Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN LIKUID DAN

SEMISOLID (NON STERIL)


PERCOBAAN 4
EMULSI DAN KRIM

Disusun Oleh :
1. Riske Melani Amalia (10060318054)
2. Resti Fauziyah (10060318102)
3. Zahwa Nilam Sanrika (10060318103)
4. Adinda Fitri Salsabila (10060318104)
5. Fika Nurul H (10060318107)
6. Farha Fadila (10060318108)
7. Mochamad Farhan F Z (10060318109)

Shift / Kelompok : 1/ 1
Tanggal Praktikum : Senin, 20 Oktober 2020
Tanggal Pengumpulan : Senin, 26 Oktober 2020
Asisten : Elsya Nurul Mauludiyah., S. Farm.

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT B


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020 M / 1442
MODUL 3
SUSPENSI

I. Teori Dasar
1.1 Emulsi
Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika
dengan kandungan paling sedikit dua fase cair yang tidak dapat bercampur, satu
diantaranya didispersikan sebagai globula dalam fase cair lain. Ketidakstabilan
kedua fase ini dapat dikendalikan menggunakan suatu zat pengemulsi/emulsifier
atau emulgator. Terdapat beberapa jenis emulsi, mulai dari yang sederhana hingga
kompleks (Pawlik et al., 2013).
Tipe emulsi ada dua, yaitu oil in water (O/W) atau minyak dalam air (M/A),
dan water in oil (W/O). Emulsi tipe O/W (Oil in Water) atau M/A (minyak dalam
air) adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar atauterdispersi ke
dalam air. Minyak sebagai fase internal dan air sebagai faseeksternal. Emulsi tipe
W/O (Water in Oil) atau M/A (air dalam minyak), adalah emulsi yang terdiri dari
butiran air yang tersebar atau terdispersi ke dalam minyak (Syamsuni, 2007).
1.2 Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air
tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Farmakope
Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu
atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
Formularium Nasional, krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi kental
mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Secara Tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang
mempunyai konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak
(a/m) atau minyak dalam air (m/a) Krim merupakan obat yang digunakan sebagai
obat luar yang dioleskan ke bagian kulit badan. Obat luar adalah obat yang
pemakaiannya tidak melalui mulut, kerongkongan, dan ke arah lambung. Menurut
definisi tersebut yang termasuk obat luar adalah obat luka, obat kulit, obat hidung,
obat mata, obat tetes telinga, obat wasir, injeksi, dan lainnya (Rowe, 2009).
II. Data Preformulasi
2.1 Data Preformulasi Zat Aktif Emulsi
a. Paraffin cair
Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berflourosesi, tidak berwarna,
hamper tidak berbau, hampir tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Tidak larut dalam air dan etanol (95%), larut dalam kloroform
dan eter.
Titik lebur : 50-570C
Stabilitas : Mudah terurai dengan adanya cahaya dan udara
Inkompatibilitas : Tidak bercampur dengan adanya cahaya dan udara
Titik didih : 47-650C
Bobot jenis : 0,870-0,890 g/cm3
Khasiat : Laksativum
(Dirjen POM, 1979 : 474)
2.2 Data Preformulasi Zat Tambahan Emulsi
a. CMC Na
Pemerian : Serbuk atau granul, putih sampai krem, higroskopik.
Titik lebur : 2770 C / 252 C
Bobot jenis : 0,52 g/cm3
pH : 2-10
pKa : 4,30
Stabilitas : Stabil meskipun higroskopik.
Inkompabilitas: Inkompatibel dengan alumunium, raksa, dan seng.
Khasiat : Zat tambahan, suspending agent.
(Dirjen POM, 2019 : 620) (Rowe et al, 2009 : 685).
b. Span 80
Pemerian : Cairan kental, berwarna kuning, rasa pahit, bau khas.
Kelarutan : Umumnya larut atau terdispersi dalam minyak, larut dalam pelarut
organik.
Bobot Jenis : 346
pH Larutan :<8
Stabilitas : Perlahan akan membentuk busa dengan adanya asam kuat dan basa
kuat, stabil terhadap asam lemah dan basa lemah.
Konsentrasi : 1-10%
HLB Butuh : 4,3
Kegunaan : Emulgator tipe minyak.
(Rowe et al, 2009 : 685).
c. Tween 80
Pemerian : Cairan kental, berwarna kuning, rasa pahit, bau khas dan hangat.
Kelarutan : Larut dalam air dan dalam etanol; Praktis tidak larut dalam
minyak mineral dan minyak sayur.
Bobot Jenis : 1,065-1,095
pH Larutan : 6-8
Stabilitas : Stabil terhadqp elektrolit dan asam lemah dengan perlahan akan
terbentuk saponifikasi dengan asam kuat dan basakuat.
Inkompatibilitas :Dapat terjadi pengendapan dan pelunturan warna
dengan beberapa zat.
HLB Butuh : 15
Kegunaan : Emulgator tipe air.
(Rowe et al, 2009 : 558).
d. Cethyl Alkohol
Pemerian : Serpihan berwarna putih, granul atau kubus putih, bau khas
lemah, rasa lemah.
Kelarutan : Tidak larut dalam air; Larut dalam eter dan dalam etanol
Kelarutan bertambah dengan naiknya suhu; Mudah larut ketika
dilebur di dalam paraffin padat atau cair.
Titik Lebur : 45-52°C
Stabilitas : Stabil salam susasana asam, basa, cahaya dan udara.
Inkompatibilitas : Agen pengoksidasi kuat.
Kegunaan : Fase minyak.
Konsentrasi : 2-10%
(Rowe et al, 2009 : 685).
e. Aquadest
Pemerian : Air minum yang diperoleh dari pemurnian, tidakberbau, tidak
berasa bening.
Titik lebur : 00 C / 1000 C
Bobot jenis : 1 g/cm3 atau 1 g/ml
pH :7
Stabilitas : Stabil dalam berbagai bentuk fisik
Inkompabilitas : Bereaksi dengan zat aktif yang mudah terhidrolisis
terdekomposisi dengan adanya asap atau lempab.
Khasiat : Zat tambahan
(Drijen POM, 1979 : 96), (Rowe et al, 2009 : 766).
2.3 Data Preformulasi Zat Aktif Krim
a. Ketokonazol
Pemerian : berwarna putih atau serbuk hampir putih
Polimorfisme : Amorf
Ukuran partikel : 315 nm
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, larut dalam metilen klorida dan
metanol.
Titik lebur : 148C-152C
Pka / Pkb : 2,9 dan 6,5
Bobot jenis : 531,44 g/mol
Ph larutan :1
Stabilitas : stabil dalam wadah tertutup dan terlindungi dari cahaya matahari.
Inkompatibilitas: Interaksi obat yang mengindikasi enzim mikroson hati
(Rifampisin) dapat menurunkan kadar ketokonazole.
Kegunaan : anti fungi
Konsentrasi :2%
(Depkes, 1995: 486).
2.4 Data Preformulasi Zat Tambahan Krim
a. Paraffin Liquidium

Cairan kental, transparan, tidak berfluoresensi, tidak


Pemerian :
berwarna, hampir tidak berbau, hamper tidak
mempunyai rasa
Bobot jenis : 0,870 g sampai 0,890 g

Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%)P,


Kelarutan :
larut dalam kloroform P dan dalam eter P

Titik lebur/titik
: 50-57
didih

Terurai dengan adanya cahaya dan udara dari luar,


Stabilitas :
disimpan pada tempat kering dan suhu dingin kohesif.

Inkompatibilitas : Ketidakmampuan terurai dengan zat pengoksidasi kuat.

Kegunaan : Pelembab
Konsetrasi : 30%
(Dirjen POM RI, 1979: hal 474); (Rowe et al, 2009: hal 475).
b. Asam Stearat

Zat padat keras mengkilat menunjukan sususan hablur,


Pemerian :
putih atau kuning pucat mirip lemah lilin
Praktis tidak larut dalam air, larut dala 30 bagian etnol
Kelarutan : (95%)P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian
eter P

Titik lebur/Titik tidak kurang dari 54


:
didih

Stabilitas : Zat stabil, harus disimpan di tempat tertutup


Inkompatibel dengan hampir semua logam hidroksida dan
Inkompatibilitas :
zat pengoksidasi.
Emulgator
Kegunaan :

Konsentrasi : 15%
(Dirjen POM, 1979: hal 57; Rowe et al, 2009: hal 494).

c. TEA (Trietanolamin)

Pemerian : Berwarna kuning pucat

Kelarutan : Bercampur dengan aseton, benzene, larut dalam


kloroform, bercampur dengan etanol
Titik lebur/Titik : 20-21℃
didih

Berat jenis : 149,1 g

Stabilitas : Bisa berubah warna menjadi cokltakibat terpapar udara


dan cahaya. Arus disimpan di wadah tertutup baik,
ditempat yang sejuk dan dingin

Inkompatibilitas : Bereaksi dengan asam mineral menjadi bentuk garam


Kristal

Kegunaan : Emulgator; 4 %

(Dirjen POM, 1995: hal 1203)

d. Emulgid

Pemerian : Cairan berwarna putih atau hamper putih, cairan lilin

Kelarutan : Tidak larut air

Titik lebur/Titik didih : 50-54℃


Stabilitas : Stabil dan dapat disimpan dala wadah tertuup baik
dalam keadaan dingin ditempat kering

Inkompatibilitas : Ketidakcampuran dengan tannin, fenol, dan


benzokain

Kegunaan : Emulgator; 15 %

(Rowe et al, 2009: hal 685).

e. Aquadest

Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam etanol (95%) P dan dalam eter,
larut dengan adanya peningkatan temperatur, praktis
tidak larut dalam air.
Titik lebur/Titik : 100˚C.
didih

Bobot jenis : 1 gr/cm3atau 1 gr/Ml

Titik lebur : 45,52°C.

pKa/pKb : 8,4

pH larutan : 7

Stabilitas : Secara kimiawi air stabil terhadap semua bentuk fisik (es,
cair, dan uap), dalam penyimpanannya air dilindungi
terhadap kontaminasi ion dan organik juga dilindungi
terhadap masuknya titik partikel asing dan
mikroorganisme.
Inkompatibilitas : Air dapat bereaksi dengan logam alkali. Air juga dapat
bereaksi dengan alat dan eksipien. Air rentan terhadap
hidrolisis (dekomposisi dengan adanya air atau uap air).
Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk
membentuk hidrat dari berbagai komposisi dan dengan
bahan organik tertentu dan dengan kalsium.

Kegunaan : Sebagai pelarut.

(Dirjen POM, 1979. hal 96; Raymond et al, 2009. hal 466).

III. Alat dan Bahan


3.1 Emulsi
No Alat Bahan
1. Alat sentrifugasi Aquadest ad 20 gram
2. Cawan penguap Asam stearate 15%
3. Gelas kimia Ketokonazol 2%
4. Gelas ukur Paraffin cair 30%
5. Hot plate TEA 4%
6. Kaca arloji
7. Kertas perkamen
8. Matjan
9. Mortir
10. Penangas air
11. pH meter
12 Tabung sentrifusai
13. Timbangan analit
14. Ultra turrax stirrer
15. Viskomete Brookfield
3.2 Krim
No Alat Bahan
1 Batang pengaduk Asam stearate
2 Cawan penguap Aquadest
3 Gelas Kimia Emulgid
4 Hot Plate Ketokonazol
5 Kertas Perkamen Paraffin cair
6 Mortir dan Stamper TEA
7 Matkan
8 Pot Cream
9 Spatel
10 Timbangan Analitik
11 Ultra tharax
12 Water bath

IV. Perhitungan dan Penimbangan


4.1 Emulsi keke
4.1.1 Perhitungan
Formula 1
30
1. Paraffin Cair = 𝑥 100 = 30 𝑔𝑟𝑎𝑚
100
1
2. CMC Na = 100 𝑥 100 = 1 𝑔𝑟𝑎𝑚

Air untuk CMC Na = 20 x 1 = 20 mL air panas (dibuat dua kali untuk


cara kering dan basah
3. Aquadest ad 100 mL

Formula 2

30
1. Paraffin Cair = 𝑥 100 = 30 𝑔𝑟𝑎𝑚
100

2. Tween 80 dan Span 80 (10%)


HLB Tween 80 = 15; HLB Span 80 = 4,3; HLB Butuh = 12
10
misalkan Tween 80 = a → = 𝑥 100 = 10 𝑔𝑟𝑎𝑚
100

(HLB Butuh x100 = (a . HLB Tween 80) + ((10 – a) . HLB Spa80)


(12 x 10) = (a x 15) = ((10 – a) . 4,3)
120 = 15a + 43 – 4,3
72 = 10,7a
A = 7,19 gram → 7,2 gram (Tween 80)
3. Span 80 = 10 – a = 10 – 7,2 = 2,8 gram
4. Aquadest ad 100 mL
4.1.2 Penimbangan
1. Formula 1
No Nama zat konsentrasi Volume 100 mL
1 Paraffin Cair 30% 30 gram
2 CMC Na 1% 10 gram
Air untuk CMC Na 20 mL (2x)
3 aquadest Ad 100 mL
2. Formula 2
No Nama zat konsentrasi Volume 100 mL
1 Paraffin Cair 30% 30 gram
2 Tween 80 10% 7,1 gram
3 Span 80 10% 2,8 gram
4 aquadest Ad 100 mL
4.2 Krim
4.2.1 Perhitungan
1. Formula 1
2
- Ketokonazol = 100 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,4 𝑔𝑟𝑎𝑚
30
- Paraffin cair = 100 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 6 𝑔𝑟𝑎𝑚

6 gram + (10% x 6) = 6 + 0,6 = 6,6 gram


15
- Emulgid = 100 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 30 𝑔𝑟𝑎𝑚

2 gram + (10% x 3) = 3 + 0,3 = 3,3 gram


Aquadest (100% - (2% + 30% + 15%)) = 53%
53
= 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 10,6 𝑔𝑟𝑎𝑚
100

10,6 𝑔𝑟𝑎𝑚 + (10% 𝑥 10,6 𝑔𝑟𝑎𝑚) = 10,6 + 1,06 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 11,66 𝑚𝑙


2. Formula 2
2
- Ketokonazol = 100 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,4 𝑔𝑟𝑎𝑚 + 10% = 0,5%
30
- Paraffin cair = 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 6 𝑔𝑟𝑎𝑚
100

6 gram + (10% x 6 gram) = 6 + 0,6 = 6,6 gram


15
- Asam stearate = 100 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 3 𝑔𝑟𝑎𝑚

3 gram + (10% x 3 gram) = 3 + 0,3 = 3,3 gram


4
- TEA = 100 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0,8 𝑔𝑟𝑎𝑚

0,8 gram + (10% x 0,8 gram) = 0,8 + 0,08 = 0,88 gram


- Aquadest (100% - (2% + 30% + 15% + 4%)) = 49%
49
• 100 𝑥 20 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 9,8 𝑔𝑟𝑎𝑚

• 9,8 𝑔𝑟𝑎𝑚 + (10% 𝑥 9,8 𝑔𝑟𝑎𝑚) = 9,8 + 1,06 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 10,78 𝑚𝐿


4.2.2 Penimbangan
1. Formula 1
No Nama zat Konsentrasi Volume untuk 20 gram + 10%
1 Ketokonazol 2% 0,4 gram
2 Paraffin cair 30% 6,6 gram
3 Emulgid 15% 3,3 gram
4 Aquadest 12,1 mL
2. Formula 2
No Nama zat Konsentrasi Volume untuk 20 gram + 10%
1 Ketokonazol 2% 0,4 gram V.
2 Paraffin cair 30% 6,6 gram
3 Asam stearat 15% 3,3 gram
4 TEA 4% 0,88 gram
5 Aquadest 10,78 gram

V. Prosedur Pembuatan
5.1 Prosedur Pembuatan Sediaan
5.1.1 Emulsi
a. Cara Basah (Emulgator Alam)
Semua bahan yang digunakan ditimbang terlebih dahulu, lalu dikembangkan
emulgator (CMC Na) dengan cara menaburkannya diatas air panas 20 mL selama
15 menit dan digerus hingga homogen setelah 15 menit dan dimasukkan kedalam
matkan. Ditambahkan minyak (Paraffin cair) dan ditambahkan Aquadest ad 100mL
lalu diaduk stirrer hingga homogen.
b. Cara Kering (Emulgator Alam)
Siapkan dan timbang bahan yang diperlukan, lalu campurkan Paraffin cair dan
Emulgator (CMC Na) tanpa dikembangkan terlebih dahulu lalu digerus sampai
homogen. Ditambahkan Aquadest ad 100 ml, lalu diaduk menggunakan stirrer
hingga homogen.
c. Emulgator Sintetik
Siapkan dan timbang bahan-bahan yang diperlukan, lalu Span 80 dan
Setialkohol dicampurkan kedalam Paraffin cair dan dipanaskan hingga 60°C -
70°C. dicampurkan Tween 80 kedalam air secukupnya dan dipanakan hingga suhu
60°C - 70°C, lalu dicampurkan ke-2 fase dan ditambahkan Aquadest ad 100 mL
sambil diauk menggunakan stirret dalam waktu 5 menit.
5.1.2 Krim
a. Formula 1
Disiapkan alat dan bahan terlebih dahulu, setelah itu pada fase minyak yaitu
paraffin dan emulgid dimasukkan kedalam cawan penguap. Setelah itu, fase minyak
dimasukkan ke dalam cawan penguap, lalu dipanaskan di penangas air pada hot
plane dengan suhu 70℃. Fase air (aquadest) juga harus dipanaskan di penangas air
pada hot plate dengan suhu 70℃. Kemudian fase minyak yang sudah dipanaskan
dimasukkan ke dalam matkan, lalu ditambahkan fase air berupa aquadest. Setelah
itu, fase minyak dan fase cair dicampurkan menggunakan ultra thurax aampai
membentuk krim. Kemudian dimasukkan zat aktif ke dalam matkan lalu aduk
hingga homogen dan dapat dilakuan evaluasi.
b. Formula 2
Disiapkan alat dan bahan terlebih dahulu, setelah itu pada fase minyak yaitu
asam asetat dan paraffin cair. Setelah itu, fase minyak dimasukkan ke dalam cawan
penguap, lalu dipanaskan di penangas air pada hot plane hingga meleleh
seluruhnya. Setelah itu, masukkan fase air (aquadest) ke dalam satu cawan yang
terdiri dari TEA dan akuadest dan dipanaskan di penangas air pada hot plate hingga
meleleh seluruhnya. Kemudian fase minyak yang sudah dipanaskan dimasukkan ke
dalam matkan, lalu ditambahkan fase air. Setelah itu, dimasukkan zat aktif ke dalam
matkan lalu aduk hingga homogen dan dapat dilakuan evaluasi.
5.2 Prosedur Pembuatan Uji Evaluasi
5.2.1 Uji Organoleptis
Pada uji organoleptis diamati warna, bau dan aroma dengan pemeriksaan
menggunakan panca indera.
5.2.2 Tipe Emulsi
a. Uji Pengenceran
Campurkan sediaan emulsi dengan Aquadest, lalu diaduk dan amati.
b. Uji Kertas Saring
Tumpahkan sedikit emulsi pada kertas saring lalu amati.
5.2.3 Bobot Jenis
Ditimbang piknometer kosong (w1) kemudian dimasukkan aquadest dalam
piknometer hingga penuh (w2) yang setelah itu diganti aquadest dengan sediaan
emulsi ke dalam piknometer hingga penuh (w3).
5.2.4 Uji Sedimentasi
Dimasukkan sediaan emulsi dalam tabung sedimentasi, kenudian didiamkan
hingga terbentuk sedimentasi, lalu dibandingkan tinggi lapisan seperti susu (Hu)
dengan tinggi seluruh sediaan (Ho).
5.2.5 Uji Viskositas
Tekan tombol on pilih no spindle yang sesuai, lalu dipasangkan pada alat.
Tekan tombol on/0ff dan atur kecepatan putaran spindle lalu turunkan spindle
hingga tercelup seluruhnya lalu tekan tombol on/off dan amati.
5.2.6 Uji Homogenitas
Ditempatkan sedikit krim pada kaca arloji, kemudian tekan dengan kaca arloji
yang lain, lalu diamati homogenitasnya.
5.2.7 Uji Stabilitas
Dilakukan dengan alat sentrifugasi kemudian sediaan krim dimasukkan
kedalam tabung sentrifugasi. Setelah itu, dimasukkan pada alat sentrifugasi dan
diatur kecepatan ± 30.000 rpm tunggu selama 15-30 menit. Kemudian diatur
kecepatan menjadi 0 rpm dan setelah itu dikeluarkan dan diamati.

VI. Data Uji Evaluasi Sediaan


6.1 Emulsi
Organoleptik Volume Tipe Emulsi Bobot
Sediaan Homogenitas pH
Rasa Warna Bau Sedimentasi Kertas saring Pengenceran Jenis

Emulsi 1 10' = 0,938 ml


(CMC Putih Tidak Terjadi 20' = 0,796 ml
Pahit 6,819 M/A M/A 1,044 g/ml
Cara Susu Berbau koalesen 30' = 0,426 ml
Basah) 60' = 0,131 ml
Emulsi 2 10' = 0 ml
(CMC Putih Tidak Terjadi 20' = 0 ml
Pahit 6,877 M/A M/A 1,042 g/ml
Cara Susu Berbau koalesen 30' = 0 ml
Kering) 60' = 0 ml
Emulsi 3
10' = 1 ml
(Tween 80
Putih Tidak 20' = 1 ml
+ Span 80 Pahit Homogen 6,934 M/A M/A 1,052 g/ml
Susu Berbau 30' = 1 ml
+ Setil
60' = 1 ml
alkohol)

Perhitungan Volume Sedimentasi

a) Emulsi 1
𝐻𝑢 16,5
10’ 𝐹 = = 17,6 = 0,938 𝑚𝐿
𝐻𝑜

𝐻𝑢 14
20’ 𝐹 = = 17,6 = 0,796 𝑚𝐿
𝐻𝑜

𝐻𝑢 7,5
30’ 𝐹 = = 17,6 = 0,426 𝑚𝐿
𝐻𝑜

𝐻𝑢 2,3
60’ 𝐹 = = 17,6 = 0,131 𝑚𝐿
𝐻𝑜

b) Emulsi 2
𝐻𝑢 0
10’ 𝐹 = = 17,6 = 0 𝑚𝐿
𝐻𝑜
𝐻𝑢 0
20’ 𝐹 = = 17,6 = 0 𝑚𝐿
𝐻𝑜
𝐻𝑢 0
30’ 𝐹 = = 17,6 = 0 𝑚𝐿
𝐻𝑜
𝐻𝑢 0
60’ 𝐹 = = 17,6 = 0 𝑚𝐿
𝐻𝑜
c) Emulsi 3
𝐻𝑢 17,6
10’ 𝐹 = = 17,6 = 1 𝑚𝐿
𝐻𝑜
𝐻𝑢 17,6
20’ 𝐹 = = 17,6 = 1 𝑚𝐿
𝐻𝑜
𝐻𝑢 17,6
30’ 𝐹 = = 17,6 = 1 𝑚𝐿
𝐻𝑜
𝐻𝑢 17,6
60’ 𝐹 = = 17,6 = 1 𝑚𝐿
𝐻𝑜

Perhitungan Bobot Jenis


a) Emulsi 1
𝑊3 − 𝑊1 31,748 − 20,152
𝑑𝑡 = = = 1,044 𝑔/𝑚𝐿
𝑊2 − 𝑊1 31,255 − 20,152

b) Emulsi 2
𝑊3 − 𝑊1 31,723 − 20,152
𝑑𝑡 = = = 1,042 𝑔/𝑚𝐿
𝑊2 − 𝑊1 31,255 − 20,152

c) Emulsi 3
𝑊3 − 𝑊1 31,833 − 20,152
𝑑𝑡 = = = 1,052 𝑔/𝑚𝐿
𝑊2 − 𝑊1 31,255 − 20,152

6.2 Krim

Formulasi Organoleptik Tipe Emulsi Stabilitas


Homogenitas
Sediaan Warna Bau (Pengenceran) (Sentrifugasi)

Krim 1 (Paraffin+ Tidak


Putih Homogen M/A Tidak Stabil
Emulgid) Berbau

Krim 2 (Paraffin + Tidak


Putih Homogen M/A Tidak Stabil
A.Stearat + TEA) Berbau

VII. Pembahasan dan Usulan Formula


7.1 Emulsi
Pada praktikum kali ini membahas tentang emulsi. Emulsi merupakan sediaan
cair yang mengandung 2 fase yang tidak saling bercampur, tetapi dapat stabil secara
termodinamika jika salah satu cairannya terdispersi secara homogen di seluruh
medium pendispersi. Penambahan emulgator (zat pengemulsi) yang cocok dapat
memcegah terjadinya koalesen yaitu penyatuan globul-globul kecil menjadi besar
dan akhirnya terbentuk satu fase tunggal yang memisah.
Pada pembuatan emulsi kali ini, zat aktif yang digunakan yaitu paraffin cair
merupakan campuran dari senyawa hidrokarbon cair jenuh pada minyak bumi.
Dimana zat ini sebagai fase minyak tidak larut dalam air yang memiliki fungi
sebagai obat pencahar. Maka tujuan dibentuknya sediaan emulsi yaitu untuk
mempercepat dan memudahkan absorbsi di tubuh dalam bentuk larutan. Sehingga
obat dapat bekerja dengan baik. Tahap pembuatan emulsi terdiri dari proses
pemisahan minyak menjadi globul-globul lebih kecil yang terdispersi dalam
pendispersinya dengan cara pemberian suatu gaya untuk mencampurkan 2 fase
yang tidak saling bercampur. Setelah itu, ada tahap stabilitas berfungsi untuk
mempertahankan minyak dalam globul agar tidak bergabung dengan dilakukan
penambahan emulgator. Formula yang digunakan untuk pembuatan emulsi ini
terdiri dari zat aktif, emulgator, fase minyak dan fase cair. Sedangkan formula
umumnya terdiri dari zat aktif, zat pembawa, emulgator, zat pengawet, peningkat
viskositas, antioksidan dan bahan pembantu. Maka dari itu, formula dievaluasi
kembali dengan pemilihan bahan lain yang cocok terhadap zat aktif.
Pada formula ini emulgator yang digunakan yaitu surfaktan sintesis dan alam,
karena surfaktan bersifat amphifil yaitu mampu berikatan dengan hidrofil dan
hidrofob yang dipengaruhi oleh energi bebas permukaan (EBP). Dimana jika EBP
meningkat, maka stabilitasnya akan berkurang sedangkan jika EBP menurun
stabilitasnya akan baik. Pada permukaan antara globul dan fase eksternal akan
membuat lapisan film di sekeliling permukaan globul terdispersi, sehingga saat
akan berkoalesensi tidak akan terjadi penggabungan karena adanya penghalang.
Selain itu surfaktan dapat menurunan tegangan permukaan, sehingga akan
meningktkan proses emulsifikasi saat pencampuran yang membentuk lapisan
monomolekular.
Surfaktan yang digunakan pada percobaan kali ini yaitu surfakran alam dan
sintesis. Surfaktan CMC Na merupakan surfaktan yang digunkan kali ini,
merupakan hasil dari reaksi asam selulosa dan monochloricacetis penambahan
katalis alkali, berfungsi sebagai zat pengental yang dimana dapat meningkatkan
viskositas, sehingga sediaan menjadi stabil. Surfaktan alam ini digunakan dengan
metode basah, yang dimana CMC Na bekerja sebagai emulgator, paraffin cair
sebagai fase minyak dan aquadest sebagai fase air. Sebelumnya CMC Na harus
dikembangkan terlebih dahulu dengan menaburkannya diatas air panas sebanyak
20 kali CMC Na selama 15 menit, kemudian gerus dan masukkan ke dalam matkan.
Setelah itu dilakukan penambahan paraffin cair (fase minyak) dan aquadest sampai
volume yang diinginkan, lalu diaduk hingga homogen menggunkan stirrer dengan
cepat, yang merupakan cara baik dalam melarutkan CMC. Kadar penggunaan CMC
sebagai emulgator sebesar 0,5-1% dan dapat dicampur dengan asam/basa maupun
larutan alkohol dampai 40%. Selain metode basah ada pun metode kering, dimana
bahan yang digunakan sama seperti metode basah. namun yang membedakan yaitu
pembutan campuran fase minyak dimana CMC Na tidak dikembangkan tetapi
langsung dicampur.
Selain surfaktan alam ada juga surfaktan sintesis yang digunakan pada
percoban ini. Tween 80 dan span 80 merupakan golongan surfaktan non ionik yang
bersifat netral. Berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara fase
minyak dan fase air, dengan cara memperkecil ukuran partikel sehingga ukurannya
menjadi seragam, kemudian dapat tercampur dengan pengadukan. Dimana fase cair
berupa tween 80 ditambah aquadest, fase minyak berupa campuran span 80 yang
ditambah setil alkohol juga paraffin cair. Lalu dipanaskan pada suhu 60-70oC,
setelah itu kedua fase dicampurkan dan ditambah aquadest sampai volume yang
diinginkan, kocok hingga homogen menggunakan stirrer. Penggabungan 2
surfaktan ini dapat meningkatkan viskositas yang baik dan menstabilkan sediaan
emulsi.
Emulgator alam dan sintesis memiliki ketahanan dalam mempertahankan
kemapuan emulsifikasi pada kondisi ekstrem, seperti pH, garam dan temperature.
Sistem HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) adalam nilai yang menyatakan
keseimbangan ukuran dan kekuatan gugus hidrofilik (suka air/polar) dan gugus
lipofilik (tidak suka air/non polar) dari suaru emulgator. Menurut Uniqema tahun
2004, Emulsifier sebagai agen pengikat air dan minyak memiliki kombinasi gugus
hidrofilik dan hidrofobik yang dinyatakan dalam nilai HLB. Nilai HLB berkisar
pada rentang 0-20. Emulsifier lipofilik dinyatakan dengan nilai HLB rendah.
Menurut Tadros tahun 2013 mengatakan bahwa Nilai HLB emulsifier
berhubungan dengan sifat kelarutannya. Emulsifier dengan nilai HLB rendah
cenderung larut dalam minyak sedangkan nilai HLB tinggi cenderung larut dalam
air. Semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan tersebut semakin bersifat hidrofilik
dengan karakteristik khusus yaitu memiliki kelarutan air yang sangat tinggi.
Emulsifier dengan HLB rendah diaplikasikan pada sistem emulsi W/O dimana
gugus hidrofilik akan mengikat sejumlah air yang terdispersi dalam minyak.
Dengan dasar HLB kita dapat memilih zat pengemulsi yang mempunyai harga HLB
sama/ hampir sama sebagai fase minyak. HLB butuh merupakan nilai HLB
surfaktan yang dibutuhkan oleh suatu minyak untuk membentuk emulsi yang stabil.
Dengan itu emulsi yang stabil disebabkan karena menggunakan HLB yang
dibutuhkan minyak. Dalam percobaan ini emulgator sintesis campuran yang
digunakan tween 80 sebesar 72% dan span 80% sebesar 28 %. Selain itu yang
mempengaruhi tegangan permukaan.
Ciri emulsi yang baik yaitu berwarna seperti susu, jika diberi gaya tekanan
viskositasnya akan bertambah kecil, sehingga emulsi mudah dituang. Karena pada
pembuatan emulsi masalah yang sering terjadi diantaranya yaitu flokulasi dimana
terbentuknya globul-globul dengan berbagai ukuran kemudian saat didiamkan
globul akan bergerak ke atas permukan membuat lapisan globul yang dapat
terdispersi kembali saat diberi gaya disebut juga creaming. Selain itu ada juga
globul yang dapat bergabung membentuk globul yang lebih besar yang diakibatkan
pelapisan film oleh surfaktan pada permukaan globul tidak sempurna atau disebut
juga koalesen, kemudian lama kelamaan globul akan pecah menjadi 2 lapisan/2 fase
yang tidak bercampur yang disebut demulsifikasi. Selain itu ada pun permasalahan
inversi fase yang dimana terjadi perubahan tipe emulsi, biasanya terjadi pada reaksi
bahan tertentu. Hasil pembuatan emulsi kali ini dengan emulgator alam pada
matode basah dan kering homegenitanya berbentuk koalesen. Hasil tersebut kurang
baik karena masih terjadi pemisahan, yang jika didiamkan akan pecah dan
membentuk 2 fase yang tidak bercampur. Dimana suatu emulsi yang baik itu jika
globul tersispersi secara homogen pada pendispersinya tanpa terjadinya
permasalahan-permasalahn emulsi.
Setelah emulsi jadi ditentukan tipe emulsi, yaitu dengan uji pengenceran
dimana sediaan emulsi dilarutkan dalam aquadest kemudian diperhatikan
ketercampuran emulsi dengan fase luar. Selain itu dilakukan juga uji kertas saring
dengan meneteskan sediaan emulsi pada kertas saring, lalu diamati kecepatan
penyerapannya. Hasil uji menunjukkan jika emulsi termasuk tipe minyak dalam air
karena pada kertas saring sediaan emulsi lebih cepat menyebar dan pada uji
pengenceran sediaan emulsi dapat larut dalam air.
Setelah dilakukan pembuatan sediaan emulsi, dilakukan uji evaluasi dari
emulsi dengan beberapa formula yang berbeda. Adapun hal-hal yang dilakukan uji
evaluasi dalam emulsi ini yaitu uji organoleptis, uji homogenitas, tipe emulsi
diantaranya uji pengenceran dan uji kertas saring, uji sedimentasi, uji pH dan bobot
jenis.
Pada evaluasi organoleptis suspensi menurut Sana et al. (2012), dilakukan
dengan menilai perubahan rasa, warna, dan bau. Tujuan dilakukan uji organoleptis
ini yaitu untuk memeriksa kesesuaian antara sediaan yang dibuat dengan spesifikasi
sediaan yang telah ditentukan selama formula dengan prinsip pemeriksaan
organoleptik dengan menggunakan panca indera. Pada formula 1 cara basah, cara
kering dan formula 2 pada emulsi menunjukkan hasil dimana berwarna putih susu,
tidak berbau, dan rasanya pahit. Hal tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya
eksipien yaitu perasa, flavouring agent, pemanis dan pewarna.
Pada evaluasi homogenitas, uji ini dilakukan betujuan menjamin ke-
homogenitasan sediaan emulsi. Dimana prinsip homogenitas dapat ditentukan
berdasarkan jumlah partikel maupun distribusi ukuran partikelnya. Suspensi yang
homogen akan memperlihatkan jumlah atau distribusi ukuran partikel yang relatif
hampir sama pada berbagai tempat pengambilan sampel. Pada formula 1 yang
mengandung paraffin cair 30%, CMC Na 1%, aquadest metode yang digunakan
yaitu cara basah dan cara kering keduanya terjadi koalesen. Sedangkan pada
formula 2 yang mengandung paraffin cair, tween 80, span 80, aquadest dan
setilalkohol emulsinya homogen.
Menurut Martin et al. (1993), koalesen tersebut terjadi karena rusaknya
lapisan tipis antardroplet yang berdekatan. Hal ini akan mengurangi tegangan
antarmuka dan luas permukaan droplet. Kemungkinan terjadinya koalesen
sebanding dengan lama droplet itu saling berdekatan. Koalesen jarang terjadi pada
droplet yang kecil atau pada lapisan yang tebal karena droplet ini memiliki luas
lapisan yang lebih kecil atau memiliki gaya tolak antardroplet. Koalesen
menyebabkan droplet menjadi lebih besar dan terjadi pemisahan fase.
Adapun rusaknya lapisan tipis yang dibentuk oleh elmugator tersebut tidak
terbentuk sempurna. Hal itu dikarenakan menurut Anief (2005), emulgator bekerja
dengan membentuk film atau lapisan disekeliling butir-butir tetesan yang
terdispersi dan berfungsi untuk mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya
cairan dispersi. Emulgator menurut asalnya ada dua macam yaitu emulgator dari
alam dan emulgator dari bahan sintetik dimana yang baik digunakan untuk sediaan
emulsi yaitu emulgator sintetik seperti tween 80 dan span 80 dibandingkan dengan
emulgator alam seperti CMC Na sehingga pada formula 1 sediaannya terjadi
koalesen sedangkan pada formula 2 sediaannya tidak terjadi koalesen. Adapun pada
formula 2 dilakukan Penggunaan campuran dua macam emulgator, hal tersebut
dilakukan karena menurut Allen (2002) pada sediaan emulsi biasanya lebih stabil
digunakan emulgator campuran dibanding penggunaan emulgator tunggal. Hal
tersebut dikarenakan jika dilakukan campuran pada emulgatornya maka menurut
Eccleston (2007), akan memiliki nilai HLB yang mendekati nilai “required” HLB
minyak sehingga dapat dihasilkan emulsi yang stabil.
Adapun emulgator CMC Na ini menurut Martin dkk. (1959), merupakan
garam sodium dari polikarboksi metil selulosa yang larut dalam air serta stabil pada
pH antara 5-10, jadi larutan ini memiliki pH netral. CMC Na dalam konsentrasi
sedang mempunyai efek yang kecil terhadap stabilitas emulsi, sebaliknya dalam
konsentrasi besar akan menurunkan stabilitas emulsi. Sehingga pada emulsi ini
tidak dianjurkan digunakannya emulgator alam.
Pada evaluasi penentuan tipe emulsi dilakukan 2 pengujian diantaranya uji
pengenceran dan uji kertas saring. Tujuan dilakukan evaluasi penentuan tipe emulsi
ini yaitu untuk mengetahui sediaan yang dibuat apakah M/A atau A/M. Pada uji
pengenceran dilakukan dengan prinsip suatu emulsi akan bercampur dengan yang
menjadi fase luarnya, jika larut dalam air artinya M/A. Dimana ketika dilakukan
pengujian pengenceran pada formula 1 cara basah, formula 1 cara kering dan
formula 2 menunjukan bahwa tipe emulsinya itu M/A hal tersebut dikarenakan pada
saat dilakukan uji evaluasi larut dalam aquadest. Sedangkan pada uji kertas saring
dilakukan dengan prinsip suatu emulsi diteteskan pada kertas saring, jika cepat
menyebar maka M/A. Dimana ketika dilakukan pengujian kertas saring pada
formula 1 cara basah, formula 1 cara kering dan formula 2 menunjukan bahwa tipe
emulsinya itu M/A hal tersebut dikarenakan cepat meleber/menyerbar.
Pada evaluasi volume sedimentasi dilakukan pada alat tabung sedimentasi.
Tujuan evaluasi volume sedimentasi ini yaitu untuk mengetahui kestabilan emulsi
berdasarkan pada volume sediaan yang terbentuk dengan prinsip perbandingan
antara tinggi lapisan seperti susu (Hu) dengan tinggi seluruh sediaan. Menurut
Anjani (2011), emulsi disimpan dalam tabung berskala dalam keadaan tidak
terganggu. Emulsi tersebut diukur tinggi sedimen akhir (Hu) dan tinggi emulsi awal
(Ho). Volume sedimentasi merupakan perbandingan antara tinggi sedimen akhir
dengan tinggi emulsi awal. Untuk mengukur rasio tinggi sedimen akhir dengan
tinggi sedimen awal dapat digunakan persamaan F = Hu/Ho.
Dimana setelah dilakukan uji evaluasi diperoleh data pengamatan pada
formula 1 cara basah ketika menit ke 10, 20, 30, 60 secara berturut yaitu 0,93 mL,
0,795 mL, 0,426 mL, dan 0,131 mL. Pada formula 1 cara kering ketika menit ke
10, 20, 30, 60 secara berturut yaitu 0 mL, 0 mL, 0 mL, dan 0 mL. Pada formula 2
ketika menit ke 10, 20, 30, 60 secara berturut yaitu 1 mL, 1 mL, 1 mL, dan 1 mL.
Sehingga jika dilihat berdasarkan volume sedimentasinya, yang lebih baik yaitu
pada formula 2 dikarenakan menurut Martin et al. (1993), apabila nilai F mendekati
1 maka emulsi yang dihasilkan merupakan emulsi yang stabil.
Pada evaluasi pH menggunkan pH meter dimana dalam pengerjaannya
dilakukan terlebih dahulu kalibrasi. Menurut Ilmu Spesialite Obat (2016), proses
kalibrasi ini harus dilakukan sebelum dipakai, dengan menggunakan peralatan dan
prosedur yang sesuai dengan kriteria dan standar nasional maupun internasional.
Agar memberikan hasil yang akurat dan cepat. Setelah dilakukan kalibrasi,
dilakukan pengujian evaluasi pH dan diperoleh nilai pH pada formula 1 cara basah,
formula 1 cara kering, formula 2, secara berturut-turut yaitu 6,819; 6,877 dan 6,934.
Nilai pH tersebut sesuai dengan nilai pH dari emulsi yaitu menurut Jurnal Ilmiah
Kefarmasian berdasarkan rentah pH emulsi dengan pH saluran cerna sehingga
dapat di adsorbsi oleh lambung.
Pada evaluasi bobot jenis menggunkan piknometer. Tujuan dari evauasi bobot
jenis ini yaitu untuk mengetahui nilai bobot jenis suatu sediaan dengan prinsip
membandingkan bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis
menurut DepKes (1979) adalah perbandingan bobot zat terhadap air dengan volume
yang sama ditimbang di udara pada suhu yang sama. Menurut peraturan apotek,
harus digunakan piknometer yang sudah ditera, dengan isi ruang dalam ml dan suhu
tetentu (20℃). Menurut Roth (1994), ketelitian metode piknometer akan bertambah
sampai suatu optimum tertentu dengan bertambahnya volume piknometer. Ada dua
tipe piknometer, yaitu tipe botol dengan tipe pipet. Adapun bobot jenis yang
diperoleh pada sediaan pada formulasi 1 cara basah, formulasi 1 cara kering dan
formulasi 2 secara berturut-berturut yaitu 1,044 g/mL, 1,042 g/mL, dan 1,052 g/mL.
Pada formula emulsi baik formulasi 1 maupun 2 bobot jenisnya mendekati bobot
jenis air yang dimana menurut Putri et al. (2017), jika nilai bobot jenisnya kecil atau
mendekati air maka kerapatannya juga kecil sehingga sediaan mudah untuk dituang.
Setelah dilakukan percobaan kemudian dilakukan uji evaluasi maka dapat
ditentukan usulan formulanya. Dimana pada percobaan suspensi ini yang lebih
stabil itu suspensi formula 4 yang dialamnya telah berisi zat aktif paraffin cair,
emulgator span 80 dan tween 80, dan fasa minyaknya asetilalkohol.
Selain itu, karena terdapat fasa cair yaitu aquadest, maka perlu juga
ditambahkan pengawet. Hal itu dilakukan karena air yang merupakan media ynag
baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, penambahan bahan pengawet
menurut Ansel (2005), bertujuan untuk mencegah kontaminasi mikroba. Suatu
pengawet harus efektif terhadap kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan
cukup dapat melindungi emulsi selama digunakan pasien. Pengawet harus
mempunyai toksisitas rendah, stabil terhadap pemanasan dan selama penyimpanan,
tercampurkan secara kimia, memiliki rasa, bau dan warna yang lemah. Dimana
pengawet yang dibutuhkan yaitu metilparaben dan propilparaben dengan cara
kombinasi. Hal tersebut dilakukan karena menurut Hope ed. 5 propilparaben dan
metilparaben umumnya digunakan dalam bentuk kombinasi yaitu dengan
perbandingan 1 : 9 (0,02% : 0,18%) untuk meningkatkan aktivitas antimikrobanya,
dimana efeknya akan lebih luas sehingga dapat menghambat mikroba dengan
spektrum luas.
Selain digunakannya fase cair yang membutuhkan pengawet, pada emulsi
juga terdapat fasa minyak yang pada autooksidasi, minyak-minyak yang tidak jenuh
akan menimbulkan ketengikan dengan bau, penampilan, dan rasa yang tidak
menyenangkan. Sehingga diperlukan penambahan antioksidan, menurut Lachman
et al. (1994), penambahan antioksidan dapat mencegah oksidasi dari fase minyak
yang terdapat dalam suatu sediaan emulsi dimana antioksidan yang dipilih yaitu
asam askorbat. Dipilih asam askorbat karena menurut Hope ed. 5 berada pada pH
rentang emulsi dengan menggunakan konsentrasi 0,01%.
Adapun pada saat dilakukan uji organoleptis, sediaan emulsi memiliki rasa
yang pahit, tidak berbau dan berwarna putih. Sehingga perlu ditambahkan pemanis,
dimana pemanis yang digunakan yaitu sirupus simplex dengan konsentrasi 20%.
Pemilihan sirupus simplex sebagai pemanis karena bentuknya merupakan cairan,
sehingga mempermudah pembuatan sediaan. Adapun konsentrasi tersebut dipilih
dikarenakan menurut DepKes RI (1979), konsentrasi sirupus simplex yang dapat
digunakan untuk sediaan oral adalah 20-40% sehingga dipilih rentang terbawah
supaya dapat meminimalisir terjadinya caplocking.
Selain pemanis, sebagai estetik perlu ditambahkan zat tambahan seperti
pewarna yaitu flavouring agent yaitu essence stawberry, tetapi dalam sediaan
larutan ini tidak perlu ditambahkan anti caplocking, hal tersebut dikarenakan pada
larutan ini digunakan pemanis hanya 20% sehingga tidak melebihi batas yang akan
membuat caplocking yaitu diatas 30%. Selain itu, dalam sediaan larutan ini juga
tidak perlu adanya zat tambahan berupa pewarna, hal tersebut dikarenakan essence
strawberry yang berperan sebagai flavouring agent telah melengkapi sebagai zat
pewarna dikarenaka essence stawberry memberikan warna. Sehingga diperoleh
formula akhir dari sediaan emulsi sebagai berikut:

R/ Paraffin Cair 30%


Tween 80 7,2%
Span 80 2,8%
Metil paraben 0,18%
Propil paraben 0,02%
Asam Askorbat 0,01%
Sirupus Simplex 20%
Essence Stawberry q.s
Aquades ad 100 ml
7.2 Krim (adinda)

Krim merupakan bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau
lebih bahan terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Depkes, 1995).
Sediaan krim dibuat untuk melihat stabilitas krim dari pengaruh perbedaan
golongan emulgator, konsentrasi, dan cara pembuatan. Pada praktikum yang telah
dilakukan, zat aktif yang digunakan adalah ketokonazol. Ketokonazol merupakan
obat anti jamur turunan imidazol yang memiliki aktivitas antifungi yang efektif
terhadap dermatofit (Katzung, 2004). Ketokonazol lebih baik dibuat dalam sediaan
krim. Ketokonazol jika dikonsumsi per oral penyerapannya bervariasi antar
individu. Farmakokinetika dari obat ini menghasilkan kadar plasma yang cukup
untuk menekan aktivitas berbagai jenis jamur. Penyerapannya melalui saluran cerna
akan berkurang pada pasien dengan pH tinggi, pada pemberian bersama antagonis
H2 atau antasida (Neal J. Michael, 2007). Pada percobaan ini dilakukan dengan
membuat 2 formula krim dengan zat tambahan yang berbeda, agar dapat melihat
sediaan aman yang baik.

Pada percobaan ini, formula 1 terdiri dari ketokonazol sebagai zat aktif,
emulgid sebagai emulgator, paraffin cair sebagai basisi krim dan aquadest. Emulgid
merupakan emulgator yang bersifat asam, berwarna putih, hampir putih, berupa
cairan lilin dan punya kemampuan sebagai pengental (Rowe, 2009). Emulgid
adalah campuran digliserida, asam lemak dan sabun. Dalam pembuatan krim,
terdapat fasa air dan fasa minyak. Fasa air terdiri dari bahan-bahan yang larut dalam
air, sedangkan fasa minyak terdiri dari bahan-bahan yang larut dalam minyak.
Pembuatan dilakukan dengan proses peleburan dan emulsifikasi.

Pertama zat aktif dan eksipien ditimbang terlebih dahulu agar memudahkan
saat pembuatan sediaan. Fase minyak yang terdiri paraffin cair dan emulgid
dimasukkan kecawan uap untuk dipanaskan diatas penangas air hingga melebur dan
mencapai suhu 70ºC. Fasa air (Aquadest) dilebur di atas penangas dengan cawan
yang berbeda hingga suhunya 70ºC. Peleburan dilakukan agar zat-zat mencapai titik
leburnya masing-masing, sehingga mudah terdispersi antara satu zat dengan zat
lainnya. Suhu 70ºC karena parafin mempunyai cair titik leburnya 50-70ºC dan
emulgid titik leburnya 50-54ºC. Aquadest dipanaskan hingga mencapai suhu yang
sama agar kedua fasa memiliki temperatur yang sama saat dicampurkan. Jika suhu
antara dua fasa berbeda, maka beberapa lemak akan menjadi padat, dapat
menyebabkan pemisahan antara fasa air dan fasa minyak. Kemudian kedua fasa
dimasukkan dalam matkan untuk diaduk dengan ultra thurax pada kecepatan
sampai membentuk krim. Ultra thurax digunakan untuk menjamin krim diaduk
secara konstan, karena pengadukan dengan tangan bisa merubah konsistensinya.
Ultra-turrax memiliki prinsip dengan mengecilkan ukuran partikel sekaligus
homogenisasi sistem emulsi. Ultra-thurax juga memberikan gelombang ultrasonik
dengan frekuensi 20-50 kilocycles/detik sehingga partikel pecah menjadi ukuran
yang lebih kecil. Pada pembuatan krim akan menghasilkan campuran yang
homogen (Voight, 1994). Kemudian zat aktif dimasukkan kedalam matkan dan
diaduk sampai homogen. Pengadukan dilakukan selama 5 menit untuk mencegah
terpisahnya fasa air dan fasa minyak. Kemudian, krim dikemas dengan cara
dimasukkan ke pot salep. Dilakukan evaluasi sediaan.

Evaluasi sediaan krim dilakukan dengan uji organoleptik menggunakan panca


indera yang meliputi warna, bau dan rasa yang bertujuan untuk mengetahui sediaan
yang dibuat sesuai dengan standar krim yang ada atau tidak yang artinya sediaan
krim yang dibuat stabil dan tidak menyimpang dari standar krim yang sudah
ditetapkan. Dari hasil uji organoleptik sediaan berwarna putih. Selanjutnya uji
homogenitas yang bertujuan untuk mengetahui apakah partikel sudah tercampur
seluruhnya atau belum, karena jika tidak homogen, akan berpengaruh pada dosis
(dosis tidak maksimal). Dari hasil evaluasi homogenitas, sediaan krim yang dibuat
homogen, menandakan zat aktif, fasa air dan fasa minyak teremulsifikasi secara
sempurna. Kemudian dilakukan uji tipe krim dengan mengamati secara visual
sediaan dilarutkan dengan aquades dan didapatkan hasil tipe krim M/A yang
ditandai dengan bercampurnya sediaan. Selanjutnya uji pH untuk mengetahui
sediaan sesuai tidak dengan syarat yang telah ditentukan. Dengan memasukan
elektroda ke dalam sediaan krim. pH sediaan krim untuk kosmetik diusahakan sama
atau sedekat mungkin dengan pH fisiologis kulit yaitu 4,5 - 6,5. Sehingga, krim ini
tidak disarankan untuk sediaan kosmetik(Mulyawan, 2013). Kemudian dilakukan
uji viskositas untuk mengukur tingkat viskositas dari suatu sediaan agar dapat
memudahkan dalam penggunaannya. Kemudian dilakukan uji stabilitas
menggunakan sentrifugasi untuk melihat kestabilan sediaan yang dibuat. Hasil yang
didapat sediaan tidak stabil, mungkin saat penggunaan emulgator tidak maksimal
dalam pembuatan globul dan mengakibatkan adanya zat yang tidak larut.
Pada percobaan ini, formula 1 terdiri dari ketokonazol sebagai zat aktif,
paraffin cair sebagai basis krim, Asam stearat sebagai emulgator atau zat
pengemulsi dan solubilizing agent TEA sebagai emulgator dan aquades sebagai
pelarut. Asam stearat merupakan basis krim yang umum digunakan bersamaan
denga trietanolamin (TEA). Pada tipe krim M/A keberadaan asam stearat, membuat
krim menjadi lebih lunak sehingga viskositasnya akan semakin rendah, jika basis
mempunyai viskositas yang tinggi akan mengakibatkan koefisien difusi suatu obat
dalam basis menjadi rendah, sehingga pelepasan obat pun dari basis akan kecil.
Peningkatan konsentrasi asam stearat juga akan meningkatkan viskositas sediaan
krim, sehingga peningkatan konsentrasi asam stearate dapat menyebabkan
perubahan karakteristik sediaan yang meliputi organoleptis, pH, viskositas dan
ketersebaran sebelum dan sesudah penyimpanan. Asam stearate dikombinasikan
dengan TEA agar kemampuan untuk mengemas molekul-molekul zat aktif
dipermukaan akan lebih kuat sehingga dapat menambah kekuatan lapisan
antarmuka dan menambah kestabilan sediaan. Penambahan TEA juga dapat
mempengaruhi pH basis dan juga stabilitas basis, semakin besar konsentrasi TEA
semakin besar juga pH basis yang dihasilkan, sehingga hal ini menunjukan bahwa
TEA selain digunakan sebagai emulgator tetapi juga dapat meningkatkan pH.
Pembuatan diawali dengan memasukkan fase minya (asam stearat+paraffin
cair) kedalam cawan. Kemudian dipanaskan hinggal meluruh sepenuhnya.
Pemansan bertujuan untuk mempermudah peleburan dari fase minyak. Kemudian
fase air (TEAdan Aquadest dimasukkan kedalam cawan berbeda dan dipanaskan
hingga hingga meluruh. Selanjutnya fase minyak dimasukkan ke dalam matkan,
sambil diaduk menggunakan ultra thurax stirrer ditambahkan fase air. Kemudian
ditambahkan zat aktif ketokonazol dan diaduk sampai homogen. Kemudian sediaan
dilakukan evaluasi.
Dilakukan evaluasi sediaan krim dengan uji organoleptik, untuk memeriksa
kesesuaian bau dan warna dari sediaan yang mendekati dengan spesifikasi sediaan
yang telah ditentukan. Hasil evaluasi organoleptik tidak berbau dan berwarna putih,
Hal ini dikarenakan pada sediaan krim terdiri dari paraffin cair, asam stearat, TEA,
dan zat aktif ketokonazol juga berwarna putih dan tidak berbau. Kemudian
dilakukan evaluasi homogenitas yang bertujuan untuk memastikan distribusi bahan
aktif yang homogen. Pengujian evaluasi ini dilakukan dengan meletakan sediaan
krim ke kaca arloji, kemudian ditekan dengan kaca arloji untuk diamati
homogenitasnya. Dari hasil evaluasi menunjukan hasil yang homogen karena tidak
terdapat butiran-butiran ketika sediaan krim ditekan dengan kaca arloji.
Kemudian dilakukan uji tipe krim dengan metode pengenceran, tujuannya
untuk mengetahui tipe emulsi yang dibuat sesuai dengan tipe emulsi yang
diharapkan. Evaluasi ini mencampurkan sedikit sediaan krim dengan aquades dan
diaduk, setelah diamati hasil menunjukan bahwa sediaan krim bercampur dengan
air, sehingga tipe krim ini adalah tipe m/a. Kemudian dilakukan evaluasi uji pH
dengan tujuan untuk mengetahui pH sediaan telah sesuai dengan persyaratan yang
telah ditentukan. Pengujian dilakukan dengan memasukan elektroda ke dalam
sediaan krim.
Selanjutnya dilakukan pengujian viskositas dengan tujuan untuk mengukur
tingkat viskositas sediaan dan menjamin kemudahan penggunaan atau pengolesan
sediaan. Prinsip evaluasi viskositas adalah pengukuran gaya dari sebuah spindel
yang dicelupkan ke dalam sediaan krim. Semakin kuat putaran spindel maka
semakin tinggi viskositas, sehingga hambatannya semakin besar. Kemudian
dilakukan evaluasi uji stabiltas untuk melihat sediaan krim yang sudah dibuat
berdasarkan formula. Krim dikocok dengan kecepatan tinggi dengan sentrifugator
selama 15-30 menit. Dari pengamatan didapatkan hasil bahwa sediaan krim Hasil
yang didapat sediaan tidak stabil, mungkin saat penggunaan emulgator tidak
maksimal dalam pembuatan globul dan mengakibatkan adanya zat yang tidak larut.
Karena krim merupakan sediaan yang tidak stabil menurut termodinamika
sehingga perlu ditambahkan emulgator untuk menjaga kestabilitas krim dan untuk
mencegah pemisahan. Emulgator yang dipilih yaitu emulgid 15%. Karena
berdasarkan praktikum yang dilakukan emulgid dengan konsentrasi 15% dapat
menghasilkan krim yang baik dan homogen. Dan digunakan tokoferol 0,5% pada
ususlan formula adalah sebagai antioksidan. Untuk mencegah terjadinya ketengikan
nantinya akibat oksidasi oleh cahaya pada minyak tidak jenuh yang sifatnya
autooksidasi. Karena pada formula ini terdapat paraffin cair yang dikatakan Rowe
(1996) bahwa paraffin cair mudah mengalami oksidasi ketika dipanaskan dan saat
terkena cahaya, maka dari itu perlu ditambahkan antioksidan. Konsentrasi tokoferol
yang dipilih adalah 0,5%, karena rentang tokoferol dalam sediaan adalah 0,001%-
0,5%. Sehingga usulan formula untuk sediaan krim ini yaitu:
R/ Ketokonazol 2%
Paraffin cair 30%
Emulgid 15%
Tokoferol 0,05%
Aquadest ad 100 mL
VIII. KESIMPULAN
8.1 Emulsi
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa Emulsi merupakan sediaan yang mengandung 2 fasa atau lebih yang tidak
saling bercampur sehingga harus ditambahkan emulgator untuk menstabilkannya.
Pada percobaan ini merupakan tipe emulsi fase minyak terdispersi dalam fase air.
Sediaan emulsi yang paling stabil pada percobaan ini adalah emulsi (tween 80 +
span 80 + setil alkohol), karena memiliki viskositas yang tinggi.

8.2 Krim
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa krim merupakan sediaan setengah padat, berupa emulsi kental mengandung
air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Pada percobaan
ini merupakan tipe fase minyak terdispersi dalam fase air, basis pengemulsi pada
M/A biasanya digunakan yang bersifat hidrofilik sehingga menggunakan TEA
DAFTAR PUSTAKA

Allen, L. V. (2002). The Art, Science and Technology of Pharmaceutical


Compounding. Washington D.C: American Pharmaceutical Association.
Anief, M. (1994). Ilmu Meracik Obat Cetakan 6. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Anief, M. (2005). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Anjani, M. R. (2010). Formulasi Suspensi Siprofloksasin Menggunakan


Suspending Agent Pulvis Gummi Arabici : Uji Stabilitas Fisik dan Daya Anti
Bakteri, skripsi. Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Ansel, H. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
DepKes. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Dirjen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Dirjen POM. (2014). Farmakope Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Eccleston, G.M. (2007). Emulsion and Microemulsion in Encyclopedia of
Pharmaceutical Technology. 3rd ed. New York: Informa Health Care.
Katzung, (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII. Jakarta: Salemba
Medika.

Lachmann, L. (1994). Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms,


diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Edisi III. Jakarta: Universitas Indonesia,
Jakarta
Lucas, D. J., Haider, A., Haut, E., Dodson, R., Wolfgang, C. L., Ahuja, N., …
Pawlik, T. M. (2013). Assessing Readmission After General, Vascular, and
Thoracic Surgery Using ACSNSQIP. Annals of Surgery, 258(3), 430–439.
http://doi.org/10.1097/SLA.0b013e3182a18fcc
Martin, A., Swarbrick, J., Commarata, A. (1993). Farmasi Fisik 2. Edisi Ketiga.
Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hal: 794-799, 1079-1089, 1132, 1164.
Martins, Jr (ed). (1979). Professional Standards and Ethics. Washington, DC:
ASPA Publisher
Michael J. Neal. (2007). Farmakologi Medis edisi Kelima. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Mulyawan, Dewi dan Neti Suriana. (2013). A-Z Tentang Kosmetik. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.

Putri, S., Rahmawanty, D., Fitriana D. (2016). Pharmascience Karakterisasi


Mikroemulsi Minyak Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Dengan Pembawa
Virgin Coconut Oil (VCO), Polisorbat 80, dan Sorbitol. Bnjarbaru: Program
Studi Farmasi, FMPA,Universitas Lambung Mangkurat.
Roth, Herman J.,(1994). Analisis Farmasi. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Rowey, R.C., Sheskey, P.J., dan Owen, S.C. (2006). Handbook of Pharmaceutical
Excipients Fifth Edition. London: Pharmaceutical Press.
Rowe Raymond, C. Et. (2009). Hand Book Of Pharmaceutical Ex Cipiens, Sixth
Edition. Pharmaceutical press, London.
Rowe, R.C., PJ. Sheshky, dan ME. Quinn, (2009). Pharmaceutical Design.
London: Pharmaceutical Press.
Sana, S., Rajani, A., Sumedha, N., & Mahesh, B. (2012). Formulation and
evaluation of taste masked oral suspension of Dextromethorphan
hydrobromide.International Journal of Drug Development and Research.4
(2), 159-172.
Sumardjo, Damin. (2006). Pengantar Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata 1 Fakultas Bioeksata. Jakarta : EGC.
Syamsuni, H.A. (2007). Ilmu Resep. Jakarta : Kedokteran EGC
Voight, R., (1994). Buku Pengantar Teknologi Farmasi. diterjemahkan oleh
Soedani, N., Edisi V, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Wasitaatmadja SM. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI-Press.
Widodo, Hendra. (2013). Ilmu Meracik Obat untuk Apoteker. Jogjakarta: D-Medika
Yulianto, A. Formulasi Emulsi Minyak Ikan Gurami (Osphronemusgourami L.)
Sebagai Suplemen Makanan. Cilacap: STIKES Al-Irsyad.

Anda mungkin juga menyukai