosesing yang umum ditanam petani adalah kultivar ‘Atlantik’ yang cocok untuk keperluan industri. Di Indonesia pertanaman kentang banyak diusahakan di daerah dataran tinggi (1000 – 3000 m dpl) dengan sentra produksi kentang adalah: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Jambi. Secara umum produksi kentang Indonesia masih rendah, yaitu 16.4 ton/ha (BPS, 2004), Berdasarkan data dari FAO, konsumsi kentang masyarakat Indonesia meningkat dari 1,9 kilogram per kapita pada Tahun 2011 menjadi 4,3 kilogram per kapita pada Tahun 2013. Peningkatan ini tidak lepas dari berkembangnya industri pengolahan makanan, yang tidak saja sebagai sayur, tetapi telah berubah menjadi makanan ringan berupa chips dan Frensh fries (Duriat, 1996; Karjadi, 2002). Namun ternyata, peningkatan kebutuhan tersebut hanya dapat di penuhi 10% dari konsumsi kentang nasional, yaitu 8,9 juta ton per tahun (Wattimena, 2000). Hal ini dikarenakan produktivitasnya kentang di Indonesia rata-rata sebesar 17.39 ton/Ha, sementara berdasarkan hasil penelitian potensi produksi Indonesia bisa mencapai 30 ton/Ha (Dinas Pertanian Jawa Barat, 1993). Kendala peningkatan produksi kentang di Indonesia diantaranya yaitu: rendahnya kualitas dan kuantitas benih kentang, teknik budidaya yang masih konvensional, faktor topografi, dimana daerah dengan ketinggian tempat dan temperatur yang sesuai untuk pertanaman kentang di Indonesia sangat terbatas, daerah tropis Indonesia merupakan tempat yang optimum untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro, 2000). Melihat permasalahan dan potensi akan kebutuhan benih kentang yang bermutu, melalui program pengembangan usaha produk intelektual kampus (PPUPIK) mulai tahun 2018 sedang mengembangkan usaha penyediaan benih kentang dalam bentuk planlet hasil kultur in vitro. Untuk dapat merakit varietas unggul diperlukan adanya suatu kegiatan pemuliaan, yaitu melalui penerapan metode in vitro pada klon hasil persilangan varietas Granola dan Atlantik. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknik perbanyakan alternatif yang lebih potensial yaitu perbanyakan secara in vitro. Propagula in vitro yang banyak digunakan dalam usaha menghasilkan benih kentang bermutu adalah tunas mikro dan umbi mikro (Wattimena 1992). Propagula ini dapat digunakan untuk produksi umbi mini, yaitu umbi dengan bobot 1 – 10 gram yang diinduksi dalam rumah kaca atau ketat serangga (screen hause) secara in vitro sehingga biayanya lebih murah. Oleh sebab itu, salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan dan kendala diatas yakni melalui teknik in vitro dengan memanfaatkan nodus sebagai organ perbanyakan secara in vitro. Karbohidrat memainkan peran penting dalam kultur in vitro sebagai sumber energi dan karbon, untuk kegiatan kultur pada umumnya, baik itu kultur sel, jaringan atau organ, penting untuk memasukkan sumber karbon ke dalam medium. Sukrosa adalah bahan yang umumnya digunakan untuk tujuan mikropropagasi karena manfaatnya sangat umum dalam kultur jaringan. Sonya Putri Rai dkk., (2015) mendefenisikan sitokinin adalah senyawa turunan adenine dan berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin digunakan untuk merangsang terbentuknya tunas, berpengaruh dalam metabolisme sel, dan merangsang sel dorman serta aktivitas utamanya adalah mendorong pembelahan sel. Akan tetapi belum banyak penelitian yang menggunakan 2-ip sebagai sumber sitokinin yang dikombinasikan dengan sukrosa untuk mendukung pertumbuhan nodus kentang secara in vitro ini. Dari sinilah penulis tertarik untuk melihat bagaimana pertumbuhan nodus kentang akibat pemberian dua senyawa tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan konsentrasi sukrosa dan 2-ip serta kombinasi dari keduanya yang sesuai untuk pertumbuhan nodus kentang secara in vitro. Dengan adanya penerapan metode tersebut diharapkan akan didapatkan kultivar kentang dengan sifat genjah (umur pendek), produksi tinggi, kadar air rendah, bentuk umbi baik, dan tahan penyakit. Sehingga, kultivar kentang yang bermutu atau unggul terdapat dalam jumlah yang mencukupi untuk petani di Indonesia. 2.1. Rumusan Makalah Apa saja teknik-teknik yang terkait dengan pembuahan in vitro tanaman kentang ? Bagaimana peranan tanaman kentang bagi pengembangan dalam ilmu pemuliaan tanaman? Bagaimana mendukung upaya peningkatan produksi kentang ? 3.2. Tujuan Penulis Makalah Untuk mengetahui pengertian dari pemuliaan tanaman serta tujuannya. Untuk mengetahui teknik-teknik yang terkait dengan pemuliaan tanaman. Untuk mengetahui pembuahan in vitru tanaman kentang bagi pengembangan dalam ilmu pemuliaan tanaman. BAB.II. LANADASAN TEORI 2.1. Morfologi Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L) Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan tanaman umbi-umbian dan tergolong tanaman berumur pendek. Tumbuhnya bersifat menyemak dan menjalar dan memiliki batang berbentuk segi empat. Batang dan daunnya berwarna hijau kemerahan atau berwarna ungu. Umbinya berawal dari cabang samping yang masuk ke dalam tanah, yang berfungsi sebagai tempat menyimpan karbohidrat sehingga bentuknya membengkak. Umbi ini dapat mengeluarkan tunas dan nantinya akan membentuk cabang yang baru (Aini, 2012). Taksonomi tanaman kentang secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Clasis : Dicotyledonae Ordo : Solanales Familia : Solanaceae Genus : Solanum tuberosum Linn Spesies : Solanum tuberosum Linn 2.1.1. Daun Daun majemuk menempel di satu tangkai (rachis). Jumlah helai daun umumnya ganjil, saling berhadapan dan di antara pasang daun terdapat pasangan daun kecil seperti telinga yang di sebut daun sela. Pada pangkal tangkai daun majemuk terdapat sepasang daun kecil yang disebut daun penumpu (stipulae). Tangkai lembar daun sangat pendek dan seolah-olah duduk. Warna daun hijau muda sampai hijua gelap dan tertutup oleh bulu-bulu halus (Sunarjono, 2007). 2.1.2. Batang Batang tanaman berbentuk segi empat atau segi lima, tergantung pada varietasnya. Batang tanaman berbuku–buku, berongga, dan tidak berkayu, namun agak keras bila dipijat. Diameter batang kecil dengan tinggi dapat mencapai 50–120 cm, tumbuh menjalar. Warna batang hijau kemerah-merahan atau hijau keungu–unguan. Batang tanaman berfungsi sebagai jalan zat–zat hara dari tanah ke daun dan untuk menyalurkan hasil fotosintesis dari daun ke bagian tanaman yang lain (Rukmana, 2005) 2.1. 3. Akar Akar memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar tunggang bisa menembus sampai kedalaman 45 cm. Sedangkan akar serabutnya tumbuh menyebar (menjalar) ke samping dan menembus tanah dangkal. Akar berwarna keputih-putihan, halus dan berukuran sangat kecil. Dari akar-akar ini ada akar yang akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi bakal umbi (stolon) dan akhirnya menjadi umbi (Setiadi, 2009). 2.1.4. Bunga Bunga kentang berkelamin dua (hermaphroditus) yang tersusun dalam rangkaian bunga atau karangan bunga yang tumbuh pada ujung batang dengan tiap karangan bunga memiliki 7–15 kuntum bunga. Warna bunga bervariasi, yaitu; putih, merah, biru. Struktur bunga terdiri dari daun kelopak (caly x), daun mahkota (corolla), benang sari (stamen), yang masing–masing berjumlah 5 buah serta putih 1 (satu) buah. Bunga bersifat protogami, tangkai putik lebih cepat masak daripada tepung sari. Sistem penyerbukannya dapat menyerbuk sendiri ataupun silang (Rukmana, 1997). Bunga kentang yang telah mengalami penyerbukan akan menghasilkan buah dan biji–biji (Samadi, 1997). Buah kentang berbentuk bulat, bergaris tengah kurang lebih 2,5cm, berwarna hijau tua sampai keungu–unguan dan tiap buah berisi 500 bakal biji. Bakal biji yang dapat menjadi biji hanya berkisar 10 butir sampai dengan 300 butir. Biji kentang berukuran kecil, bergaris tengah kurang lebih 0,5 mm, berwarna krem, dan memiliki masa istirahat (dormansi) sekitar 6 (enam) bulan (Rukmana, 1997). 2.1.5. Umbi Umbi terbentuk dari cabang samping diantara akar–akar. Proses pembentukan umbi ditandai dengan terhentinya pertumbuhan memanjang dari rhizome atau stolon yang diikuti pembesaran sehingga rhizome membengkak. Umbi berfungsi menyimpan bahan makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air (Samadi, 2006). Selain mengandung zat gizi, umbi kentang mengandung zat solanin yang beracun dan(Samadi, 2006). berbahaya bagi yang memakannya. Racun solanin akan berkurang atau hilang apabila umbi telah tua sehingga aman untuk dimakan. Tetapi racun solanin tidak dapat hilang apabila umbi tersebut keluar dari tanah dan terkena sinar matahari. Umbi kentang yang masih mengandung racun solanin berwarna hijau walaupun telah tua (Samadi, 2006). 2.1.6. Tanaman Kentang Dilakukan Melalui In vitro Kultur in vitro atau kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Kultur jaringan memiliki beberapa tujuan, diantaranya dapat menciptakan tanaman baru bebas penyakit, memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak secara seksual, dan menghasilkan tanaman baru sepanjang tahun (Saragih K. M. 2016). Tanaman yang ditumbuhkan dalam kondisi in vitro pada umumnya tidak melakukan fotosintesis, lapisan kutikula dan jaringan pembuluh antara akar dan pucuk tidak berkembang serta stomata belum berfungsi dengan baik, sehingga sulit bertahan pada saat aklimatisasi. Teknik fotoautotrofik perlu dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan planlet saat dipindahkan ke kondisi ex vitro (Sonya Putri Rai, Dkk., 2015). Rendahnya produksi tanaman kentang di Indonesia disebabkan belum banyaknya petani penghasil bibit kentang bermutu, sehingga permintaan bibit kentang tidak dapat dipenuhi. Upaya dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memanfaatkan bioteknologi yaitu; melalui kultur jaringan atau pembiakan mikro kentang. Dengan teknik ini dapat dihasilkan benih berjumlah banyak dalam waktu relatif singkat dan bebas dari penyakit sistemik, terutama virus Ni Made dkk,. (2015). Dalam perbanyakan mikro ada dua teknik yang telah dikembangkan untuk memproduksi propagul kentang, yaitu stek mikro dan umbi mikro. Stek mikro berasal dari perbanyakan stek buku tunggal pada media MS tanpa ZPT. Media yang digunakan untuk pengumbian adalah satu macam media (padat atau cair) dan dua macam media (padat-cair atau caircair, yang dianjurkan adalah sistem cair. Media cair untuk pengumbian secara in vitro akan menghasilkan umbi dengan ukuran, bobot basah, dan persentase bahan kering yang lebih tinggi daripada penggunaan media padat. Pertumbuhan mikro sangat tergantung pada interaksi antara zat pengatur tumbuh (ZPT) eksogen yang ditambahkan ke dalam media dan zat pengatur tumbuh endogen. ZPT yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah golongan auksin dan sitokinin. Salah satu sumber ZPT alami adalah air kelapa. Menurut Hendaryono et al., (1994) dalamair kelapa terkandung dhipenil urea yang mempunyai aktivitas seperti sitokinin. Penambahan air kelapa ke dalam media kultur diharapkan dapat menggantikan ZPT sintetik golongan sitokinin sehingga biaya untuk perbanyakan tanaman secara kultur jaringan akan lebih ekonomis, disamping itu kandungan unsur-unsur hara dalam air kelapa dapat meningkatkan kandungan hara dalam media untuk mendukung pertumbuhan eksplan.Tujuan makalah ini adalah untuk untuk mengetahui dan mengkaji pembuahan in vitro terhadap pertumbuhan tanaman kentang. Kendala pengembangan kentang bagi para petani adalah sulitnya memperoleh kultivar yang sesuai dengan lingkungan fisik dan pasar serta tahan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman (Purwanto A.S.D. 2007) menyatakan bahwa kendala utama produksi kentang di Indonesia antara lain tidak tersedianya kultivar standar yang sesuai dengan lingkungan Indonesia, bibit kentang masih import dan adanya beberapa penyakit yang sulit dikendalikan seperti virus, hawar daun, layu bakteri, dan nematoda yang tertular melalui bibit dan akan terakumulasi sepanjang terus diperbanyak secara vegetatif dengan umbi. Usaha yang dapat ditempuh dalam penyediaan bibit yang bebas penyakit adalah dengan penyediaan propagul kentang bebas virus melalui kultur jaringan tanaman. BAB. III. PEMBAHASAN 3.1. Kultur In-Vitro Tanaman Kentang Kultur in-vitro merupakan salah satu cara dalam perbanyakan tanaman dengan mengambil bagian tanaman (eksplan) yang proses menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Akan tetapi dalam teknik kultur in-vitro terdapat satu faktor pembatas dalam keberhasilan tanaman dalam proses tumbuhnya yaitu kontaminasi yang dapat terjadi pada setiap saat dalam masa kultur. Kontaminasi umumnya berasal dari eksplan (baik eksternal maupun internal), organisme yang masuk kedalam media, botol kultur atau alat-alat yang kurang steril, lingkungan kerja yang kotor, kecerobohan dalam pelaksanaan. Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung kehidupan jaringan yang dibiakkan (Zulkarnain,2009). Komposisi media juga dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro. Media Murashige dan Skoog atau media MS sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman. Akan tetapi pada media MS, tidak terdapat zat pengatur tumbuh (ZPT) oleh karena itu ZPT ditambahkan pada media (eksogen). ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan hormon tumbuhan atau zat pengatur tumbuh pada jaringan parenkim dapat mengembalikan jaringan ini menjadi meristematik kembali dan berkembang menjadi jaringan adventif tempat pucuk, tunas, akar maupun daun pada lokasi yang tidak semestinya (Marlina, 2004). 3.2. Pertumbuhan dan Perkembangan In-Vitro Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya volume yang irreversible (tidak dapat balik) hal ini dikarenakan adanya pembelahan mitosis atau pembesaran sel atau dapat pula disebabkan oleh keduanya. Pertumbuhan dapat diukur dan dinyatakan secara kuantitatif misalnya pertumbuhan batang tanaman dapat diukur dengan busur pertumbuhan atau Auksanometer. Pertumbuhan menunjukkan pertambahan ukuran dan berat kering yang tidak dapat balik yang mencerminkan pertambahan protoplasma mungkin karena ukuran dan jumlahnya bertambah. Pertambahan protoplasma melalui reaksi dimana air, C02 dan garam organik dirubah menjadi bahan hidup yang mencakup antara lain pembentukan karbohidrat atau proses fotosintesis, pengisapan dan gerakan air dan hara (proses absorbs dan translokasi), penyusunan perombakan protein dan lemak dari elemen C dari persenyawaan organik (proses metabolisme) dan tenaga kimia yang dibutuhkan didapat dari respirasi (Kumar, 2011). Perkembangan tidak dapat dinyatakan dengan ukuran akan tetapi dapat dinyatakan dengan perubahan bentuk dan tingkat kedewasaan dari tanaman yang awalnya bersel banyak, kemudian dilakukan melalui proses mitosis, dimana sel-sel tertentu berperan dalam mengatur diferensiasi, pengaturan ini berlangsung dengan media “utusan kimia” yang ditunjukkan oleh pengatur pertumbuhan. Sedangkan pengertian dari pengatur pertumbuhan yaitu zat organik yang keaktifannya jauh berlipat seperti hormon yang dikenal adalah auksin, giberelin, dan sitokinin (Yuliarti, 2010). 3.3. Faktor Pertumbuhan In-Vitro Komposisi media dan komposisi zat pengatur tumbuh jenis media yang digunakan sangat mempengaruhi pertumbuhan regenerasi eksplan yang dikulturkan. Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam anorganik, senyawa organik, zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi respon eksplan saat dikultur. Meskipun demikian, media yang telah diformulasikan tidak hanya berlaku untuk satu jenis eksplan dan tanaman saja tetapi jenis formulasi media bahkan digunakan secara umum untuk berbagai jenis eksplan dan varietas tanaman, seperti media MS. Media yang sering digunakan dalam proses kultur jaringan yaitu medium padat, medium semi padat dan medium cair. Genotip tanaman adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur in vitro adalah genotip tanaman asal eksplan diisolasi. Respon masing-masing eksplan tanaman sangat bervariasi tergantung dari spesies, bahkan varietas, atau tanaman asal eksplan tersebut. Pengaruh genotip ini umumnya berhubungan erat dengan faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan eksplan, seperti kebutuhan nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur. Oleh karena itu, komposisi media, zat pengatur tumbuh dan lingkungan pertumbuhan yang dibutuhkan oleh masing masing varietas tanaman bervariasi meskipun teknik kultur jaringan yang digunakan sama. Faktor kondisi Eksplan juga menentukan proses pertumbuhan dan morfogenesis dalam mikropropagasi sangat dipengaruhi oleh keadaan jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Selain faktor genetis eksplan yang telah disebutkan di atas, kondisi eksplan yang mempengaruhi keberhasilan teknik mikropropagasi adalah jenis eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan. Oleh karena itu, jenis eksplan yang digunakan untuk masing-masing kultur berbeda-beda tergantung tujuan kulturnya, eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Hal ini dikarenakan jaringan muda memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan tua. Husen S. dkk., (2018).
BAB. IV. KESIMPULAN
Benih kentang yang bermutu, diperlukan benih kentang unggul bebas virus yang dihasilkan dari teknik kultur in vitro berupa planlet. Tahapan dari produksi planlet dengan teknik kultur in vitro adalah isolasi atau penyedian eksplan dari jaringan meristem yang bebas virus, setelah meristem tumbuh menjadi planlet, produksi planlet selanjutnya dilakukan dengan menanam stek buku tunggal dengan menggunakan media MS. Keuntungan produksi kentang dengan teknik in vitro adalah: Bahan Tanam yang digunakan kecil dan efisien, Kondisi lingkungan aseptic dan terkendali sehingga tanaman planlet yang dihasilkan bebas organism lain/pathogen, Tingkat propagasi tinggi dan efisien, membutuhkan tempat produksi yang relatif kecil dengan produksi yang lebih banyak.