Anda di halaman 1dari 16

Genmil, Kizano dan GJM

Kita akan punya Indonesia edisi baru hasil karya anak cucu kita sendiri Genmil alias generasi milenial
atau Kizano, kids zaman now, yang sebagian di antara mereka adalah Generasi Jurnalis Milenial. GJM ini
berbeda formula kesadarannya, komprehensi berpikir dan kelengkapan konsen-nya, apalagi keluasan
area kiprahnya, dibanding kaum jurnalis manual, konvensional dan tradisional.

Sekarang mereka sedang bekerja keras dan berprihatin di berbagai kamp pendadaran. Tuhan
mengumumkan: “Kalau mereka tak punya kemampuan untuk berhenti melakukan apa yang seharusnya
tidak dilakukan, dan tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, maka Tuhan akan meng-install kaum
yang baru, generasi yang fresh, yang Tuhan mencintai mereka dan mereka mencintai Tuhan. Mereka
akan hidup berkasih sayang di antara mereka, dan penuh rasa tidak tega kepada yang tidak sama
dengan mereka”.

Anak-anak muda usia belasan, likuran dan sedikit di atasnya, adalah generasi yang paling beruntung.
Banyak orang tua mengeluh: “Kalau Indonesia begini terus, bagaimana nasib anak-anak saya kelak?”.
Keluhan itu lahir dari pandangan offline yang mandek. Dua puluh tahun belakangan ini sudah muncul
secara terang-benderang semua jenis kehancuran hidup. Kehancuran cara berpikir, kehancuran rasio
dan logika, kehancuran moral dan karakter, kehancuran harga diri dan martabat, serta berbagai macam
kehancuran lainnya di balik gedung-gedung tinggi, jalan-jalan tol, kemewahan kasat mata serta
performa selera-selera paling rendah dari kebudayaan dan peradaban.

Genmil, Kizano dan GJM tidak sudi menjadi manusia penghuni bumi yang semacam itu. Secara naluriah
maupun intelektual mereka membangun diri kemanusiaan yang baru. Manusia dipimpin oleh
pengalamannya. Pengetahuan dan ilmu juga memimpin manusia, tetapi sebatas yang dialaminya.
Manusia rata-rata dituntun hidupnya oleh pengalaman, ilmu dan pengetahuan yang membuatnya
nyaman. Tapi anak-anak muda produk kehancuran sejarah bergerak tidak mencari kenyamanan,
melainkan mencari dan membangun kenyamanan baru.

Genmil, Kizano dan GJM berputar dan menggelombang di dalam organisme baru, meninggalkan
rusaknya organisasi sejarah yang membesarkan mereka. Jangan lakukan hal-hal mubadzir dan kuno
misalnya memprasangkai mereka dengan metode kuno seperti Revolusi fisik, pseudo-Reformasi, atau
pengajian meningkatkan iman taqwa yang mandek 14 abad.

The Real Truth of Journalisme


Selama era modern berlangsung, salah satu yang memimpin manusia adalah atmosfer jurnalistik yang
menyentuh mereka melalui media. Media tidak sekadar turut memimpin publik, rakyat atau masyarakat.
Bahkan juga bisa memimpin para pemimpin. Media mampu mempengaruhi atau bahkan mengendalikan
keputusan-keputusan Kepala Negara, jajaran Pemerintah, bahkan lembaga-lembaga hukum.

Salah satu kemungkinan kesadaran yang bisa dibangun pada Peringatan HPN hari ini adalah jangan
sampai dunia jurnalistik dan media diposisikan atau memposisikan diri sebagai yang dipimpin, apalagi
yang dikontrak, dikendalikan, bahkan mengabdi kepada yang tidak seharusnya ia abdi. Wartawan bukan
bawahan Pemerintah, Presiden, pengusaha atau siapapun. Yang dipatuhi oleh wartawan adalah the real
truth of journalism, kebenaran sejati dalam tata kehidupan manusia, masyarakat dan bangsa.

Jurnalisme adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Sejarah tanpa aktivitas jurnalistik
adalah chaos. Boleh tidak ada media, cetak, tayang atau online, tapi setiap kurun peradaban selalu
memiliki alat dan mekanismenya sendiri untuk mengelola informasi dan komunikasi. Itu urat saraf
silaturahmi, kesaling-bersambungan nilai-nilai untuk keselamatan bersama masyarakat di muka Bumi.

Kejernihan Jurnalismelah yang mengontrol apakah organ-organ sejarah lain seperti Pemerintahan,
Parpol dan Perwakilan Rakyat terlanjur hidup dengan ratio dan logic yang tepat, ataukah kabur dan
rancu. Tetapi the real truth of journalism adalah nyawa kebersamaan manusia di bumi. Yang berperan
Jurnalis boleh bermutu atau tidak memenuhi syarat. Tetapi lembaga Jurnalisme dan subjek Jurnalis
tetap merupakan keniscayaan. Pemimpin boleh Raja, Kaisar, Khalifah, Sultan, Perdana Menteri atau
Presiden–tetapi keniscayaan Pemimpin masyarakat tidak bisa sirna. Presidennya boleh dahsyat, boleh
konyol, boleh pah-poh, boleh tidak punya kelayakan menurut kelengkapan berbagai kriteria dan
pertimbangan–tetapi keniscayaan Presiden tidak boleh hilang.

Jurnalisme adalah kontinuasi modern dari nubuwah, fungsi naba` para Nabi, tugas penyampaian kabar
berita kebenaran. Wartawan adalah Muballigh, petugas tabligh, penyampai kebenaran. Meskipun harus
hati-hati dan waspada kalau para Jurnalis Muballigh juga berfungsi Da’i atau Juru Da’wah: memanggil
atau memengaruhi publik untuk bergabung ke dalam suatu kepentingan (politik). Jurnalisme ada salah
satu dimensi penting dari Kenegarawanan.

Karena the real truth of journalism adalah nubuwah, maka wartawan selalu jujur dan adil terhadap
fakta, itulah idealisme Jurnalis. Sportif dan tidak manipulatif terhadap kenyataan sejarah, itulah karakter
Jurnalis. Selalu mengolah realitas pada posisi independen, dengan akurat, objektif, lengkap, adil dan
seimbang. Itulah kualitas utama Insan Pers. Idealisme harga mati. Tidak bisa ditawar oleh kepentingan
politik suatu kelompok. Tidak bisa dibeli oleh kekayaan Dewa, Naga maupun Raksasa. Sepanjang the real
truth selalu ada di genggaman tangan kaum Jurnalis, maka dalam situasi se-chaos apapun, mereka selalu
survive, bahkan revive.

Pemimpin Indonesia Negarawan Dunia

Para jurnalis mengerti, bahwa setiap Negara berada dalam keadaan masing-masing di dalam siklus
sejarah Negara dan Rakyat. Kita sendiri sedang bergelut pada salah satu tahap dari 1- Negara lemah
Rakyat kuat, 2- Rakyat kuat Negara kuat, 3- Negara kuat Rakyat lemah, 4- Rakyat lemah Negara lemah.
Di nomor berapakah kita?

Aktivis Pers memandu para pengelola Negara untuk menemukan ketepatan identifikasinya dalam siklus
itu. Dengan demikian Negara dan Pemerintah berhitung lebih titis ke masa depan, keputusannya lebih
akurat dan langkahnya lebih efektif dan determinatif. Sebab kalau tidak tepat, seluruh kegiatan di
bidang apapun akan tidak maksimal energi dan spiritnya, kecerdasan dan kecakapannya, bandulnya
akan ngglayut dan lembek antara titik pijak dengan arah sasarannya. Bolanya tidak gol, anak panahnya
meleset. Ibarat orang beribadah, shalatnya tidak punya sensor terhadap Shirathal Mustaqim.

Padahal Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dalam arti yang sesungguhnya. Pada segala dimensi dan
potensialitasnya. Kelengkapan nilai-nilai dasar filosofi kehidupannya. Komprehensi dan tradisi harmoni
mentalitas dengan budayanya. Berabad-abad sebelum memasuki era NKRI, bangsa kita sudah
mengalami kematangan Peradaban, dengan keutuhan dan keseimbangan.

Justru kemudian tatkala bersatu dalam keIndonesiaan, bangsa ini memulai meninggalkan dirinya sendiri.
Sejarah yang ditempuhnya bukan transformasi kontinual, melainkan adopsi-adopsi sporadik. Berbagai
gelombang dunia, melalui paket-paket massal Globalisasi, membuat bangsa Indonesia luntur
kemampuannya untuk menghormati dirinya sendiri. Merosot kepercayaan dirinya, bahkan tidak
menentu kesediaannya, apalagi keteguhannya, untuk menjadi dirinya sendiri. Menjadi bangsa pengekor,
epigonis, plagiat, muqallidin. Bahkan kita mengemis-ngemis demi supaya direndahkan oleh bangsa lain.

Maka sekarang ini dunia Pers perlu benar-benar menciptakan cuaca intelektual, budaya dan moral, agar
publik terbimbing untuk menjadi mesin sejarah pemroses kepemimpinan. Menemukan pemimpin
nasional yang Negarawan. Pemimpin Indonesia yang Negarawan Dunia. Pemimpin yang fokus urusannya
bukan kalah menang untuk dirinya, melainkan total mengabdi kepada kesejahteraan masa depan
bangsanya, meskipun dirinya tidak dicatat atau tidak menandatangani prasasti. Bangsa ini butuh
Pemimpin yang keberaniannya tidak untuk menang dan ketakutannya tidak untuk kalah. Pemimpin yang
zuhud dari segala halusinasi dunia. Yang tidak takut lapar dan tidak takut kepada ketakutan. Yang “la
ubali”, “gak pathèken” atas nasib pribadinya.

Pemimpin yang mengerti posisi bangsanya di tengah bangsa-bangsa di dunia. Sehingga mengerti pula
bagaimana menyikapi dunia antara ketegasan dengan kebijaksanaan. Antara menjaga harta benda tanah
air dengan ketepatan kadar kemurahan terhadap yang kita kerjasamai dan mengkerjasamai kita.
Menjunjung internasionalisme tanpa menginjak-injak nasionalisme. Tidak merendahkan siapapun dan
tidak direndahkan oleh bangsa manapun. Mengerti hitungan keseimbangan antara materi, kapitalisasi,
bahkan industrialisasi, dalam dialektika yang saling menyelamatkan dengan wilayah kualitas
kemanusiaan, karakter kebangsaan, wilayah rohani dan intrinsik nilai-nilai.

Kita butuh Pemimpin Indonesia yang secara nilai merupakan pemimpin Dunia. Yang filosof kemanusiaan,
patriot bangsa, prajurit kebenaran, Empu kebaikan dan pendekar kebijaksanaan. Ke dalam dirinya
sendiri ia adalah Pemimpin yang manunggaling kawula lan Gusti. Hanya ada dua muatan di dalam
jiwanya, yakni rakyat dan Tuhan. Kalau ia mengkhianati rakyat, Tuhan melaknatnya. Kalau ia ingkar
kepada Tuhan, rakyat akan diatmosferi oleh petugas-petugas Tuhan untuk menggugatnya. Mohon izin
untuk mengemukakan bahwa penghuni Indonesia bukan hanya manusia penduduk Indonesia.
Kehidupan manusia di Indonesia juga tidak dikerjakan sendiri oleh warganegara Indonesia. Ada
pluralisme yang lebih luas dan lebih ragam. Ada formasi pelaku-pelaku sejarah yang lebih dari yang
selama ini kita daftar dalam buku-buku ilmu dan birokrasi.

Cacat Sejarah

Saya ulang harapan dan keyakinan saya kepada Generasi Jurnalis Milenial. Mereka adalah bagian dari
petugas sejarah yang akan membangun kembali Republik Indonesia. Bahkan mendirikan kembali,
mungkin pada tingkat mereformulasi, mereformasi, merevolusi “algoritma”-nya. Agar dicapai
pendataan, eksplorasi dan kreativisasi kembali harta benda dan harga dirinya.

Bangsa Indonesia butuh Negara, bukan hanya Pemerintah yang merasa dirinya Negara. Bangsa
Indonesia butuh Negarawan, bukan politisi dan saudagar yang kalau berbuat sesuatu selalu mengklaim
“Negara harus hadir”. Motor sejarah bangsa Indonesia adalah Pemerintah, tetapi kendaraannya adalah
Negara, dan pemiliknya adalah rakyat. Ada sesuatu yang sangat substansial dan fundamental tentang
NKRI yang perlu dibaca ulang, dipelajari kembali dan dibangun ulang dengan kejernihan pikiran dan
ketulusan. NKRI harus dibangun ulang dengan landasan nasionalisme sejati. Kaum Jurnalis Milenial
punya potensi untuk menjadi pelopor dinamika ini.
Kalau Indonesia ini kebun, “pohon pionir”-nya dulu mungkin kurang tepat komposisi DNA-nya.
Pohonnya salah akar, salah kimiawi tanahnya, salah siram, salah tumbuh kembang, hasil bebuahannya
beracun. Dan Generasi Jurnalis Milenial perlu bekerjasama dengan rekan-rekan segenerasinya mulai hari
ini meneliti kembali, mengidentifikasi dan merumuskan kembali ketidak-tepatan, ketidak-utuhan dan
ketidak-seimbangan itu, kemudian memperbarui cocok tanam perkebunan Nusantara.

Kalau ibarat kurikulum, jangan-jangan Indonesia ini matematikanya kurang matematikal. Maka fisikanya
pèncèng-pèncèng, ukuran, batas-batas dan presisinya “tidak saleh”. Maka juga biologinya sakit-sakitan,
gampang demam, jalan darah tidak lancar, urat saraf hilang sensor, rawan tumor kanker, sedikit-sedikit
krekes-krekes atau nggregesi, gula, asam urat, saluran buntu, jantung di-ring, ginjal ganti mesin. Dan
psikologinya penuh cacat ilmu, cacat pengetahuan, cacat pikiran, cacat hati, cacat mental, dan cacat
jiwa.

Kalau Indonesia ini Kitab Suci, Indonesia adalah Kitab Suci yang siapa tahu tidak tepat tafsir, tadris,
ta’lim, ta’rif, tasyhid dan ta’mil Al-Fatihahnya. Maka Generasi Jurnalis Milenial ditagih oleh masa depan
Indonesia untuk merintis tadabbur. Karena, pertama, Kitab Suci tidak meminta tafsir melainkan
tadabbur. Kedua, supaya riuh rendah keberlangsungan Indonesia tidak didominasi oleh hiruk pikuk
orang mempertengkarkan kebenaran, karena yang lebih kondusif dari kebenaran adalah kebaikan, dan
yang lebih menyelamatkan dibanding keduanya: adalah kebijaksanaan.

Tadabbur adalah belajar memfokuskan diri pada kemashlahatan rakyat yang keluar dari dubur
manajemen Indonesia. Tadabbur adalah tata kelola mesin karena yang keluar knalpotnya menandai
benar tidaknya jalannya mesin.

Pembaruan Pernikahan Indonesia

Kalau Indonesia adalah rumahtangga, jangan-jangan akad nikahnya dulu tidak “salah kedadèn”. Dan
Generasi Jurnalis Milenial akan membaca ulang, kemudian mungkin memprakarsasi pembaruan akad
nikah. Mereka akan membangkitkan 1928 yang baru, 1945 yang refreshed.

Misalnya, apa maksud alinea kedua teks Proklamasi 1945 ini: ”Hal2 jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.”?
Kalau yang dimaksud adalah kedaulatan Bangsa dan Negara dari Kerajaan Belanda ke NKRI, di alinea
pertama sudah sangat tegas: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.”.
Belanda dengan VOC merasa dirinya hanya Perusahaan Pemborong. Mereka melakukan kontrak-kontrak
bisnis dengan para Raja dan Sultan. Kalau mereka mengalihkan kekuasaan ke Indonesia, berarti sebelum
17 Agustus 1945 merekalah yang berkuasa di tanah air Indonesia. Berarti mereka imperialis kolonialis
penjajah. Resikonya harus membayar pampasan perang 350 tahun. Tidak. Bagi Belanda, Indonesia tidak
pernah tidak merdeka. Sejak mereka menginjakkan kaki di Ibu Pertiwi, bangsa Indonesia sudah
berdaulat. Dan VOC datang sebagai kontraktor.

Jadi, sebenarnya kekuasaan apa yang dimaksud? Dipindahkan dari siapa ke siapa? Kapan pemindahan
itu dilaksanakan? Generasi Jurnalis Milenial yang akan menjawab ini bersama teman-teman segenerasi
milenial lainnya. Mereka tidak akan sudi meneruskan Indonesia yang penuh cacat, yang serba githang
dan pincang karena tidak hidup dengan kelengkapan, keutuhan dan keseimbangan.

Dalam pandangan saya pribadi, Genmil, Kizano dan GJM memang dipersiapkan untuk mendirikan
kembali bangunan Indonesia dari berbagai keruntuhan dan bermacam keambrukan.

Pedang untuk Mencangkul, Pusaka Hilang

Coba tengok lebih luas lagi skala wilayah dan bidang-bidang garap di tangan Generasi Jurnalis Milenial.

Bawa kembali ke Laboratorium Ilmu: teliti dan nilailah kembali tepat tidaknya sejumlah mindset Gagasan
Kemerdekaan 1945. Juga hal-hal mendasar fundamental yang pada berdirinya NKRI: apa pandanganmu
tentang pilihan formula kenegaraan Indonesia? Setujukah kau pada tidak adanya pemilahan antara
Negara dengan Pemerintah di Indonesia? Coba pelajari detailnya.

Kemudian, melalui sejumlah orde kekuasaan, Indonesia akhirnya kehilangan Pusaka. Coba pakai
terminologi yang sederhana saja: cangkul, pedang dan keris pusaka. Rakyat pegang cangkul untuk
mencari nafkah. Pemerintah dibayar dan dikasih pedang untuk menjaga dan mengamankan rakyat yang
mencangkul. Negara adalah rumah Pusaka, adalah kewibawaannya, auranya, kualitasnya, “awu”-nya,
ke-pawang-annya atas Negara dan Dunia. Dimensi Pusaka merepresentasi pada kepemimpinan rakyat
yang bukan produk teknis pemilihan umum, melainkan lahir dari proses panjang pengalaman rakyat atas
integritas, pengabdian dan moral seseorang atau sejumlah orang. Negara adalah rumah dengan
atmosfer kewibawaan semacam itu.

Apa jawabmu kalau kini semakin banyak orang bertanya: Mana pusakanya? Mana rumah rakyat yang
bernama Lembaga Negara? Mana harga diri, wibawa dan kehormatan bangsa? Kok ASN diletakkan
sebagai ASP? Kok BUMN berlaku BUMP? Mana Kas Negara, dan bukan Kas Kementerian Keuangan?
Mana Badan Permusyawaratan Rakyat? Kalau Kepala Pemerintahan adalah Kepala Negara, sudah kau
hitung dan simulasikah tata kelolanya? Kok pedang pejabat dipakai mencangkul? Apakah Trias Politika
itu formasi dan pembagian tugas dalam koridor Pemerintahan ataukah dalam skala Negara?

Kalau mau sedikit lebih melebar lagi, renungkan ulang bagian-bagian akar UUD-45 dan Pancasila, syukur
sampai sangkan-paran-nya Pancasila, agar besok tidak lebih berpanjang-panjang
mempertengkarkannya. Pandang ulang Lima Pilar NKRI, nilailah logika ilmu dan peta terminologinya.

Atau perlukan memperhatikan kembali sejarah resmi tentang 5W-1H-nya semua Presiden Indonesia.
Misalnya Bung Karno lahir di mana, siapa Bapaknya, apa posisinya di masyarakat atau rakyat? Apa gelar
bapaknya Pak Harto? Siapa nama Ibu beliau, gen, suku dan bangsanya? Beliau berapa bersaudara, siapa
adiknya lain Bapak, siapa yang dicatat oleh sejarah sebagai saudaranya padahal tak ada hubungan
darah? Berapa persen pengetahuanmu tentang Presiden-presiden kita? Dari sekian persen itu berapa
persen benarnya, kelirunya, gelapnya? Itu hanya data teknis. Berapa pula yang kualitatif yang berkaitan
dengan muatan-muatan sejarah. Ataukah itu semua tidak penting bagi rasio sejarah dan kepemimpinan?

Kalau Generasi Jurnalis Milenial, sebagai reporter investigator, mencari dan berjuang untuk mengetahui
hal-hal itu termasuk semua orang yang dipresidenkan sesudahnya, maka bangsa Indonesia akan sangat
tertolong untuk lega hatinya dan plong pikirannya karena mengerti persis 5W-1H sejumlah orang yang
memimpin, menguasai dan mengendalikan sejarah mereka selama hampir tiga-perempat abad.

Kalau bersedia agak lebih sedikit meluas lagi: berapa jumlah persisnya Kerajaan dan Kesultanan di
seluruh Indonesia ketika NKRI diproklamasikan? Berupa apa saja support ratusan Kerajaan dan
Kesultanan kepada berdirinya NKRI di sekitar 1945? Bagaimana aturan konstitusional hak Kerajaan-
Kesultanan atas tanah yang secara radikal tiba-tiba menjadi milik Negara Indonesia?

Syukur-syukur Generasi Jurnalis Milenial rajin latihan bertanya lebih mendalam, umpamanya:
bagaimana cara memahami bahwa yang kita alami ini adalah Demokrasi. Buka jendela lebih lebar:
perhatikan masalah-masalah psikiatrik para Caleg, Wakil rakyat, penjual wajah, penawar jasa abstrak.
Pemahaman aneh tentang tenaga-tenaga outsourcing dari Presiden hingga Kepala Desa. Atau absurdnya
pemaknaan dan penempatan kata yang dipakai secara popular dalam kehidupan bangsa: pluralisme,
harga mati, radikalisme, moderat, khilafah, fundamentalisme, jihad, terorisme, ujaran kebencian, hijrah,
supremasi hukum, debat Presiden, multikultural-isme, bahkan illat wa maqamat kata Presiden dan Wakil
Presiden itu sendiri.
Kalau bisa jangan hanya pakai sudut pandang dan sisi pandang. Cobalah berkembang ke jarak pandang,
resolusi pandang, lingkar pandang, kebulatan pandang, keutuhan pandang, serta bermacam
kemungkinan lainnya. Agar generasi Indonesia mulai sekarang sembuh dari penyakit Ahmaq.
Berhentilah “membangun manusia Indonesia satu sisi”, “membangun manusia Indonesia satu sudut”,
karena yang kita lakukan adalah “membangun manusia Indonesia seutuhnya”. Jadikan Universitas bukan
sekadar kumpulan Fakultas-fakultas. Dunia profesional butuh sarjana-sarjana fakultatif, tetapi
kepemimpinan bangsa memerlukan sarjana Universal, yang diproduk oleh Universitas.

Musuh utama bangsa Indonesia hari ini adalah 3-C: cekak, cethèk, ciut. Kesepenggalan, kedangkalan dan
kesempitan. Genmil, Kizano dan GJM mendobraknya.

CakNun.com • Khasanah • Jurnalisme Kepemimpinan Jurnalisme Kepemimpinan

Dibaca normal 11 menit

Jurnalisme Kepemimpinan

JURNALISME KEPEMIMPINAN

Hari Pers Nasional 2019

Emha Ainun Nadjib • 8 Feb 2019

Khasanah

Genmil, Kizano dan GJM

Kita akan punya Indonesia edisi baru hasil karya anak cucu kita sendiri Genmil alias generasi milenial
atau Kizano, kids zaman now, yang sebagian di antara mereka adalah Generasi Jurnalis Milenial. GJM ini
berbeda formula kesadarannya, komprehensi berpikir dan kelengkapan konsen-nya, apalagi keluasan
area kiprahnya, dibanding kaum jurnalis manual, konvensional dan tradisional.

Sekarang mereka sedang bekerja keras dan berprihatin di berbagai kamp pendadaran. Tuhan
mengumumkan: “Kalau mereka tak punya kemampuan untuk berhenti melakukan apa yang seharusnya
tidak dilakukan, dan tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, maka Tuhan akan meng-install kaum
yang baru, generasi yang fresh, yang Tuhan mencintai mereka dan mereka mencintai Tuhan. Mereka
akan hidup berkasih sayang di antara mereka, dan penuh rasa tidak tega kepada yang tidak sama
dengan mereka”.

Anak-anak muda usia belasan, likuran dan sedikit di atasnya, adalah generasi yang paling beruntung.
Banyak orang tua mengeluh: “Kalau Indonesia begini terus, bagaimana nasib anak-anak saya kelak?”.
Keluhan itu lahir dari pandangan offline yang mandek. Dua puluh tahun belakangan ini sudah muncul
secara terang-benderang semua jenis kehancuran hidup. Kehancuran cara berpikir, kehancuran rasio
dan logika, kehancuran moral dan karakter, kehancuran harga diri dan martabat, serta berbagai macam
kehancuran lainnya di balik gedung-gedung tinggi, jalan-jalan tol, kemewahan kasat mata serta
performa selera-selera paling rendah dari kebudayaan dan peradaban.

Genmil, Kizano dan GJM tidak sudi menjadi manusia penghuni bumi yang semacam itu. Secara naluriah
maupun intelektual mereka membangun diri kemanusiaan yang baru. Manusia dipimpin oleh
pengalamannya. Pengetahuan dan ilmu juga memimpin manusia, tetapi sebatas yang dialaminya.
Manusia rata-rata dituntun hidupnya oleh pengalaman, ilmu dan pengetahuan yang membuatnya
nyaman. Tapi anak-anak muda produk kehancuran sejarah bergerak tidak mencari kenyamanan,
melainkan mencari dan membangun kenyamanan baru.

Genmil, Kizano dan GJM berputar dan menggelombang di dalam organisme baru, meninggalkan
rusaknya organisasi sejarah yang membesarkan mereka. Jangan lakukan hal-hal mubadzir dan kuno
misalnya memprasangkai mereka dengan metode kuno seperti Revolusi fisik, pseudo-Reformasi, atau
pengajian meningkatkan iman taqwa yang mandek 14 abad.

The Real Truth of Journalisme

Selama era modern berlangsung, salah satu yang memimpin manusia adalah atmosfer jurnalistik yang
menyentuh mereka melalui media. Media tidak sekadar turut memimpin publik, rakyat atau masyarakat.
Bahkan juga bisa memimpin para pemimpin. Media mampu mempengaruhi atau bahkan mengendalikan
keputusan-keputusan Kepala Negara, jajaran Pemerintah, bahkan lembaga-lembaga hukum.

Salah satu kemungkinan kesadaran yang bisa dibangun pada Peringatan HPN hari ini adalah jangan
sampai dunia jurnalistik dan media diposisikan atau memposisikan diri sebagai yang dipimpin, apalagi
yang dikontrak, dikendalikan, bahkan mengabdi kepada yang tidak seharusnya ia abdi. Wartawan bukan
bawahan Pemerintah, Presiden, pengusaha atau siapapun. Yang dipatuhi oleh wartawan adalah the real
truth of journalism, kebenaran sejati dalam tata kehidupan manusia, masyarakat dan bangsa.

Jurnalisme adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Sejarah tanpa aktivitas jurnalistik
adalah chaos. Boleh tidak ada media, cetak, tayang atau online, tapi setiap kurun peradaban selalu
memiliki alat dan mekanismenya sendiri untuk mengelola informasi dan komunikasi. Itu urat saraf
silaturahmi, kesaling-bersambungan nilai-nilai untuk keselamatan bersama masyarakat di muka Bumi.

Kejernihan Jurnalismelah yang mengontrol apakah organ-organ sejarah lain seperti Pemerintahan,
Parpol dan Perwakilan Rakyat terlanjur hidup dengan ratio dan logic yang tepat, ataukah kabur dan
rancu. Tetapi the real truth of journalism adalah nyawa kebersamaan manusia di bumi. Yang berperan
Jurnalis boleh bermutu atau tidak memenuhi syarat. Tetapi lembaga Jurnalisme dan subjek Jurnalis
tetap merupakan keniscayaan. Pemimpin boleh Raja, Kaisar, Khalifah, Sultan, Perdana Menteri atau
Presiden–tetapi keniscayaan Pemimpin masyarakat tidak bisa sirna. Presidennya boleh dahsyat, boleh
konyol, boleh pah-poh, boleh tidak punya kelayakan menurut kelengkapan berbagai kriteria dan
pertimbangan–tetapi keniscayaan Presiden tidak boleh hilang.
Jurnalisme adalah kontinuasi modern dari nubuwah, fungsi naba` para Nabi, tugas penyampaian kabar
berita kebenaran. Wartawan adalah Muballigh, petugas tabligh, penyampai kebenaran. Meskipun harus
hati-hati dan waspada kalau para Jurnalis Muballigh juga berfungsi Da’i atau Juru Da’wah: memanggil
atau memengaruhi publik untuk bergabung ke dalam suatu kepentingan (politik). Jurnalisme ada salah
satu dimensi penting dari Kenegarawanan.

Karena the real truth of journalism adalah nubuwah, maka wartawan selalu jujur dan adil terhadap
fakta, itulah idealisme Jurnalis. Sportif dan tidak manipulatif terhadap kenyataan sejarah, itulah karakter
Jurnalis. Selalu mengolah realitas pada posisi independen, dengan akurat, objektif, lengkap, adil dan
seimbang. Itulah kualitas utama Insan Pers. Idealisme harga mati. Tidak bisa ditawar oleh kepentingan
politik suatu kelompok. Tidak bisa dibeli oleh kekayaan Dewa, Naga maupun Raksasa. Sepanjang the real
truth selalu ada di genggaman tangan kaum Jurnalis, maka dalam situasi se-chaos apapun, mereka selalu
survive, bahkan revive.

Pemimpin Indonesia Negarawan Dunia

Para jurnalis mengerti, bahwa setiap Negara berada dalam keadaan masing-masing di dalam siklus
sejarah Negara dan Rakyat. Kita sendiri sedang bergelut pada salah satu tahap dari 1- Negara lemah
Rakyat kuat, 2- Rakyat kuat Negara kuat, 3- Negara kuat Rakyat lemah, 4- Rakyat lemah Negara lemah.
Di nomor berapakah kita?

Aktivis Pers memandu para pengelola Negara untuk menemukan ketepatan identifikasinya dalam siklus
itu. Dengan demikian Negara dan Pemerintah berhitung lebih titis ke masa depan, keputusannya lebih
akurat dan langkahnya lebih efektif dan determinatif. Sebab kalau tidak tepat, seluruh kegiatan di
bidang apapun akan tidak maksimal energi dan spiritnya, kecerdasan dan kecakapannya, bandulnya
akan ngglayut dan lembek antara titik pijak dengan arah sasarannya. Bolanya tidak gol, anak panahnya
meleset. Ibarat orang beribadah, shalatnya tidak punya sensor terhadap Shirathal Mustaqim.

Padahal Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dalam arti yang sesungguhnya. Pada segala dimensi dan
potensialitasnya. Kelengkapan nilai-nilai dasar filosofi kehidupannya. Komprehensi dan tradisi harmoni
mentalitas dengan budayanya. Berabad-abad sebelum memasuki era NKRI, bangsa kita sudah
mengalami kematangan Peradaban, dengan keutuhan dan keseimbangan.

Justru kemudian tatkala bersatu dalam keIndonesiaan, bangsa ini memulai meninggalkan dirinya sendiri.
Sejarah yang ditempuhnya bukan transformasi kontinual, melainkan adopsi-adopsi sporadik. Berbagai
gelombang dunia, melalui paket-paket massal Globalisasi, membuat bangsa Indonesia luntur
kemampuannya untuk menghormati dirinya sendiri. Merosot kepercayaan dirinya, bahkan tidak
menentu kesediaannya, apalagi keteguhannya, untuk menjadi dirinya sendiri. Menjadi bangsa pengekor,
epigonis, plagiat, muqallidin. Bahkan kita mengemis-ngemis demi supaya direndahkan oleh bangsa lain.

Maka sekarang ini dunia Pers perlu benar-benar menciptakan cuaca intelektual, budaya dan moral, agar
publik terbimbing untuk menjadi mesin sejarah pemroses kepemimpinan. Menemukan pemimpin
nasional yang Negarawan. Pemimpin Indonesia yang Negarawan Dunia. Pemimpin yang fokus urusannya
bukan kalah menang untuk dirinya, melainkan total mengabdi kepada kesejahteraan masa depan
bangsanya, meskipun dirinya tidak dicatat atau tidak menandatangani prasasti. Bangsa ini butuh
Pemimpin yang keberaniannya tidak untuk menang dan ketakutannya tidak untuk kalah. Pemimpin yang
zuhud dari segala halusinasi dunia. Yang tidak takut lapar dan tidak takut kepada ketakutan. Yang “la
ubali”, “gak pathèken” atas nasib pribadinya.

Pemimpin yang mengerti posisi bangsanya di tengah bangsa-bangsa di dunia. Sehingga mengerti pula
bagaimana menyikapi dunia antara ketegasan dengan kebijaksanaan. Antara menjaga harta benda tanah
air dengan ketepatan kadar kemurahan terhadap yang kita kerjasamai dan mengkerjasamai kita.
Menjunjung internasionalisme tanpa menginjak-injak nasionalisme. Tidak merendahkan siapapun dan
tidak direndahkan oleh bangsa manapun. Mengerti hitungan keseimbangan antara materi, kapitalisasi,
bahkan industrialisasi, dalam dialektika yang saling menyelamatkan dengan wilayah kualitas
kemanusiaan, karakter kebangsaan, wilayah rohani dan intrinsik nilai-nilai.

Kita butuh Pemimpin Indonesia yang secara nilai merupakan pemimpin Dunia. Yang filosof kemanusiaan,
patriot bangsa, prajurit kebenaran, Empu kebaikan dan pendekar kebijaksanaan. Ke dalam dirinya
sendiri ia adalah Pemimpin yang manunggaling kawula lan Gusti. Hanya ada dua muatan di dalam
jiwanya, yakni rakyat dan Tuhan. Kalau ia mengkhianati rakyat, Tuhan melaknatnya. Kalau ia ingkar
kepada Tuhan, rakyat akan diatmosferi oleh petugas-petugas Tuhan untuk menggugatnya. Mohon izin
untuk mengemukakan bahwa penghuni Indonesia bukan hanya manusia penduduk Indonesia.
Kehidupan manusia di Indonesia juga tidak dikerjakan sendiri oleh warganegara Indonesia. Ada
pluralisme yang lebih luas dan lebih ragam. Ada formasi pelaku-pelaku sejarah yang lebih dari yang
selama ini kita daftar dalam buku-buku ilmu dan birokrasi.

Cacat Sejarah

Saya ulang harapan dan keyakinan saya kepada Generasi Jurnalis Milenial. Mereka adalah bagian dari
petugas sejarah yang akan membangun kembali Republik Indonesia. Bahkan mendirikan kembali,
mungkin pada tingkat mereformulasi, mereformasi, merevolusi “algoritma”-nya. Agar dicapai
pendataan, eksplorasi dan kreativisasi kembali harta benda dan harga dirinya.

Bangsa Indonesia butuh Negara, bukan hanya Pemerintah yang merasa dirinya Negara. Bangsa
Indonesia butuh Negarawan, bukan politisi dan saudagar yang kalau berbuat sesuatu selalu mengklaim
“Negara harus hadir”. Motor sejarah bangsa Indonesia adalah Pemerintah, tetapi kendaraannya adalah
Negara, dan pemiliknya adalah rakyat. Ada sesuatu yang sangat substansial dan fundamental tentang
NKRI yang perlu dibaca ulang, dipelajari kembali dan dibangun ulang dengan kejernihan pikiran dan
ketulusan. NKRI harus dibangun ulang dengan landasan nasionalisme sejati. Kaum Jurnalis Milenial
punya potensi untuk menjadi pelopor dinamika ini.

Kalau Indonesia ini kebun, “pohon pionir”-nya dulu mungkin kurang tepat komposisi DNA-nya.
Pohonnya salah akar, salah kimiawi tanahnya, salah siram, salah tumbuh kembang, hasil bebuahannya
beracun. Dan Generasi Jurnalis Milenial perlu bekerjasama dengan rekan-rekan segenerasinya mulai hari
ini meneliti kembali, mengidentifikasi dan merumuskan kembali ketidak-tepatan, ketidak-utuhan dan
ketidak-seimbangan itu, kemudian memperbarui cocok tanam perkebunan Nusantara.

Kalau ibarat kurikulum, jangan-jangan Indonesia ini matematikanya kurang matematikal. Maka fisikanya
pèncèng-pèncèng, ukuran, batas-batas dan presisinya “tidak saleh”. Maka juga biologinya sakit-sakitan,
gampang demam, jalan darah tidak lancar, urat saraf hilang sensor, rawan tumor kanker, sedikit-sedikit
krekes-krekes atau nggregesi, gula, asam urat, saluran buntu, jantung di-ring, ginjal ganti mesin. Dan
psikologinya penuh cacat ilmu, cacat pengetahuan, cacat pikiran, cacat hati, cacat mental, dan cacat
jiwa.

Kalau Indonesia ini Kitab Suci, Indonesia adalah Kitab Suci yang siapa tahu tidak tepat tafsir, tadris,
ta’lim, ta’rif, tasyhid dan ta’mil Al-Fatihahnya. Maka Generasi Jurnalis Milenial ditagih oleh masa depan
Indonesia untuk merintis tadabbur. Karena, pertama, Kitab Suci tidak meminta tafsir melainkan
tadabbur. Kedua, supaya riuh rendah keberlangsungan Indonesia tidak didominasi oleh hiruk pikuk
orang mempertengkarkan kebenaran, karena yang lebih kondusif dari kebenaran adalah kebaikan, dan
yang lebih menyelamatkan dibanding keduanya: adalah kebijaksanaan.

Tadabbur adalah belajar memfokuskan diri pada kemashlahatan rakyat yang keluar dari dubur
manajemen Indonesia. Tadabbur adalah tata kelola mesin karena yang keluar knalpotnya menandai
benar tidaknya jalannya mesin.

Pembaruan Pernikahan Indonesia

Kalau Indonesia adalah rumahtangga, jangan-jangan akad nikahnya dulu tidak “salah kedadèn”. Dan
Generasi Jurnalis Milenial akan membaca ulang, kemudian mungkin memprakarsasi pembaruan akad
nikah. Mereka akan membangkitkan 1928 yang baru, 1945 yang refreshed.

Misalnya, apa maksud alinea kedua teks Proklamasi 1945 ini: ”Hal2 jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.”?
Kalau yang dimaksud adalah kedaulatan Bangsa dan Negara dari Kerajaan Belanda ke NKRI, di alinea
pertama sudah sangat tegas: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.”.

Belanda dengan VOC merasa dirinya hanya Perusahaan Pemborong. Mereka melakukan kontrak-kontrak
bisnis dengan para Raja dan Sultan. Kalau mereka mengalihkan kekuasaan ke Indonesia, berarti sebelum
17 Agustus 1945 merekalah yang berkuasa di tanah air Indonesia. Berarti mereka imperialis kolonialis
penjajah. Resikonya harus membayar pampasan perang 350 tahun. Tidak. Bagi Belanda, Indonesia tidak
pernah tidak merdeka. Sejak mereka menginjakkan kaki di Ibu Pertiwi, bangsa Indonesia sudah
berdaulat. Dan VOC datang sebagai kontraktor.

Jadi, sebenarnya kekuasaan apa yang dimaksud? Dipindahkan dari siapa ke siapa? Kapan pemindahan
itu dilaksanakan? Generasi Jurnalis Milenial yang akan menjawab ini bersama teman-teman segenerasi
milenial lainnya. Mereka tidak akan sudi meneruskan Indonesia yang penuh cacat, yang serba githang
dan pincang karena tidak hidup dengan kelengkapan, keutuhan dan keseimbangan.
Dalam pandangan saya pribadi, Genmil, Kizano dan GJM memang dipersiapkan untuk mendirikan
kembali bangunan Indonesia dari berbagai keruntuhan dan bermacam keambrukan.

Pedang untuk Mencangkul, Pusaka Hilang

Coba tengok lebih luas lagi skala wilayah dan bidang-bidang garap di tangan Generasi Jurnalis Milenial.

Bawa kembali ke Laboratorium Ilmu: teliti dan nilailah kembali tepat tidaknya sejumlah mindset Gagasan
Kemerdekaan 1945. Juga hal-hal mendasar fundamental yang pada berdirinya NKRI: apa pandanganmu
tentang pilihan formula kenegaraan Indonesia? Setujukah kau pada tidak adanya pemilahan antara
Negara dengan Pemerintah di Indonesia? Coba pelajari detailnya.

Kemudian, melalui sejumlah orde kekuasaan, Indonesia akhirnya kehilangan Pusaka. Coba pakai
terminologi yang sederhana saja: cangkul, pedang dan keris pusaka. Rakyat pegang cangkul untuk
mencari nafkah. Pemerintah dibayar dan dikasih pedang untuk menjaga dan mengamankan rakyat yang
mencangkul. Negara adalah rumah Pusaka, adalah kewibawaannya, auranya, kualitasnya, “awu”-nya,
ke-pawang-annya atas Negara dan Dunia. Dimensi Pusaka merepresentasi pada kepemimpinan rakyat
yang bukan produk teknis pemilihan umum, melainkan lahir dari proses panjang pengalaman rakyat atas
integritas, pengabdian dan moral seseorang atau sejumlah orang. Negara adalah rumah dengan
atmosfer kewibawaan semacam itu.

Apa jawabmu kalau kini semakin banyak orang bertanya: Mana pusakanya? Mana rumah rakyat yang
bernama Lembaga Negara? Mana harga diri, wibawa dan kehormatan bangsa? Kok ASN diletakkan
sebagai ASP? Kok BUMN berlaku BUMP? Mana Kas Negara, dan bukan Kas Kementerian Keuangan?
Mana Badan Permusyawaratan Rakyat? Kalau Kepala Pemerintahan adalah Kepala Negara, sudah kau
hitung dan simulasikah tata kelolanya? Kok pedang pejabat dipakai mencangkul? Apakah Trias Politika
itu formasi dan pembagian tugas dalam koridor Pemerintahan ataukah dalam skala Negara?

Kalau mau sedikit lebih melebar lagi, renungkan ulang bagian-bagian akar UUD-45 dan Pancasila, syukur
sampai sangkan-paran-nya Pancasila, agar besok tidak lebih berpanjang-panjang
mempertengkarkannya. Pandang ulang Lima Pilar NKRI, nilailah logika ilmu dan peta terminologinya.

Atau perlukan memperhatikan kembali sejarah resmi tentang 5W-1H-nya semua Presiden Indonesia.
Misalnya Bung Karno lahir di mana, siapa Bapaknya, apa posisinya di masyarakat atau rakyat? Apa gelar
bapaknya Pak Harto? Siapa nama Ibu beliau, gen, suku dan bangsanya? Beliau berapa bersaudara, siapa
adiknya lain Bapak, siapa yang dicatat oleh sejarah sebagai saudaranya padahal tak ada hubungan
darah? Berapa persen pengetahuanmu tentang Presiden-presiden kita? Dari sekian persen itu berapa
persen benarnya, kelirunya, gelapnya? Itu hanya data teknis. Berapa pula yang kualitatif yang berkaitan
dengan muatan-muatan sejarah. Ataukah itu semua tidak penting bagi rasio sejarah dan kepemimpinan?

Kalau Generasi Jurnalis Milenial, sebagai reporter investigator, mencari dan berjuang untuk mengetahui
hal-hal itu termasuk semua orang yang dipresidenkan sesudahnya, maka bangsa Indonesia akan sangat
tertolong untuk lega hatinya dan plong pikirannya karena mengerti persis 5W-1H sejumlah orang yang
memimpin, menguasai dan mengendalikan sejarah mereka selama hampir tiga-perempat abad.
Kalau bersedia agak lebih sedikit meluas lagi: berapa jumlah persisnya Kerajaan dan Kesultanan di
seluruh Indonesia ketika NKRI diproklamasikan? Berupa apa saja support ratusan Kerajaan dan
Kesultanan kepada berdirinya NKRI di sekitar 1945? Bagaimana aturan konstitusional hak Kerajaan-
Kesultanan atas tanah yang secara radikal tiba-tiba menjadi milik Negara Indonesia?

Syukur-syukur Generasi Jurnalis Milenial rajin latihan bertanya lebih mendalam, umpamanya:
bagaimana cara memahami bahwa yang kita alami ini adalah Demokrasi. Buka jendela lebih lebar:
perhatikan masalah-masalah psikiatrik para Caleg, Wakil rakyat, penjual wajah, penawar jasa abstrak.
Pemahaman aneh tentang tenaga-tenaga outsourcing dari Presiden hingga Kepala Desa. Atau absurdnya
pemaknaan dan penempatan kata yang dipakai secara popular dalam kehidupan bangsa: pluralisme,
harga mati, radikalisme, moderat, khilafah, fundamentalisme, jihad, terorisme, ujaran kebencian, hijrah,
supremasi hukum, debat Presiden, multikultural-isme, bahkan illat wa maqamat kata Presiden dan Wakil
Presiden itu sendiri.

Kalau bisa jangan hanya pakai sudut pandang dan sisi pandang. Cobalah berkembang ke jarak pandang,
resolusi pandang, lingkar pandang, kebulatan pandang, keutuhan pandang, serta bermacam
kemungkinan lainnya. Agar generasi Indonesia mulai sekarang sembuh dari penyakit Ahmaq.
Berhentilah “membangun manusia Indonesia satu sisi”, “membangun manusia Indonesia satu sudut”,
karena yang kita lakukan adalah “membangun manusia Indonesia seutuhnya”. Jadikan Universitas bukan
sekadar kumpulan Fakultas-fakultas. Dunia profesional butuh sarjana-sarjana fakultatif, tetapi
kepemimpinan bangsa memerlukan sarjana Universal, yang diproduk oleh Universitas.

Musuh utama bangsa Indonesia hari ini adalah 3-C: cekak, cethèk, ciut. Kesepenggalan, kedangkalan dan
kesempitan. Genmil, Kizano dan GJM mendobraknya.

Jalan Tol Masa Depan Indonesia

Sekarang perkenankan pujia-pujiku untuk Indonesia. Sebab di tengah persepsi dan refleksi mewah tadi,
saya sendiri tidak punya peran apa-apa.

Tetapi yang utama adalah “Jalan tol panjang menuju masa depan Indonesia” sudah dijulurkan. Insan
Pers secara keseluruhan, adalah salah satu subjek primer yang produktif kreatif dari desain besar
Nusantara 2015-2085 berikut, yang telah dicanangkan pada tanggal 30 Desember 2015 di Merauke:

“Impian Indonesia 2015-2085”:

Sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia.

Masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius, dan menjunjung tinggi
nilai-nilai etika.

Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi dan peradaban dunia.

Masyarakat dan aparatur Pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi.

Terbangunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia.


Indonesia menjadi negara yang mandiri dan negara yang paling berpengaruh di Asia Pasifik.

Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.

Dari narasi itu sangat jelas, Indonesia adalah Raksasa yang sedang tumbuh nggegirisi. Ia sedang mateg
aji menjadi Adikuasa, mengalahkan dua Raksasa sebelumnya. Bacalah 36 halaman Desain Besar
“Indonesia 2045, Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur”. Rasanya Pusaka Nusantara yang hilang akan
segera ditemukan kembali.

Dan sekarang saya berada di tengah mereka: dengan hati mantap, penuh syukur dan bergembira
sebagai rakyat dan warganegara NKRI, saya mangayubagya Hari Pers Nasional.

Tetapi, saya tidak tidak percaya diri untuk berdiri di sini. Penunjukan kepada saya untuk tampil di
podium nasional ini merupakan kesemberonoan sejarah. Saya ini sudah out of stage and spot, out of of
date and box dari dunia Pers. Saya pensiunan dan jadul parah.

Saya belajar jurnalisme di altar Pers lokal bulan Maret 1969, pas 50 tahun silam, di Suluh Marhaen,
Berita Nasional, kemudian Mertju Suar, Harian Masakini Yogya. Tak pernah naik ke level nasional.
Akhirnya tahu diri, saya berhenti pada 22 Mei 1998. Sudah 21 tahun saya tidak baca koran dan majalah,
tidak nonton teve dan tidak punya akun medsos. Saya generasi kudet. Alamat saya di kegelapan dan
remang-remang. Produk saya sejak itu adalah takhayul, halusinasi dan dongeng, yang tak laku dijual,
tidak newsable, tidak marketable.

Sejak minimal tujuh abad silam, Indonesia adalah Negeri dan Bangsa yang tidak diperbolehkan untuk
menjadi dirinya sendiri. Apalagi untuk bangkit dan memercusuari dunia. Perut rakyatnya dijaga jangan
sampai kelaparan, tapi alam pikirannya dibonsai. Kenyamanan jasadnya dipenuhi di segala bidang, tapi
mentalnya dikerdilkan. Dipuji dan dihargai sejauh urusan yang Indonesia patuh, tetapi kebesaran
sejarahnya dikubur. Dilimpahi berbagai peralatan agar bangsa ini merasa maju dan sukses, tetapi
kepemilikannya digerogoti dan harga dirinya dikikis.

Tetapi saya tetap bergembira sebagai rakyat kecil. Dengan lahirnya GJM, dunia jurnalistik akan semakin
matang. Semua yang diperlukan oleh Indonesia 73 tahun, untuk membangun masa depan, akan lengkap
dan hampir sempurna. Kalau pakai terminologi jurnalisme awam, What-nya segera terang benderang.
Who-nya akan tersusun rapi. Where-nya tak ada keraguan lagi. When-nya clear and cling. Why-nya
sudah dan sedang dicerdasi bersama. Dan How-nya semakin mumpuni dan mrantasi, secara ilmu,
kecerdasan maupun kecakapan.

Pers Nasional dan utamanya Generasi Jurnalis Milenial adalah bagian paling pro-aktif dan energetik dari
Indonesia Emas masa depan itu. Kaum jurnalis tidak gamang oleh tantangan. Inovasi teknologi
menyerbu, dengan multi-efeknya pada perubahan habitat industrialnya, keterombang-ambingan
kapitalismenya, serta seluruh kompleksitas dan diskomprehensi manajerialnya. Tetapi kaum jurnalis
nasional kita tak akan kehilangan integritas dan daya olah terhadap terjaganya the real truth sejarah dan
nilai-nilai.
Apalagi Indonesia sudah mantap dengan dirinya, sudah sangat mengerti masa depannya, sehingga
pertanyaan “Apa kamu? Siapa kamu? Di mana kamu? Akan ke mana? Kapan? Kenapa? Bagaimana?” –
sudah dibereskan olehnya. Seluruh Dunia akan takjub melihat Indonesa-2085. Semua yang saya kisahkan
dalam Lampiran “Kisah Emas Dipendam”, yang seolah-olah merupakan ancaman bagi Indonesia, akan
kalah oleh kasih sayang Tuhan kepada rakyat Indonesia, serta cinta-Nya kepada Genmil, Kizano dan
GJM.

Yogyakarta, 7 Februari 2019

Anda mungkin juga menyukai