Anda di halaman 1dari 2

ERICK JOHANES

18/426766/FI/04471
FILSAFAT NILAI
OBJEKTIVISME DAN SUBJEKTIVISME

Pemikiran manusia tidak lepas dari sebuah interaksi antara pikirannya dengan realita. Interaksi
tersebut, menggolongkan manusia atas perspesi dikotomi subjek dan objek dengan apa yang ada baik
berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam atau diluar fikiran manusia. Dalam prosesnya manusia
menggungakan akalnya untuk menentukan nilai dari persoalan objek dan subjek. Persoalan nilai
menjadi signifikansi dalam upaya untuk menjawab persoalan hakikat hidup. Dalam konsturksi nilai
tersebut tidak lepas dari suatu ilmu pengetahuan, yang menghidupkan akal manusia dalam kerangka
berpikir sistematis, hal tersebut dibedakan dengan eksak yang membuat nilai dengan acuan pasti,
berbeda dalam ranah sosial yang relatif bebas dari nilai.
Sebagai manifestasi dalam pikiran manusia di dalamnya ada subjektivisme dan objektivisme.
Objektivisme, dikembangkan oleh penulis Rusia-Amerika Ayn Rand. Rand menggambarkan
objektivisme sebagai:
"the concept of man as a heroic being, with his own happiness as the moral
purpose of his life, with productive achievement as his noblest activity, and
reason as his only absolute." (Rand. 1992: 1773)
Menurut Rand prinsip utama objektivisme adalah bahwa realitas ada secara independen dari
kesadaran, bahwa manusia memiliki kontak langsung dengan realitas melalui persepsi indera (lihat
realisme langsung dan tidak langsung), seseorang dapat memperoleh pengetahuan objektif dari persepsi
melalui proses pembentukan konsep dan logika induktif, bahwa tujuan moral yang tepat dari hidup
seseorang adalah mengejar kebahagiaannya sendiri (lihat egoisme rasional), bahwa satu-satunya sistem
sosial yang konsisten dengan moralitas ini adalah sistem yang menunjukkan penghormatan penuh
terhadap hak-hak individu yang terkandung dalam kapitalisme laissez-faire, dan bahwa peran seni
dalam kehidupan manusia adalah mengubah ide-ide metafisik manusia dengan mereproduksi realitas
secara selektif ke dalam bentuk fisik ... sebuah karya seni ... yang dapat dipahami dan ditanggapi secara
emosional. Tokoh lain atas objetivisme adalah Max Scheler yang berpendapat bahwa nilai tidaklah
bergantung pada sesuatu yang membawanya dan juga tidak pada realitas atau pengalaman individu
melainkan berdiri sendiri dan tidak mengalami perubahan meskipun sesuatu yang membawanya
mengalami perubahan.
Sedangkan subjektivisme secara historis dikaitkan dengan Descartes dan keraguan metodisnya,
meskipun ia memakainya sebagai alat epistemologis untuk membuktikan kebalikannya. Dalam
perkembanganya, menurut Giovanni Merlo subjektivisme selalu tergantung sifat dari orang yang
menilainya (Merlo. 2016:311-342). Bertrand Russell berpendapat bahwa Persoalan nilai berada di luar
persoalan ilmu. Pengungkapan nilai bukanlah sebagai pernyataan fakta melainkan ungkapan atas emosi
diri sendiri. Pertimbangan tentang nilai sendiri mungkin adalah sebagai ungkapan perasaan, tetapi kita
tidak boleh membiarkannya hanya pada titik tersebut. Selebihnya pertimbangan nilai harus dibawa
pada tujuan tertinggi, yaitu kebahagiaan. (Jirzanah. 2020: 32)
Pembeda diantara subjektivisme dan objektivisme ialah: subjektivisme merupakan bukti atau
fakta yang ada dalam fikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan juga perasaan yang bersifat relatif
yang dipahami sebagai keyakinan yang dianut oleh individu; sedangkan objektivisme merupakan
sesuatu yang bisa diukur yang ada di luar dan persepsi manusia dengan acuan prinsip independen,
netralitas dan objektif.
DAFTAR PUSTAKA

Jirzanah. 2020. Aksiologi Sebagai Dasar Pembinaan Kepribadian Bangsa dan Negara Indonesia.
Yogyakarta: UGMPRESS
Merlo, Giovanni. 2016. Subjectivism and the Mental. Dialectica.70(3): 311–342.
Rand, Any. 1992. Atlas Shrugged. New York: Penguin Books USA Inc.

Anda mungkin juga menyukai