Disusun untuk memenuhi tugas Laporan Individu praktek Profesi Ners Departemen
Gerontik
Oleh:
NIM: 200714901297
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Profesi Ners Departemen
Gerontik
DISUSUN OLEH
NIM: 200714901297
Disetujui Oleh
B. Faktor Risiko
Faktor risiko diabetes mellitus bisa dikelompokan menjadi factor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Factor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
adalah ras dan etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus,
riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000gram, dan riwayat lahir
dengan dengan berat badan lahir rendah 9kurang dari 2500 gram). Sedangkan factor
risiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang tidak sehat,
yaitu berat badan berlebih, obesitas abdominal/sentral, kurangnya aktivitas fisik,
hipertensi, dyslipidemia, diet yang tidak sehat,/tidak seimbang, riwayat toleransi glukosa
terganggu(TGT) atau gula darah puasa terganggu(GDP Terganggu), dan merokok.
1. Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes
mellitus, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak dapat
menghasilkan insulin dengan baik. Diabetes Melitus jenis ini disebabkan oleh
rusaknya sel beta pankreas sebagai penghasil insulin sehingga penderita
sangat kekurangan insulin. Akibatnya, yang bersangkutan harus disuntik insulin
secara teratur. Tipe ini diderita 1 dari 10 penderita Diabetes Melitus yang
kebanyakan terjadi sebelum usia 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa faktor
lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanan atau
dewasa awal) menyebabkan kerusakan sistem kekebalan pada sel beta
pancreas.
2. Usia
Diabetes Melitus dapat menyerang warga penduduk dari berbagai lapisan, baik
dari segi ekonomi rendah, menengah, atas, ada pula dari segi usia. Tua maupun
muda dapat menjadi penderita DM. Umumnya manusia mengalami perubahan
fisiologi yang secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun.
Diabetes sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan, terutama
setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih, sehingga
tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin. Teori yang ada mengatakan bahwa
seseorang ≥45 tahun memiliki peningkatan resiko terhadap terjadinya DM dan
intoleransi glukosa yang di sebabkan oleh faktor degeneratif yaitu menurunya
fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel β dalam memproduksi
insulin.untuk memetabolisme glukosa (Rakhmady, 2010).
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah suatu konsep analisis yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari sudut non-
biologis, yaitu dari aspek sosial, budaya, maupun psikologis (Siti Mutmainah,
2006). Penyakit Diabetes Mellitus ini sebagian besar dapat dijumpai pada
perempuan dibandingkan laki – laki. Hal ini dapat disebabkan karena pada
perempuan memiliki LDL (Low Density Lipoprotein) atau kolesterol jahat tingkat
trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, dan juga terdapat
perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang
sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan hal tersebut merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya penyakit diabetes melitus. Jumlah lemak pada
laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15-20 % dari berat badan total, dan
pada perempuan sekitar 20-25 %. Jadi peningkatan kadar lipid (lemak darah)
pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki, sehingga faktor risiko
terjadinya diabetes melitus pada perempuan 3-7 kali lebih tinggi dibandingkan
pada lak-laki yaitu 2-3 kali, (Soeharto, 2003 dalam Jelantik dan Haryati, 2014).
4. Obesitas
Salah satu resiko yang dihadapi oleh orang yang obesitas adalah penyakit
diabetes tipe 2. Menurut beberapa hasil penelitian, diabetes tipe 2 sangat erat
kaitannya dengan obesitas. Pada penderita diabetes tipe 2, pankreasnya
sebenarnya menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup untuk
mempertahankan kadar glukosa darah pada tingkat normal, namun insulin
tersebut tidak dapat bekerja maksimal membantu sel-sel tubuh menyerap
glukosa karena terganggu oleh komplikasi-komplikasi obesitas, salah satunya
adalah kadar lemak darah yang tinggi (terutama kolesterol dan trigliserida)
(Soeharto, 2003 dalam Jelantik dan Haryati, 2014).
E. Pathofisiologi
1) Patofisiologi diabetes tipe 1
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang
memproduksi insulin beta pankreas (ADA, 2014). Kondisi tersebut merupakan
penyakit autoimun yang ditandai dengan ditemukannya anti insulin atau antibodi
sel anti-islet dalam darah (WHO, 2014). National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan bahwa
autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran islet pankreas.
Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya penyakit ini cepat dan dapat terjadi
selama beberapa hari sampai minggu. Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh
tidak dapat terpenuhi karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang
berfungsi memproduksi insulin. Oleh karena itu, diabetes tipe 1 membutuhkan
terapi insulin, dan tidak akan merespon insulin yang menggunakan obat oral.
2) Patofisiologi diabetes tipe 2
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak. Ini
berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta atau defisiensi
insulin resistensi insulin perifer (ADA, 2014). Resistensi insulin perifer berarti
terjadi kerusakan pada reseptor-reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin
menjadi kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA,
2013). Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk
merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat melalui
suntikan dapat menjadi alternatif.
3) Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin yang
berlebihan saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan resistensi insulin dan
glukosa tinggi pada ibu yang terkait dengan kemungkinan adanya reseptor
insulin yang rusak (NIDDK, 2014 dan ADA, 2014).
F. Web Of Caution
Defisiensi Insulin
Prognosa penyakit
Pembongkaran
protein otot
Ketoasidosis diabetik
Diuresis
Asidosis kelema BB osmotik
Polydipsia,
metabolik han menurun poliuria
Polydipsia,
poliuria
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Barbara C. Long (1995 : 9 ) pemeriksaan diagnostik untuk penyakit diabetes
millitus adalah :
H. Penatalaksanaan
1. Target Terapi
Perawatan pasien lansia dengan DM sulit karena heterogenitas gejala klinis,
mental, dan fungsionalnya. Beberapa pasien lansia mungkin telah menderita DM
bertahun-tahun sebelumnya dan sudah memiliki komplikasi, ada lansia yang baru
menderita DM dengan sedikit atau tanpa komplikasi. Pasien lansia dengan sedikit
penyakit kronik komorbid dan fungsi kognitif masih baik memiliki target glikemik
yang lebih ketat (A1C < 7,5%), sedangkan pasien dengan penyakit kronik multipel,
gangguan kognitif atau ketergantungan aktivitas fungsional memiliki target glikemik
yang tidak ketat (A1C < 8,0 – 8,5%). Dokter yang menangani pasien lansia dengan
DM harus mempertimbangkan heterogenitas ini saat menetapkan dan
memprioritaskan sasaran pengobatan.
2. Terapi Farmakologi
Polifarmasi dalam pengobatan DM pada pasien lansia sering terjadi.
Simplifikasi rejimen pengobatan direkomendasikan untuk mengurangi risiko
hipoglikemia. Dalam penentuan rejimen pengobatan, direkomendasikan obat yang
memiliki risiko hipoglikemia rendah .
a) Metformin
Metformin adalah agen lini pertama untuk DM tipe 2.13 Metformin
aman dan efektif bagi pasien lansia karena tidak menyebabkan
hipoglikemia.8 Studi terbaru14 menunjukkan bahwa metformin dapat
digunakan dengan aman pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus ≥
30 mL/min/1,73 m2. Namun, obat ini dikontraindikasikan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal tahap lanjut dan digunakan secara hati-hati
pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau gagal jantung karena
meningkatkan risiko asidosis laktat.13 Metformin dapat dihentikan
sementara sebelum prosedur invasif, selama rawat inap, dan terdapat
penyakit akut yang dapat mengganggu fungsi ginjal atau hati.
b) Thiazolidinediones
Obat golongan ini harus digunakan dengan sangat hati-hati pada
pasien lansia dengan gagal jantung kongestif dan pasien lansia yang
memiliki risiko tinggi terjatuh atau patah tulang.
c) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea berhubungan dengan risiko
hipoglikemia dan harus
digunakan dengan hati-hati. Jika digunakan, sulfonilureas kerja
lebih pendek seperti glipizid lebih direkomendasikan. Glibenclamide/
glyburide merupakan sulfonilurea kerja lama dan dikontraindikasikan
pada pasien.
d) DPP-IV inhibitor
Obat golongan DPP-IV inhibitor memiliki risiko hipoglikemia minimal,
namun harga obat yang mahal mungkin menjadi penghalang bagi
beberapa pasien lansia.
e) SGLT-2 inhibitor
Data penggunaan jangka panjang obat golongan ini masih terbatas
meski data keamanan dan keamanan awal telah dilaporkan.
3. Terapi insulin
Terapi insulin mengharuskan pasien atau pengasuh pasien memiliki
kemampuan fungsional dan kemampuan kognitif yang baik. Terapi insulin
bergantung pada kemampuan pasien untuk menyuntikkan insulin sendiri
atau dengan bantuan pengasuh. Dosis insulin harus dititrasi untuk
memenuhi target glikemik individual dan untuk menghindari hipoglikemia.
Terapi injeksi insulin basal yang diberikan sekali per hari dikaitkan dengan
efek samping minimal dan mungkin merupakan pilihan yang baik.
Penggunaan insulin dengan dosis lebih dari sekali per hari mungkin terlalu
rumit untuk pasien lansia dengan komplikasi diabetes lanjut, penyakit
komorbiditas yang membatasi aktivitas, atau status fungsional terbatas.
Observasi.
1. Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi,kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah).
2. Monitor berat badan harian
3. Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis.
4. Monitor hasil pemeriksaan labolatorium ( mis. Hematocrit, Na,K, Cl, berat jenis urine,
BUN)
5. Monitor status hemodinamik
Terapeutik
1. Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
2. Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
3. Berikan cairan intravena, jika perlu
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretic, jika perlu
Kriteria Hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan
asupan cairan tidak berkurang atau kembali normal.
Kriteria Skor
Asupan cairan
Haluaran urin
Kelembapan
membrane mukosa
Asupan makanan
Daftar Pustaka
Prasetyo, Agung. 2019. Tata Laksana Diabetes Melitus Pada Pasien Geriatri. Vol.46. No.6.
Simatumpang, Rumiris. 2017. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Melalui Media Leaflet Tentang Diet Dm
Terhadap Pengetahuan Pasien Dm Di Rsud Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2017.
Jurnal Ilmiah Kohehsi: Vol.1. No.2. Juli 2017.
Suara Pembaruan, (2012). Konsumsi kedelai baik untuk diabetes mellitus. Dalam
http://www.suarapembaruan.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2013
PPNI. 2016. Standar Diaknosis Keperawatan Indonesia (Definisi dan Indikator Diaknosisi). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. 2018. Standar Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi dan Tindakan Keperawatan).
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.