5.1 Pendahuluan
Benih yakni bahan yang digunakan untuk bahan dasar
pemeliharaan tanaman atau hewan. Istilah tersebut umumnya
digunakan jika bahan dasar ini berukuran jauh lebih kecil daripada
ukuran hasil akhirnya (dewasa). Dalam budidaya tanaman, benih
dapat berupa biji maupun tumbuhan kecil hasil perkecambahan,
pendederan, atau perbanyakan aseksual dan disebut juga bahan
tanam. Benih ataupun bahan tanam yang bukan berupa biji bisa
disebut sebagai bibit. Benih diperdagangkan tidak untuk
dikonsumsi. Bidang perikanan juga menggunakan istilah tersebut
untuk menyebut hewan yang masih muda yang siap dipelihara
hingga dewasa. Benih dari segi tekhnologi didefinisikan sebagai
organisme mini hidup yang dalam keadaan "istirahat" atau dorman
yang tersimpan dalam wahana tertentu yang digunakan sebagai
penerus generasi.
Menurut (Yuningsih and Wahyuni 2015) dormansi yakni ciri
khas benih yang diturunkan secara genetik dan merupakan faktor
penting dalam perkecambahan benih sebagai tanggapan atas suatu
keadaan yang tidak mendukung pertumbuhan normal. Pemicu
dormansi dapat bersifat mekanis, keadaan fisik lingkungan, atau
kimiawi. Pada beberapa jenis varietas tanaman tertentu, sebagian a
tau seluruh benih menjadi dorman sewaktu dipanen, sehingga
masalah yang sering dihadapi oleh petani atau pemakai benih
adalah bagaimana cara mengatasi dormansi tersebut.
Kondisi dormansi mungkin dibawa sejak benih masak secara
fisiologis ketika masih berada pada tanaman induknya atau
mungkin setelah benih tersebut terlepas dari tanaman induknya.
Dormansi pada benih dapat disebabkan oleh keadaan fisik dari
kulit biji dan keadaan fisiologis dari embrio atau bahkan kombinasi
dari kedua keadaan tersebut.
5.2 Dormansi
1
Dormansi merupakan kondisi terjadinya hambatan
perkecambahan yang disebabkan embrio mengalami belum matang
dan beberapa kendala seperti kulit benih atau adanya suatu zat
atau materi yang menutupi jaringan benih (C. C. Baskin and Baskin
2005). Dormansi yakni status dimana benih tidak berkecambah
walaupun pada kondisi lingkungan yang ideal untuk
perkecambahan (Hasbianto and Tresniawati 2013). Sedangkan
dormansi benih adalah suatu kondisi ketika benih hidup tidak
berkecambah sampai batas waktu di akhir pengamatan meskipun
faktor lingkungan optimum untuk perkecambahan (Melasari,
Suharsi, and Qadir 2018). Dormansi benih disebabkan karena
adanya impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas serta
embrio yang belum tumbuh sempurna (Ariyanti, Soleh, and
Maxiselly 2017). Dengan demikian, dormansi merupakan kondisi
terhenti ataupun tertundanya pertumbuhan dan metabolisme suatu
jaringan tumbuhan yang mempunyai potensi aktif membelah yang
diakibatkan oleh faktor internal (fisiologis tumbuhan tersebut)
ataupun faktor eksternal (kondisi lingkungan).
Tumbuhan yang mengalami dormansi masih tetah hidup
walaupun yang terlihat organ yang mengalami dorman tersebut
seperti mati. Pada kenyataannya pada organ yang secara visual
disebut dorman, sebenarnya masih berlangsung perubahan-
perubahan biokimia dan struktur mikroskopiknya. Pertumbuhan
yang terhenti pada organ-organ yang tidak mempunyai jaringan
meristem tidak disebut dalam kondisi dorman, sebab organ-organ
tersebut memang tidak lagi mempunyai potensi untuk tumbuh.
Sehingga suatu organ dikatakan dalam kondisi dorman apabila
organ tersebut terhenti pertumbuhannya padahal organ tersebut
memiliki potensi untuk tumbuh. Organ yang dalam kondisi
dorman, pertumbuhannya hanya terhenti sementara. Sehingga
organ tersebut akan tumbuh lagi sesudah masa dormannya habis.
Dormansi ialah sebuah mekanisme pertahanan diri terhadap
lingkungan yang tidak mendukung, seperti suhu yang sangat
rendah (pada musim dingin), atau kekeringan di musim panas
yang merupakan bagian penting dalam perjalanan hidup
2
tumbuhan tersebut. Dormansi bisa terjadi pada organ vegetatif
ataupun generatif tumbuhan. Dormansi yang berlangsung pada
organ vegetatif misalnya dialami oleh tumbuhan kayu tahunan
(parennial). Seluruh tubuh tumbuhan dapat mengalami dorman
tidak hanya bagian tunasnya saja pada musim dingin. Aktivitas
meristematis kambium terhenti begitupun jaringan batang dan
akaranya. Organ cadangan makanan seperti bulbus, umbi, kormus
dan semacamnya juga berada pada kondisi dorman. Fenomena
dormansi beberapa organ vegetatif tumbuhan tersebut akibat
respon terhadap suhu ataupun respon terhadap panjang hari.
4
terhadap cahaya, dan hal tersebut disebut skotodormant.
Sebaliknya, biji yang bersifat negatively photoblastic menjadi
photodormant apabila dikenai cahaya. Kedua dormansi
tersebut bisa dipatahkan dengan temperatur rendah.
Dari segi kualitas cahaya dormansi diakibatkan oleh
panjang gelombang tertentu. Yang mengakibatkan terjadinya
perkecambahan yakni daerah merah dari spektrum (red; 650
nm), sementara sinar inframerah (far red; 730 nm)
menghambat perkecambahan. Efek dari kedua daerah di
spektrum tersebut yakni mutually antagonistic (sama sekali
bertentangan). Apabila diberikan bergantian, maka efek yang
berlangsung selanjutnya dipengaruhi oleh spektrum yang
terakhir kali diberikan. Dalam hal ini, biji memiliki 2 pigmen
yang photoreversible (bisa berada pada dua kondisi alternatif),
yakni:
1) § P650 : mengabsorbir di daerah merah
2) § P730 : mengabsorbir di daerah inframerah
Apabila biji dikenai sinar merah (red; 650 nm), maka
pigmen P650 diubah menjadi P730. P730 inilah yang
menghasilkan sederatan aksi-aksi yang mengakibatkan
berlangsungnya perkecambahan. Sebaliknya apabila P730
dikenai sinar inframerah (far red; 730 nm), maka pigmen
kembali menjadi P650 dan terhambatlah proses
perkecambahan serta berlangsung dormansi.
b. Suhu
Perlakuan suhu rendah pada waktu sebelum memasuki
musim dingin pada daerah beriklim sedang bisa
mengakibatkan peningkatan dormansi, misalnya pada
tanaman Prunus armeniaca (aprikot). Kondisi udara yang lebih
hangat pada musim gugur bisa menunda dormansi, namun
tidak menghentikan berlangsungnya dormansi tunas pada
tanaman buah-buahan di daerah beriklim sedang. Perlakuan
suhu rendah guna memecahkan dormansi pada tunas akan
lebih efektif apabila setelah dormansi dipecahkan segera
diikuti dengan perlakuan suhu yang optimal guna memacu
pertumbuhan.
c. Kurangnya air
5
Sebagai contoh tanaman Mangifera indica (mangga) dan
beberapa tanaman lainnya memperlihatkan keunikan dalam
pertumbuhan batangnya, dimana bagian apikal batang akan
berada pada keadaan dorman serta tumbuh aktif secara
bergantian. Hal tersebut berlangsung secara periodik.
Pergantian dari dorman ke tumbuh aktif ataupun sebaliknya
ini akan tetap terjadi meskipun kondisi lingkungannya relatif
tidak berubah. Namun, ketersediaan air diyakini menjadi
pemicu untuk induksi ataupun pemecahan dormansi.
Kurangnya air penting dalam memulai dormansi pada
beberapa tumbuhan, terutama pada dormansi guna
mempertahankan hidup dalam kondisi panas maupun
kering.
(a)
7
(b)
(c)
Gambar 1. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan, (a)
cekaman kekeringan; (b) cekaman genangan air; (c)
cekaman salinitas
9
Proses fisiologis dalam biji terhambat oleh keberadaan
cahaya. Tidak hanya dalam jumlah cahaya yang diterima namun
juga intensitas cahaya dan panjang hari.
10
pemanasan 3-4 bulan. Contohnya Acer plantanoides (aceraceae).
PD intermediate yakni benih yang memproduksi bibit normal
dengan waktu skarifikasi 2-3 bulan. Contohnya Acer
pseudoplantus. Sementara PD non deep terjadi pada sebagian besar
biji. PD non deep memproduksi bibit normal dengan pematahan
dormansi melalui skarifikasi biasa. Contohnya Arabidopsis
thaliana, Helianthus annuus, dan Aster ptarmacoides.
2. Dormansi morfologi (Morphologycal Dormancy/MD)
Kelompok biji yang cadangan makanannya terbelakang
(dalam hal ukuran yang kecil). Tidak aktif secara fisiologis akan
tetapi butuh waktu untuk tumbuh maupun berkecambah.
Contohnya Apium graveolens (Apiaceae).
3. Dormansi morfofisiologi (Morphophysiological
Dormancy/MPD)
MPD juga terlihat daam biji yang terbelakang (dalam hal
ukuran), namun mereka mempunyai komponen fisiologis untuk
dormansi mereka. Maka sebab itu benih ini membutuhkan cara
pematahan dormansi khusus, misalnya kombinasi stratifiikasi
hangat dan/atau dingin. Dalam pertumbuhan embrio, biji MPD
ataupun berkecambahnya memerlukan waktu jauh lebih lama
dibandingkan di biji MD.
4. Dormansi fisik (Physical Dormancy/PY)
Dormansi pada biji yang diakibatkan lapisan jaringan
palisade pada biji ataupun kulit buah yang impermeabel
terhadap air. Setelah kulit pada benih ataupun mantel buah
menjadi permeabel terhadap air, benih bisa berkecambah lebih
dari berbagai kondisi kamar. Tidak seperti biji PD, yang
mungkin mengalami dormansi lagi (sekunder).
5. Dormansi kombinasi (Combinational dormancy/PY+PD)
Dormansi kombinasi PY+PD yakni biji dengan mantel
impermeabel (PY) dikombinasikan dengan dormansi embrio
fisiologis (PD non deep). Dormansi PY+PD meliputi spesies dari
Ancardiaceae, genus Rhus (misalnya aromatica Rhus).
11
Ditandai dengan terjadinya penurunan jumlah hormon
pertumbuhan. Proses perkecambahan biji secara umum
dipengaruhi oleh tiga hormon yakni asam absisat, sitokinin dan
giberelin. Pada saat kadar asam absisat meningkat, biji akan
memulai proses dormansi. Asam absisat akan menekan hormon
pertumbuhan yang lain.
2. Fase tertundanya metabolisme
Akibat menurunnya kadar hormon pertumbuhan, biji tidak
mampu merombak cadangan makanan pada endosperm. Tidak
ada hormon pertumbuhan yang menginduksi, maka
metabolisme lemak tidak akan berlangsung.
3. Fase bertahannya embrio untuk berkecambah sebab faktor
lingkungan yang tidak menguntungkan
Imbibisi air mengakibatkan terjadinya katabolisme karbohidrat
pada biji. Akan tetapi pada saat kondisi lingkungan yang tidak
mendukung, misalnya kekurangan air, giberelin yang tidak aktif
tidak bisa menginduksi sintesis amilum.
4. Perkecambahan (germination)
Ditandai dengan meningkatnya hormon dan aktivitas enzim
15
bisa mencegah pertunasan di lapangan serta merupakan
mekanisme untuk mempertahankan hidup. Kekurangan
dormansi antara lain yakni kentang tidak bisa ditanam
sepanjang tahun serta memerlukan waktu yang lama untuk
bertunas sehingga diperlukan cara guna mematahkan
dormansinya (Goldsworthy and Fisher 1992).
Pematahan dormansi pada umbi kentang bisa dilakukan
dengan cara pemberian hidrogen sianamida atau dormex, etilen
atau ethrel, fumigasi dengan gas karbid, zat pengatur tumbuh
(ZPT) serta pemberian gas CS2 atau penyimpanan umbi kentang
pada suhu berganti (Nuraini, Sumadi, and Pratama 2016; Jufri,
Rahayu, and Setiawan 2015; Ulfa 2015). Pematahan dormansi
umbi kentang menggunakan bahan kimia seperti hidrogen
sianamida atau dormex, etilen atau ethrel dan fumigasi dengan
gas karbid sulit diaplikasikan karena ketersediaan bahan di
pasar lokal langka serta harganya cukup mahal maupun tidak
ramah lingkungan (Ulfa 2015).
Menurut Nuraini, Sumadi, and Pratama (2016) pematahan
dormansi pada umbi kentang bisa dilakukan dengan cara kimia
memakai zat pengatur tumbuh (ZPT). ZPT adalah senyawa
organik yang dalam konsentrasi rendah bisa memacu ataupun
menghambat pertumbuhan ataupun perkembangan tanaman.
Salah satu ZPT yang bisa mempercepat pematahan dormansi
yakni sitokinin. Sitokinin yaitu zat pengatur tumbuh yang
berperan dalam mengatur pembelahan sel sehingga mampu
mempercepat kemunculan tunas. Nuraini, Sumadi, and Pratama
(2016) dalam penelitiannya menggunakan Benzyl amino purine
(BAP) sebagai sumber sitokinin untuk pematahan dormansi bibit
kentang G1. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa
penggunaan BAP memberikan pengaruh nyata terhadap waktu
muncul tunas, jumlah tunas dan panjang tunas tetapi tidak
berpengaruh terhadap bobot tunas pada umbi kentang.
Pemberian BAP 100 mgL-1 dapat mempercepat waktu muncul
tunas, meningkatkan jumlah dan panjang tunas pada benih
kentang.
Menurut Ulfa (2015) pematahan dormansi pada umbi
kentang bisa dilakukan dengan cara pemberian senyawa bioaktif
dari daun glycerida (gamal) dan daun albizia (sengon). Daun
16
glycerida sering dimanfaatkan sebagai sumber hormon pematang
buah pisang atau tomat, sementara petani di daerah Sukabumi
memanfaatkan daun albizia sebagai sumber hormon pematang
buah pisang atau tomat juga. Kadar etilen daun glycerida dan
albizia lebih tinggi dibandingkan daun sirsak maupun belimbing.
Sealin itu, kedua tanaman tersebut mempunyai kandungan
coumarin, terpene dan lupenone yang bisa menghambat serangan
OPT. Hasil penelitian Ulfa (2015) menunjukkan bahwa daun
glycerida yang dilarutkan dalam hexana maupun daun glycerida
segar cenderung menghasilkan persentase umbi bertunas lebih
tinggi dibanding perlakuan lainnya. Daun albizia kering
memberikan persentase umbi bertunas tertinggi (16,67%). Daun
albizia yang dilarutkan dalam hexana dan aquades menghasilkan
persentase umbi busuk terendah (0%). Daun glycerida yang
dilarutkan dalam hexana memberikan persentase umbi busuk
terendah (20%). Secara umum, daun glycerida dan albizia yang
diberikan dalam berbagai bentuk menyebabkan umbi tidak
berjamur, namun perlakuan daun glycerida kering
menyebabkan persentase umbi berjamur sebesar 20%. Daun
glycerida segar memberikan panjang tunas tertinggi (0,5 cm),
demikian juga daun albizia segar memberikan panjang tunas
tertinggi (0,13 cm).
Menurut Jufri, Rahayu, and Setiawan (2015) masa dormansi
kentang bibit dapat dipercepat dengan pemberian gas CS 2 atau
penyimpanan kentang bibit pada suhu berganti. Hasil penelitian
(Jufri, Rahayu, and Setiawan 2015) terhadap pengaruh suhu
simpan dan diameter umbi terhadap masa dormansi
menunjukkan umbi yang disimpan di suhu dingin (40°C) belum
mengalami pertunasan setelah 16 minggu penyimpanan
sedangkan umbi yang disimpan di suhu ruang mulai bertunas
pada minggu ke-12 dan mencapai 100% pada minggu ke 16.
Penurunan bobot umbi yang disimpan di suhu ruang lebih besar
daripada umbi yang disimpan di suhu dingin. Hama penyakit
lebih banyak ditemui pada umbi yang disimpan di suhu ruang
yaitu sebesar 16.47%. Hasil pengamatan pengaruh perlakuan
penyimpanan umbi terhadap pertumbuhan tunas menunjukkan
bahwa umbi yang disimpan menggunakan metode II
(penyimpanan umbi selama 2 bulan di suhu ruang dilanjutkan
17
pemberian gas CS2) mengalami pertumbuhan tunas yang lebih
lambat daripada metode simpan I (penyimpanan umbi selama 4
bulan di suhu ruang) dan metode simpan III (penyimpanan
umbi selama 2 bulan di suhu ruang dan 3 bulan di suhu dingin).
2. Dormansi benih bawang merah
Sebagian besar petani di Indonesia menggunakan umbi
bawang merah sebagai bahan tanam. Menurut Wardani and
Sulistyaningsih, Rohmanti Endang (2013) Penanaman bawang
merah di Indonesia umumnya dilaksanakan pada musim hujan
(Maret-April) dan pada musim kemarau (Juli-Agustus). Benih
berupa umbi hasil penangkaran pada musim hujan (Maret-
April) digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih pada
musim tanam selanjutnya, yakni musim kemarau (Juli-Agustus),
begitupun sebaliknya umbi hasil penangkaran pada musim
kemarau (Juli-Agustus) digunakan untuk memenuhi kebutuhan
benih pada musim hujan (Maret-April). Umbi hasil penangkaran
pada musim kemarau (Juli-Agustus) tidak terdapat kendala,
karena antara pemanenan dan penanaman berikutnya memiliki
selang waktu yang cukup lama, sehingga ada waktu
penyimpanan sebelum umbi ditanam. Namun umbi hasil
penangkaran pada musim hujan (Maret-April), memiliki selang
waktu yang singkat antara pemanenan dan penanaman
berikutnya, sehingga umbi belum siap sebagai bahan tanam
karena memiliki dormansi selepas panen. Benih mewang merah
memiliki masa dormansi. Dormansi bawang merah termasuk ke
dalam jenis dormansi sekunder. Bawang merah memiliki masa
dormansi yang berlangsung 4 hingga 9 minggu, sehingga
umumnya disimpan beberapa bulan sebelum ditanam.
Menurut Phillips (2010) pada Allium dikenal dua jenis
dormansi yaitu summer dormancy dan winter dormancy. Dormansi
pada umbi lapis bawang merah di Indonesia diduga termasuk
summer dormancy karena umbi akan mengalami dormansi pada
suhu tinggi. Selain diduga kerana suhu, dormansi pada Allium
juga dapat disebabkan rendahnya aktivitas hormon endogen
yang terdapat didalam umbi dan tingginya aktivitas inhibitor
(Mantoko and Kurnia 2019).
18
Gambar 3. Dormansi pada benih bawang merah
19
GA3. Kemudian Woldeyes, W/tsadik, and Tabor (2017) dalam
penelitiannya menunjukkan penyimpanan pada suhu dingin 7°C
selama 20 hari merupakan kondisi optimum bawang putih
untuk berkecambah.
Menurut Mantoko and Kurnia (2019) masa dormansi bibit
bawang merah dapat dipatahkan dengan memberikan zat
pengatur tumbuh berupa GA3 dan sitokinin yang terdapat
didalam air kelapa. Selain pemberian zat pengatur tumbuh,
perlakuan pemberian suhu tertentu juga dapat membantu
mematahkan dormansi pada bibit bawang merah. Berdasarkan
hasil penelitian Mantoko and Kurnia (2019) mengenai pengaruh
perlakuan zat pengatur tumbuh GA3 dan sitokinin serta suhu
rendah terhadap pematahan dormansi menunjukkan bahwa
perlakuan kombinasi suhu rendah dengan giberelin maupun air
kelapa berpengaruh terhadap pematahan dormansi umbi
bawang merah yang ditunjukkan dengan nilai daya
berkecambah umbi. Perlakuan kombinasi giberelin dengan suhu
rendah (Z1T1) mempengaruhi kecepatan berkecambah dengan
nilai rata-rata 54,74%/ethmal, sedangkan pada perlakuan
kombinasi air kelapa dengan suhu rendah (Z2T1) berpengaruh
terhadap keserempakan berkecambah (90%), tinggi tanaman
(56,18 cm), dan panjang akar (35,40 cm). Kesimpulan dari
penelitian ini adalah perlakuan pemberian GA3, air kelapa, dan
suhu rendah mampu mematahkan dormansi bawang merah.
Kombinasi perlakuan terbaik untuk pematahan dormansi adalah
kombinasi giberelin dengan suhu rendah (Z1T1), sedangkan
perlakuan kombinasi air kelapa dengan suhu rendah (Z2T1)
mampu meningkatkan laju pertumbuhan tinggi dan panjang
akar umbi bawang merah.
5.8 Daftar Pustaka
21
Melasari, Nur, Tatiek Kartika Suharsi, and Abdul Qadir. 2018.
“Penentuan Metode Pematahan Dormansi Benih Kecipir
(Psophocarpus Tetragonolobus L.) Aksesi Cilacap.” Buletin
Agrohorti 6 (1): 59–67.
https://doi.org/10.29244/agrob.v6i1.16824.
Nana, Sri Ariani B P, and Zuchrotus Salamah. 2014. “Pertumbuhan
Tanaman Bawang Merah ( Allium Cepa L .) Dengan
Penyiraman Air Kelapa ( Cocos Nucifera L .) Sebagai Sumber
Belajar BiologiSMA Kelas XII.” Jupemasi-Bio 1 (1): 82–86.
Nuraini, Anne, Sumadi Sumadi, and R. Pratama. 2016. “Aplikasi
Sitokinin Untuk Pematahan Dormansi Benih Kentang G1
(Solanum Tuberosum L.).” Kultivasi 15 (3): 202–7.
https://doi.org/10.24198/kultivasi.v15i3.11765.
Phillips, N. 2010. “Seed and Bulb Dormancy Characteristics in New
World Allium L. (Amaryllidaceae): A Review.” International
Journal of Botany 6 (3): 228–34.
Rahman, Muhammad Hafizur, Muhammad Shahidul Haque,
Mohammad A Karim, and Masum Ahmed. 2006. “Effects of
Gibberellic Acid (GA3) on Breaking Dormancy in Garlic
(Allium Sativum L.).” International Journal of Agriculture &
Biology 8 (1): 63–65.
Sutopo, L. 1985. Teknologi Benih. Jakarta: Rajawali.
Ulfa, Fachirah. 2015. “Pemecahan Dormansi Benih Kentang
(Solanum Tuberosum) Varietas Granola Dengan Pemanfaatan
Senyawa Bioaktif Tanaman Glycerida Dan Albizia.” J. Agrotan
1 (1): 37–44.
Wardani, Turna Wahyu Novia, and Rabaniyah Sulistyaningsih,
Rohmanti Endang. 2013. “Pematahan Dormansi Umbi Bawang
Merah (Allium Cepa L. Kelompok Aggregatum) Dengan
Perendaman Dalam Ethepon.” Jurnal Budidaya Pertanian, 65–72.
https://doi.org/10.22146/veg.1525.
Woldeyes, Fikrte, Kebede W/tsadik, and Getachew Tabor. 2017.
“Emergence of Garlic (Allium Sativum L.) as Influenced by
Low Storage Temperature and Gibberellic Acid Treatments.”
Journal of Agriculture and Ecology Research International 10 (2): 1–
7. https://doi.org/10.9734/jaeri/2017/29843.
Yuningsih, Aida F V, and Sri Wahyuni. 2015. “Effective Methods for
Dormancy Breaking of 15 New-Improved Rice Varieties to
22
Enhance the Validity of Germination Test.” In International
Seminar on Promoting Local Resources for Food and Health, 166–73.
Bengkulu.
23
5.9 Glosarium
24
BIOGRAFI PENULIS
25
KTP - Farchan Mushaf Al Ramadhani
26
BIOGRAFI PENULIS
27
KTP - Dwika Nano Hariyanto
28