Anda di halaman 1dari 28

FISIOLOGI DORMANSI BIJI DAN ORGAN VEGETATIF

DAN PEMATAHAN DORMANSI

5.1 Pendahuluan
Benih yakni bahan yang digunakan untuk bahan dasar
pemeliharaan tanaman atau hewan. Istilah tersebut umumnya
digunakan jika bahan dasar ini berukuran jauh lebih kecil daripada
ukuran hasil akhirnya (dewasa). Dalam budidaya tanaman, benih
dapat berupa biji maupun tumbuhan kecil hasil perkecambahan,
pendederan, atau perbanyakan aseksual dan disebut juga bahan
tanam. Benih ataupun bahan tanam yang bukan berupa biji bisa
disebut sebagai bibit. Benih diperdagangkan tidak untuk
dikonsumsi. Bidang perikanan juga menggunakan istilah tersebut
untuk menyebut hewan yang masih muda yang siap dipelihara
hingga dewasa. Benih dari segi tekhnologi didefinisikan sebagai
organisme mini hidup yang dalam keadaan "istirahat" atau dorman
yang tersimpan dalam wahana tertentu yang digunakan sebagai
penerus generasi.
Menurut (Yuningsih and Wahyuni 2015) dormansi yakni ciri
khas benih yang diturunkan secara genetik dan merupakan faktor
penting dalam perkecambahan benih sebagai tanggapan atas suatu
keadaan yang tidak mendukung pertumbuhan normal. Pemicu
dormansi dapat bersifat mekanis, keadaan fisik lingkungan, atau
kimiawi. Pada beberapa jenis varietas tanaman tertentu, sebagian a
tau seluruh benih menjadi dorman sewaktu dipanen, sehingga
masalah yang sering dihadapi oleh petani atau pemakai benih
adalah bagaimana cara mengatasi dormansi tersebut.
Kondisi dormansi mungkin dibawa sejak benih masak secara
fisiologis ketika masih berada pada tanaman induknya atau
mungkin setelah benih tersebut terlepas dari tanaman induknya.
Dormansi pada benih dapat disebabkan oleh keadaan fisik dari
kulit biji dan keadaan fisiologis dari embrio atau bahkan kombinasi
dari kedua keadaan tersebut.

5.2 Dormansi
1
Dormansi merupakan kondisi terjadinya hambatan
perkecambahan yang disebabkan embrio mengalami belum matang
dan beberapa kendala seperti kulit benih atau adanya suatu zat
atau materi yang menutupi jaringan benih (C. C. Baskin and Baskin
2005). Dormansi yakni status dimana benih tidak berkecambah
walaupun pada kondisi lingkungan yang ideal untuk
perkecambahan (Hasbianto and Tresniawati 2013). Sedangkan
dormansi benih adalah suatu kondisi ketika benih hidup tidak
berkecambah sampai batas waktu di akhir pengamatan meskipun
faktor lingkungan optimum untuk perkecambahan (Melasari,
Suharsi, and Qadir 2018). Dormansi benih disebabkan karena
adanya impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas serta
embrio yang belum tumbuh sempurna (Ariyanti, Soleh, and
Maxiselly 2017). Dengan demikian, dormansi merupakan kondisi
terhenti ataupun tertundanya pertumbuhan dan metabolisme suatu
jaringan tumbuhan yang mempunyai potensi aktif membelah yang
diakibatkan oleh faktor internal (fisiologis tumbuhan tersebut)
ataupun faktor eksternal (kondisi lingkungan).
Tumbuhan yang mengalami dormansi masih tetah hidup
walaupun yang terlihat organ yang mengalami dorman tersebut
seperti mati. Pada kenyataannya pada organ yang secara visual
disebut dorman, sebenarnya masih berlangsung perubahan-
perubahan biokimia dan struktur mikroskopiknya. Pertumbuhan
yang terhenti pada organ-organ yang tidak mempunyai jaringan
meristem tidak disebut dalam kondisi dorman, sebab organ-organ
tersebut memang tidak lagi mempunyai potensi untuk tumbuh.
Sehingga suatu organ dikatakan dalam kondisi dorman apabila
organ tersebut terhenti pertumbuhannya padahal organ tersebut
memiliki potensi untuk tumbuh. Organ yang dalam kondisi
dorman, pertumbuhannya hanya terhenti sementara. Sehingga
organ tersebut akan tumbuh lagi sesudah masa dormannya habis.
Dormansi ialah sebuah mekanisme pertahanan diri terhadap
lingkungan yang tidak mendukung, seperti suhu yang sangat
rendah (pada musim dingin), atau kekeringan di musim panas
yang merupakan bagian penting dalam perjalanan hidup

2
tumbuhan tersebut. Dormansi bisa terjadi pada organ vegetatif
ataupun generatif tumbuhan. Dormansi yang berlangsung pada
organ vegetatif misalnya dialami oleh tumbuhan kayu tahunan
(parennial). Seluruh tubuh tumbuhan dapat mengalami dorman
tidak hanya bagian tunasnya saja pada musim dingin. Aktivitas
meristematis kambium terhenti begitupun jaringan batang dan
akaranya. Organ cadangan makanan seperti bulbus, umbi, kormus
dan semacamnya juga berada pada kondisi dorman. Fenomena
dormansi beberapa organ vegetatif tumbuhan tersebut akibat
respon terhadap suhu ataupun respon terhadap panjang hari.

5.3 Penyebab Terjadinya Dormansi


Benih yang mengalami dormansi ditandai oleh rendahnya atau
tidak adanya proses imbibisi air, proses respirasi terhambat atau
tertekan, rendahnya proses mobilisasi cadangan makanan dan
rendahnya proses metabolisme cadangan makanan. Adapun faktor
yang mengakibatkan benih tersebut mengalami dormansi yakni
faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal,
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam
tubuh benih itu sendiri, seperti:
a. Kulit biji
Kulit biji bisa berperan sebagai penghambat untuk
terjadinya perkecambahan, sehingga biji tersebut digolongkan
sebagai biji tersebut digolongkan sebagai biji yang berada
dalam keadaan dorman. Hambatan kulit biji mungkin
diakibatkan sebab:
1) Kulit biji mengandung senyawa penghambat tumbuh
2) Kulit menghambat difusi oksigen dan/atau air masuk ke
dalam biji
3) Kulit biji mempunyai resistensi mekanis yang besar radikel
tidak mampu untuk tumbuh menembusnya.
b. Kematangan embrio
Terjadinya dormansi diakibatkan oleh belum matangnya
ataupun belum sempurnanya pembentukan embrio. Ketika
terjadi absisi ataupun gugurnya buah dari daun, biji belum
menyelesaikan perkembangannya. Sehingga bji
3
terdiferensiasi sempurna, sehingga biji memerlukan waktu
yang lebih lama untuk berkecambah sebab mempersiapkan
kebutuhannya. Dalam hal ini, berarti biji melakukan
penundaan untuk tidak berkecambah dan melakukan
dorman.
c. Adanya inhibitor (penghambat)
Perkecambahan biji ialah kulminasi dari serangkaian
kompleks proses-proses metabolik, yang masing-masing
harus berlangsung tanpa gangguan. Tiap substansi yang
menghambat salah satu proses akan berakibat pada
terhambatnya seluruh rangkaian proses perkecambahan.
Beberapa zat penghambat dalam biji yang telah berhasil
diisolir yakni soumarin dan lacton tidak jenuh, akan tetapi
lokasi penghambatannya sulit ditentukan sebab daerah
kerjanya berbeda dengan tempat dimana zat tersebut diisolir.
Zat penghambat bisa berada dalam embrio, endosperm, kulit
biji dan daging buah.
d. Rendahnya zat perangsang tumbuh
Meskipun terdapat banyak jenis senyawa yang bisa
berperan menghambat.
2. Faktor eksternal,
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar benih,
seperti:
a. Cahaya
Cahaya memengaruhi dormansi dengan tiga cara yakni
dengan intensitas (kuantitas) cahaya, kualitas cahaya
(panjang gelombang) serta fotoperiodisitas (panjang hari).
Apabila dari segi kuantitas cahaya, dormansi ini berlangsung
sebab pengaruh dari intensitas cahaya yang diberikan kepada
biji. Intensitas akan berpengaruh terhadap biji yang sedang
berkecambah, ada biji yang lebih cepat berkecambah bila
disinari dengan intenstias yang tinggi ataupun dikenal
dengan positively photoblastic. Sebaliknya, ada biji yang akan
mengalami dormansi jika disinari dengan intensitas yang
tinggi ataupun dikenal dengan negatively photoblastic. Jadi,
apabila biji yang bersifat positively photoblastic disimpan pada
kondisi gelap ataupun tidak terkena cahaya untuk jangka
waktu lama biji akan berubah menjadi tidak responsif

4
terhadap cahaya, dan hal tersebut disebut skotodormant.
Sebaliknya, biji yang bersifat negatively photoblastic menjadi
photodormant apabila dikenai cahaya. Kedua dormansi
tersebut bisa dipatahkan dengan temperatur rendah.
Dari segi kualitas cahaya dormansi diakibatkan oleh
panjang gelombang tertentu. Yang mengakibatkan terjadinya
perkecambahan yakni daerah merah dari spektrum (red; 650
nm), sementara sinar inframerah (far red; 730 nm)
menghambat perkecambahan. Efek dari kedua daerah di
spektrum tersebut yakni mutually antagonistic (sama sekali
bertentangan). Apabila diberikan bergantian, maka efek yang
berlangsung selanjutnya dipengaruhi oleh spektrum yang
terakhir kali diberikan. Dalam hal ini, biji memiliki 2 pigmen
yang photoreversible (bisa berada pada dua kondisi alternatif),
yakni:
1) § P650 : mengabsorbir di daerah merah
2) § P730 : mengabsorbir di daerah inframerah
Apabila biji dikenai sinar merah (red; 650 nm), maka
pigmen P650 diubah menjadi P730. P730 inilah yang
menghasilkan sederatan aksi-aksi yang mengakibatkan
berlangsungnya perkecambahan. Sebaliknya apabila P730
dikenai sinar inframerah (far red; 730 nm), maka pigmen
kembali menjadi P650 dan terhambatlah proses
perkecambahan serta berlangsung dormansi.
b. Suhu
Perlakuan suhu rendah pada waktu sebelum memasuki
musim dingin pada daerah beriklim sedang bisa
mengakibatkan peningkatan dormansi, misalnya pada
tanaman Prunus armeniaca (aprikot). Kondisi udara yang lebih
hangat pada musim gugur bisa menunda dormansi, namun
tidak menghentikan berlangsungnya dormansi tunas pada
tanaman buah-buahan di daerah beriklim sedang. Perlakuan
suhu rendah guna memecahkan dormansi pada tunas akan
lebih efektif apabila setelah dormansi dipecahkan segera
diikuti dengan perlakuan suhu yang optimal guna memacu
pertumbuhan.
c. Kurangnya air

5
Sebagai contoh tanaman Mangifera indica (mangga) dan
beberapa tanaman lainnya memperlihatkan keunikan dalam
pertumbuhan batangnya, dimana bagian apikal batang akan
berada pada keadaan dorman serta tumbuh aktif secara
bergantian. Hal tersebut berlangsung secara periodik.
Pergantian dari dorman ke tumbuh aktif ataupun sebaliknya
ini akan tetap terjadi meskipun kondisi lingkungannya relatif
tidak berubah. Namun, ketersediaan air diyakini menjadi
pemicu untuk induksi ataupun pemecahan dormansi.
Kurangnya air penting dalam memulai dormansi pada
beberapa tumbuhan, terutama pada dormansi guna
mempertahankan hidup dalam kondisi panas maupun
kering.

5.4 Macam-macam Dormansi

Dormansi menurut Aldrich


Secara umum menurut Aldrich (1984) dormansi
dikelompokkan menjadi 2 macam yakni:
1. Innate dormancy (dormansi primer)
Innate dormancy yakni dormansi yang terjadi sejak benih
masih berada pada tanaman induk. Dormansi ini merupakan
bentuk dormansi yang paling sering terjadi dan terdiri atas dua
macam yaitu dormansi eksogen dan dormansi endogen.
Dormansi eksogenous yakni kondisi dimana komponen penting
perkecambahan tidak tersedia bagi benih dan menyebabkan
kegagalan dalam perkecambahan. Tipe dormansi tersebut
berhubungan dengan sifat fisik dari kulit benih serta faktor
lingkungan selama perkecambahan. Sedangkan dormansi
endogenous yakni dormansi yang disebabkan karena sifat-sifat
tertentu yang melekat pada benih, seperti adanya kandungan
inhibitor yang berlebih pada benih, embrio benih yang
rudimenter dan sensitivitas terhadap suhu dan cahaya.
2. Induced dormancy (dormansi sekunder)
Induced dormancy yakni dormansi karena salah satu faktor
lingkungan dan apabila dikembalikan pada keadaan semula
benih tetap dorman. Dormansi sekunder adalah sifat dormansi
yang terjadi karena dihilangkannya satu atau lebih faktor
6
penting perkecambahan. Dormansi sekunder adalah benih-benih
yang pada keadaan normal maupun berkecambah, tetapi apabila
dikenakan pada suatu keadaan yang tidak menguntungkan
selama beberapa waktu dapat menjadi kehilangan
kemampuannya untuk berkecambah. Kadang-kadang dormansi
sekunder ditimbulkan bila benih diberi semua kondisi yang
dibutuhkan untuk berkecambah kecuali satu. Misalnya
kegagalan memberikan cahaya pada benih yang membutuhkan
cahaya. Diduga dormansi sekunder tersebut disebabkan oleh
perubahan fisik yang teijadi pada kulit biji yang diakibatkan
oleh pengeringan yang berlebihan sehingga pertukaran gas-gas
pada saat imbibisi menjadi lebih terbatas.
3. Enforced dormancy (dormansi paksaan)
Dormansi paksaan ialah istilah yang digunakan untuk biji-
biji yang tidak berkecambah selama faktor lingkungan
(kelembaban, cahaya, oksigen) kurang menguntungkan dan
segera akan berkecambah apabila lingkungannya
menguntungkan. Dormansi yang terjadi karena faktor
lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan atau
terjadinya perkecambahan dapat dikatakan merupakan suatu
mekanisme pengaturan perkecambahan sebagai adaptasi untuk
ketahanan alami spesies tanaman terhadap kondisi lingkungan
yang tidak sesuai untuk perkecambahan ataupun pertumbuhan.

(a)

7
(b)

(c)
Gambar 1. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan, (a)
cekaman kekeringan; (b) cekaman genangan air; (c)
cekaman salinitas

Dormansi menurut Sutopo


Dormansi menurut Sutopo (1985) dikelompokkan menjadi dua
tipe berdasarkan mekanisme dormansi di dalam biji, yakni:
1. Dormansi fisik
Dormansi fisik disebabkan oleh pembatasan struktural terhadap
perkecambahan biji, seperti kulit biji yang keras dan kedap
sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air
atau gas-gas ke dalam biji. Dengan kata lain, dormansi yang
mekanisme penghambatannya disebabkan oleh organ biji itu
sendiri. Beberapa penyebab dormansi fisik yakni:
a. Impermeabilitas kulit biji terhadap air.
Benih-benih yang termasuk dalam tipe dormansi ini
disebut sebagai “benih keras” karena mempunyai kulit biji
yang keras dan strukturnya terdiri dari lapisan sel-sel serupa
palisade berdinding tebal terutama di permukaan paling luar
8
serta bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin dan bahan
kutikula.
b. Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio.
Dalam hal ini kulit biji cukup kuat sehingga menghalangi
pertumbuhan embrio. Jika kulit biji dihilangkan, maka embrio
akan tumbuh dengan segera.
c. Permeabilitas yang rendah dari kulit biji terhadap gas-gas.
Pada dormansi ini, perkecambahan akan terjadi jika kulit
biji dibuka atau jika tekanan oksigen di sekitar benih
ditambah. Pada benih apel misalnya, suplai oksigen sangat
dibatasi oleh keadaan kulit bijinya sehingga tidak cukup
untuk kegiatan respirasi embrio. Keadaan ini terjadi apabila
benih berimbibisi pada daerah dengan temperatur hangat.
2. Dormansi fisiologis
Dormansi fisiologis dapat disebabkan oleh sejumlah
mekanisme, tetapi pada umumnya disebabkan oleh zat pengatur
tumbuh, baik yang berupa penghambat maupun perangsang
tumbuh. Beberapa penyebab dormansi fisiologis yakni:
a. Immaturity embryo
Proses fisiologis dalam biji terhambat oleh kondisi
embrio yang tidak atau belum matang. Pada dormansi ini
perkembangan embrionya tidak secepat jaringan
sekelilingnya sehingga perkecambahan benih-benih yang
demikian perlu ditunda. Sebaiknya benih ditempatkan pada
temperatur dan kelembaban tertentu agar viabilitasnya tetap
terjaga sampai embrionya terbentuk secara sempurna dan
mampu berkecambah.
b. After ripening
Benih yang mengalami dormansi ini memerlukan suatu
jangkauan waktu simpan tertentu agar dapat berkecambah,
atau dikatakan membutuhkan jangka waktu "After ripening".
After ripening didefinisikan sebagai setiap perubahan pada
kondisi fisiologis benih selama penyimpanan yang mengubah
benih menjadi mampu berkecambah. Jangka waktu
penyimpanan ini berbeda-beda dari beberapa hari sampai
dengan beberapa tahun, tergantung dari jenis benihnya.
c. Photodormansi

9
Proses fisiologis dalam biji terhambat oleh keberadaan
cahaya. Tidak hanya dalam jumlah cahaya yang diterima namun
juga intensitas cahaya dan panjang hari.

Dormansi menurut Lakitan


Dormansi menurut Lakitan (1996) dibedakan menjadi 3 macam
yakni:
1. Endodormansi
Endodormansi yakni dormansi dimana reaksi awal yang
mengakibatkan pengendalian pertumbuhan berasal dari sinyal
endogen ataupun lingkungan yang langsung diterima oleh
organ itu sendiri. Para ahli fisiologi benih biasa memakai istilah
kuisen (quiescence) untuk endodormansi. Kuisen ialah keadaan
ketika biji tidak dapat berkecambah akibat kondisi luar biji
tersebut (misalnya biji terlalu kering ataupun terlalu dingin).
2. Paradormansi
Paradormansi yakni dormansi dimana reaksi awal yang
mengendalikan pertumbuhan berasal dari sinyal spesifik yang
berasal dari (atau pertama diterima oleh) organ diluar dari organ
yang mengalami dormansi. Contohnya yakni kasus dormansi
apikal yang mengakibatkan tunas lateral menjadi dorman
ataupun dormansi tunas yang dikendalikan oleh daun di
dekatnya. Paradormansi sebelumnya juga dikenal sebagai
ektodormansi.
3. Ekodormansi
Ekodormansi yakni dormansi yang diakibatkan oleh satu
ataupun lebih faktor lingkungan yang tidak sesuai untuk
metabolisme yang menyebabkan terhentinya pertumbuhan.

Dormansi menurut Baskin


Baskin, Baskin, and Li (2000) mengklasifikasikan dormansi biji
menjadi lima macam yakni:
1. Dormansi fisiologi (Physiological Dormancy/PD)
Dibagi menjadi tiga kategori yakni dalam (deep), intermediet
(intermediate) dan tidak dalam (non deep). PD deep yakni benih
yang tidak bisa tumbuh serta menghasilkan bibit abnormal. Cara
mematahkannya dengan perlakuan pendinginan ataupun

10
pemanasan 3-4 bulan. Contohnya Acer plantanoides (aceraceae).
PD intermediate yakni benih yang memproduksi bibit normal
dengan waktu skarifikasi 2-3 bulan. Contohnya Acer
pseudoplantus. Sementara PD non deep terjadi pada sebagian besar
biji. PD non deep memproduksi bibit normal dengan pematahan
dormansi melalui skarifikasi biasa. Contohnya Arabidopsis
thaliana, Helianthus annuus, dan Aster ptarmacoides.
2. Dormansi morfologi (Morphologycal Dormancy/MD)
Kelompok biji yang cadangan makanannya terbelakang
(dalam hal ukuran yang kecil). Tidak aktif secara fisiologis akan
tetapi butuh waktu untuk tumbuh maupun berkecambah.
Contohnya Apium graveolens (Apiaceae).
3. Dormansi morfofisiologi (Morphophysiological
Dormancy/MPD)
MPD juga terlihat daam biji yang terbelakang (dalam hal
ukuran), namun mereka mempunyai komponen fisiologis untuk
dormansi mereka. Maka sebab itu benih ini membutuhkan cara
pematahan dormansi khusus, misalnya kombinasi stratifiikasi
hangat dan/atau dingin. Dalam pertumbuhan embrio, biji MPD
ataupun berkecambahnya memerlukan waktu jauh lebih lama
dibandingkan di biji MD.
4. Dormansi fisik (Physical Dormancy/PY)
Dormansi pada biji yang diakibatkan lapisan jaringan
palisade pada biji ataupun kulit buah yang impermeabel
terhadap air. Setelah kulit pada benih ataupun mantel buah
menjadi permeabel terhadap air, benih bisa berkecambah lebih
dari berbagai kondisi kamar. Tidak seperti biji PD, yang
mungkin mengalami dormansi lagi (sekunder).
5. Dormansi kombinasi (Combinational dormancy/PY+PD)
Dormansi kombinasi PY+PD yakni biji dengan mantel
impermeabel (PY) dikombinasikan dengan dormansi embrio
fisiologis (PD non deep). Dormansi PY+PD meliputi spesies dari
Ancardiaceae, genus Rhus (misalnya aromatica Rhus).

5.5 Mekanisme Dormansi


Menurut Abidin (1987) ada beberapa fase yang terjadi dalam
dormansi yang harus dilalui yakni:
1. Fase induksi

11
Ditandai dengan terjadinya penurunan jumlah hormon
pertumbuhan. Proses perkecambahan biji secara umum
dipengaruhi oleh tiga hormon yakni asam absisat, sitokinin dan
giberelin. Pada saat kadar asam absisat meningkat, biji akan
memulai proses dormansi. Asam absisat akan menekan hormon
pertumbuhan yang lain.
2. Fase tertundanya metabolisme
Akibat menurunnya kadar hormon pertumbuhan, biji tidak
mampu merombak cadangan makanan pada endosperm. Tidak
ada hormon pertumbuhan yang menginduksi, maka
metabolisme lemak tidak akan berlangsung.
3. Fase bertahannya embrio untuk berkecambah sebab faktor
lingkungan yang tidak menguntungkan
Imbibisi air mengakibatkan terjadinya katabolisme karbohidrat
pada biji. Akan tetapi pada saat kondisi lingkungan yang tidak
mendukung, misalnya kekurangan air, giberelin yang tidak aktif
tidak bisa menginduksi sintesis amilum.
4. Perkecambahan (germination)
Ditandai dengan meningkatnya hormon dan aktivitas enzim

Mekanisme utama dormansi benih menurut Bradbeer (1988) yakni:


1. Dormansi yang diakibatkan penutup embrio (perikarp, testa,
perisperma dan endosperma):
a. Pertukaran gas terhambat
b. Penyerapan air terhambat
c. Penghambatan mekanis
d. Inhibitor (water soluble) di dalam penutup embrio
e. Kegagalan dalam memobilisasi cadangan makanan dari
endosperma (perisperma).
2. Dormansi embrio:
a. Embrio belum berkembang dan berdiferensiasi
b. Pemblokiran sintesa asam nukleat dan protein
c. Kegagalan dalam memobilisasi cadangan makanan dari
embrio
d. Defisiensi zat pengatur tumbuh
e. Adanya inhibitor

5.6 Pematahan Dormansi


12
Untuk mengetahui dan membedakan ataupun memisahkan
apakah suatu benih yang tidak dapat berkecambah adalah dorman
atau mati, maka dormansi perlu dipecahkan. Masalah utama yang
dihadapi pada saat pengujian daya tumbuh kecambah benih yang
dormansi adalah bagaimana cara mengetahui dormansi, sehingga
diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipersingkat. Ada
beberapa cara yang telah diketahui yakni seperti berikut.
1. Dengan perlakuan mekanis.
Pematahan dormansi dengan perlakuan mekanis
diantaranya yakni dengan Skarifikasi. Skarifikasi mencakup
cara-cara seperti mengkikir/menggosok kulit biji dengan kertas
amplas, melubangi kulit biji dengan pisau, memecah kulit biji
maupun dengan perlakuan goncangan untuk benih-benih yang
memiliki sumbat gabus. Tujuan dari perlakuan mekanis ini
adalah untuk melemahkan kulit biji yang keras sehingga lebih
permeabel terhadap air atau gas.
Pretreatment skarifikasi digunakan untuk mematahkan
dormansi kulit biji, sedangkan stratifikasi digunakan untuk
mengatasi dormansi embrio. Skarifikasi merupakan salah satu
upaya pretreatment atau perawatan awa1 pada benih, yang
ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat
terjadinya perkecambahan biji yang seragam. Skarifikasi dapat
terjadi melalui pemanasan tanah atau suhu yang berubah-ubah.
Ini memungkinkan masuknya air ke bagian dalam benih dalam
kondisi alami (Gonçalves et al. 2011). Pada penelitian yang
dilakukan Gonçalves et al. (2011) skarifikasi benih Ormosia
arborea secara kimiawi dengan asam sulfat selama 1 jam, 50
menit, 45 menit, atau 30 menit atau skarifikasi mekanis dengan
amplas nomor 50 atau 100 terbukti efisien untuk memecahkan
dormansi benih Ormosia arborea.
2. Dengan perlakuan kimia
Tujuan dari perlakuan kimia yakni menjadikan agar kulit
biji lebih mudah dimasuki air pada waktu proses imbibisi.
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat dengan
konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak
sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Menurut
Melasari, Suharsi, and Qadir (2018) pematahan dormansi dengan
menggunakan bahan kimia diantaranya yakni dengan asam
13
H2SO4, HCl, HNO3, serta garam KNO3 sedangkan suhunya
berkisar antara 40–80°C. Sebagai contoh perendaman benih ubi
jalar dalam asam sulfat pekat selama 20 menit sebelum tanam.
Perendaman benih padi dalam HNO3 pekat selama 30 menit.
Pemberian giberelin pada benih terong dengan dosis 100-200
ppm. Bahan kimia lain yang sering digunakan yakni potassium
hidroxide, asam hidrochlorit, potassium nitrat dan thiourea.
Selain itu dapat juga digunakan hormon tumbuh diantaranya
yakni sitokinin, giberelin dan auksin (IAA).
3. Dengan perlakuan perendaman air panas
Perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan
memudahkan penyerapan air oleh benih. Caranya yakni dengan
memasukkan benih ke dalam air dengan suhu 60-70°C dan
dibiarkan hingga air menjadi dingin, selama beberapa waktu.
Untuk benih apel, direndam dalam air yang sedang mendidih,
dibiarkan selama 2 menit kemudian diangkat keluar untuk
dikecambahkan. Pada tanaman yute pematahan benihnya
dengan menggunakan metode perendaman air suhu 80ºC
selama 3 jam dan dikecambahkan pada media kertas merang
basah (Hidayat RS and Marjani 2017).
4. Dengan perlakuan cahaya
Cahaya berpengaruh terhadap persentase perkecambahan
benih dan laju perkecambahan. Pengaruh cahaya pada benih
bukan saja dalam jumlah cahaya yang diterima tetapi juga
intensitas cahaya dan panjang hari.

5.7 Dormansi Pada Organ Vegetatif Tanaman


Organ vegetatif juga merupakan salah satu bahan tanaman
yang dapat dijadikan bahan tanaman baru. Organ vegetatif
tanaman yang aktif tumbuh adalah bagian meristematik. Pada
kondisi tertentu bagian vegetatif tersebut dapat dalam kondisi
istirahat atau tidak tumbuh atau mengalami fase dormansi.
1. Dormansi pada umbi kentang
Umbi kentang mempunyai masa dormansi yang mana umbi
kentang tidak akan bertunas sampai waktu tertentu. Umbi
kentang akan mengalami masa dormansi setelah dipanen,
sehingga tidak bisa langsung ditanam. Oleh sebab itu umbi yang
baru dipanen harus disimpan di gudang terlebih dahulu apabila
14
ingin dijadikan sebagai benih. Penyimpanan tersebut
berlangsung sampai masa dormansi benih berakhir.
Penyimpanan umbi kentang pada gudang bersuhu dingin dapat
memperpanjang masa dormansi sementara penyimpanan di
suhu ruang akan menyebabkan umbi bertunas sesuai masa
dormansinya (Jufri, Rahayu, and Setiawan 2015).
Masa dormansi kentang bisa dibedakan antara 3 bulan
sampai lebih dari 5 bulan (Ulfa 2015). Lama dormansi pada
kentang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kultivar,
keadaan cuaca, tempat penanaman selama masa pertumbuhan,
umur umbi di lapangan serta kondisi tempat penyimpanan
(Jufri, Rahayu, and Setiawan 2015). Masa dormansi juga
berbanding terbalik dengan umur panen umbi, semakin cepat
umur panen umbi, maka semakin lama masa dormansinya
(Nuraini, Sumadi, and Pratama 2016).

Gambar 2. Dormansi pada umbi kentang

Penyimpanan umbi kentang untuk bibit di suhu dingin


dilakukan jika produksi kentang bibit melebihi permintaan pasar
sehingga pertunasan kentang bibit dapat ditunda karena masa
dormansi menjadi lebih panjang. Penyimpanan umbi kentang
untuk bibit di suhu ruang dilakukan jika produksi bibit sama
dengan permintaan pasar sehingga pertunasan kentang sesuai
dengan waktu tanam. Pengaturan penyimpanan umbi kentang
untuk bibit tersebut dapat menjaga ketersediaan umbi kentang
untuk bibit (Jufri, Rahayu, and Setiawan 2015).
Dormansi pada umbi kentang mempunyai kelebihan
maupun kekurangan dalam musim tanam. Kelebihan dormansi
antara lain yakni dapat mempertahankan umur umbi lebih lama,

15
bisa mencegah pertunasan di lapangan serta merupakan
mekanisme untuk mempertahankan hidup. Kekurangan
dormansi antara lain yakni kentang tidak bisa ditanam
sepanjang tahun serta memerlukan waktu yang lama untuk
bertunas sehingga diperlukan cara guna mematahkan
dormansinya (Goldsworthy and Fisher 1992).
Pematahan dormansi pada umbi kentang bisa dilakukan
dengan cara pemberian hidrogen sianamida atau dormex, etilen
atau ethrel, fumigasi dengan gas karbid, zat pengatur tumbuh
(ZPT) serta pemberian gas CS2 atau penyimpanan umbi kentang
pada suhu berganti (Nuraini, Sumadi, and Pratama 2016; Jufri,
Rahayu, and Setiawan 2015; Ulfa 2015). Pematahan dormansi
umbi kentang menggunakan bahan kimia seperti hidrogen
sianamida atau dormex, etilen atau ethrel dan fumigasi dengan
gas karbid sulit diaplikasikan karena ketersediaan bahan di
pasar lokal langka serta harganya cukup mahal maupun tidak
ramah lingkungan (Ulfa 2015).
Menurut Nuraini, Sumadi, and Pratama (2016) pematahan
dormansi pada umbi kentang bisa dilakukan dengan cara kimia
memakai zat pengatur tumbuh (ZPT). ZPT adalah senyawa
organik yang dalam konsentrasi rendah bisa memacu ataupun
menghambat pertumbuhan ataupun perkembangan tanaman.
Salah satu ZPT yang bisa mempercepat pematahan dormansi
yakni sitokinin. Sitokinin yaitu zat pengatur tumbuh yang
berperan dalam mengatur pembelahan sel sehingga mampu
mempercepat kemunculan tunas. Nuraini, Sumadi, and Pratama
(2016) dalam penelitiannya menggunakan Benzyl amino purine
(BAP) sebagai sumber sitokinin untuk pematahan dormansi bibit
kentang G1. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa
penggunaan BAP memberikan pengaruh nyata terhadap waktu
muncul tunas, jumlah tunas dan panjang tunas tetapi tidak
berpengaruh terhadap bobot tunas pada umbi kentang.
Pemberian BAP 100 mgL-1 dapat mempercepat waktu muncul
tunas, meningkatkan jumlah dan panjang tunas pada benih
kentang.
Menurut Ulfa (2015) pematahan dormansi pada umbi
kentang bisa dilakukan dengan cara pemberian senyawa bioaktif
dari daun glycerida (gamal) dan daun albizia (sengon). Daun
16
glycerida sering dimanfaatkan sebagai sumber hormon pematang
buah pisang atau tomat, sementara petani di daerah Sukabumi
memanfaatkan daun albizia sebagai sumber hormon pematang
buah pisang atau tomat juga. Kadar etilen daun glycerida dan
albizia lebih tinggi dibandingkan daun sirsak maupun belimbing.
Sealin itu, kedua tanaman tersebut mempunyai kandungan
coumarin, terpene dan lupenone yang bisa menghambat serangan
OPT. Hasil penelitian Ulfa (2015) menunjukkan bahwa daun
glycerida yang dilarutkan dalam hexana maupun daun glycerida
segar cenderung menghasilkan persentase umbi bertunas lebih
tinggi dibanding perlakuan lainnya. Daun albizia kering
memberikan persentase umbi bertunas tertinggi (16,67%). Daun
albizia yang dilarutkan dalam hexana dan aquades menghasilkan
persentase umbi busuk terendah (0%). Daun glycerida yang
dilarutkan dalam hexana memberikan persentase umbi busuk
terendah (20%). Secara umum, daun glycerida dan albizia yang
diberikan dalam berbagai bentuk menyebabkan umbi tidak
berjamur, namun perlakuan daun glycerida kering
menyebabkan persentase umbi berjamur sebesar 20%. Daun
glycerida segar memberikan panjang tunas tertinggi (0,5 cm),
demikian juga daun albizia segar memberikan panjang tunas
tertinggi (0,13 cm).
Menurut Jufri, Rahayu, and Setiawan (2015) masa dormansi
kentang bibit dapat dipercepat dengan pemberian gas CS 2 atau
penyimpanan kentang bibit pada suhu berganti. Hasil penelitian
(Jufri, Rahayu, and Setiawan 2015) terhadap pengaruh suhu
simpan dan diameter umbi terhadap masa dormansi
menunjukkan umbi yang disimpan di suhu dingin (40°C) belum
mengalami pertunasan setelah 16 minggu penyimpanan
sedangkan umbi yang disimpan di suhu ruang mulai bertunas
pada minggu ke-12 dan mencapai 100% pada minggu ke 16.
Penurunan bobot umbi yang disimpan di suhu ruang lebih besar
daripada umbi yang disimpan di suhu dingin. Hama penyakit
lebih banyak ditemui pada umbi yang disimpan di suhu ruang
yaitu sebesar 16.47%. Hasil pengamatan pengaruh perlakuan
penyimpanan umbi terhadap pertumbuhan tunas menunjukkan
bahwa umbi yang disimpan menggunakan metode II
(penyimpanan umbi selama 2 bulan di suhu ruang dilanjutkan

17
pemberian gas CS2) mengalami pertumbuhan tunas yang lebih
lambat daripada metode simpan I (penyimpanan umbi selama 4
bulan di suhu ruang) dan metode simpan III (penyimpanan
umbi selama 2 bulan di suhu ruang dan 3 bulan di suhu dingin).
2. Dormansi benih bawang merah
Sebagian besar petani di Indonesia menggunakan umbi
bawang merah sebagai bahan tanam. Menurut Wardani and
Sulistyaningsih, Rohmanti Endang (2013) Penanaman bawang
merah di Indonesia umumnya dilaksanakan pada musim hujan
(Maret-April) dan pada musim kemarau (Juli-Agustus). Benih
berupa umbi hasil penangkaran pada musim hujan (Maret-
April) digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih pada
musim tanam selanjutnya, yakni musim kemarau (Juli-Agustus),
begitupun sebaliknya umbi hasil penangkaran pada musim
kemarau (Juli-Agustus) digunakan untuk memenuhi kebutuhan
benih pada musim hujan (Maret-April). Umbi hasil penangkaran
pada musim kemarau (Juli-Agustus) tidak terdapat kendala,
karena antara pemanenan dan penanaman berikutnya memiliki
selang waktu yang cukup lama, sehingga ada waktu
penyimpanan sebelum umbi ditanam. Namun umbi hasil
penangkaran pada musim hujan (Maret-April), memiliki selang
waktu yang singkat antara pemanenan dan penanaman
berikutnya, sehingga umbi belum siap sebagai bahan tanam
karena memiliki dormansi selepas panen. Benih mewang merah
memiliki masa dormansi. Dormansi bawang merah termasuk ke
dalam jenis dormansi sekunder. Bawang merah memiliki masa
dormansi yang berlangsung 4 hingga 9 minggu, sehingga
umumnya disimpan beberapa bulan sebelum ditanam.
Menurut Phillips (2010) pada Allium dikenal dua jenis
dormansi yaitu summer dormancy dan winter dormancy. Dormansi
pada umbi lapis bawang merah di Indonesia diduga termasuk
summer dormancy karena umbi akan mengalami dormansi pada
suhu tinggi. Selain diduga kerana suhu, dormansi pada Allium
juga dapat disebabkan rendahnya aktivitas hormon endogen
yang terdapat didalam umbi dan tingginya aktivitas inhibitor
(Mantoko and Kurnia 2019).

18
Gambar 3. Dormansi pada benih bawang merah

Pematahan dormansi pada benih bawang merah bisa


dilakukan dengan cara pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT)
dan perlakuan suhu (Rahman et al. 2006; Wardani and
Sulistyaningsih, Rohmanti Endang 2013; Nana and Salamah
2014; Woldeyes, W/tsadik, and Tabor 2017; Mantoko and Kurnia
2019). Dalam penelitian Wardani et al (Tanpa Tahun) untuk
mematahkan dormansi benih bawang merah menggunakan
ethepon. Ethepon ialah produk cairan komersial yang mampu
melepaskan etilen perlahan-lahan ke tanaman, setelah
dihidrolisis dengan air. Wardani et al (Tanpa Tahun) dalam hasil
penelitiannya menunjukkan periode dormansi umbi bawang
merah “Tiron” berlangsung selama 41 hari. Perlakuan
perendaman baik dengan akuades (0 ppm) maupun dengan
ethepon konsentrasi 2000-4000 ppm tidak dapat mematahkan
dormansi umbi bawang merah “Tiron”. Perendaman ethepon
dengan konsentrasi 4000 ppm menghambat pertumbuhan tunas
umbi setelah ditanam. Perendaman ethepon dengan frekuensi
lebih dari 1 kali (2-3 kali) memperpanjang masa dormansi umbi
bawang merah.
Nana and Salamah (2014) melakukan penelitian
pertumbuhan bawang merah dengan penyiraman air kelapa
menunjukkan bahwa pemberian perlakuan konsentrasi air
kelapa dengan konsentrasi 75% dapat memacu pertumbuhan
tanaman bawang merah. Menurut Rahman et al. (2006) dalam
penelitiannya menunjukkan dengan konsentrasi 250 ppm GA3
menghasilkan pertumbuhan tunas maksimal pada bawang putih
kultivar lokal apabila dibandingkan dengan konsentasi 500 ppm

19
GA3. Kemudian Woldeyes, W/tsadik, and Tabor (2017) dalam
penelitiannya menunjukkan penyimpanan pada suhu dingin 7°C
selama 20 hari merupakan kondisi optimum bawang putih
untuk berkecambah.
Menurut Mantoko and Kurnia (2019) masa dormansi bibit
bawang merah dapat dipatahkan dengan memberikan zat
pengatur tumbuh berupa GA3 dan sitokinin yang terdapat
didalam air kelapa. Selain pemberian zat pengatur tumbuh,
perlakuan pemberian suhu tertentu juga dapat membantu
mematahkan dormansi pada bibit bawang merah. Berdasarkan
hasil penelitian Mantoko and Kurnia (2019) mengenai pengaruh
perlakuan zat pengatur tumbuh GA3 dan sitokinin serta suhu
rendah terhadap pematahan dormansi menunjukkan bahwa
perlakuan kombinasi suhu rendah dengan giberelin maupun air
kelapa berpengaruh terhadap pematahan dormansi umbi
bawang merah yang ditunjukkan dengan nilai daya
berkecambah umbi. Perlakuan kombinasi giberelin dengan suhu
rendah (Z1T1) mempengaruhi kecepatan berkecambah dengan
nilai rata-rata 54,74%/ethmal, sedangkan pada perlakuan
kombinasi air kelapa dengan suhu rendah (Z2T1) berpengaruh
terhadap keserempakan berkecambah (90%), tinggi tanaman
(56,18 cm), dan panjang akar (35,40 cm). Kesimpulan dari
penelitian ini adalah perlakuan pemberian GA3, air kelapa, dan
suhu rendah mampu mematahkan dormansi bawang merah.
Kombinasi perlakuan terbaik untuk pematahan dormansi adalah
kombinasi giberelin dengan suhu rendah (Z1T1), sedangkan
perlakuan kombinasi air kelapa dengan suhu rendah (Z2T1)
mampu meningkatkan laju pertumbuhan tinggi dan panjang
akar umbi bawang merah.
5.8 Daftar Pustaka

Abidin, Z. 1987. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur


Tumbuh. Bandung: Angkasa.
Aldrich, R. J. 1984. Weed-Crop Ecology. Principles in Weed
Management. Nort Scituate, Massachussets: Breton Publisher.
Ariyanti, M, M A Soleh, and Y Maxiselly. 2017. “Respon
Pertumbuhan Tanaman Aren (Arenga Pinnata Merr.) Dengan
Pemberian Pupuk Organik Dan Pupuk Anorganik Berbeda
20
Dosis.” Jurnal Kultivasi 16 (1): 271–78.
Baskin, Carol C., and Jerry M. Baskin. 2005. “Seed Dormancy in
Trees of Climax Tropical Vegetation Types.” Tropical Ecology 46
(1): 17–28.
Baskin, Jerry M, Carol C Baskin, and Xiaojie Li. 2000. “Taxonomy,
Anatomy and Evolution of Physical Dormancy in Seeds.” Plant
Species Biology 15 (2): 139–52. https://doi.org/10.1046/j.1442-
1984.2000.00034.x.
Bradbeer, J W. 1988. Seed Dormancy and Germination. New York:
Chapman & Hall.
Goldsworthy, P. R., and R. L. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman
Budidaya. Diterjemahkan Oleh Tohari. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Gonçalves, Edilma Pereira, Franklim Sales de Jesus Soares, Sérgio
dos Santos Silva, Débora de Souza Tavares, Jeandson Silva
Viana, and Brenda Colleen Clifton Cardoso. 2011. “ Dormancy
Breaking in Ormosia Arborea Seeds .” International Journal of
Agronomy 2011: 1–5. https://doi.org/10.1155/2011/524709.
Hasbianto, Agus, and CIci Tresniawati. 2013. “Efektivitas Teknik
Pematahan Dormansi Pada Beberapa Genotipe Jarak Kepyar
(Ricinus Communis L.).” In Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian, 456–72.
Hidayat RS, Taufiq, and Marjani Marjani. 2017. “Teknik Pematahan
Dormansi Untuk Meningkatkan Daya Berkecambah Dua
Aksesi Benih Yute (Corchorus Olitorius L.).” Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri 9 (2): 73–81.
https://doi.org/10.21082/btsm.v9n2.2017.73-81.
Jufri, Afifah Farida, Megayani Sri Rahayu, and Asep Setiawan.
2015. “Penanganan Penyimpanan Kentang Bibit (Solanum
Tuberosum L.) Di Bandung.” Bul. Agrohorti 3 (1): 65–70.
Lakitan, Benyamin. 1996. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta:
PT. Radja Grafindo Persada.
Mantoko, Chara Yerlyani, and Theresa Dwi Kurnia. 2019.
“Pematahan Dormansi Bawang Merah (Allium Ascalonicum)
Dengan Perlakuan Suhu Rendah Dan Zat Pengatur Tumbuh.”
In Konser Karya Ilmiah Nasional “Kesiapan Sumber Daya Manusia
Pertanian Menghadapi Revolusi Industri 4.0,” 156–62. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana.

21
Melasari, Nur, Tatiek Kartika Suharsi, and Abdul Qadir. 2018.
“Penentuan Metode Pematahan Dormansi Benih Kecipir
(Psophocarpus Tetragonolobus L.) Aksesi Cilacap.” Buletin
Agrohorti 6 (1): 59–67.
https://doi.org/10.29244/agrob.v6i1.16824.
Nana, Sri Ariani B P, and Zuchrotus Salamah. 2014. “Pertumbuhan
Tanaman Bawang Merah ( Allium Cepa L .) Dengan
Penyiraman Air Kelapa ( Cocos Nucifera L .) Sebagai Sumber
Belajar BiologiSMA Kelas XII.” Jupemasi-Bio 1 (1): 82–86.
Nuraini, Anne, Sumadi Sumadi, and R. Pratama. 2016. “Aplikasi
Sitokinin Untuk Pematahan Dormansi Benih Kentang G1
(Solanum Tuberosum L.).” Kultivasi 15 (3): 202–7.
https://doi.org/10.24198/kultivasi.v15i3.11765.
Phillips, N. 2010. “Seed and Bulb Dormancy Characteristics in New
World Allium L. (Amaryllidaceae): A Review.” International
Journal of Botany 6 (3): 228–34.
Rahman, Muhammad Hafizur, Muhammad Shahidul Haque,
Mohammad A Karim, and Masum Ahmed. 2006. “Effects of
Gibberellic Acid (GA3) on Breaking Dormancy in Garlic
(Allium Sativum L.).” International Journal of Agriculture &
Biology 8 (1): 63–65.
Sutopo, L. 1985. Teknologi Benih. Jakarta: Rajawali.
Ulfa, Fachirah. 2015. “Pemecahan Dormansi Benih Kentang
(Solanum Tuberosum) Varietas Granola Dengan Pemanfaatan
Senyawa Bioaktif Tanaman Glycerida Dan Albizia.” J. Agrotan
1 (1): 37–44.
Wardani, Turna Wahyu Novia, and Rabaniyah Sulistyaningsih,
Rohmanti Endang. 2013. “Pematahan Dormansi Umbi Bawang
Merah (Allium Cepa L. Kelompok Aggregatum) Dengan
Perendaman Dalam Ethepon.” Jurnal Budidaya Pertanian, 65–72.
https://doi.org/10.22146/veg.1525.
Woldeyes, Fikrte, Kebede W/tsadik, and Getachew Tabor. 2017.
“Emergence of Garlic (Allium Sativum L.) as Influenced by
Low Storage Temperature and Gibberellic Acid Treatments.”
Journal of Agriculture and Ecology Research International 10 (2): 1–
7. https://doi.org/10.9734/jaeri/2017/29843.
Yuningsih, Aida F V, and Sri Wahyuni. 2015. “Effective Methods for
Dormancy Breaking of 15 New-Improved Rice Varieties to

22
Enhance the Validity of Germination Test.” In International
Seminar on Promoting Local Resources for Food and Health, 166–73.
Bengkulu.

23
5.9 Glosarium

Bulbus : Bulbus atau umbi lapis merupakan sejenis


umbi yang terbentuk dari tumpukan
(pangkal) daun yang tersusun rapat dalam
format roset.
Endosperma : Cadangan makanan dalam biji yang bersifat
triploid
Kormus : Tubuh tumbuhan yang hanya dimiliki oleh
Pteridophyta (tumbuhan paku) dan
Spermatophyta (tumbuhan biji), oleh sebab itu
sementara ahli tumbuhan menempatkan
kedua golongan tumbuhan tersebut dalam
satu kelompok yang disebut Cormophyta
(tumbuhan kormus).
Pericarp : Lapisan dinding buah
Perisperma : Bentuk lain dari jaringan nutrisi dalam biji
keluarga tumbuhan tertentu
Pretreatment : Praperlakuan
Testa : Selaput yang melindungi embrio tumbuhan
berbiji dan berfungsi sebagai kulit biji

24
BIOGRAFI PENULIS

Farchan Mushaf Al Ramadhani, S. T. merupakan


putra ketiga dari pasangan H. Nur Hasyim,
S.Ag., M.H., M.Pd.I. dan Hj. Sringatun. Lahir di
Jember pada tanggal 25 Januari 1997. Pendidikan
Sekolah Dasar di SD Negeri 02 Wonosari (2009),
SMP Negeri 02 Puger (2012) dan MA Negeri 02
Jember (2015). Pendidikan S1 di selesaikan oleh
penulis di Jurusan Teknik Pertanian Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Jember dengan
lulus pada tahun 2019. Saat ini penulis sedang menempuh
pendidikan S2 di Program Studi Magister Agronomi Fakultas
Pertanian Universitas Jember. Bidang riset yang ditekuni penulis
ketika S1 adalah Precision Agriculture. Selain mempunyai kesibukan
menempuh pendidikan S2 saat ini, penulis juga menjalankan
beberapa usaha kecil seperti budidaya lele konsumsi dan jasa
penurunan persentase plagiasi (Similarity Index) maupun translate
(Indonesia-Inggris-Arab) berbagai dokumen seperti karya ilmiah,
skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan buku yang berbasis toko online di
instagram yang beralamat di @siapkubantuin.

25
KTP - Farchan Mushaf Al Ramadhani

Tanda Tangan – Farchan Mushaf Al Ramadhani

26
BIOGRAFI PENULIS

Dwika Nano Hariyanto, S. Tr. P. merupakan putra


kedua dari pasangan Drs Sugianto dan Nanik
Herawati. Lahir di Jember pada tanggal 05
Desemer 1995. Pendidikan Sekolah Dasar di SD
Negeri 01 Karangharjo (2008), SMP Negeri 01 Silo
(2011) dan SMK Negeri 05 Jember (2014).
Pendidikan S1 di selesaikan oleh penulis di
Jurusan Pertanian Prodi Budidaya Tanaman
Perkebunan dengan lulus pada tahun 2018. Saat ini
penulis sedang menempuh pendidikan S2 di Program Studi
Magister Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Bidang
riset yang ditekuni penulis ketika S1 adalah Pembibitan. Selain
mempunyai kesibukan menempuh pendidikan S2 saat ini, penulis
juga melakukan kegiatan di pondok pesantren serta menanam
tanaman hortikultura.

27
KTP - Dwika Nano Hariyanto

Tanda Tangan - Dwika Nano Hariyanto

28

Anda mungkin juga menyukai