Anda di halaman 1dari 23

BAB III

TERMINOLOGI HADIS MENURUT SUNNI

A. Pengertian Hadis Menurut Sunni

‘Ulama sunni pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah

sabda, perbuatan, takrir (pengakuan) dan hal ihwal yang disandarkan kepada

Nabi Muhammad saw. Hadis dalam pengerti ini oleh ‘ulama sunni disinonimkan

dengan pengertian sunnah.1

Sebagian ‘ulama memandang Hadis atau khabar itu sama. Khabar

jamakny adalah akhbar. Secara etimologi diartikan dengan berita (naba’).

Sedangkan pengertian terminologisnya adalah apa yang datang dari Nabi Saw,

sahabat, dan tabi’ien.2

Khabar yang disandarkan langsung kepada Nabi saw disebut dengan

khabar marfu’. Khabar yang hanya sampai kepada sahabat Nabi Saw di sebut

dengan khabar mauquf, dan khabar yang cukup disandarkan kepada tabi’ien

disebut dengan khabar maqthu’. Ada yang mengatakan bahwa Hadis adalah apa

yang langsung datang dari Nabi Saw. Sedangkan khabar adalah apa yang datang

1
Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-Hadis; Ulu>muh wa Musthalatuh (Bairut: Da>r al-Fikr, 1975), 28
2
Ibid, 29

43
44

dari selain Nabi Saw. Sehingga dapat ditegaskan bahwa semua Hadis pasti

khabar, dan tidak semua khabar pasti Hadis.3

Sedangkan Sunnah menurut ‘ulama Sunni yang berarti atsar Nabi Saw

baik perkataan, perbuatan, takrir, sifat bawaan, tingkah laku keseharian, dan

sejarah hidupnya.4

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat dianalisa bahwa

pengetian yang pertama lebih baik dari pada pengetian yang kedua.5 Namun

pemakaian kedua istilah itu menjadi universal, sehingga kedua istilah itu tidak

bisa dipisahkan satu sama lain secara terminology, walaupun indikasinya

berbeda antara Hadis dengan sunnah. Semua pengertian yang dikemukakan di

atas menjadi umum, karena mencakup segala yang berasal dari nabi tanpa

pembatasan kurun waktu, ruang lingkup, dan aspek-aspek yang termuat.

Cakupan sunnah sangat luas yakni segala yang berasal dari nabi, baik perkataan,

perbuatan, persetujuan, ciri fisik, budi pekerti, maupun hal-hal lain yang terjadi

pada beliau dalam kurun waktu sebelum atau sesudah di angkat menjadi nabi.6

Dari defenisi tersebut dapat dianulir sebagai seseorang yang segala

tindak tanduknya dapat dijadikan sebagai suri tauladan, panutan yang patut

dicontoh, dan pemimpin yang harus diikuti, yang berlaku semenjak Muhammad

3
Abdurrahman Ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Jilid. I,
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1380), 42, dan juga Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nadzar (Madinah:
Maktabah al-Thayyibah, 1404 H), 18
4
Ibid, 169
5
Ibid, 169
6
Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-Hadis; Ulu>muh wa Musthalatuh, 19
45

Saw masih kecil hingga meninggal dunia, baik dalam kapasitas setelah menjadi

nabi maupun sebelumnya. Beberapa karekter dari pribadi Nabi Saw tersebut

sejalan dengan dalil-dalil al-Qura>n yang dijelaskan dengan lugas di dalam QS:

al-Ahzab (33 ): 21 :

                 
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah.7

B. Kriteria Ke-shahihan Hadis Menurut Sunni

Kata shahi>h, jika dilihat dari akar etimologinya adalah lawan dari kata

“saqim” yang berarti sakit. Kata al-Shihhah pada hakikatnya berhubungan

dengan hal-hal fisik, tetapi pada perkembangannya juga digunakan dalam

persoalan-persoalan yang lebih luas sebagai majaz dan kata pinjaman.8 Para

‘ulama Hadis berbeda di dalam memberikan pengertian tentang shahih dari segi

terminologinya, khususnya ‘‘ulama Sunni.

Para ‘ulama Hadis mutaqaddimin dari kalangan Sunni belum

mendefinisikan Hadis shahih sampai pada masa kodifikasi (tadwin), tetapi

secara eksplisit ditemukan tentang berbagai pernyataan para ahli Hadis yang

berisi tentang syarat-syarat diterimanya sebuah Hadis, seperti yang dinyatakan

7
Depag RI, Al-Qura>n dan Terjemahnya, 670
8
Abdurrahman Ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Jilid. I,
63
46

oleh Al-Darimy (255H).9 kemudian syarat yang diungkapan oleh Imam al-

Syafi’ie lebih kongkrit ketimbang pernyataan-pernyataan ‘ulama sebelumnya

tentang sebuah Hadis yang bisa dijadikan hujjah. Ia menyatakan bahwa Hadis

Ahad tidak bisa dijadikan hujjah kecuali memenuhi criteria sebagai berikut:

1. Diriwayatkan oleh para periwayat yang ; a), dapat dipercaya pengalaman

agamanya. b) dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita;

c) memahami dengan benar tentang Hadis yang disampaikan; d)

mengetahui perubahan makna Hadis bila terjadi perubahan lafadznya; e)

mampu meriwayatkan Hadis secara lafdzi bukan secara maknawi; f)

terpelihara hafalannya bila ia meriwayatkan secara hafalan dan terpelihara

catatannya jika ia menyampaikan dengan catatan(kitab); g) bila Hadis yang

diriwayatkannya diriwayatkan pula oleh orang lain, maka riwayat Hadis itu

tidak berbeda; h) terbebas dari cacat (tadlis).

2. Rangkaian riwayatnya (sanad) bersambung kepada nabi, atau bisa juga

tidak sampai kepada Nabi Saw.10

Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai pakar Hadis yang memiliki

reputasi tertinggi dari kelompok Sunni tidak mengajukan syarat-syarat criteria

sebuah Hadis yang tegas yang dipakai di dalam meneliti keshahihan sebuah

Hadis. Criteria sebuah Hadis yang berkualitas shahih dapat diketahui melalui

9
Abu Muhammad Abdullah Ibn Abdurrahman al-Darimi, Sunan al-Darimi, Jilid I (T.tp: Da>r
Ihya’ al-Sunan al-Nabawiyah, t.t), 112-114
10
Abu Abdillah Muhmmad Ibn Idris al-Syafi’ie, Al-Risalah, Jilid II (Kairo: Maktabah Da>r al-
Turath, 1979), 369-371
47

penelitian berdasarkan kitabnya. Hasil penelitian ‘ulama memberikan criteria

keshahihan Hadis berdasarkan criteria Bukhari Muslim. Ternyata terdapat

perbedaan prinsip tentang Hadis shahih walaupun juga ada kesamaannya.

Menurut kesimpulan para ‘ulama Sunni, Imam Bukhari selalu berpegang

kepada tingkat keshahihan yang paling tinggi. Perbedaan pokok antara Bukhari

dan Muslim tentang Hadis shahih terletak pada informasi akurat tentang

masalah pertemuan antara perawi dengan perawi yang terdekat di dalam sanad.

Al-Bukhari mengharuskan liqa’(pertemuan) antara periwayat dengan periwayat

yang terdekat dengan sanad, walaupun pertemuan itu hanya satu kali dalam

hidupnya. Menurutnya tidak cukup hanya dengan zaman yang sama, berbeda

dengan Muslim, yang menurutnya pertemuan itu tidak harus dibuktikan yang

penting antara mereka telah dibuktikan kezezamanannya.11

Adapun persyaratan-persyaratan yang lainnya dapat ditemukan sama

antara persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam

Muslim. Persyaratan-persyaratan tersebut menurut penilaian ‘ulama

Ahlussunnah adalah:

1. Rangkaian periwayat di dalam sanad itu harus bersambung mulai dari

periwayat pertama sampai periwayat terakhir.

2. Para periwayat di dalam sanad itu harus orang-orang yang dikenal tsiqah

dalam arti adil dan dhabit.

11
Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-Hadis; Ulu>muh wa Musthalatuh, 311
48

3. Hadis itu terhindar dari cacat (illat) dan kejanggalan (syudud).

4. Para periwayat yang terdekat di dalam sanad harus sezaman.12

Dari persyaratan di atas telah mencakup semua persyaratan Hadis

shahih, baik pada sanad maupun matan sebagaimana yang telah diungkapkan

oleh Imam Nawawi.

Upaya ‘ulama Hadis Mutaqaddimi>n ini juga telah diikuti oleh ‘ulama

Mutaakhkhirin Sunni, mereka pun ikut andil di dalam menjaga keotentisitasan

Hadis agar dapat dijaga keshahihannya dengan membuat tolak ukur dan criteria

keshahihan Hadis tersendiri. Pengertian yang mereka ungkapkan secara lepas

tidak lepas dari pengaruh ‘ulama Mutaqaddimin Sunni. Para ‘ulama Hadis

tersebut telah memperakarsai lahirnya tolak ukur penyeleksian Hadis yang

bernilai shahih secara tegas. ‘ulama Mutaqaddimin Sunni telah dipelopori oleh

Imam Syafi’ie, Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sementara dari kalangan ahli

Hadis Mutaakhkhirin diwakili oleh Ibn Shalah (1254 M). kontribusi Ibn Shalah

sangat besar di kalangan ‘ulama Hadis Mutaakhkhirin Sunni hingga sesudahnya.

Defenisi yang dibuat oleh Ibn Shalah adalah dianggap lebih objektif dan

representative. Definisi tersebut menjadi rujukan sampai sekarang, yaitu :

‫اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻫﻮ اﳌﺴﻨﺪ اﻟﺬي ﻳﺘﺼﻞ إﺳﻨﺎدﻩ ﺑﻨﻘﻞ اﻟﻌﺪل اﻟﻀﺎﺑﻂ ﻋﻦ اﻟﻌﺪل اﻟﻀﺎﺑﻂ اﱃ ﻣﻨﺘﻬﺎﻩ‬
13
.‫وﻻﻳﻜﻮن ﺷﺎذا وﻻﻣﻌﻠﻼ‬

12
Abu Amr Uthman Ibn Abdurrahman Ibn al-Shalah, Ulu>m al-Hadis, (al-Madinah al-
Munawwarah: Al-Maktabah al-Ilmiah, 1972), 15-22
13
Abu Amr Uthman Ibn Abdurrahman Ibn al-Shalah, Ulu>m al-Hadis, 10
49

Hadis shahih adalah Hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith, diterima
oleh perawi yang adil dan dhabith sehingga sampai pada akhir sanad, tidak ada
kejanggalan dan tidak berillat.

Imam Nawawi tampak setuju dengan defenisi tersebut dan meringkasnya

sebagai berikut:

14
‫ﻣﺎ اﺗﺼﻞ ﺳﻨﺪﻩ ﺑﻨﻘﻞ اﻟﻌﺪل اﻟﻀﺎﺑﻂ ﻋﻦ ﻣﺜﻠﻪ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺷﺬوذ وﻋﻠﺔ‬
Hadis shahih adalah Hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang adil lagi dhabit serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat.

Para ‘ulama Hadis Mutaakhirin setelah periode Ibn Shalah dan Imam

Nawawi, telah berupaya melacak dan menjaga keaslian Hadis. Upaya tersebut

mereka buktikan dengan membuat kaidah penyeleksian Hadis yang berkualitas

shahih dengan redaksi yang berbeda. Kaidah yang dibuat mereka adalah sama

esensinya dengan yang dibuat oleh dua ‘ulama di atas. ‘ulama Hadis yang

dimaksud adalah di antaranya Ibn Hajar al-‘Asqalani (1449M), Al-Suyuthi

(1505 M), dan Al-Qasimi (1914 M).

Adapun penjelasan dari keriteria keshahihan Hadis tersebut di atas

adalah sebagai berikut:

1. Sanad bersambung

Yang dimaksud ittishal al-sanad (sanad bersambung) adalah tiap-

tiap perawi di dalam Hadis tersebut menerima dari periwayat sebelumnya.

Hadis yang sanadnya bersambung di kalangan para ‘ulama Hadis disebutkan


14
Al-Nawawi, Shahih Muslim Ibn Syarh al-Nawawi, Jilid I (Mesir: Maktabah al-Mishriyah,
1924), 14-15
50

dengan nama yang beragam. Al-Khatib al-baghdadi (1072M) menamainya

dengan sebutan Hadis musnad. Sedangkan Hadis musnad menurut Ibn

Abdul Bar adalah Hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw (marfu’). Sanad

Hadis musnad ada yang bersambung dan ada pula yang terputus

(munqathi’).

Menurut kebanyakan ‘ulama Hadis, Hadis musnad adalah pasti

marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan Hadis marfu’ belum tentu

bersambung sanadnya. Sehingga Hadis musnad pasti marfu’ sedangkan

setiap Hadis marfu’ belum tentu musnad.15

2. Periwayatnya bersifat adil

Kata ‘adil sudah menjadi serapan bahasa Indonesia, dan menurut arti

Kamus Besar Bahas Indonesia diartikan dengan tidak berat sebelah, tidak

memihak, septutnya dan tidak sewenang-wenang. Secara etimologi kata

‘adl atau ‘adalah adalah keadilan, pertengahan, lurus, condong kepada

kebenaran, pembalasan dan kesederhanaan. Dapat juga berarti Istiqamah

yang berarti tegask,lurus, jujur.16

Para ‘ulama berbeda pendapat tentang kcriteria perawi disebut

dengan adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut adil apabila ia

beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah, dan tidak berbuat

15
Moh. Idri, Studi Hadis (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 162
16
Ibrahim Unais, Mu’jam al-Wasith, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 588
51

fasik.17 Demikian juga menurut Imam Nawawi. Sedangkan menurut Ibn

Hajar al-Asqalani> menyatakan bahwa adil adalah seorang periwayat Hadis

yang bertakwa, memlihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar misalnya

syirik, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat fasik.18

Adapun syarat keadilan perawi adalah para ahli Hadis Sunni berbeda

pendapat tentang siapa diantara perawi yang dinyatakan adil. Mayoritas

mereka menyatakan bahwa adil itu adalah islam, baligh, berakal, selamat,

tidak melakukan perbuatan fasik serta memelihara muru’ah.19 Terlepas dari

perbedaan tersebut, masyoritas ‘ulama menetapkan syarat ke’adilan seorang

perawi dengan empat macam seperti yang telah disebutkan tadi.

Adapun hal yang dapat merusak terhadap keadilan perawi Hadis di

dalam proses meriwayatkannya menurut ‘ulama Hadis Sunni adalah kafir,

fasiq, berbohong, suka berbuat kejelekan, anak-anak, ahli bid’ah, pemalsu

Hadis dan orang yang menerima upah dari pengajaran Hadis.20

Untuk mengetahui adil tidaknya seorang perawi, para ‘ulama Hadis

telah menetapkan beberapa cara, yaitu :

a. Melalui popularitas keutamaan periwayat Hadis di kalangan ‘ulama

Hadis, seperti Malik Ibn Anas, Sufyan al-Tsauri.

17
Abu Amr Uthman Ibn Abdurrahman Ibn al-Shalah, Ulu>m al-Hadis, 94
18
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikr (Semarang: Maktabah al-
Munawwar, tt), 13
19
Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 218
20
Ibid, 218
52

b. Penilaian dari para kritikus priwayat Hadis. Penilaian ini berisi

pengungkapan kelebihan (ta’dil) dan kekurangan (tajrih) yang ada pada

diri periwayat Hadis.

c. Penerapan kaidah al-Jarhu wa al-ta’di>l. Cara ini dipakai apabila kritikus

periwayat Hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi tertentu.21

3. Periwayat Hadis bersifat dhabit

Dhabith, adalah merupakan salah satu syarat diteriamanya suatu

Hadis. Kata “dhabith” secara etimologinya diartikan dengan kokoh, yang

kuat, yang tepat, dan yang hafal dengan sempurna.22 Ditinjau dari segi

terminology menurut Ibn Hajar bahwa dhabit adalah seorang perawi yang

kuat hafalannya dari apa yang telah didengarnya dan mampu

menyampaikan apa yang disampaikan itu dengan sempurna kapan saja ia

kehendaki.23 Al-Dhabith adalah orang yang sadar ingatan tidak pelupa,

hafidz dan kuat menjaganya. Ia tetap dianggap sebagai seorang dhabit

secara tulisan walaupun terdapat kesalahan tetapi telah dimaafkan oleh

orang yang ahli dibidang Hadis.24

Menurut Syuhudi Isma’il, criteria dhabit bagi perawi Hadis adalah

sebagai berikut:

21
Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 134
22
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt), 445
23
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikr,,13
24
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi (Madinah: Maktabah
Ilmiaj, 1972), 198
53

a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat Hadis yang telah

diriwayatkannya.

b. Periwayat hafal dengan baik riwayat Hadis yang didengarnya.

c. Periwayat itu mampu untuk menyampaikan Hadis yang telah dihafal

dengan baik.

Macam-Macam dhabith itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Dhabith Shadr, adalah periwayat yang mempunyai kemampuan

menghafal Hadis secara benar, mampu mentransfer dan

mengungkapkannya dengan baik di kala ia menyampaikan. Dengan

formulasi tersebut, seorng perawi hendaknya memiliki kesadaran dan

tidak lalai, tidak mudah dalam proses tahamul wal ‘ada’, cerdik dan

teliti tentang perubahan makna di dalam periwayatan, tidak pelupa,

keliru, dan wahn. Menurut ‘ulama Sunni, tidak seorangpun yang akan

terbebas dari lupa, keliru, dan wahm (ragu-ragu).

b. Dhabith Kitab adalah periwayat yang memahami Hadis dengan baik,

cermat tulisan Hadis di dalam kitabnya dan mengetahui letak

kesalahannya. Periwayat tersebut memiliki kemampuan untuk

menjaganya sejak ia mendengar sampai ia menyampaikannya.25

Adapun ke-dhabith-an al-shadr pada periwayat hanya berlaku

pada masa sahabat dan tabi’ien dan beberapa waktu setelah mereka.

25
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikr, 52
54

Berbeda dengan dhabit kitab berlangsung lebih lama hingga mencapai

thabaqat 8 hingga 9. Kegiatan tersebut berakhir setelah Hadis-Hadis

terhimpun di dalam sebuah kitab-kitab yang sudah dianggap abash,

kemudian tersusun juga kitab-kitab yang menjelaskan tentang gharb

al-Hadis, rijal, kedhabithan, lafadz musykil, dan kitab-kitab yang

menjelaskan itu semua. Dari pokok permasalahan tersebut tampak

bahwa dhabith bil kitabah lebih kuat dengan dhabit bi al-shadr.

Adapun cara untuk mengetahui ke-dhabitan perawi menurut

pendapat ‘ulama Hadis Sunni adalah sebagai berikut:

a. Kedhabitan periwayat dapat diketahui melalu kesaksian ‘ulama

b. Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesesuaian yang

diriwayatkan dengan riwayat ‘ulama sebelumnya, baik kesesuaian itu

secara makna maupun hurufnya.

c. Periwayat yang sekali-kali membuat kesalahan tetap dinilai dhabit

asalkan kesalahannya tidak sering terjadi. Jika sering membuat

kekeliruan di dalam meriwayatkan Hadis, maka ia tidak disebut dengan

dhabit.26

Adapun yang menghalangi terhadap kedhabitan adalah sebagai

berikut:

26
Ibid, 138
55

a. Sering mencampur aduk periwayatan. Menurut Imam Syafi’ie,

periwayat yang melakukan kesalahan dengan banyak, tidak sah

periwayatannya dan ditolak Hadisnya. Hal ini dianalogikakan dengan

penolakan persaksian bagi orang-orang yang sering melakukan

kesalahan.

b. Jelek hafalannya.artinya kesalahan di dalam riwayat lebih sedikit

ketimbang keotentikannya. Ibn Hajar juga mengungkapkan bahwa

periwayat dianggap jelek hafalannya apabila ia meriwayatkan dan raji

(unggul) di dalam riwayatnya, namun di sisi lain ia bersalah.27

c. Pelupa, hal ini masih terbagi dua, yaitu bahwa perawi betul-betul tidak

bisa membedakannya antara yang benar dengan yang salah di dalam

periwayatannnya, maka riwayatnya ditolak. Kedua; pelupa dalam

kondisi tertentu. Riwayat orng tersebut harus ditolak saat itu, karean

bisa jadi ia mempermudah periwayatannya pada saat dia

meriwayatkannya.

d. Banyak memiliki unsur wahm, periwayat menyambungkan Hadis

muttasil dengan munqathi’, atau menyelipkan perkatan tercela.

e. Riwayatnya kontradiksi dengan riwayat yang tsiqah. Artinya standar

kualitasnya lebih rendah dengan Hadis yang lebih thiqah.

4. Terhindar dari Syadz

27
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikr, 53
56

Di kalangan ‘ulama Sunni terdapat pemahaman yang berbeda

tentang shadz. Menurut Imam Syafi’ie, Hadis itu dikatan syadz apabilah

Hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqat bertentangan

dengan riwayat yang diriwayatkan oleh periwayat banyak lain yang lebih

tsiqat.28 Menurut Abu Ya’la al-Khalili, bahwa Hadis itu dikatakan syadz

apabila Hadis itu sanadnya hanya satu macam, baik diriwiyatkan oleh

seorang yang tsiqat ataupun tidak. Apabila periwayatnya tidak tsiqat maka

Hadisnya ditolak, tetapi apabila ia tsiqat Hadisnya dibiarkan (mauquf) tidak

diterima dan tidak ditolak.29

Sedangkan menurut Imam Nawawi dan Ibn Shalah adalah bawa

Hadis itu dikatakan syadz seperti apa yang dijelaskan oleh Imam Syafi’ie

dengan penerapan yang menurut mereka sangatlah mudah.30 Adapun contoh

Hadisnya adalah sebagai berikut:

‫ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ اﺑﻦ اﻻﺻﺒﻬﺎﱐ ﻋﻦ ﳎﺎﻫﺪ ﺑﻦ وردان ﻋﻦ ﻋﺮوة ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ان رﺟﻼ ﺗﻮﰲ ﻋﻠﻰ‬
31
‫ﻋﻬﺪ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﱂ ﻳﺪع وارﺛﺎ إﻻ ﻣﻮﱄ ﻫﻮ أﻋﺘﻘﻪ‬
Diriwayatkan dari Sufyan dari Ibn al-Ashbihani dari Mujahid Ibn Wardan
dari ‘Urwah dari Aishah, Sesuangguhnya seorang laki-laki meninggal pada
zaman Nabi Saw dan tidak seorangpun yang menjadi ahli waritsnya kecuali
hanya seorang hamba sahaya yang ia merdekakan. Lalu nabi sendiri
memberikan kepadanya harta waritsannya.

28
Abu Amr Uthman Ibn Abdurrahman Ibn al-Shalah, Ulu>m al-Hadis, 48
29
Ibid, 69
30
Ibid, 71
31
Imam al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi>, jilid VI (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiah,
243
57

Adapun masalah dalam Hadis ini adalah sanad Hammad Ibn Zaid

melalui Amr Ibn Dinar dari Ausajah (budak Ibn Abbas), tanpa menyebut

Ibn Abbas.32

5. Terhindar dari ‘Illat

Jika di dalam Hadis tersebut terdapa illat, walaupun shahih secara

dzahir, maka disebut dengan Hadis mu’allal. Menurut Shalahuddin al-

Adhabi bahwa Hadis muallal adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang

periwayat tsiqat yang berdasarkan telaah seorang kritikus ternyata

mengandung illat yang merusak keshahihannya, meski secara lahiriah

Nampak terhindar dari illat tersebut. Atau Hadis yang secara lahir Nampak

terbebas dari illat, tetapi setelah diteliti ternyata mengandung illat yang

mengganggu keshahihannya.33

Sedangkan cara untuk mengetahu illat Hadis menurut Al-Khatib al-

Baghdadi adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan

di antara para periwayatnya, memperhatikan status hafalan, keteguhan dan

kedhabitan masing-masing periwayat.34 Sedangkan menurut Abdurrahman

Ibn Mahdi, untuk mengetahui illat Hadis diperlukan intuisi (ilham).

Sedangkan menurut Mahmud Thahhan, bahwa suatu Hadis disebut

32
Ibid, 47-51
33
Shalahuddin al-Adhabi, Manhaj Naqd Matn (Bairut: Dar Aflaq al-Jadidah, 1983), 148
34
Ibid, 148
58

mengandung illat apabila; 1) periwayatnya menyendiri,2) periwayat lain

bertetangan dengannya.35

C. Konsep Al-Jarh Wa al-Ta’dil Menurut Sunni.

Jarh (‫ )ﺟﺮح‬berasal dari kata jaraha (‫ )ﺟﺮح‬yang berarti “melukai tubuh

ataupun yang lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang dan

sebagainya”. Jarh juga berarti “memakai atau menistai, baik di muka ataupun di

belakang”.36

Secara terminology, Jarh berarti :

‫ﲞﻞ ﲝﻔﻈﻪ أو ﺿﺒﻄﻪ ﲟﺎ ﻳﱰﺗّﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻘﻮط رواﻳﺘﻪ أو‬


ّ ‫"ﻇﻬﻮر وﺻﻒ ﰱ اﻟﺮاوي ﻳﺜﺎم ﻋﺪاﻟﺘﻪ أو‬
"‫ردﻩ‬
ّ ‫ﺿﻌﻔﻪ أو‬
“Nampaknya suatu sifat dalam diri perawi yang mencacatkan keadilannya atau
rusaknya hafalan dan ingatannya, yang dapat menyebabkan riwayatnya batal
atau lemah atau ditolak”.37

Sementara itu, Latif mendefinisikan Jarh sebagai penolakan ahli Hadis

terhadap riwayat seseorang karena adanya suatu indikator cela dalam karakter

atau riwayatnya, antara lain berupa: kefasikan (fisq), pemalsuan (tadlis),

35
Mahmud Thahhan, Ushu>l al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Bairut: Da>r al-Qura>n al-Karim,
1979), 101
36
M. Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta, Bulan Bintang,1993),
330
37
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-Hadis, 260
59

pendustaan (kadhib), keterasingan (syadz); menyalahi kodrat umum, dan

sebagainya.38

Sedangkan ta’dil (‫ )ﺗﻌﺪﯾﻞ‬berasal dari kata ‘adala (‫)ﻋﺪل‬yang menurut

bahasa berarti “menyamaratakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan

menegakkan keadilan atau berlaku adil”. Menurut istilahnya adalah:

"‫"وﺻﻒ اﻟﺮاوي ﺑﺼﻔﺎت ﺗﻮﺟﺐ ﻋﺪاﻟﺘﻪ اﻟﱴ ﻫﻲ ﻣﺪار اﻟﻘﺒﻮل ﻟﺮواﻳﺘﻪ‬


“Menyifati perawi dengan sifat-sifat yang karenanya, orang lain memandangnya
adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya”39

Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa al-ta’dil adalah rawi yang

dapat menjaga kesucian pribadinya dari sifat-sifat tercela, sehingga dalam

persoalan agama dan muru’ahnya tidak menampakkan sesuatu yang cela.

Menurut ‘ulama Sunni, untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa

seorang perawi itu dapat dipercaya (‘adil) atau tidak (baca:tercela), para ahli

telah menyusun beberapa lafadz} beserta tingkatan-tingkatannya. Sebab tidak

semua perawi memiliki hafalan, ilmu dan tingkat ke-dhabit-an yang sama.

Secara umum, tingkatan yang dipakai untuk lafadz- lafadz ini ada enam sesuai

dengan pendapat Ibn Hajar al-‘Asqalani yang dikutip oleh al-Khatib, yaitu:

1. lafadz- lafadz jarh

38
‘Abd al-Wahhab ‘Abd Latif, al Mukhtashar fi ‘Ilm Rijal al-Athar (Kairo: Da>r Kutub al-
Hadisah,1966), 45
39
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-Hadit, hal. 261 dan Al-Shiddiqi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, hal.359
60

Adalah lafadz- lafadz yang biasanya digunakan untuk menyatakan

bahwa si perawi tersebut cela atau ada cacatnya sesuai dengan urutan

tingkatan, yakni:

a. Menggunakan kalimat mubalagh}ah (superlative), seperti akdzab al-Nas

atau orang yang paling dusta, ilaihi muntaha fi al-kadzib, rukn al-

kadzib, mamba’ul kadzib, ma’dinul ladzib dan sebagainya.

b. Ungkapan yang menunjukkan kebohongan dan pemalsuan Hadis,

seperti kadzab, dajjal, wudhula’ dan wada’.

c. Pada tingkat ini biasanya menggunakan kata-kata fulan yasriq al-Hadis

(ia mencuri Hadis), fulan muttaham bi al-kadzib (ia tertuduh berdusta),

laa yu’tabar bihi (tidak dianggap), ada juga ungkapan yang

merekomendasikan untuk meninggalkan periwayatan perawinya,

seperti matruk, laisa bi thiqah (tidak dapat dipercaya), dan sebagainya.

d. Ungkapan yang mendeskripsikan kedhaifan yang sangat, seperti dhaif

jiddan, fulan rudda Hadisuhu, mardud al-Hadis, mathruh al-Hadis dan

sebagainya.

e. Ungkapan yang menunjukkan kedhaifan rawi atau kerusakan

hafalannya, seperti fulan mudltharib al-Hadis, lahu manakir, fulan la

yuhtajju bihi, yunkir al-Hadis atau dhaif.


61

f. Tingkat ini menggunakan kata-kata yang paling ringan menunjukkan

kedhaifan yang mendekati ke’adilan, seperti fihi maqal, adna maqal,

dhu’hifa, ghairuhu awthaq minhu, fihi layyin dan lain-lain.40

Hukum tingkatan-tingkatan di atas menurut Dr. Mahmud Thahhan,

Hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah tetapi hanya ditulis untuk pelajaran

saja, dan khusus kepada tingkatan teratas maka ia tidak dianggap adanya.41

2. Lafadz- lafadz Ta’dil

a. Paling tinggi adalah lafadz yang menunjukkan kepada

mubalaghah,tidak ada cacatnya atau bahwa ia dipercaya, seperti ilaihi

al-muntaha, awthaq al-nas, adl}bath al-nas, atau la a’rifu lahu nadhiran

fi al-dunya (aku tidak melihat tandingannya di dunia ini), dan

sebagainya.

b. Selanjutnya ungkapan seperti fulan la yus’alu ‘anhu (si fulan tidak

dipertanyakan lagi)

c. Ungkapan yang menggunakan kata sifat untuk menunjukkan bahwa

orang itu dipercaya, seperti thiqah thiqah, thabat thabat. Ibnu

‘Uyainah, seperti yang dikutip said Agil, menyebut kata thiqah ini

sampai sembilan kali, seperti perkataan Ibnu Sa’ad kepada Syu’bah

yaitu thiqah ma’mun, thabat hujjah, dan shahib Hadis.42

40
al-Khatib, Ushu>l al-Hadit,274-276
41
Dr. Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadis (Beirut: Da>r Thaqafah Islamiyah, cet
VIII), 155
42
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qura>n Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, 164
62

d. Ungkapan disini menggunakan julukan yang menunjukkan sifat

kepercayaan, seperti thiqah, thabat, hujjah, imam, dlabit, hafidh,

e. Kemudian ungkapan yang mengatakan laisa bihi ba’sun atau la ba’sa

bihi. Pengertian ini menunjukkan bahwa perawi tersebut kurang kuat

hafalannya.

f. Sifat-sifat yang lebih dekat kepada sifat cacat perawi dan ini adalah

tingkat paling rendahnya ta’dil, seperti laisa bi ba’idin min al-shawab,

jarwa Hadisuhu, muqarabah al-Hadis, shadiqun insya Allah, atau arju

an la ba’sa bihi43.

Hukum-hukum tingkatan-tingkatan ini menurut Mahmud Thahhan,

Hadisnya dapat dijadikan hujjah jika orang tersebut memiliki sifat-sifat itu,

kecuali bagi yang lemah hafalannya.44

Cara mengetahui sifat ‘adil atau tidaknya seorang adalah sebagai

berikut:

a. Kepopuleran seorang perawi di kalangan para ahli Hadis, bahwa yang

bersangkutan dikenal ‘adilnya, seperti Imam bin Hanbal yang tidak

perlu dipersoalkan tentang ‘adilnya.

b. Dengan cara tazkiyah, yaitu penta’dilan dari seorang perawi kepada

perawi lainnya yang belum dikenal adilnya, tetapi perawi yang

43
M. Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 370, Said Agil Husin al-
Munawar, Al-Qura>n Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, 164, dan Muhammah bin Muhammad
Abu Syahbah, al-Wasith fi Ulu>m wa Musthalah al-Hadis, (Kairo:Da>r Fikr al-‘Araby,1993), 408
44
Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadis, 152
63

memberikan tazkiyah ini haruslah perawi yang diterima (maqbul)

periwayatannya.45

Ketika terjadi pertentang antara Jarh dengan Ta’dil, maka solusi

yang harus dilakukan menurut ‘ulama Sunni adalah sebagai berikut:

Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil terhadap seorang

rawi, maka pada umumnya jumhur ulama berpendapat bahwa jarha harus

didahulukan daripada ta’dil, dengan syarat harus memberitahukan sebab

atau alasan dari jarh tersebut jelas.46 Ini disebabkan karena adanya

kemungkinan orang yang melakukan jarh terhadap seorang perawi lebih

mengenalnya daripada orang yang memandanganya ‘adil.

Meski demikian, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:

a. Jarh didahulukan secara mutlak (‫اﳉﺮح‬ ‫)اﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻲ‬


Jarh diduhulukan walaupun jumlah orang-orang yang

memandangnya ‘adil lebih banyak. Sebab pengetahuan jarih lebih

mendalam dari orang yang memandangnya ‘adil. Tetapi diharuskan

penyebutan sebab yang jelas atau mufassar (rinci).

45
Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-Hadit, 268-269
46
Mahmud Thahhan, Tahsir Mushthalah al-Hadis, 143
64

b. Ta’dil didahulukan daripada jarh (‫اﻟﺘﻌﺪﻳﻞ‬ ‫)اﳉﺮح ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻲ‬


Mendahulukan ta’dil daripada jarh jika jumlah mu’addilnya

lebih banyak daripada jarih, sebab jumlah yang banyak memperkuat

kedudukan mereka.

c. Tawaquf, yakni tidak melakukan penilaian apapun terhadap rawi

sampai ditemukan bukti-bukti lain yang menguatkan salah satunya.47

Tugas dari ilmu jarh dan ta’dil ini adalah menyelidiki seketat

mungkin hal-hal seputar para perawi yang sangat erat kaitannya dengan

pemurnian ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah saw. Maka

ilmu ini sangat menutup jalan bagi para pendusta yang mengada-ada seperti

para ahli bid’ah. Tujuannya adalah agar Islam terhindar dari hal-hal yang

menyesatkan dan berusaha untuk mendekati kebenaran yang hakiki.

Selain ini, ilmu ini merupakan metode penelitian ilmiah yang

obyektif, sehingga kreadibilitas dan obyektifitas seorang ilmuwan diuji

dengan metode ini, hal ini untuk menghindari unsur subyektifitas berdasar

asumsi pribadi semata.

Oleh karena itu, persoalan al-jarh dan al-ta’dil merupakan barometer

terhadap proses penyeleksian Hadis terkait dengan keperibadian periwayat.

Jika, periwayat dinilai jelak, maka, al-jarh lebih dominan, begitu juga

sebaliknya. Kaidah inilah yang memberikan kontribusi besar terhadap

47
Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-Hadis, 275-276
65

kalangan peneliti Hadis yang berusah meneliti otentisitasnya. Dengan

demikian, posisi kaidah ini menempati posisi yang sangat penting di dalam

pelaksanaan penelitian sanad Hadis.

Anda mungkin juga menyukai