A. Pendahuluan
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung
jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Sampai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
pengelolaan keuangan negara Republik Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 masih
menggunakan aturan warisan pemerintah kolonial. Peraturan perundangan tersebut terdiri dari
Indische Comptabiliteitswet (ICW), Indische Bedrijvenwet (IBW) dan Reglement voor het
Administratief Beheer (RAB). ICW ditetapkan pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867,
Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het
Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381.
Walau kehendak menggantikan aturan bidang keuangan warisan telah lama dilakukan agar
selaras dengan tuntutan zaman, baru pada tahun 2003 hal itu terwujud dengan terbitnya Undang-
undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Hal itu senada dengan makin besarnya belanja
negara yang dikelola oleh pemerintah sehingga diperlukan suatu metode pengawasan yang
memadai. Salah satu bentuknya adalah keterlibatan masyarakat/stakeholders.
Keterlibatan masyarakat ini juga seiring dengan semakin besarnya porsi pajak dalam
mendanai operasional pemerintahan. Sumber daya alam yang selama ini besar porsinya dalam
penerimaan negara makin lama makin berkurang oleh karena jumlah sumber yang terbatas. Pada
satu pihak, biaya penyelenggaraan pemerintahan semakin besar. Satu-satunya sumber adalah pajak
dari masyarakat. Agar masyarakat tidak merasa dirugikan, maka diperlukan suatu
pertanggungjawaban penggunaan pajak dari masyarakat oleh pemerintah dengan transparan.
Berkenaan dengan perubahan paradigma sistem pemerintahan dan tuntutan masyarakat,
maka perlu dilakukan reformasi di bidang keuangan sebagai perangkat pendukung terlaksananya
penerapan good governance. Reformasi pengelolaan keuangan dilakukan dengan cara:
● Penataan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum;
● Penataan kelembagaan;
● Penataan sistem pengelolaan keuangan negara; dan
● Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan.
Reformasi manajemen keuangan ini tidak hanya melibatkan Pemerintah Pusat dalam
pelaksanaannya, tetapi sekaligus berlaku bagi Pemerintah Daerah.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Undang-undang 17/2003 memberi batasan keuangan negara sebagai “semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut.” Secara rinci sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU 17/2003, cakupan
Keuangan Negara terdiri dari :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara/Daerah;
d. Pengeluaran Negara/Daerah;
e. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
f. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
g. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
Cakupan terakhir dari Keuangan Negara tersebut dapat meliputi kekayaan yang dikelola oleh
orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan
kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub
bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan.
Beberapa hal yang terkait dengan keuangan Negara, yaitu :
(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun
ditetapkan dengan undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam
tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk
membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
2. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan
mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya
adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap
menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu
bidang tertentu pemerintahan. Pembagian kewenangan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Dalam pelaksanaan anggaran, mereka mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rangka
menjaga terlaksananya mekanisme check and balance. Sesuai dengan prinsip tersebut
Kementerian Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban
negara secara nasional, sementara kementerian negara/lembaga berwenang dan bertanggung-
jawab atas penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing.
Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian
wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Pengelolaan keuangan negara setiap tahunnya dituangkan dalam APBN. Dengan demikian
seluruh program/kegiatan pemerintah harus dituangkan dalam APBN (azas universalitas) dan tidak
diperkenankan adanya program/kegiatan yang dikelola di luar APBN (off budget).
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD
ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.
Dalam rangka meyakini bahwa laporan dimaksud telah menyajikan kondisi yang
sesungguhnya serta Pemerintah telah menaati ketentuan peraturan perundang-undangan, maka
laporan keuangan tersebut wajib diperiksa oleh pemeriksa yang indipenden. Berdasarkan UUD
45 yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah adalah
BPK RI.
Dengan memperhatikan pengaturan tentang pengelolaan kas negara yang dilakukan oleh
Bendahara Umum Negara maka kementerian negara/lembaga sebagai pengguna anggaran
tidak diwajibkan menyusun Laporan Arus Kas. Yang menyusun Laporan Arus Kas hanya
Bendahara Umum Negara.
2. Pelaksanaan Pemeriksaan
BPK mempunyai kebebasan dan kemandirian dalam melaksanakan pemeriksaan. Kemandirian
ini termasuk dalam perencanaan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, maupun penyusunan
dan penyajian laporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam perencanaan mencakup penetapan
obyek pemeriksaan (auditee), kecuali untuk obyek pemeriksaan yang telah diatur dalam
undang-undang atau berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan informasi dari berbagai pihak
yang kompeten dan terkait, seperti hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah,
masukan dari lembaga legislatif, serta informasi dari pihak lain yang andal. Dalam pelaksanaan
pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan anggaran serta sumber daya yang dimiliki secara
mandiri dan akuntabel. Dengan mekanisme yang demikian diharapkan BPK dapat
memfokuskan pemeriksaannya pada hal-hal yang menjadi perhatian lembaga legislatif serta
pada berbagai hal yang berdampak pada kewajaran penyajian laporan keuangan, efisiensi, dan
efektifitas program dan kegiatan.
Selama menjalankan pemeriksaan BPK dapat mengakses data yang diperlukan, meminta
informasi dari orang-orang terkait, memperoleh bukti dokumen, wawancara, maupun bukti
fisik untuk mendukung hasil pemeriksaannya, termasuk melakukan penyegelan tempat
penyimpanan uang, barang, atau dokumen jika dipandang perlu.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara mengamanatkan bahwa pemeriksaan harus
dilaksanakan oleh pemeriksa yang kompeten. Apabila BPK tidak mempunyai tenaga ahli pada
bidang tertentu, sementara keahlian ini diperlukan, maka BPK dapat menggunakan bantuan
tenaga ahli dari luar BPK.