Anda di halaman 1dari 11

NO 2

Jika kita keringkan suatu tanaman dengan memanasinya beberapa lama


dengan temperature 1000C, maka akan kita peroleh bahan kering yang terdiri dari
zat-zat organic. Air pada umumnya merupakan 70% atau lebih dari berat tanaman
hidup, banyaknya persenan air tentulah sangat relative, tanaman air misalnya
hampir 98% hanya air belaka sedangkan kayu-kayuan itu umumnya 50% air dan
biji-bijian hanya mengandung 5% air. Jika bahan kering ini (sudah diketahui
mempunyai berat yang konstan) dimasukkan ke dalam tungku yang
bertemperature 6000C selama beberapa jam maka bolehlah dikatakan bahwa
semua zat organic telah habis terbakar. Sisanya berupa abu yang keputihan dan
abu ini terdiri semata-mata atas zat-zat anorganik yang merupakan kira-kira 1%
dari berat-kering tanaman. Persenan ini juga bervariasi, bergantung pada jenis
tanaman yang diselidiki. Buah berdaging dan kayu-kayuan sangat sedikit abunya
(kurang dari 1% atau lebih). (Dwidjoeseputro, 1984)
Penyelidikan (analisa) abu ini menunjukkan unsur-unsur apakah yang pada
umumnya selalu terdapat dalam tanaman. Nitrogen tak terkandung lagi dalam abu,
karena biasanya telah terlepas pada pembakaran dengan temperature yang sangat
tinggi itu. Abu dari berbagai tanaman yang diselidiki ternyata mengandung 40
sampai 60 elemen, diantaranya sering juga terdapat emas dan plutonium.
(Dwidjoeseputro, 1984)
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya pada bahan pangan tergantung pada jenis
bahan dan cara pengabuannya. Beberapa contoh kadar abu dalam bahan pangan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel : Kadar abu beberapa bahan pangan

Jenis Bahan % Abu


Susu 0,5-1,0
Susu kering tidak berlemak 1,5
Buah-buahan segar 0,2-0,8
Buah-buahan yang dikeringkan 3,5
Biji kacang-kacangan 1,5-2,5
Daging segar 1
Daging yang di keringkan 12
Daging ikan segar 1-2
Gula, madu 0,5
Sayur-sayuran 1
 
Kadar abu suatu bahan erat kaitannya dengan kandungan mineral bahan
tersebut. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam
garam, yaitu garam organik dan garam anorganik. Contoh garam organik yaitu
asam mallat, asam oksalat, asetat, dan pektat. Sedangkan contoh garam anorganik
yaitu garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, dan nitrat. Selain kedua garam
tersebut, mineral dapat juga berbentuk senyawaan komplek yang bersifat organik,
sehingga penentuan jumlah mineral dalam bentuk aslinya sulit dilakukan. Oleh
karenanya biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam
mineral dengan pengabuan. (Karlina, Khoerunnisa, 2017)
Penentuan konstituen mineral dalam bahan hasil pertanian dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu penentuan abu total dan penentuan individu komponen. Tujuan
penentuan abu total biasanya digunakan untuk beberapa hal, yaitu :
1. Menentukan baik tidaknya proses pengolahan
2. Mengetahui jenis bahan yang digunakan
3. Menentukan parameter nilai gizi bahan makanan
Penentuan abu total dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu pengabuan
langsung/ pengabuan kering dan pengabuan tidak langsung/ pengabuan basah.
 Pengabuan langsung / kering
Prinsip penentuan kadar abu adalah dengan mengkondisikan semua zat
organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600oC, kemudian zat hasil
pembakaran yang tertinggal ditimbang. Jumlah sampel yang akan diabukan
ditimbang sejumlah tertentu tergantung pada macam bahannya. Beberapa contoh
bahan dan jumlah berat yang diperlukan dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
Tabel Berat bahan untuk pengabuan

Macam bahan Berat bahan (gr)


Ikan dan hasil olahanya, biji-bijian dan makanan ternak 2
Padi-padian, susu dan keju 3-5
Gula, daging dan sayuran 5-10
Agar-agar, sirup, jam dan buah kering 10
Jus, buah segar, buah kalengan 25
Anggur 50
 
Bahan yang mengandung kadar air lebih tinggi, sebelum pengabuan
dilakukan pengeringan pada bahan. Bahan yang mengandung kandugan zat yang
mudah menguap dan berlemak, pengabuannya dilakukan dengan suhu rendah
pada awal proses sampai hilangnya asam, kemudian suhu dinaikan sesuai yang
dikehendaki. Sedangkan bahan yang dapat membentuk buih selama dipanaskan,
sebelumnya dilakukan pengeringan dan ditambahkan  zat anti buah seperti olive
atau paraffin. (Karlina, Khoerunnisa, 2017)
Bahan yang akan diabukan ditempatkan pada wadah khusus yaitu krus
yang terbuat dari porselen, silica, quartz, nikel atau platina dengan berbagai
kapasitas (25-100 ml). Pemilihan krus ini disesuaikan dengan  bahan yang akan
diabukan. Suhu pengabuan untuk setiap bahan berbeda-beda tergantung pada
komponen yang terkandung dalam bahan tersebut, mengingat terdapat beberapa
komponen abu yang mudah mengalami dekomposisi juga menguap pada suhu
yang tinggi. (Karlina, Khoerunnisa, 2017)
Pengabuan dilakukan dengan muffle (tanur) yang dapat diatur suhunya,
apabila tidak tersedia dapat menggunakan pemanas bunsen. Lama pengabuan tiap-
tiap bahan berbeda, berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dianggap selesai apabila
diperoleh sisa pengabuan berwarna putih abu-abu dan memiliki berat konstan.
Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam suhu dingin, krus yang berisi abu
dipanaskan dalam oven bersuhu 105oC untuk menurunkan suhu krus, kemudian
dimasukan ke desikator. (Karlina, Khoerunnisa, 2017) 
Karlina, Khoerunnisa, 2017. Analisis Kadar Abu. Agroindustri Virtual Laboratory
Dwidjoseputro. 1984. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Malang : PT Gramedia
NO 6
Tumbuhan merupakan pelopor yang menyediakan makanan dan
perlindungan kepada hewan dan manusia. Dengan tiada tumbuhan, baik hewan
maupun manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya. Pengetahuan tentang
peri kehidupan tumbuhan tidak saja mengasikkan para penyelam alam akan tetapi
juga memberikan manfaat besar kepada pertanian, perkebunan, perhutanan. Usaha
menambah. Usaha untuk menambahkan hasil bumi perlu disertai pengetahuan
tentang fisiologi tumbuhan. Pengoahan tanah, pemilihan bibt, pemeliharaan
tanaman, pemberantasan hama, penuaian hasil, penyimpanan bibit dan lain-
lainnya lagi, ini semua memerlukan pengetahuan teoritis dan praktis.
(Dwidjoeseputro, 1984)

Untuk hidup, tumbuhan membutuhkan air, gas-gas serta zat-zat hara yang
diambil dari lingkungannya. Tumbuhan memiliki akar, batang dan daun dengan
fungsinya masing-masing. Organ manakah yang berperan dalam penyerapan zat-
zat tersebut
Pada umumnya, air dan zat-zat hara tanah diserap melalui akar. Sebagian
zat yang lain terutama gas O2 dan CO2, diserap melalui daun. Selanjutnya, zat-zat
tersebut akan dibawa ke daun karena daun merupakan pusat aktivitas penyusunan
zat-zat yang dibutuhkan tumbuhan. Bagaimanakah penyerapan dan pengangkutan
zat tersebut terjadi ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami
bagaimana susunan sel-sel jaringan akar dan daun sebagai organ penyerapan zat.
1. Penyerapan Zat
a. Alat penyerapan
Pada tumbuhan darat, sebagian besar air dan zat hara diserap dari tanah
melalui akarnya. Zat yang lain seperti O2 dan CO2 banyak diserab melalui daun,
terutama melalui mulut-mulut daun (stomata). Dapatkah air dan zat-zat hara
diserap melalui daun ? Jawabnya adalah “dapat”!. Buktinya, tanaman dapat
dipupuk lewat daun dengan menggunakan pupuk daun. Pada daun terdapat celah-
celah atau pori yang dapat menjadi pintu masuknya zat-zat, sekaligus merupakan
pintu pelepasan zat-zat. Dengan demikian, daun merupakan alat pertukaran zat.
Untuk memahami bagaimana zat-zat diserap melalui akar dan daun, coba
perhatitkan susunan jaringan akar dan daun berikut ini. Coba perhatikan gambar
akar di atas. Pada daerah dekat ujung akar terdapat rambut-rambut akar. Rambut
akar terbentuk dari sel-sel epidermis akar yang memanjang ke arah luar. Sel yang
memanjang ini akan memperluas bidang penyerapan sehingga lebih banyak zat
akan terserap. Bagaimana penyerapan zat tersebut terjadi ?
b. Cara Penyerapan
Zat Cukup sulit untuk memahami bagaimana zat-zat diserap oleh
tumbuhan. Pada hewan dan manusia, cara penyerapan terjadi dengan sangat nyata,
sedangkan pada tumbuhan tidak demikian. Dengan mudah kita menyerap
minuman dari botol dengan sedotan, atau menghisap udara dengan alat pernafasan
kita. Menyerap zat berarti menggerakkan zat dari luar tubuh masuk ke dalam
tubuh. Untuk proses itu dibutuhkan tenaga. Bagaimana akar tumbuhan menyerap
air dan zat-zat hara dari tanah ? Terdapat tiga cara zat dibawa atau diserap
tanaman, yaitu : 1) Difusi sederhana. Khusus untuk difusi air lewat membran
disebut osmosis 2) Difusi dengan fasilitasi, 3) Transpor aktif.
1) Peristiwa Difusi zat Tumbuhan tidak dapat membangkitkan tenaga hisap untuk
menyerap air masuk ke jaringan akar. Tumbuhan juga tidak memiliki kemampuan
memilih zat yang diserap. Berbagai zat yang larut dalam air tanah dan dapat
menembus dinding dan membran sel rambut akar akan dapat terserap, bahkan zat-
zat racun sekalipun. Misal, zat-zat insektisida, logam berat dan obat-obat kimia
lainnya. Karena itu kita lebih baik tidak mengkonsumsi sayuran yang terkena
limbah industri.
Penyerapan zat pada tumbuhan bersifat pasif dan aktif. Pada penyerapan
pasif, masuknya air ke dalam air digerakkan oleh banyak faktor, meliputi
1) Beda suhu . Setiap zat cenderung dalam keadaan bergerak. Tenaga gerak
semakin besar pada suhu yang semakin tinggi, sehingga gerak zat akan semakin
cepat. Coba perhatikan saat kita memanaskan air. Molekul air akan bergerak
semakin cepat bikla akan semakin panas. Adanya gerakan zat ini dapat menjadi
salah satu pendorong masuknya zat ke dalam akar.
2) Beda konsentrasi. Bila kita membuka botol minyak wangi, apa yang terjadi?
Bau minyak wangi akan segera menyebar ke luar, bukan ? Hal ini terjadi karena
konsentrasi zat minyak wangi dalam botol sangat tinggi, sebaliknya keadaan di
luar botol. Adanya perbedaan konsentrasi zat antara botol dan diluar botol,
mendorong zat minyak wangi menyebar ke luar. Dengan kata lain, perbedaan
konsentrasi zat membangkitkan tenaga gerak suatu zat.
3) Beda tekanan. Pergerakan zat juga terjadi karenaadanya beda tekanan antara
dua daerah. Misalnya, antara daerah di sekitar akar (rizhosfir) dengan keadaan di
dalam sel / jaringan.
4) Zat-zat adsorptif (permukaannya mudah mengikat zat). Adanya daya ikat
permukaan partikel zat menyebabkan gerak zat dihambat.
Secara umum, gerak zat menyebar dari daerah dengan konsentrasi tinggi
ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah, atau dari daerah bertekana tinggi
ke daerah yang tekanannya lebih rendah, disebut difusi. Suatu zat juga akan
bergerak menyebar karena terjadinya perbedaan tekanan atau suhu. Bagaimana
terjadinya angin ? Angin merupakan udara yang bergerak. Udara bergerak dari
daerah bertekanan kuat ke daerah bertekanan lemah, dari daerah dingin ke daerah
yang lebih panas. Zat juga akan bergerak menyebar dari daerah berkonsentrasi
lebih besar (lebih pekat) ke daerah yang konsentrasinya lebih rendah. Jadi, pada
dasarnya setiap zat akan bergerak bila terjadi perbedaan suhu, tekanan atau
konsentrasi. Pernahkan kamu membuat minuman sirup atau melarutkan gula
dalam air ? Kita dapat melarutkan gula dengan air dingin atau air panas. Pada air
manakah gula akan larut lebih cepat ? Bila gerak penyebaran zat gula atau limun
lebih cepat maka zat gula akan lebih cepat larut menyebar. Gerak penyebaran zat
akan berhenti setelah larutan gula menyebar merata (larutan menjadi homogen).
Agar akar dapat menyerap zat maka air tanah atau larutan tanah harus mencapai
daerah rizhosfer. Ada dua faktor penting yang memungkinkan akar memperoleh
air dan hara tanah, yaitu : (1) intersepsi akar atau adanya kontak dengan akar (2)
Adanya aliran massa (mass flow) dalam tanah, yaitu aliran air (zat) yang terjadi
melalui prinsip difusi.
Suyitno. 2006. Penyerapan Zat & Transportasi Pada Tumbuhan.
Yogyakarta : Staf Pengajar di Jurdik Biologi.
No. 10
Salah satu faktor yang menunjang tanaman untuk tumbuh dan berproduksi
secara optimal adalah ketersediaan unsur hara dalam jumlah yang cukup di dalam
tanah. Jika tanah tidak dapat menyediakan unsur hara yang cukup bagi tanaman,
maka pemberian pupuk perlu dilakukan untuk memenuhi kekurangan tersebut.
Setiap jenis tanaman membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang berbeda.
Ketidak tepatan pemberian unsur hara/pupuk selain akan menyebabkan tanaman
tidak dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal juga merupakan pemborosan
tenaga dan biaya (tidak efisien). Agar usaha pemupukan menjadi efisien maka,
pemberian pupuk tidak cukup hanya melihat keadaan tanah dan lingkungan saja,
tetapi juga harus mempertimbangkan kebutuhan pokok unsur hara tanaman.
Dengan diketahui kebutuhan pokok unsur hara tanaman maka dosis dan jenis
pupuk dapat ditentukan lebih tepat. Kebutuhan unsur hara tanaman panili diduga
cukup tinggi. Menurut Deinum (1949) unsur hara N, P dan K yang terserap oleh
100 g bahan kering panili (batang, daun dan buah) masing-masing adalah 3,70;
0,99; 5,35 g. Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa tanaman panili
cukup responsif terhadap pemupukan N, P dan K (Ruhnayat dan Rosman, 1993).
Sedangkan hasil penelitian di lapangan, seperti yang pernah dilakukan oleh
Sunardi dan Rakhmadiono (1985) pengaruh pemupukan masih linier terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman panili. Diduga dosis pupuk yang diberikan
pada penelitian tersebut masih di bawah kebutuhan pokok tanaman. Menurut
Soepartini (1990) untuk mengetahui suatu unsur hara berada dalam keadaan
kekurangan, optimal atau kelebihan dapat ditentukan dengan cara
menghubungkan antara jumlah hara yang tersedia dalam jaringan tanaman dengan
respon pertumbuhan tanaman secara grafikal. (Agus, Ruhnayat. 2007)
Penanaman berbagai jenis pohon dengan atau tanpa tanaman semusim
pada sebidang lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani (termasuk
peladang) di Indonesia. Contoh semacam ini dapat dilihat pada lahan pekarangan
di sekitar tempat tinggal petani.Praktek seperti ini semakin meluas belakangan ini
khususnya di daerah pinggiran hutan karena ketersediaan lahan yang semakin
terbatas.Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak
masalah, misalnya penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna,
banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan.Secara global, masalah ini
semakin berat sejalan dengan meningkatnya luas hutan yang dikonversi menjadi
lahan usaha lain. Peristiwa ini dipicu oleh upaya pemenuhan kebutuhan terutama
pangan yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk. Di tengah
perkembangan itu, lahir agroforestri, suatu cabang ilmu pengetahuan baru
dibidang pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman
dan pepohonan. Ilmu ini mencoba mengenali dan mengembangkan sistemsistem
pertanian yang telah dipraktekkan oleh petani sejak berabad-abad yang lalu.
Agroforestri telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial akan
pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan
tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan
kendalanya.Masyarakat tidak akan peduli siapa dirinya, apakah mereka orang
pertanian, kehutanan atau agroforestri, mereka juga mempedulikan nama praktek
pertanian yang dilakukan, yang penting bagi mereka adalah informasi dan binaan
teknis yang memberikan keuntungan sosial dan ekonomi. Penyebarluasan
agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah
terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, meningkatkan mutu pertanian,
serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi kehutanan. Jumlah
penduduk yang semakin meningkat mendorong peningkatan kebutuhan lahan,
baik sebagai perluasan tempat tinggal, infrastruktur, perkebunan, pertambangan,
maupun lahan budidaya tanaman pangan dan hortikultura. Dilain pihak,
kebutuhan masyarakat akan hasil produk pertanian semakin meningkat, baik dari
sisi kualitas dan kuantitas. Peningkatan produktivitas pertanian sangat
memerlukan usaha yang ada, baik dengan ekstensifikasi, intensifikasi, dan
diversifikasi dalam budidaya pertanian (Ditjen Hortikultura, 2008). Salah satu
sistem pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan adalah sistem agroforestri.Sistem
agroforestri memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan sistem pemanfaatan
lahan yang lain. Keuntungan yang dapat diperoleh dari sistem ini dalam jangka
panjang lebih tinggi daripada sistem monokultur. Dengan agroforestri, kualitas
lahan semakin lama semakin subur dan produktif karena selalu memperoleh
penambahan bahan organik dari dedaunan yang gugur.Dari segi ekologi,
penutupan lahan berupa pepohonan memberikan perlindungan paling maksimal
bagi lahan setempat karena resiko tererosi oleh air di permukaan tanah menjadi
lebih rendah. JATL 1 (1): 24-33, Agustus 2018 25 Pola pemanfaatan lahan dengan
sistem agroforestri merupakan suatu model usaha tani yang penting bagi para
petani yang umumnya memiliki lahan pertanian terbatas. Pola seperti ini akan
meningkatkan intensitas panen yang akhirnya mampu memberikan tambahan out
put baik berupa fisik maupun finansial dan memberikan kemungkinan bagi
pemilik lahan untuk meningkatkan intensitas pengambilan hasil per satuan luas
tertentu. Pola agroforestri dianggap dapat mengatasi permasalahan kehidupan
petani, terutama dalam memenuhi kebutuhan subsistemnya. Ada dua pola
agroforestri yang umumnya diterapkan masyarakat, yaitu agroforestri sederhana
dan agroforestri kompleks. Agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian
dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis
tanaman semusim, pepohonan bisa ditanam sebagai pagar yang mengelilingi petak
lahan tanaman semusim baik secara acak dalam petak lahan atau dengan pola lain,
misalnya berbaris dalam larikan, sehingga membentuk lorong atau pagar.
Agroforestri kompleks merupakan suatu sistem pertanian menetap yang
melibatkan berbagai jenis pepohonan, baik yang sengaja ditanam maupun
ekosistem yang menyerupai hutan. Banyak tumbuhan yang terdiri
atasberanekaragam jenis pohon,perdu dan tanaman memanjat, tanaman semusim,
dan rumput didalam agroforestri tersebut. (Supriyanto, Wahyudi. 2018)
Agus, Ruhnayat. 2007. Penentuan Kebutuhan Pokok Unsur Hara N, P, K
Untuk Pertumbuhan Tanaman Panili. Bul Littro. 18 (1) 49 – 59
Supriyanto, Wahyudi. 2018. Kajian Produktivitas Tanaman Semusim
pada Sistem Agroforestri di Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara
Cash Crop Productivity Analysis of Agroforestry System in Samboja, Kutai
Kartanegara. Jurnal Agroekoteknologi Tropika Lembab. 1(1), 24-33.

Anda mungkin juga menyukai