Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU BEDAH PORTOFOLIO

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2020


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

SEPSIS

Oleh:
Eka Habina
111 2017 1009

Pembimbing
dr. Suciati Hambali, Sp.B, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana hampir

1/3 pasien yang masuk ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di antara

sepuluh penyebab kematian di Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis meningkat

secara bermakna dalam dekade lalu. Telah dilaporkan angka kejadian sepsis

meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per 100.000 populasi antara tahun 1979

– 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian Severe sepsis berkisar antara 51 dan

95 pasien per 100.000 populasi.1

Dalam waktu yang bersamaan angka kematian sepsis turun dari 27,8%

menjadi 17,9%. Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi

HIV dan keganasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya

sepsis. Beberapa kondisi tertentu seperti gangguan organ secara progresif, infeksi

nosokomial dan umur yang lanjut juga berhubungan dengan meningkatnya risiko

kematian. Angka kematian syok septik berkurang dari 61,6% menjadi 53,1%.

Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade ini dapat disebabkan

karena adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi

iatrogenik. Seperti contoh pengembangan protokol early goal resuscitation yang

bertujuan untuk mencapai target supranormal curah jantung dan pengangkutan

oksigen.1

Sejak 2002 The Surviving Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan

tujuan awal meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe sepsis dan

memperbaiki hasil pengobatan.1


Tetapi seiring berjalannya waktu dan meningkatnya tekhnologi, maka The

Surviving Sepsis Campaign telah melakukan beberapa revisi dari tahun 2004,

2008, 2012, 2016. Dan sekarang yang masih dipakai yaitu tahun 2012 hingga

2016. Selain itu juga rekomendasi terbaru sepsis tahun 2016 dengan

menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) dan qSOFA

(quick Sequential Organ Failure Assessment). Hal ini dilanjutkan dan dilakukan

untuk menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang akhirnya dapat

menurunkan angka kematian secara bermakna.


BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SH
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 23-01-1941/ 77 tahun
Agama : Islam
Suku : Bugis
Pekerjaan :-
Alamat : Jl. Manuruki 9 No. 22
No. RM : 63.35.17

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Muntah darah
Anamnesis Terpimpin : Pasien perempuan berumur 77 tahun masuk
ruang ICU RS Tk II Pelamonia dengan keluhan KU lemah dan muntah
darah. Muntah darah kental 3 hari setelah post op bipolar
hemiarthroplasty. Sebelum masuk ICU, pasien juga merasa nyeri perut,
pusing, mual dan muntah. Pasien juga merasa semakin lemah. 11 jam
setelah pasien masuk ICU, pasien mengelamai penurunan kesadaran. BAK
kurang dan BAB belum dalam 3 hari. Pasien memiliki riwayat DM dan
HT tidak terkontrol.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata : Sakit berat / Gizi baik/ GCS 3 (E1M1Vx)
2. Tanda Vital :
 Tekanan darah: 80/40 mmHg
 Nadi : 140x/menit, irreguler
 Suhu : 38,10C
 Pernapasan : 32x/menit
 SpO2 : 85%
3. Kepala : mata ; konjungtiva anemis, pupil isokor
4. Dada : simetris, tampak retraksi.
5. Paru : Vesikuler , Rh -/-, wh -/-
6. Jantung : BJI/BJII kesan normal, murni, reguler, ictus cordis
tidak tampak, tidak ada bising jantung.
7. Abdomen : tampak cembung, peristaltic (+) kesan normal
8. Ektremitas : akral dingin
9. Terpasang kateter : terpasang
10. Terpasang NGT : terpasang
11. Terpasang ventilator : terpasang
12. Terpasang monitor EKG : terpasang
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

NILAI
Jenis HASIL
RUJUKAN
Pemeri
10/07/1 10/07/1
ksaan 05/07/1 08/07 09/07/1 11/07/1 12/07/1
06/7/18 8 8
8 /18 8 8 8
Pagi malam
HEMATOLOGI RUTIN
8,2 11,7 - 9,2 8,2 10,2 8,7 11,1 11.7 – 15.5
HB g/dL
HCT 24,7 34,3 - 27,7 24,7 29,6 25,5 33,4 35 – 47%
RBC 3 4,17 - 3,34 2,94 3,56 2,98 3,84 4,00 – 6,20
juta/uL
WBC 14.340 19.990 - 16.690 20.210 30.340 23.970 23.270 4.000 –
12.000 /uL
450000 410000 483000 470000 413000 370000 359000 150000 –
PLT 400000/uL
-
MCV 82,3 82,3 - 82,9 84 83,1 85,6 87 84 – 96 fL
MCH 27,3 28,1 - 27,5 28 28,7 29,2 28,9 28 – 34 pg
MCHC 33,2 34,1 - 33,2 33,2 34,5 34,1 33,2 32 – 36 g/dL
LED 150 - - - - - 86 58 0-20
KIMIA DARAH
Ureum 104 - 124 - - 150 - - 10 – 50 mg/dL
darah
Kreatin 3,1 - 3,7 - - 3,5 - - 0,6-1,1 mg/dL
in
darah
GDS 97 - - - - 164 194 196 70-200 mg/dL
GDP - - 173 - - - - - 70-110 mg/dl
Albumi - - - - - - 2,1 3 3,5-5 g/dl
n
G2PP - - 131 - - - - - 80-140 mg/dl
HbA1c - - 6,7 - - - - - 4-6%
SGOT 20 - - - - 45 - - <31 u/l
SGPT 19 - - - - 19 - - <32 u/l
ELEKTROLIT
Na - - - - - 141,4 141,5 144,6 136-
145mmol/L
K - - - - - 5,41 5,05 4,82 3,5-5,1
mmol/L
Cl - - - - - 115,7 114,8 117,8 98-106
mmol/L
HEMOSTASIS
PT - - - - - 15,6 - - 10,4-14,4
detik
APTT - - - - - 24,5 - - 26,4-37,6
detik

 Hasil pemeriksaan radiologi (tanggal 06/07/2018)


Foto pelvis AP:
Kesan :
Total HIP Arthroplasty terpasang dengan kedudukan tulang baik pada
femoris dextra.
Osteoporosis senilis

 Transfusi darah tanggal 05/07/18 : 2 bag (500 cc)


 Transfusi darah tanggal 10/07/18 : 2 bag (500 cc)
 Transfusi darah tanggal 10/07/18 malam : 350 cc

E. DIAGNOSA KERJA
Post Op Bipolar Hemiarthroplasty + Stress Ulcer + DM Tipe 2 + CKD +
Sepsis Berat

F. PENATALAKSANAAN
O2 via ventilator FiO2 100%, PEEP 7 via ETT + Gudell
IVFD Nacl 0,9% 500 cc/24 j + cogtail dalam peggybag/drips 21 cc/jam/IP
Cabang - Syring pump Vascon 5cc/jam
- Syring pump Fentanyl 3cc/jam
- Syring pump Midazolam 2cc/j
Cogtail dalam peggybag :
- Vit. K 1 amp/8jam/iv
- Vit.C 1 amp/8jam/iv
- Adona 1 amp/8 jam/iv
- Transamin 1 amp/8jam/iv
Inj. Meraponem 1 gr/ 8 jam / IV
Inj. Lansoprazole 1 amp / 12 jam / IV
Inj. Ranitidine 1 amp / 8 jam / IV
Apidra 3 x 6 unit (Bila GDS >200)
Transfuse albumin 20% 100 cc
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sepsis adalah penyebab utama penyakit kritis dan mortalitas di rumah sakit.
Sepsis umumnya diketahui sebagai sindroma klinik yang terjadi oleh karena
adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan
disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Namun persatuan Sepsis-3, yang diselenggarakan pada tahun 2014 oleh
SCCM dan ESICM, memperkenalkan definisi baru untuk sepsis dan syok septik
berdasarkan kemajuan dalam pemahaman ilmiah. Perubahan mendasar dalam
definisi baru adalah persyaratan bahwa sepsis dipicu oleh infeksi.  Pemahaman
patobiologis ini menghilangkan SIRS dari definisi sepsis, karena berbagai kondisi
selain infeksi dapat menyebabkan SIRS. Selanjutnya, istilah sepsis berat tidak lagi
direkomendasikan, karena sulit untuk mengidentifikasi secara klinis dan tidak
membantu dalam memandu intervensi pengobatan klinis. Syok sepsis sekarang
didefinisikan sebagai bagian dari sepsis di mana pasien mengalami hipoperfusi
mendalam.
Sepsis didefinisikan sebagai kegagalan organ yang mengancam nyawa
disebabkan oleh gangguan repons tubuh terhadap infeksi. Definisi baru ini lebih
menekankan kepada respons tubuh yang tidak homeostatis terhadap infeksi.
Disfungsi Organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut dari total skor SOFA
≥ 2 poin terhadap infeksi.
Skor SOFA dapat diasumsikan nol pada pasien yang tidak memiliki
disfungsi organ yang sudah ada sebelumnya. Total skor SOFA ≥ 2 menunjukkan
risiko kematian sekitar 10% pada populasi di rumah sakit yang dicurigai infeksi.
Bahkan, pasien dengan disfungsi ringan dapat memburuk lebih lanjut.
Menekankan keseriusan kondisi ini, dibutuhkan intervensi yang cepat dan tepat.
Dalam istilah awam, sepsis adalah kondisi yang mengancam jiwa yang
timbul ketika respon tubuh terhadap infeksi melukai jaringan dan organ sendiri.
Pada pasien dengan kecurigaan infeksi yang telah lama dirawat di ICU dapat
segera diidentifikasi menggunakan qSOFA, yaitu, perubahan status mental,
tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg, atau frekuensi pernapasan ≥22 x/ min.
Syok septik adalah bagian dari sepsis yang didasari kelainan sirkulasi dan
seluler/metabolik yang cukup mendalam untuk secara substansial meningkatkan
mortalitas. Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan melihat klinis
sepsis ditandai dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk
menjaga MAP ≥65 mmHg dan memiliki serum laktat ≥2 mmol/L (18 mg/dL)
meskipun resusitasi cairan telah cukup adekuat. Dengan adanya kriteria ini,
tingkat kematian di rumah sakit adalah ≥ 40%.

Faktor Resiko

Adanya penyakit penyerta bisa meningkatkan angka kematian akibat


sepsis, seperti:
1. Usia diatas 80 tahun atau dibawah 5 tahun dan ibu hamil

2. Herbert dkk melaporkan bahwa resiko kematian sepsis akan meningkat


sesuai dengan jenis dan jumlah gagal organ yang terjadi.

3. Penyakit yang mendasari sepsis terbanyak adalah pneumonia, trauma dan


penyakit jantung (medikal ataupun pasca bedah).

4. Angka kematian pasien dengan gagal organ ≤ 3 adalah 20% dibandingkan


dengan 70% pada pasien dengan gagal organ 3 atau lebih.

5. Kadar gula darah yang tinggi, kadar counter regulatory hormone, seperti


epinefrin, glucagon, growth hormone dan faktor seperti yang tercakup pada
model PIRO yaitu predisposisi (kultur, penyakit kronis, dan genetika), Insult
(Infeksi, endotoksin, injuri, dan iskemia), Respons pasien (fisiologis,
mediator spesifik, dan marka genetika) serta disfungsi organ (syok, acute
respiratory distress syndrome).

6. Imunosupresi (misalnya, neutropenia, terapi imunosupresif, terapi


kortikosteroid, IV penyalahgunaan narkoba, complement deficiencies,
asplenia).
7. Operasi besar, trauma, luka bakar.

8. Prosedur invasif (misalnya, kateter, alat intravaskular, prosthetic device,


hemodialisis dan kateter dialisis peritoneal, tabung endotrakeal).

9. Perawatan di rumah sakit yang berkepanjangan.

B. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri
gram negatif di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang
insiden ini meningkat menjadi sekitar 300.000-500.000 kasus pertahun. Syok
akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi yang seirus.
Insidensi lebih dari 1.665.000 kasus sepsis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dengan angka kematian 20–50%, meningkat lebih dari 50% pada pasien
yang mengalami sakit berat. Walaupun insiden syok septik ini tak diketahui pasti
namun dalam beberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup
banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus,
sirhosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan
imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan
gastrointestinal. Di AS syok sepsik adalah penyebab kematian yang sering di
ruang ICU.

C. ETIOLOGI
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon
sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam
darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk
reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal. Umumnya disebabkan kuman gram
negatif. Insidensnya meningkat, antara lain karena pemberian antibiotik yang
berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif,
meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter
intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup
lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten
terhadap antibiotik.

D. PATOGENESIS
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang
berat. hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan
berlangsung terus menerus dengan sendirinya,dikatakan intravaskular karena
proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan
dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari
peradangan biasa.
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator!mediator
inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1, interferon
gamma yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor
antagonis (IL-1ra), (IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini
bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi
proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon
proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi
kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat
gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan
konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah alergi dan
immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga
menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi.
Perjalanan terjadinya sepsis merupakan mekanisme yang kompleks, antara
mikroorganisme penginfeksi, dan imunitas tubuh manusia sebagai penjamu . Saat
ini sepsis tidak hanya dipandang sebagai respon inflamasi yang kacau tetapi juga
meliputi ketidakseimbangan proses koagulasi dan fibrinolisis . Hal ini merupakan
mekanisme – mekanisme penting dari patofisiologi sepsis yang dikenal dengan
kaskade sepsis. Mikroorganisme penyebab sepsis terutama bakteri gram negatif
dapat melepaskan endotoksinnya ke dalam plasma yang kemudian akan berikatan
dengan Lipopolysaccarida binding protein ( LBP ). Kompleks yang terbentuk dari
ikatan tersebut akan menempel pada reseptor CD 14 yeng terdapat dipermukaan
monosit, makrofag, dan neutrofil, sehingga sel – sel tadi menjadi teraktivasi.
Makrofag, monosit, makrofag, dan netrofil yang teraktivasi inilah yang
melepaskan mediator inflamasi atau sitokin proinflamatory seperti TNF α dan IL -
1β , IL – 2 , IL – 6, interferon gamma , platelet activating factor ( PAF ) , dimana
dalam klinis akan ditandai dengan timbulnya gejala – gejala SIRS. Sitokin
proinflamasi ini akan mempengaruhi beberapa organ dan sel seperti di
hipotalamus yang kemudian menimbulkan demam, takikardi, dan takipneu .
Terjadinya hipotensi dikarenakan mediator inflamasi juga mempengaruhi dinding
pembuluh darah dengan menginduksi proses sintesis Nitrit oxide ( NO ) . Akibat
NO yang berlebih ini terjadi vasodilatasi dan kebocoran plasma kapiler, sel – sel
yang terkait hipoksia yang bila berlangsung lama terjadi disfungsi organ, biasanya
hal ini sering terjadi bila syok septik yang ditangani dengan baik.
Selain respon inflamasi yang sistemik, sepsis juga menimbulkan
kekacauan dari sistem koagulasi dan fibrinolisis . Paparan sitokin proinflamasi
( TNF – α , IL - 1β , IL – 6 ) juga menyebabkan kerusakan endotel, akibatnya
neutrofil dapat migrasi, platelet mudah adhesi ke lokasi jejas. Rusaknya endotel
yang berlebihan ini akan mengekpresikan atau mengaktifasikan TF, yang kita
ketahui dapat menstimulasi cascade koagulasi dari jalur ekstrinsik memproduksi
trombin dan fibrin.Pembentukan trombin selain menginduksi perubahan
fibrinogen menjadi fibrin, juga memiliki efek inflamasi pada sel endotel,
makrofag, dan monosit sehingga terjadi pelepasan TF, TNF – α yang lebih banyak
lagi . Selain itu trombin juga menstimulasi degranulasi sel mast yang kemudian
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran
kapiler. Bila sistem koagulasi teraktivasi secara otomatis tubuh juga akan
mengaktifasi sistem fibrinolisis untuk mencegah terjadinya koagulasi yang
berlebihan. Akan tetapi dalam sepsis, TNF – α mempengaruhi system
antikoagulasi alamiah tubuh yang mengganggu aktivitas dari antitrombin III ,
protein C , protein S , Tissue Factor Protein Inhibitor ( TFPI ) dan Plasminogen
Activator Inhibitor – I ( PAI – I ) sehingga bekuan yang terbentuk tidak dapat
didegradasi . Akibatnya formasi fibrin akan terus tertimbun di pembuluh darah ,
membentuk sumbatan yang mengurangi pasokan darah ke sel sehingga terjadi
kegagalan organ.

E. KLASIFIKASI
Terdapat dua macam klasifikasi sepsis, yaitu sepsis dan syok sepsis.
F. MANIFESTASI KLINIS

Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-
tanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan
produksi urin, dan penurunan tekanan darah).Gejala syok sepsis yang mengalami
hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia,
vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik
turun dan menyempitnya tekanan nadi / pulse pressure). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala
takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang
melebar.
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah
hipovolemia, baik relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh
karena transudasi cairan). Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu
curah jantung rendah, sehingga apabila volume intravaskule adekuat, curah
jantung akan meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung
melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik)
terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada
peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status
hemodinamika pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik
(vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya
lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan
ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah
perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer
terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang.
Kerusakan ini pada syok septik dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya
gangguan oksigenasi jaringan. Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik
adalah terjadinya hiperlaktataemia, mungkin hal ini karena terganggunya
metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam
keterbatasan oksigen)
Tanda klinis syok septic:
1. Fase dini : terjadi deplesi volume,selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.
2. Post resusitasi cairan : gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardi, nadi
keras dengan tekanan nadi meningkat, precordium hiperdinamik pada
palpasi dan ekstremitas hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis dan tanda hipoperfusi : takipnea, oliguri,
sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status mental.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis dari Sepsis ,dapat ditegakkan bila ditemukan dua dari
kondisi seperti pada tabel 1.
Table 1. Kriteria diagnosis pada sepsis
VARIABEL UMUM
Demam (> 38.3°C)
Hipotermia (suhu inti < 36°C)
Nadi > 90 kali / menit atau lebih dari 2SD diatas nilai normal sesuai
umur
Takipnea
Perubahan status mental
Edema signifikan / balans cairan positif (> 20 mL/kg dalam 24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 6.7 mmol/L) tanpa
diabetes
VARIABEL INFLAMASI
Leukositosis ( > 12,000/μL)
Leukopenia ( < 4000/μL)
Angka leukosit normal dengan sel imatur lebih dari 10%
Plasma C-reactive protein lebih dari 2 SD diatas nilai normal
Plasma prokalsitonin lebih dari 2 SD diatas nilai normal
VARIABEL HEMODINAMIK
Hipotensi arterial (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP
menurun > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 SD dibawah nilai
normal sesuai umur
VARIABEL DISFUNGSI ORGAN
Hipoksemia arterial (Pao2/Fio2 < 300)
Oliguria akut (produksi urin < 0.5 mL/kg/jam atau 45 ml / jam selama
setidaknya 2 jam walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan yang
adekuat)
Kreatinin meningkat > 0.5 mg/dL atau 44 μmol/L
Abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau APTT > 60 detik)
Ileus (tidak adanya bunyi peristaltik usus)
Trombositopenia (platelet < 100,000/μL)
Hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg/dL atau 68 μmol/L)
VARIABEL PERFUSI JARINGAN
Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
Menurunnya capillary refill atau adanya bercak-bercak (mottling)
Sepsis berat adalah Sepsis disertai adanya disfungsi organ
Syok septik adalah Sepsis plus either hypotension ( hipotensi refrakter
yang memerlukan vasopresor setelah diberikan cairan intravena ) atau
hyperlactatemia

H. PENATALAKSANAAN
Syok septik adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan
intervensi langsung. Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis :
1. kontrol dan pemberantasan infeksi dengan tepat dan antibiotik intravena tepat
waktu, drainase abses, debridemen jaringan nekrotik, dan pengangkatan benda
asing yang terinfeksi
2. pemeliharaan perfusi yang adekuat dengan cairan intravena dan agen inotropik
dan vasopressor
3. terapi suportif pada komplikasi seperti ARDS, gagal ginjal, perdarahan
gastrointestinal, dan DIC.

Resusitasi awal sepsis harus dilakukan segera setelah sepsis diketahui.


Tujuan dari resusitasi awal ini antara lain untuk memulihkan volume
intravaskular, menentukan sumber infeksi, memulai terapi antimikroba spektrum
luas, dan mengendalikan sumber infeksi. Prinsip utama resusitasi awal dapat
dimulai di setiap area rumah sakit dan tidak boleh ditunda menunggu masuk ICU.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat akses intravena untuk
memberikan cairan IV dan antimikroba spektrum luas kepada pasien.

Resusitasi mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation


(C) dengan oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid),
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien yang
mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65
mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam
resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan
CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai
hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
μg/kg/menit). Resusitasi dilakukan terhadap pasien dengan sepsis yang
menginduksi hipoperfusi jaringan (hipotensi yang bertahan setelah pemberian
cairan awal atau konsentrasi laktat darah ≥4mmol/L). Resusitasi juga bertujuan
untuk menormalkan kadar laktat pasien karena peningkatan kadar laktat
menunjukkan adanya hipoperfusi jaringan.
Perbaikan stabilitas hemodinamik
Pada sepsis berat dan syok septik resusitasi merupakan persoalan yang
paling penting sehingga dikenal istilah “sixhour goal treatment” pedoman yang
banyak dipakai dalam resusitasi adalah “early goal-directed therapy (EGDT)”
yang mempunyai target optimal central venous pressor (CVP), mean arterial
pressor (MAP) dan central venus oxygen saturation (ScvO2). Dengan melakukan
EGDT cepat dan tepat waktu dapat mengurangi angka kematian absolute 16%,
mengurangi mortalitas di rumah sakit dan mempunyai manfaat yang bermakna
pada hasil akhir perawatan pasien dengan sepsis berat dan septik syok.
Gambar.Algoritme EGDT. CVP = central venous pressure; MAP = mean

arterial pressure; SCVO2 = central venous oxygen saturation; Hct = hematocrit.

Early goal directed treatment merupakan tatalaksana syok septik 6 jam


pertama, dengan pemberian terapi yang mencakup penyesuaian beban
jantung, preload, afterloaddan kontraktilitas dengan oxygen delivery dan demand.
Protokol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid 500 ml tiap 30
menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan
arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopressor hingga >65
mmHg dan bila MAP >90 mmHg berikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi
vena sentral (Scv O2), bila ScvO2 <70 %, dilakukan koreksi hematokrit hingga di
atas 30 %. Setelah CVP, MAP dan hematokrit optimal namun ScvO2 <70%,
dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP >65 mmHg, atau
frekuensi jantung >120x/menit
Tata laksana syok sepik meliputi banyak factor yang harus dipenuhi:
- Perbaikan Hemodinamik 
Banyak pasien syok septik yang mengalami penurunan volume
intravaskuler, sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi
penurunan tekanan darah. Cairan koloid dan kristaloid diberikan. Jika disertai
anemia berat perlu transfusi darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg. Untuk
mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2
jam. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg,
urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi,
saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12
mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau
pemberian dobutamin (dosis 5-10 μg/kg/menit sampai maksimal 20
μg/kg/menit). Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu
MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5
μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka
dosis dapat di tingkatkan sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis
dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan
levarterenol (norepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal,
berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain
(fenilefrin atau epinefrin).
- Pemakaian Antibiotik
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih
obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat
penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis
umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan,
terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi
organ.Pemberian antibiotik kombinasi juga dapat dilakukan dengan indikasi :
 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan


data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada
bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

- Terapi Suportif

 Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
 Terapi cairan
o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl
0.9% atau ringer laktat) maupun koloid.
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu
diberikan.
o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila
kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia
miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada
sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.

 Vasopresor dan inotropik


Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor
diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP
60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-
8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit,
epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan
milrinone)

 Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat
<9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.

 Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan
untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara
evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut
dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.

 Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi
dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi
insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses
katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino),
asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.

 Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi
dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di
sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas
antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi
antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan
bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan
mortalitas.

 Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison
dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol.
Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi
sepsis.

I. PROGNOSIS
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan
sekarang rata-rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien).
Hasil yang buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya,
dalam waktu 6 jam dari diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan
asidosis metabolik decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya
dengan kegagalan multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal.

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien MRS dikarenakan rencana op Bipolar hemiarthroplasty pada


tanggal 6/7/18. Pasien merupakan pasien ASA PS III dikarenakan mempunyai
riwayat HT dan DM tidak terkontrol. Selain itu pasien juga mengalami
leukositosis (14.340). Dari bagian Interna mendapatkan terapi amlodipin 10 mg
1x1 dan novorapid 3x3unit. Dan medapatkan injeksi antibiotic profilaksis dari
bagian ortopedi. HB sebelum OP 8,2 g/dl sehingga di transfusi darah PRC
sebanyak 2 bag. Setelah post OP pasien kembali ke ruangan. Pasien juga
mendapatkan terapi post op pain dari bagian ortopedi berupa ketorolac 3% /8j/IV.
3 hari setelah pasien operasi(tanggal 9/7/18), pasien mengalami muntah
darah, mual, nyeri perut. Pada tanggal 10/7/18 keluhan pasien tambah memberat
dan pasien tampak lemah. Sehingga pasien masuk ke ICU. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan TD 130/70 mmHg, takikardi (HR 129x/mnt), takipneu (RR 26x/mnt),
suhu 37 C. hasil lab pasien juga menunjukkan HB 8,2 g/dl sehingga ditransfusi
kembali sebanyak 2 bag. Selain itu hasil Leukosit pasien menunjukkan
leukositosis (20.210).
Selama di ruangan ICU pasien bertambah sesak, takikardi, hipotensi, dan
demam. TD 80/40 mmHg, Nadi 140x/mnt, RR 32x/mnt, Suhu 38,1 C. SpO2 85%.
Pasien diputuskan untuk dilakukan intubasi dan diberikan support ventilator.
Terjadinya demam, takikardi, dan takipneu akibat adanya infeksi yang
menyebabkan adanya inflamasi sehingga makrofag, monosit teraktifasi dan akan
melepaskan mediator inflamasi atau sitokin proinflamatory seperti TNF α dan IL -
1β , IL – 2 , IL – 6, interferon gamma , platelet activating factor ( PAF ) , dimana
sitokin proinflamasi ini akan mempengaruhi beberapa organ dan sel seperti di
hipotalamus yang kemudian menimbulkan demam, takikardi, dan takipneu .
Tekanan darah pasien turun dikarenakan mediator inflamasi juga mempengaruhi
dinding pembuluh darah dengan menginduksi proses sintesis Nitrit oxide ( NO ) .
Akibat NO yang berlebih ini terjadi vasodilatasi dan kebocoran plasma kapiler, sel
– sel yang terkait hipoksia yang bila berlangsung lama terjadi disfungsi organ,
biasanya hal ini sering terjadi bila syok septik yang ditangani dengan baik. Selain
itu karena adanya paparan sitokin proinflamasi ini juga akan menyebabkan
kerusakan endotel dan juga akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
sehingga menyebabkan kebocoran kapiler.
Pada pasien ini juga didapatkan adanya gangguan ginjal yang dilihat dari
kadar ureum (150 mg/dl) dan kreatinin darah (3,5 mg/dl) yang tidak normal
Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang normal maupun
berkurang. Peningkatan kreatinin > 0,3mg/dl dari nilai sebelumnya atau
peningkatan > 50% atau oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan
gangguan ginjal akut dan dapat mempengaruhi keluaran yang buruk.
Pada beberapa hasil lab pasien, menunjukkan kadar Hb yang selalu
dibawah normal. Salah satu tanda klinisnya karena adanya muntah darah. Traktus
gastrointestinal Iskemia splanchnic dan asidosis intramukosa terjadi selama sepsis.
Perdarahan GIT disebabkan stress ulcer gastritis akut yang juga manifestasi
sepsis. Monitoring pH intramukosa lambung digunakan untuk mengenali dan
petunjuk terapi resusitasi. Peningkatan pCO2 intraluminal dikaitkan dengan
adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa. Selain itu muntah darah juga dapat
diakibatkan karena penggunaan post op pain berupa ketorolac yang terlalu lama
yang dimana mempunyai efek samping menyebabkan peptic ulcer.
Dari beberapa kumpulan tanda klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
lab maka pasien ini didiagnosis sebagai syok sepsis maka penatalaksanaan pada
pasien ini mengikuti Surviving Sepsis Campaign dimana 6 jam pertama dilakukan
resusitasi awal yang meliputi resusitasi hemodinamik, pemberian antibiotik dan
terapi supportif.
Pada pasien ini diberikan resusitasi cairan dengan diberikan cairan Nacl
0,9% 1500 cc, target MAP > 65 mmHg, Urine output > 0,5 cc/kg/jam dan Sat
vena sentral > 70%. Untuk perdarahannya diberikan Vit. K, Vit. C, Adona, dan
transamin yang digabung dalam 1 peggybag. Setelah pemberian cairan, tekanan
darah dan urine output tidak mencapai target sehingga pasien diberikan
vasopressor berupa noreepinefrin yaitu vascon 5cc/jam. Pasien juga diberikan
antibiotik Meropenem 3x1 gr, sedasi dengan Midazolam 2cc/jam, analgetik
dengan fentanyl 3cc/jam dan profi laksis stress ulcer lansoprazole 1
amp/12jam/IV dan ranitidine 1 amp/8jam/IV. Mencari dan mengatasi penyebab
infeksi seharusnya dilakukan dalam 6 jam pertama resusitasi sepsis karena
semakin lama mengatasi penyebab maka angka mortalitas semakin meningkat.
Setelah beberapa tindakan pengobatan dilakukan, tekanan darah naik
untuk beberapa jam. Tetapi pada saat tanggal 12/7/18 kesadaran pasien semakin
menurun, pasien semakin hipotensi, saturasi SpO2 <70 %, sampai nadi dan
tekanan darah tak terukur dan pasien dinyatakan meninggal dunia tanggal 12/7/18
pukul 02.15 wita.

DAFTAR PUSTAKA
1. Napitupulu, Herald. Sepsis. Anestesia & Critical Care . Vol 28 No.3
September 2010 .
2. Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in:
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.
3. British Journal of Anesthesia. Anesthesic Management in Patients With
Severe Sepsis. [online]. Cited May 2013. Available
from : http://bja.oxfordjournals.org/content/105/6/ 734/T1. expansion.html
4. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan
Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18
5.  Ron Daniels. Tim Nutbeam. ABC of Sepsis.2010. UK : Wiley Blackwell –
BMJ books.
6. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J, et.al.
Surviving sepsis campaign guidelines for mangement of severe sespis and
septic shock. Crit Care Med 2014;32(3):858-72.
7. Wheeler AP, Bernard G. Treating patient with severe sepsis.[online].
Cited May 2013. Available at: http://www.nejm.com.

Anda mungkin juga menyukai