Anda di halaman 1dari 16

Konsep Fitrah Menurut Taqi Mizbah Yazdi dan Relevansinya dengan

Pendidikan Islam

PROPOSAL TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

(M.Pd.) pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Darussalam Ciamis

Disusun oleh:

Taufiqul Insani

NIM. 18.010.

PROGRAM PASCASARJANA (S2)

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)

CIAMIS JAWA BARAT

1443 H/ 2022 M
KONSEP FITRAH MENURUT TAQI MIZBAH YAZDI DAN
RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Oleh:
Taufiqul Insani
00.00.2022
A. Pendahuluan
Ketika melihat wajah pendidikan di Indonesia saat ini, setiap orang akan dibuat sangat
khawatir terhadapnya. Hal tersebut dapat dilihat setidaknya dari tiga kenyataan yang sedang
dialami oleh dunia pendidikan. Pertama, kekerasan di lingkungan sekolah yang dilakukan
pendidik dan peserta didik. Kedua, diskriminasi belajar. Ketiga, perilaku amoral yang
dipraktekan pendidik dan peserta didik.
Pada tahun 2019, Komisi Perlindungan Anak mendapatkan pengaduan sebanyak 153
mengenai kekerasan pisik dan psikis, meliputi korban kebijakan, kekerasan fikis dan bullying.
Sebanyak 39 % kekerasan fisik dan bullying terjadi di lingkungan SD/MI, 22 % terjadi di
lingkungan SMP/Sederajat dan 39 % terjadi di lingkungan SMA/Sederajat. Pelaku kekerasan
tersebut dilakukan oleh oknum pendidik terhadap peserta didik sebanyak 44 %, dilakukan
oleh peserta didik terhadap guru sebanyak 13 % dan sebanyak 30% kekerasan dilakukan antar
peserta didik. 1
selain itu, diskriminasi juga mewarnai praktek pendidikan di Indonesia.
Kenyataannya, semakin elit lembaga Pendidikan, semakin mahal biaya Pendidikan yang harus
di bayar peserta didik. Bagi orang tua peserta didik yang tidak mampu membayar biaya
pendidikan, dianggap tidak layak mendapatkan pendidikan yang berkwalitas.
Kenyataan tersebut menyebabkan pendidikan di Indonesia diwarnai oleh senioritas,
tauran dan perilaku amoral. Perilaku negatif yang mewarnai pendidikan lahir dari praktek
Pendidikan dominasi dan hegemoni yang terinternalisasi sejak diri di dalam jiwa peserta didik
melaluipengalaman negative di sekolah.
Pada 2021, Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menemukan sebanyak 18 kasus
kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan sekolah. Melihat data tersebut, yang
mendapatkan pukulan keras tidak hanya lembaga pendidikan di bawah naungan
Kemendikbud dengan 4 kasus kekerasan seksual. Lembaga Pendidikan Islam di bawah
naungan Kementerian Agama pun perlu berbenah diri karena mendominasi kasus kekerasan

1
Nabilla Fatiara. KumparanNEWS
seksual, yaitu sebanyak 14 kasus. Jumlah anak yang terindikasi menjadi korban kekerasan
seksual sebanyak 207 anak. dengan rincian korban sebanyak 126 perempuan dan 71 laki-laki.2
Kenyataan tersebut sangat bertentangan dengan definisi dari Pendidikan yang
tercantum dalam Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut UU
Sisdiknas tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan dengan sengaja guna
mengembangkan potensi peserta didik, mengenai kecerdasan, kepribadian dan spiritual.
Dengan demikian tugas Pendidikan mestinya mengembangkan potensi dan keterampilan
peserta didik. Pendidikan merupakan sarana untuk manusia akan dimanusiakan, hal baik
akandiajarkan dan kebebasan diekspresikan.
Pendidikan sudah semestinya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap
manusia untuk mengembangkan potensinya dan menumbuhkan sifat pantang menyerah,
kritis, kreatif dan cepat tanggap dalam menghadapi masalah, 3 Peserta didik tidak hanya dilatih
secara mekanik, melainkan dibantu untuk mencapai puncak dari setiap potensi yang mereka
miliki. Lantas mengapa kenyataan seakan bertolak belakang dengan konsep ideal yang di cita-
citakan bersama?
Toto Raharjo, seorang praktisi Pendidikan asal Yogyakarta, mengatakan bahwa
Worldview yang dijadikan landasan pendidikan di Indonesia telah salah. Menurutnya,
sebelum tahun 1960 pengaruh liberalisme sudah dirasakan oleh bnagsa Indonesia. Namun
puncaknya yaitu pada masa Orde Baru, saat presiden Soeharto menandatangani Letter of
Intent (LOI). Sejak saat itu liberalisme masuk ke Indonesia melalui globalisasi. 4
Globalisasi sangat berpengaruh terhadap visi pendidikan. Cara kerja Globalisasi ada
tiga, yaitu: Pertama, mempengaruhi dan memproduksi regulasi negara yang mendukung pasar
bebas. Hasilnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca reformasi melakukan
deregulasi yang merubah Undang-undang pasal 33 menjadi private sector. Melalui regulasi
tersebut, segala bidang diliberalisasi agar pro pasar bebas, termasuk pendidikan.5
Kedua, cara kerja globalisasi adalah mempengaruhi cara berpikir dan selera. Bangsa
Indonesia diajari standarisasi dalam berbagai hal. Pada akhirnya semua digiring agar menjadi
konsumen. Pendidikan di desain untuk menjadi salah satu agen dalam mencetak manusia
konsumen. Tidak heran apabila lulusan sekolah tidak memiliki kemerdekaan, walaupun untuk

2
Tempo.co. Aditya Budiman. 2021/12/28. KPAI Mencatat 18 kasus Kekerasan Seksual di Sekolah Sepanjang
2021.
3
Siswanto. 2007. “Pendidikan Sebagai Paradigma Pembebasan (Telaah Filsafat Pendidikan
Paulo Freire).” Tadris 2 (2):250–63
4
Maria Grasiella. 2020/11/29. Diskusi Bareng Toto Raharjo: Pendidikan Membebaskan yang Berkeadilan.
Nalarasa.com
5
Riza Noer Arfani. 2004. Globalisasi: Karakteristik dan Implikasinya. Journal Al-Manar. Ekonomi politik digital.
sekedar menentukan gaya rambut. Lulusan sekolah diorientasikan untuk menjadi hamba
pasar.6
Ketiga, negara yang awalnya menjadi pelindung bagi setiap warganya malah menjadi
anak perusahaan dari perusahaan global yang mengambil keuntungan besar dari warganya.
Sehingga secara perlahan kita semua telah menganut worldview liberalisme.
Puncak dari liberalisme adalah bergesernya pendidikan menuju makna yang paling jauh.
Pendidikan diartikan sebagai proses mencetak calon-calon pekerja industri, sekolah menjadi
lembaga pelatihan para pegawai dengan tujuan mencetak para pekerja professional. Tidak
heran apabila kurikulumnya di desain sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kebutuhan
pabrik. Apabila pabrik membutuhkan montir, sekolah mengadakan jurusan montir. Apabila
pabrik membutuhkan penjahit, sekolah membuat jurusan menjahit. Demikian pula saat pabrik
membutuhkan tenaga untuk mengoprasikan komputer, sekolah segera membuka jurusan
komputer. Artinya eksistensi sekolah bergantung pada eksistensi dunia industri.7
Peserta didik diarahkan untuk menjadi peserta pelatihan. Mereka diajarkan berbagai
kemampuan praktis sesuai kebutuhan pabrik. Bukan hanya itu, tujuan mereka belajar adalah
agar mereka dapat bekerja di pabrik industri yang telah melakukan MoU dengan sekolah.
Keberhasilan belajar diukur dengan seberapa besar gajih yang diterima oleh mereka. Semakin
besar gajih, maka ia semakin berprestasi. Sedangkan apabila ada lulusan belum menjadi
pekerja, mereka masih diragukan keberhasilan belajarnya.
Melihat warna Pendidikan yang mengkhawatirkan, seorang pemikir pendidikan seperti
Ivan Illich menyuarakan agar sistem pendidikan yang telak dijalankan oleh banyak sekolah
segera dihapus.8 Suara tersebut tidak hanya datang dari Illich. Pemikir pendidikan terkemuka
seperti Poulo Freire, Abraham Maslow, Muhammad Abduh, Carl Rogers, Al-Ghazali dan
banyak lagi menyuarakan usulan yang sama. Tentu bukan tanpa alasan para pemikir tersebut
berusaha berpendapat untuk menghapus sistem pendidikan yang sedang dijalankan sekolah.
Oleh karena itu, perlu merumuskan sebuah sistem sekolah sebagai lembaga yang
melaksanakan pendidikan bagi setiap bangsa.
Nilai-nilai Islam menjadi salah satu sumber inspirasi bagi suatu worldview
Pendidikan. Bagi Islam Pendidikan adalah jalan terbaik sebagai upaya untuk mengembangkan
fitrah kemanusiaan agar stiap manusia mampu mencapai derajat Insan Kamil. Konsep tersebut

6
Dampak Globalisasi Pada Politik, Ekonomi,Cara Berpikir dan Ideologi serta Tantangan Dakwahnya. Retna Dwi
Estuningtyas. 2018. No 2. Jurnal Al-Munzir
7
Maoshul, Derry Ridwan. Kosmologi Pendidikan Islam. 2022. Ciamis: Penerbit Fimadina
8
Hamka. 2010. “Sekolah: Memberdayakan Atau Memperdaya Masyarakat.” Jurnal Hunafa7(1):79–90.
sangat logis, mengingat manusia merupakan entitas yang memerlukan proses penyempurnaan
intelektual, spiritual dan moral.9
Pada proses upaya penyempurnaan intelektual, spiritual dan moral setiap manusia
perlu mendapatkan bimbingan dari keluarga dan masyarakat. Pada posisi ini manusia perlu
berupaya keras menemukan makna kemurnian fitrah mengingat kenyataan sosial telah
terdampak globalisasi. Konsep fitrah tersebut harus dikembalikan pada sumber utamanya
yaitual-Qur’an agar fitrah yang dimaksud bukanlah ekses dari globalisasi.
Pemikir Islam yang konsen terhadap pembahasan kemanusiaan dalam hal ini fitrah
adalah Taqi Mizbah Yazdi seorang ulama berkebangsaan Iran. Mizbah Yazdi hadir sebagai
sosok ulama ensiklopedi yang menguasai berbagai bidang seperti filsafat, akhlak, politik dan
teologi. Dalam filsafat kemanusiaannya, Mizbah Yazdi memandang manusia sebagai wujud
yang memiliki potensi untuk menyempurna melalui sebuah gerakan penyempurnaan diri
(Harakah Istikmaliyah). Dalam merumuskan konsepnya, ia berpijak pada dalil rasional yang
didasarkan pada konsep gerak substansi (Harakah Jawhariyah) dan landasan epistemologi
yang merumuskan tujuan hidup manusia.
Pada kesempatan ini peneliti bermaksud mengungkap Konsep Fitrah Menurut Taqi
Mizbah Yazdi. Menjadi meyakinkan penulis bahwa dengan menggali konsep fitrah pada
dunia pendidikan Islam akan menambah penemuan baru mengenai worldview bagi
pengembangan pendidikan Islam. Semoga akan muncul suatu konsep yang baru tentang
Pendidikan berbasis fitrah yang bernuansa Islami sesuai dengan tuntuntan Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Penelitian ini berjudul Konsep Fitrah Menurut Taqi Mizbah Yazdi dan Relevansinya
dengan Pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih sistematis serta tidak keluar dari pembahasan, penulis
merumuskan masalah ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Fitrah Menurut Taqi Mizbah Yazdi?
2. Bagaimana relevansi konsep fitrah Menurut Taqi Mizbah Yazdi dengan Pendidikan
Islam?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui konsep Fitrah Menurut Taqi Mizbah Yazdi?

9
Acmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 73
2. Menguasai relevansi konsep fitrah Menurut Taqi Mizbah Yazdi dengan Pendidikan
Islam?
D. Kegunaan Penelitian
Setelah masalah dijawab melalui proses penelitian, hasil penelitian tersebut diharapkan
dapat digunakan untuk:
Pertama, secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran pendidikan Islam kepada Institut Agama Islam Darussalam, khususnya jurusan
Pendidikan Agama Islam tentang konsep fitrah. Kemudian penelitian ini ditulis untuk
menambah dan memperkaya khazanah keilmuan dunia pendidikan Islam dalam meningkatkan
kualitas pendidikan Islam di Indonesia dan Pesantren. Selain itu, sebagai Magister
Pendidikan, penulis berharap penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan bagi penelitian
selanjutnya.
Kedua, Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada
setiap pendidik mengenai alternatif konsep pendidikan berbasis fitrah. Kemudian diharapkan
penelitian ini memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam upaya antisipasi problem
pendidikan Islam dewasa ini.
E. Landasan Teori
1. Pengertian Fitrah
Al-Quran menyebutkan kata fiṭrah dan derivasinya sebanyak 20 kali dengan berbagai
bentuknya.10 Kata faṭara (mencipta) dalam bentuk fi’il maḍi (kata kerja lampau) disebutkan
sebanyak delapan kali.11 Kata fāṭir (pencipta) dalam bentuk isim fā’il (kata yang
menunjukan sebagai pelaku) disebutkan sebanyak lima kali. 12 Kata fuṭūr (cacat, sesuatu yang
tidak seimbang) terdapat satu kali.13 Kata yatafaṭṭarna (pecah atau belah) terdapat dua kali.14
Kata infaṭarat (terbelah/terpecah) terdapat satu kali.15 Kata munfaṭir (terbelah, menjadi
pecah-belah) terdapat satu kali.16 Sedangkan kata fiṭrah juga hanya ditemukan satu kali,
yaitu dalam QS. Al-Rūm (30): 30. Allah swt. berfirman:
‫طرتَ هّٰللا الَّتي فَطَر النَّاس َعلَ ْيه ۗا اَل تَ ْبديْل ل َخ ْل هّٰللا‬
ِ َّ‫ق ِ ٰۗذلِكَ ال ِّديْنُ ْالقَيِّ ۙ ُم َو ٰل ِك َّن اَ ْكثَ َر الن‬
َ‫اس اَل َي ْعلَ ُموْ ۙن‬ ِ ِ َ ِ َ َ َ ْ ِ ِ َ ْ ِ‫فَاَقِ ْم َوجْ هَكَ لِل ِّدي ِْن َحنِ ْيفً ۗا ف‬

10
Muḥammad Fu’ād ‘Abd al- Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al- Qur’ān al-Karīm, (Beirut: Dār Iḥyā al-Turāṡ
al-‘Arabī, tt), h. 522-523.
11
QS. Al-An’ām(6): 79, al-Isrā (17): 51, al-Rūm (30): 30, Ṭāhā (20): 72, Hūd (11): 51, Yāsīn (36): 22, al-Zukhruf
(43): 27 dan al-Anbiyā (21): 56.
12
QS. Al-An’ām (6): 14, Yūsuf (12): 101, Ibrāhīm (14): 10, Fāṭir (35): 1, al-Zumar (39): 46 dan al-Syūrā (42): 11.
13
QS. Al-Mulk (67): 3.
14
QS. Maryam (19): 90, asy-Syūrā (42): 5.
15
QS. Al-Infiṭār (82): 1.
16
QS. Al-Muzammil (73): 18.
Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah
(tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dari 20 kali penyebutan kata fitrah ini hanya satu ayat yang menunjukkan bentuk fitrah
secara jelas, yaitu dalam QS. Al-Rūm (30): 30. Kata fitrah dalam ayat ini mempunyai
beberapa arti. Dalam kamus Al-Munawwir, kata fitrah diartikan dengan sifat pembawaan
(sejak lahir), al-ibtidā’ (ciptaan), agama, sunnah.17 Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata
fitrah diartikan dengan sifat asal, kesucian, bakat dan pembawaan.18
Ar-Razi dan al-Matharrazi mengartikan kata al-fiṭrah dengan al-khilqah (naluri,
pembawaan).19 Ibnu al-Jauzi mengartikannya dengan aṭ-ṭabī‘ah (tabiat, karakter) yang
diciptakan Allah swt pada manusia.20 Ia merupakan bentuk isim maṣdar nau’ atau hai’ah dari
kata al-faṭr seperti lafal al-jilsah (bentuk duduk) dan al-rikbah (bentuk kendaraan). Kata al-faṭr
dari faṭara-yafṭuru bermakna al- syaqq (membelah),21 al-ibtidā’ (ciptaan, permulaan, dasar),
al- ikhtirā’ (membuat yang belum pernah ada sebelumya)22, dan al- khalq (penciptaan).23
Menurut Mujahid, Makna fitrah secara bahasa/harfiyah ini disinonimkan/disepadankan
dengan kata "khalaqa". Kata khalaqa banyak digunakan oleh Allah untuk menyatakan
penciptaan sesuatu, seperti khalaqallāh al-samāwāt wa al-arḍ (Allah telah menciptakan langit
dan bumi). Contoh lain dari penggunaan kata khalaqa terdapat pada QS. Al-'Alaq (96): 2,
Khalaqa al-insāna min 'alaq (Dia Allah telah menciptakan manusia dari segumpal darah).
Kedua contoh ayat tersebut menunjukkan bahwa ketika Allah menciptakan makhluk- Nya
tidak diawali oleh adanya bahan dasar ciptaan. Oleh karena itu semua ayat yang
menggunakan kata khalaqa menisbatkan fā’il-nya (pelakunya) kepada Allah, karena hanya
Dialah yang mampu menciptakan segala sesuatu yang tidak memiliki bahan dasar awalnya.

17
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2010), h.
1063.
18
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 412.
19
Muḥammad bin Abī Bakar bin ‘Abd al-Qadīr al-Rāzī, Mukhtār al- Ṣiḥāḥ, (Beirut: Maktabah Lubnān, 1986), h.
212, Nāṣir al-Dīn al- Maṭarrazi, al- Mughrib fi Tartīb al-Ma’rib, (Aleppo: Maktabah Usāmah bin Zaid, tt), h.
II/143.
20
Jamāl al-Dīn ibn al-Jauzī, Zād al-Masīr, (Beirut: Dār ibn Ḥazm, 2002),
21
Al-Raghīb al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2009), h. 640.,
22
Jārullah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Fā’iq fī Gharīb al- Hadīṡ, jil. III, (ttp: ‘Īsa al-Bābī al-Ḥalbī, tt), h.
127., al-Rāzī, Mukhtār …, h. 212.
23
Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukarram ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, (Kuwait: Dār al-Nawādir,
2010), h. VI/261.
Sementara manusia mampu membuat sesuatu karena bahan dasarnya sudah tersedia di alam
raya ini.24
2. Perkembangan Fitrah
Fitrah perlu mendapatkan pembinaan agar dapat berkembangdengan baik. Hasan
Langgulung melihat fitrah dari dua penjuru. Pertama dari segi sifat naluri (pembawaan)
manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir dan kedua dari segi
wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi-Nabi- Nya.25
Potensi dasar manusia merupakan barang yang masih terpendam dalam dirinya. Bila
potensi tersebut dibiarkan maka ia akan menjadi statis dan tidak berkembang walaupun ia
telah memasuki usia yang panjang. Pengaruh-pengaruh dari pihak lain merupakan sebuah
keniscayaan baginya agar potensi tersebut berubah menjadi dinamis dan dapat berkembang
sesuai dengan tujuan penciptaan manusia.
Fitrah manusia merupakan anugerah dari Allah swt yang tak ternilai harganya. Oleh
karena itu, ia harus dikembangkan agar menjadi manusia yang sesuai dengan misi
penciptaannya. Ramayulis26, mengatakan upaya pengembangan fitrah harus dilaksanakan
secara sadar, terencana dan sistematis, karena Allah swt menghendaki hamba-hamba-Nya
senantiasa berkembang dan meningkat maju. (QS. Al-Insyiqāq (84): 19).
Secara sunnatullah, segala sesuatu yang ada di alam semesta juga berkembang menuju
kesempurnaan (QS. Al-A’la (87): 2). Pengembangan fitrah manusia ini harus dilaksanakan
secara menyeluruh dan seimbang. Jika tidak, maka tidak akan tercapai proses menuju
kesempurnaannya manusia. Bahkan, dapat mendatangkan kehancuran bagi manusia. Hal ini
diisyaratkan dalam al-Quran bahwa manusia yang tidak mengembangkan fitrah agamanya, ia
akan menjadi kafir. Itu merupakan seburuk-buruknya hewan melata (QS. Al-Anfāl (8): 55).
Begitu pula, jika fitrah intelektualitasnya tidak dikembangkan, ia menjadi bodoh, lebih
sesat dari hewan (QS. Al- A’rāf (7): 179). Ramayulis selanjutnya mengatakan faktor yang
mempengaruhi perkembangan fitrah manusia adalah usaha manusia sendiri (QS. Al- Ra’d
(13): 11) dan hidayah (petunjuk) dari Allah. Hidayah yang diberikan Allah dalam rangka
pengembangan fitrah ini terdapat beberapa macam, di antaranya adalah hidayah akal, hati dan
agama. Salah satu upaya yang dapat dilakukan manusia untuk mengembangkan fitrahnya
adalah dengan menerapkan pendidikan yang selaras dan tidak bertentangan dengan fitrah itu
sendiri.

24
Mujahid, “Konsep Fitrah dalam Islam dan Impilkasinya terhadap Pendidikan Islam” dalam Jurnal Pendidikan
Islam, vol. 2, no. 1, 2005, hh. 23-40, h. 25.
25
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 2007), h. 22.
26
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 280-281.
2. Hakikat Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan menurut bahasa sebagaimana dikutif oleh Abuddin Nata, berasal
dari kata “didik” yang mendapat awalan pen- dan akhiran -an. Kata tersebut sebagaimana
dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara, dan sebagainya)
mendidik (Nata, 2005: 4).
Sedangkan dalam bahasa Yunani pendidikan biasa disebut paedagogi yang terdiri dari
dua kata yaitu pais (anak) dan agogos (membimbing). (Tafsir, 2006: 33). Itulah sebabnya
paedagogi dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar anak. Orang-orang Yunani kurang
lebih 600 tahun sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha
membantu manusia menjadi manusia Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, yaitu
membantu dan manusia.
Adapun pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Pendidikan merupakan usaha sadar yang terencana untuk mewujudkan nuansa belajar dan
proses belajar agar pesera didik dapat aktif mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk
memiliki spiritualitas agama, mampu mengendalikan diri, memiliki kepribadian, akhlak
karimah, dan memiliki keterampilan yang bermanfaat untuk dirinya, masyarakat, dan Negara
(Suparta, 2016: 284).
Dari pengertian yang tertuang dalam UU Sisdiknas, Arti pendidikan bisa dipandang dari
sudut pandang luas, yaitu segala jenis pengalaman kehidupan yang mendorong timbulnya
minat belajar untuk mengetahui, kemudian bisa mengerjakan sesuatu berdasarkan
pengetahuan tersebut. Sedangkan dari pendekatan dari sudut sempit, Pendidikan merupakan
seluruh kegiatan yang direncanakan serta dilaksanakan secara teratur dan terarah di lembaga
pendidikan sekolah.
Apabila Pendidikan hanya dibatasi di sekolah, hal ini samasaja dengan mengkerdilkan
makna pendidikan. Adalah Ivan Illich melalui bukunya Bebaskan Masyarakat dari Belenggu
Sekolah, yang meneriakan kritikan yang sangat keras terhadap sistem pendidikan saat ini.
Menurutya sistem pendidikan berbasis kelembagaan sekolah tidak membawa perubahan
apa-apa. Kelembagaan sekolah hanya memperkuat struktur kelas masyarakat yang telah
mapan. Oleh karena itu, pendidikan perlu dilalukan dengan jaringan belajar (learning webs)
(Illich, 2000).
Kritikan serupa disampaikan oleh Everett Reimer dalam Sekitar Eksistensi Sekolah,
menurutnya setiap orang yang mengamini sistem pendidikan berbasis kelembagaan sekolah
sebagai pendukung terlahirnya kelas-kelas baru manusia yang teralienasi dari masyarakatnya
(Reimer, 1987). Kritikan tersebut dilontarkan atas dasar Illich menilai pendidikan berbasis
kelembagaan sekolah hanya sekedar pengajaran yang memiliki orientasi pada pembentukan
manusia tukang atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisnya yang sempit.
Dengan demikian perhatian dan minat manusia yang terlahir dari sistem pendidikan
tersebut hanya bersifat teknis. Pengkerdilan terhadap pendidikan secara otomatis
mengkerdilkan manusia. Letak perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terdapat pada
penekanan pendidikan kepada menumbuhkan kesadaran dan kepribadian disamping transfer
ilmu dan keahlian.
Dengan demikian suatu bangsa bisa mewariskan nilai keagamaan, kebudayaan, prinsip
hidup, pemikiran dan keahlian kepada setiap generasinya. Sehingga suatu generasi bisa benar-
benar siap menjalani kehidupan. Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara,
pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan budi pekerti (afektif), pikiran (kognitif)
dan jasmani peserta didik (psikomotorik), agar peserta didik mampu mencapai kesempurnaan
yaitu hidup dan menghidupi yang selaras dengan alam dan masyarakat (Dewantara, 1967).
Pengertian tersebut dijelaskan lebih filosofis oleh Muhammad Natsir, pendidikan adalah suatu
pimpinan jasmani dan ruhani dengan tujuan mencapai kelengkapan dan kesempurnaan
manusia dengan arti yang sesungguhnya (Natsir, 1973: 87).
Pendidikan, yang saat ini dihubungkan dengan Islam, diberi pengertian oleh M. Yusuf
al-Qardhawi sebagai pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, jasmani dan ruhaninya,
akhlak dan keterampilannya. Oleh karena itu, M. Yusuf al-Qardhawi menegaskan, pendidikan
Islam sebagai proses menyiapkan manusia agar mampu menjalankan hidup dengan baik,
dalam kondisi damai maupun saat perang dan mempersiapkan manusia agar mampu
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan keburukannya, manis dan pahitnya (Al-
Banna, 1980: 157).
Pendidikan Islam merupakan pembinaan manusia berdasarkan ajaran Islam yang
diwahyukan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan tujuan menjadikan manusia
sampai pada derajat khalifah, mewujudkan masyarakat adil makmur dan bersama mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Seperti disampaikan oleh Ahmad D Marimba (1980:
23), Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani dan ruhani menuju terbentuknya
kepribadian luhur berdasarkan ukuran-ukuran Islam.
4. Epistemologi Pendidikan Islam
Apabila kita kaji lebih lanjut, berbagai pengertian-baik pendidikan ataupun pendidikan
Islam-yang ditawarkan para ahli, kemudian akan melahirkan bermacam-macam model
pendidikan, tidak akan lepas dari pandangan para ahli tersebut terhadap manusia. Apabila
para ahli memandang bahwa manusia sebagai botol kosong, maka lahirlah model pendidikan
tertentu yang berbeda dengan para ahli yang memandang bahwa manusia telah memiliki
segenap potensi yang tersimpan di dalam dirinya. Oleh karena itu, penting kiranya untuk
mengulas berbagai pandangan dasar yang menjadi landasan para ahli dalam mengemukakan
definsi pendidikan dan menawarkan model pendidikan.
Pertama, Pandangan idealis, seperti disampaikan oleh Schopenhauer (1788-1880)
memandang bahwa perkembangan manusia sangat ditentukan oleh potensi yang dibawa sejak
lahir (Syah, 2008: 43). Pandangan seperti ini sebenarnya telah dikemukakan jauh-jauh hari
oleh Platon seorang filosof Yunani, Ia mengatakan sesungguhnya ketika manusia dilahirkan,
manusia telah mengetahui semua hal, tanpa ada sedikitpun yang terlewatkan. Sebelum ruh
manusia menempati jasad, ruh berada di alam lain yang disebut alam ide. Ruh telah
mengetahui seluruh ide yang merupakan hakikat dari segala sesuatu yang ada di alam
semesta. Namun ketika ruh menempati jasad, manusia mengalami lupa karena ruh terhijabi
oleh jasad untuk mengetahui segala yang telah diketahui. Oleh karena itu, manusia
memerlukan pendidikan untuk mengingat kembali segala pengetahuan yang telah diketahui
sebelumnya dan Gurulah yang memiliki peran sebagai pengingat. (Muthahhari, 2001:46).
Pemikir pendidikan Muslim yang menganut pandangan idealis menguatkan
argumentasinya dengan bersandar kepada Q. S. al-Ghasyiyah: 21
‫ر‬ٞ ‫فَ َذ ِّك ۡر ِإنَّ َمٓا َأنتَ ُم َذ ِّك‬
“Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi
peringatan”.
Al-quran sendiri, menurut mereka, yang menggunakan kata mengingatkan (tadzkir) dan
memberi predikat orang yang memberi peringatan (mudzakkir) kepada Rasulullah Saw ini
menunjukan al-Qur’an berpendapat bahwa manusia telah mengetahui, namun saat ini sedang
mengalami lupa. Oleh karena itu perlu diingatkan.
Berbeda dengan Pandangan Idealis, Pandangan materialistic, yang merupakan
pandangan kedua, bahwa manusia yang dilahirkan ke dunia layaknya seperti kertas putih yang
kosong. Artinya manusia tidak mengetahui apapun sampai mendapatkan pendidikan dari
lingkungannya. Pendapat ini didukung oleh seorang psikolog, J. F Herbert yang mengatakan
manusia memiliki jiwa yang kosong saat pertama kali dilahirkan, sampai indranya menangkap
sesuatu pada alam ekstenal yang diteruskan melalui saraf dan masuk ke dalam kesadaran jiwa.
(Syah, 2008: 28).
Hal serupa telah disampaikan oleh filosof berkebangsaan Inggris, Jhon Lock (1632-
1704) yang mengatakan lembaran-lembaran jiwa manusia pada mulanya kosong dari berbagai
pengetahuan, kemudian manusia berinteraksi dengan lingkungannya dan mempelajarinya
(Muthahhari, 2001: 48). Pemikir Muslim yang menganut pandangan materialistik, untuk
menguatkan pendapatnya, mereka bersandar pada Q. S. an-Nahl ayat 78
‫هّٰللا‬
َ‫ار َوااْل َ ْفـِٕ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬
َ ‫ص‬َ ‫َو ُ اَ ْخ َر َج ُك ْم ِّم ۢ ْن بُطُوْ ِن اُ َّم ٰهتِ ُك ْم اَل تَ ْعلَ ُموْ نَ َش ْيـ ًۙٔا َّو َج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َوااْل َ ْب‬
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Pada ayat tersebut, menurut mereka, al-Quran telah menegaskan bahwa saat pertama
kali dilahirkan manusia tidak mengetahui apapun, laa ta’lamuuna syaian. Barulah setelah
manusia menggunakan indranya, manusia akan mendapatkan pengetahuan. Ayat inipun
menjelaskan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui indranya bukan bawaan lahir
seperti disampaikan oleh filosof yang menganut pandangan idealis.
Ketiga, pandangan dualis merupakan kompromi atau perpaduan dari pandangan idealis
dan materialistik. Sebagaimana disampaikan oleh William Stem (1871-1939) manusia sejak
lahir sudah memiliki bakat, selanjutnya perkembangan pengetahuan manusia dipengaruhi oleh
pendidikan dari lingkungannya. Oleh karena itu, ilmuan pendidikan yang menganut
pandangan dualis menekankan bahwa pendidikan kepada manusia harus sesuai dengan bakat
yang dimilikinya (Syah, 2008: 46).
Hal serupa disampaikan oleh Immanuel Kant (1724-1804) bahwa manusia memiliki dua
pengetahuan, satu pengetahuan merupakan bawaan lahir sebagian lagi diperoleh melalui
pengindraan. Kant meyakini ada pengetahuan yang manusia miliki, bukan berasal dari
pengalaman indra, yang ia namakan dengan pengetahuan a priori.
Oleh karena itu ia membantah pandangan materialistik. Tetapi, Kant juga
menitikberatkan pentingnya pendidikan yang diberikan lingkungan untuk menyempurnakan
pengetahuan pada jiwa manusia (Kant, 2013: 147). Pendapat ini membantah argumen yang
disampaikan penganut pandangan idealis.
Sekarang mari kita simak pandangan keempat, pandangan korespondensi, dalam
memberikan pendapatnya tentang pendidikan. Menurut pemikir korespondensi, bayi tidak
memiliki pengetahuan apapun saat dilahirkan. Ini mirip dengan pandangan dari pemikir
materialis. Bayi yang lahir tidak memiliki bakat tertentu, tidak mula memiliki prinsip-prinsip
berpikir tertentu dan tidak memiliki keimanan tertentu yang diturunkan dari orang tuanya dan
dibawanya dari lahir. Bayi layaknya kertas yang kosong.
Seperti telah kita ketahui manusia memiliki indra, rasio dan hati untuk mendapatkan
pengetahuan dari lingkungan alam dan melalui pelajaran dari orang tua dan gurunya sampai ia
dapat mengetahui. Namun tidak semua pengetahuan ia dapatkan dari hasil pengindraan.
Misalnya saat manusia mengetahui prinsip ‘keseluruhan lebih besar daripada sebagian’.
Prinsip tersebut tidak dibawa sejak lahir, tidak pula hasil pengindraan. Prinsip tersebut hadir
dari proses berpikir manusia. Indranya melihat benda secara keseluruhan, kemudian melihat
benda secara bagian. Akhirnya lahirlah prinsip ‘keseluruhan lebih besar daripada sebagian’.
Benda yang manusia lihat di alam, sedang prinsip ‘keseluruhan lebih besar daripada
sebagaian’ manusia dapatkan dari proses berpikir (Muthahhari, 2001: 49). Pemikir
korespondensi tidak mendikotomi pengetahuan menjadi dua seperti pemikir dualis, ada
pengetahuan bawaan lahir, ada pengetahuan hasil pengalaman indra. Pemikir ini pun tidak
hanya menerima pengetahuan indrawi, seperti yang dilakukan pemikir materialis.
Tidak pula menerima pengetahuan bawaan lahir sebagaimana pengetahuan idealis.
Pemikir korespondensi menyatakan bahwa manusia mendapatkan pengetahuan setelah ia
lahir, namun pengetahuan manusia tidak hanya berasal dari alam yang bersifat indrawi, tetapi
ada pengetahuan yang manusia dapat bukan dari indra, melainkan dari proses berpikir.
F. Penelitian yang Relevan
Penelitian ini bukanlah penelitian satu-satunya yang membahas mengenai konsep fitrah
sebagai landasan Pendidikan Islam. Ada beberapa penelitian terdahulu yang penulis anggap
relevan dengan penelitian ini, diantaranya:
1. Disertasi karya Mardis Hayati, mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau Tahun 2020. Disertasi tersebut berjudul Kontribusi
Keterampilan Belajar Abad 21 Dalam Pengembangan Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam Berbasis Multiple Intelligences. Hasil penelitian tersebut mengatakan
keterampilan komunikasi sangat berpengaruh pada pembelajaran yang
menumbuhkan setiap peserta didik untuk memiliki jiwa kepemimpinan. Selain itu,
peserta didik juga dilatih untuk berkolaboratif, memupuk rasa solidaritas antar
peserta didik. Hal ini dapat tumbuh dengan menggunakan pendekatan active
learning.
2. Tesis karya Tian Wahyudi, mahasiswa program studi Pendidikan Islam, pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga tahun 2015. Tesis tersebut berjudul Konsep Pembelajaran
Berbasis Potensi Fitrah (Studi Pengembangan Kecerdasan Anak dalam Pendidikan
Islam). Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pembelajaran mengacu pada
potensi manusia yang berasal dari fitrah. Terdapat enam komponen potensi fitrah,
yaitu potensi beragama, potensi akal, potensi moral, potensi sosial, potensi estetika
dan potensi jasmani. Sehingga melahirkan empat unsur dalam pembelajaran yaitu,
kualitas Pendidikan, materi ajar, metode belajar serta media dan lingkungan belajar.
3. Tesis karya li’lu’ Nurhusna, mahasiswa program studi Pendidikan Guru Raudlatul
Athfal, pascasarjana UIN Sunan Kalijaga tahun 2017. Penelitian tersebut berjudul
Konsep Fitrah dalam Al-Qur’an dan Implikasinya Terhadap Tujuan PendidikanAnak
Usia Dini. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa Ibnu Katsir
memilikipandanganbahwa manusia memiliki sifat baik dan buruk secara intrinsik.
Padatahap ini sifat baikdanburuk perlu mendapatkan bimbingan dari pihak luar. Jika
sifatdasar ini dibimbing oleh sifat ketuhanan, maka akan membentuk pribadi yang
baik. Sebaliknya, apabila sifat dasar ini dibimbing oleh sifat tercela, maka akan
terwujud manusia yang memiliki kepribadian buruk. Pendidikan diarahkan untuk
membentuk pribadi Islam, memahamkan eksistensi manusia sebagai hamba Allah
dan megembangkan keterampilan.
4. Tesis karya Nurdin, mahasiswa pascasarjana UIN Alaudin Makassar tahun 2016.
Tesis tersebut berjudul Pemikiran Epistemologi Islam MuhammadTaqi Misbah
Yazdi. Hasilpenelitiantersebut mengungkapkan pandangan kritis Taqi Mizbah
terhadap filsafat. Ia tidak saja merumuskan ulang bangunan filsafat Mulla Shadra dan
Ibn Sina. TaqiMizbah berusaha membangun filsafat yangdisebut dengan Paripatetik
Baru atau transendentalisme non-mistis.
5. Jurnal karya Saeful Anwar dan Yudi Daryadi. Jurnal yang di terbitkan oleh JAQFI:
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam pada tahun 2019 ini mengungkapkan pemikiran
Taqi Mizbah Yazdi mengenai manusia sempurna. Peneliti menarik tiga kesimpulan
yaitu, 1. manusia merupakan makhluk unik. Di dalam dirinya terdapat kontradiksi
antara sifat baik dan buruk. 2. Taqi Mizbah meletakan wujud sebagai sumber dan
prinsip kebaikan dan kesempurnaan. Manusia perlu melakukan gerak menyempurna.
3. Manusia adalah makhluk menjadi. Sehingga ia tidak pernah tuntas untuk selalu
beranjak dari satu kesempurnaan k eke sempurnaanlain.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian secara mendasar menggunakan cara ilmiah yang ditempuh untuk
memperoleh data dari pemikiran Taqi MizbahYazdi mengenai konsep Fitrah. Konsep Fitrah
dikembangkan oleh Taqi Mizbah dalam merumuskan peta hidup manusia, sebagaimana
disampaikan oleh Sugiono (2010: 2) bahwa ada empat kata kunci dalam melakukan sebuah
penelitian, yaitu cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) penulis melalui beberapa
tahapan seperti mencari data atau informasi riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku
referensi dan bahan-bahan yang tersedia di perpustakaan. Hal ini ditempuh oleh penulis
berdasarkan rujukan Ruslan, penelitian pustaka yaitu penelitian berupa mencari data dan
informasi riset melalui jurnal ilmiah, buku-buku dan bahan yang tersedia di perpustakaan.
(Ruslan, 2010: 31).
Adapun kategori penelitiannya adalah kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan
latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan pemikiran Taqi Mizbah Yazdi yang dilakukan
dengan melibatkan berbagai pemanfaatan dokumen. Sebagaimana disampaikan Moelong
(2014: 5), dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan bisa berupa
wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik. Peneliti menguraikan teratur secara
menyeluruh konsepsi seorang tokoh (Baker, 1990: 65). Kemudian data terkumpul disusun
sebagaimana mestinya, kemudian diadakan analisis.
2. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data yang bersifat kepustakaan. Sumber data
diambil dari dokumen-dokumen kepustakaan seperti buku, jurnal, hasil seminar, koran, kitab
dan sumber literatur lainnya yang dibutuhkan. Dalam pengumpulan data ini penulis
menggunakan dua sumber data yaitu:
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama digunakan dan sesuai
dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini
adalah Buku Jagad Diri karya Taqi Mizbah Yazdi yang diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit
Al-Huda hasil terjemahan Ali Ampenan pada tahun 2006. Selanjutnya, Buku Taqi Mizbah
Yazdi berjudul Menjadi Manusia Ilahi yang diterbitkan oleh Lembaga Internasional Ahlul
Bait pada 2011. Selain itu, buku Taqi Mizbah Yazdi berjudul Freedom yang diterbitkan oleh
penerbit Al-Huda pada tahun 2006.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah buku-buku, jurnal ilmiah dan hasil penelitian yang aktual
dan sumber lain yang relevan dengan penelitian ini seperti buku buku Murtadha Muthahhari
bertajuk Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Jati Diri, Hakikat Dan Potensi Kita yang diterbitkan
Lentera tahun 2001 dan sumber lain yang dipandang mendukung pada penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan
kebenaran yang terjadi atau terdapat pada sumber penelitian. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi yaitu metode
pengumpulan data dengan melakukan penyelidikan terhadap benda-benda tertulis, seperti
buku, jurnal, karya tulis ahli berupa tesis, buku hasil seminar, catatan harian dan lain
sebagainya yang sesuai dengan judul yang di angkat penulis.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi.
Pengumpulan data yang dapat berupa buku, kitab, jurnal, artikel, dokumen dan lain
sebagainya. Dengan demikian, penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan tersebut (Suryabrata, 1995: 66).
4. Teknik Analisis Data
Memiliki tujuan menganalisis data tentang relevansi konsep Fitrah dengan pendidikan
Islam mengacu pada pemikiran Taqi Mizbah Yazdi, peneliti mengacu pada pendapat Moleong
(2014: 251-257) bahwa untuk menganalisa data yang bersifat kualitatif dengan metode
analisis isi (countent analysis) diperlukan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a) Pemrosesan Satuan
Satuan-satuan dalam menghaluskan data satuan dengan membaca dan mempelajari
berbagai literatur tentang konsep Multiple Intelligences dalam buku Multiple Intelligences in
The Classroom Karya Thomas Armstrong. Kemudian mengidentifikasi satuan-satuan serta
memasukannya ke dalam kartu indeks.
b) Kategorisasi
Kategorisasi berarti penyusunan kategori (Moleong, 2014: 252). Maksudnya adalah
data-data yang sudah dikumpulkan, baik data primer maupun sekunder kemudian disusun
berdasarkan pola dalam kerangka pemikiran.
c) Penafsiran Data
Setelah tersedia data-data dengan lengkap dan kategorisasi telah dilakukan, maka
dilakukanlah analisis atau penafsiran terhadap data yang tersedia dengan menggunakan
analisis isi, yang akhirnya dilakukan penafsiran kesimpulan dari hasil penelitian yang
menjawab rumusan masalah yang ditetapkan oleh penelitian sebelumnya.
Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dan spesifikasi dari pemikiran TAqi
Mizbah Yazdi tentang Konsep Fitrah dan relevansinya dengan pendidikan Islam kontemporer
dan menjadi sebuah konsep pendidikan Islam berbasis fitrah.

Anda mungkin juga menyukai