Anda di halaman 1dari 65

CRITICAL BOOK REPORT

ASPEK HUKUM DAN ETIKA BISNIS

Disusun oleh:

CITRA G. SIAHAAN ( 7183343003 )


FLORA ESTER OCTAVIA ( 7182143015 )
MARULI R. SILABAN ( 7183143027 )
MIRA ARDILA ( 7183343004 )

A REGULER PEND. BISNIS

Dosen Pengampu : Lenty Saragih, S.Pd, M.Si

JURUSAN PENDIDIKAN BISNIS

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas ini tepat
pada waktunya yang berjudul “Critical Book Report”.

Dalam penyusunan tugas ini banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik
yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan tugas ini, dan
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada pihak - pihak yang telah
membantu dan secara khusus kami berterimakasih kepada Ibu Lenty Saragih, S.Pd, M.Si
selaku Dosen pengampu mata kuliah Aspek Hukum dan Etika Bisnis karena telah
memberikan bimbinganya kepada kami untuk menyelesaikan tugas CBR ini hingga selesai.

Medan, 14 Oktober 2019

Kelompok VII

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR..........................................................................................1

B. Tujuan Penulisan CBR.......................................................................................................1

C. Manfaat CBR.....................................................................................................................1

D. Identitas Buku....................................................................................................................1

BAB II........................................................................................................................................3

RINGKASAN ISI BUKU..........................................................................................................3

A. Ringkasan Isi Buku I.........................................................................................................3

B. Ringkasan Isi Buku II......................................................................................................13

C. Ringkasan Isi Buku III.....................................................................................................25

D. Ringkasan Isi Buku IV....................................................................................................34

BAB III.....................................................................................................................................55

PEMBAHASAN......................................................................................................................55

A. Pembahasan Buku I.........................................................................................................55

B. Pembahasan Buku II........................................................................................................55

C. Pembahasan Buku III.......................................................................................................55

D. Pembahasan Buku IV......................................................................................................56

BAB IV....................................................................................................................................57

PENUTUP................................................................................................................................57

A. Kesimpulan......................................................................................................................57

B. Rekomendasi....................................................................................................................57

ii
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................58

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR

Melakukan Critical Book Review pada suatu buku dengan membandingkan nya dengan
buku lain sangat penting untuk dilakukan, dari kegiatan ini lah kita dapat mengetahui
kelebihan dan kekurangan suatu buku. Dari mengkritik inilah kita jadi mendapatkan
informasi yang kompeten dengan cara menggabungkan informasi dari buku yang lain. Hal ini
adalah salah satu upaya KKNI untuk benar benar menjadikan mahasiswa yang unggul dalam
segala hal, salah satu nya yaitu mengkritik buku.

 B. Tujuan Penulisan CBR

 Mengulas isi sebuah buku.

 Mengetahui informasi sebuah buku.

 Membandingkan isi buku utama dengan buku 1, buku 2, buku 3 dan buku 4

 Melatih individu agar berfikir kritis dalam mencari informasi yang ada disetiap buku.
 Melatih mahasiswa untuk teliti meriview buku dalam dua bahasa.

C. Manfaat CBR

 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Aspek Hukum dan Etika Bisnis.

 Untuk menambah pengetahuan tentang Aspek Hukum dan Etika Bisnis.

 Untuk mengetahui banyak hal tentang buku, dan melatih mahasiswa untuk gemar
membaca.

D. Identitas Buku

Buku I

1
1. Judul             : Hukum Perlindungan Konsumen

2. Penulis             : Kelik Wardiono, S.H, M.H

3. ISBN              : 978-602-258-148-2

4. Penerbit & Kota : penerbit Ombak Dua & yogyakarta

5. Tahun terbit            : 2014

6. Urutan cetakan :-

7. Tebal buku            : 160 hlm

Buku II

1. Judul             : Hukum Perlindungan Konsumen

2. Penulis             : Ahmad Miru, dkk

3. ISBN              : 978-979-769-898-0

4. Penerbit & Kota : penerbit Ombak Dua & yogyakarta

5. Tahun terbit           : 2004

6. Urutan cetakan : ke-9


7. Tebal buku            : 303 hlm

Buku III

1. Judul Buku : Hukum Dalam Ekonomi


2. Pengarang Buku : Elsi Kartika Sari, S.H.,M.H. dan Advendi Simanungsong,
S.H.,M.M.
3. Penerbit Buku : PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
4. Kota Terbit : Jakarta

2
5. Tahun Terbit : 2005
6. Tebal Buku : 216 halaman

Buku IV

1. Judul Buku : Hukum perlindungan Konsumen

2. Pengarang Buku : A.Z, Nasution

3. Penerbit Buku : Diadit Media

4. Kota Terbit : Jakarta

5. Tahun Terbit : 2002

3
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU

A. Ringkasan Isi Buku I

1. PENGERTIAN KONSUMEN

Pengertian Konsumen

Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :

Pasal 1 butir 2 :

“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Menurut Hornby :

“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa;
seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang;
setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.

Didalam realitas bisnis seringkali dibedakan antara :

· Consumer (konsumen) dan Custumer (pelanggan).

o Konsumen adalah semua orang atau masyarakat. Termasuk pelanggan.

o Pelanggan adalah konsumen yang telah mengkonsumsi suatu

o produk yang di produksi oleh produsen tertentu.

· Konsumen Akhir dengan Konsumen Antara :

o Konsumen akhir adalah Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk yang
diperolehnya;

o Konsumen antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk
lainnya.

4
Pengertian Perlindungan Konsumen

Sedangkan pengertian perlindungan konsumen yaitu :

· Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 : “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

· GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a:
“pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam
rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan
produsen, melindungi kepentingan konsumen.”

Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen adalah :“Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum


yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para
penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”.

Jadi, kesimpulan dari pengertian –pengertian diatas adalah :

Bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang
mengadakan hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak seimbang.

2. AZAS DAN TUJUAN

Tujuan Perlindungan Konsumen

Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang no. 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen, tujuan dari
Perlindungan ini adalah :

* Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi


diri,

* Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa,

* Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-


haknya sebagai konsumen,

* Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum


dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,

5
* Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,

* Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha


produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen.

Azas Perlindungan Konsumen

Adapun Azas perlindungan konsumen antara lain :

* Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan


perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan,

* Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil,

* Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku


usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,

* Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

* Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.

3. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

Hak-hak Konsumen

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen


adalah :

* Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;

* Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
6
* Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;

* Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

* Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa


perlindungan konsumen secara patut;

* Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

* Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

* Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau


jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

* Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen

Tidak hanya bicara hak, Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga memuat
kewajiban konsumen, antara lain :

* Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

* Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

* Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

* Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

4. HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA

Hak Pelaku Usaha

Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang perlindungan konsumen adalah:

Ø hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

Ø hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik

7
Ø hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen

Ø hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

Ø hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Pelaku Usaha

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang perlindungan


konsumen adalah:

Ø beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

Ø memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

Ø memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Ø menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan


berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

Ø memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;

Ø memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

Ø memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

5. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha

Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :

1) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a.Tidak sesuai dengan :

ü standar yang dipersyaratkan;

8
ü peraturan yang berlaku;

ü ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.

b.Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang
dan/atau jasa yang menyangkut :

ü berat bersih;

ü isi bersih dan jumlah dalam hitungan;

ü kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;

ü mutu, tingkatan, komposisi;

ü proses pengolahan;

ü gaya, mode atau penggunaan tertentu;

ü janji yang diberikan;

c.Tidak mencantumkan :

ü tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang


tertentu;

ü informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang
berlaku

d.Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan "halal" yang
dicantumkan dalam label

e.Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:

ü Nama barang;

ü Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;

ü Tanggal pembuatan;

ü Aturan pakai;

ü Akibat sampingan;

ü Nama dan alamat pelaku usaha;

9
ü Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat

f.Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.

2) Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :

a. Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :

ü Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu,
sejarah atau guna tertentu.

ü Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu,
merupakan kelengkapan dari barang tertentu.

b. Secara tidak benar dan seolah-olah barang dan/atau jasa tersebut :

ü Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan


tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.

ü Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.

ü Telah tersedia bagi konsumen.

c. Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.

d. Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung


resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.

e. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

f. Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak
dilaksanakan.

g. Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau


memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.

h. Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.

3) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,


mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :

a.Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.

10
b.Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.

c.Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.

4) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan


hadiah dengan cara undian dilarang :

a.Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.

b.Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.

c.Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak
setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

5) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara
lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.

6) Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui
konsumen dengan :

a.Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan
tidak mengandung cacat tersembunyi.

b.Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.

c.Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud
menjual barang lain.

d.Menaikkan harga sebelum melakukan obral.

6. KLAUSAN BAKU DALAM PERJANJIAN

Klausa Baku dalam Perjanjian

Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama
dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie klausule exemption
clausule) yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari
pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.

Menurut Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang


dicantumkan dalam suatu perjanjian baku yaitu:

a.menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

11
b.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;

c.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d.menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e.mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;

f.memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g.menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h.menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan


tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu “Larangan ini dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak” sehingga diharapkan dengan adanya Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai
pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan
kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.

Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat
berupa tulisan kecil-kecil yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah
diperkirakan akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat
kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian

12
tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam
konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi
haknya.

7.TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut, ”Tanggung jawab produk
adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam
peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada
produk tersebut.“

Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3


(tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan
konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:

1.Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/
atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.

2.Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

3.Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.

4.Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.”

8. SANKSI – SANKSI

Sanksi-sanksi Pelaku Usaha Sanksi Pelaku Usaha

13
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen

Sanksi Perdata :

· Ganti rugi dalam bentuk :

o Pengembalian uang atau

o Penggantian barang atau

o Perawatan kesehatan, dan/atau

o Pemberian santunan

· Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi

Sanksi Administrasi :

maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana :

· Kurungan :

o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat
(2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18

o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat
(1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian

* Hukuman tambahan , antara lain :

o Pengumuman keputusan Hakim

o Pencabuttan izin usaha;

o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;

o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;

o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .

14
B. Ringkasan Isi Buku II

PENGERTIAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-Amerika), atau
Consument / konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata Consumer itu adalah setiap orang
yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang/jasa tersebut nanti menentukan
termasuk konsumen kelompok mana penggunaan tersebut. Perlindungan terhadap konsumen
dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting mengingat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak produsen barang dan jasa yang
dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha yang dalam prakteknya tidak lepas dari
keterkaitan dengan konsumen. Jadi secara langsung atau tidak langsung konsumenlah yang
merasakan dampaknya. Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha bukan merupakan hal
baru. Hal ini disebabkan banyaknya transaksi yang dibuat di luar peraturan yang ada. Dalam
perkembangannya konsumen semakin menyadari akan hak-haknya dan berjuang dalam hal
konsumen menerima prestasi yang tidak sesuai dengan isi kontrak, barang yang dibeli
kualitasnya tidak bagus atau ada cacat tersembunyi yang merugikan konsumen dan adanya
unsur penipuan atau paksaan dalam melakukan transaksi. Gerakan perlindungan konsumen
akhirnya lahir sebagai cabang hukum baru dalam perkembangan ilmu hukum. Lahirnya
cabang hukum baru ini didasari oleh kesadaran akan posisinya yang semakin lemah. Hal ini
disebabkan oleh perkembangan dunia bisnis yang sangat pesat. “Mengingat bahwa
perkembangan dunia bisnis yang semakin cepat maka perlu diusahakan suatu bentuk
perlindungan konsumen yang semakin efektif pula. Sebab jika tidak maka posisi konsumen
tidak lagi menjadi subjek dalam bisnis, tetapi menjadi objek potensial dirugikan.”

Pengertian perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1999


Tentang Perlindungan Konsumen yakni sebagai berikut :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.”

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang tersebut di atas cukup memadai. “Kalimat
yang menyatakan ‘segala yang menjamin adanya kepastian hukum’, diharapkan sebagai
benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya
demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.”5

15
Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, apalagi
karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh pelaku usaha.

a. Pengertian konsumen

Sebelum membahas pengertian konsumen sesuai ketentuan Undang-Undang Perlindungan


Konsumen (UUPK), perlu juga diketahui pengertian konsumen dari berbagai negara sebagai
suatu perbandingan. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa kata consumer (Inggris-
Amerika), atau consument / konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument
itu tergantung dalam posisi mana ia berada.

“Secara harafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang.”6 Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut.

Begitu pula dalam Kamus Besar Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata “consumer
sebagai pemakai atau konsumen.”7

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan


sebagai “The person who obtains goods or services for personal or family purposes”. Dari
definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (1) Konsumen hanya orang, dan (2) barang atau jasa
yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.

Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnusson


– Moss Warranty, Federal Trade Commission Act 1975 mengartikan konsumen persis sama
dengan ketentuan di Perancis. “Di Amerika Serikat, konsumen diartikan sebagai korban
pemakai produk yang cacat, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai
bahkan juga bukan korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati
pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.”8

Demikian pula dengan rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perbahan hukum
Belanda (NBW Buku VI, Pasal 236), konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah, dimaka
maksudnya ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan
profesi atau perusahaan.9

Menurut Kotler, “Consumers are individuals and households for personal use producers are
individual and organization buying for the purpose of producing. Artinya konsumen adalah

16
individu kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal,
produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan
produksi.”10

Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konsumen diartikan sebagai “pemakai barang-
barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan).”11

Menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen


yakni sebagai berikut :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.

Dari pengertian tersebut, maka dapat diuraikan unsur-unsurnya, yaitu :

1. Setiap orang

Subyek yang sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang
dan/atau jasa.

2. Pemakai

Setiap orang yang memakai, dan/atau memanfaatkan suatu barang dan/atau jasa tetapi tidak
untuk diperdagangkan kembali.

3. Barang/atau jasa

Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunaka, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan jasa
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam pasar

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen harus sudah tersedia dalam pasaran.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

17
Barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat itu, harus dapat berguna bagi
kepentingan semua orang dan juga seluruh makhluk hidup, baik diri sendiri, keluarga, orang
lain dan makhluk hidup lainnya.

6. Tidak untuk diperdagangkan

Di dalam kepustakaan ekonomi, dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Sedangkan
konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari
proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini
adalah konsumen akhir.

Dari ketentuan yang termuat di atas, menunjukkan betapa beragamnya pengertian konsumen.
Ketentuan-ketentuan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

b. Pengertian pelaku usaha

Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen


yakni sebagai berikut :

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen


cukup luas dimana yang termasuk di dalam pengertian tersebut adalah perusahaan, korporasi,
BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Cakupan luasnya pengertian
pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tersebut memiliki
persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara
Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen yakni sebagai berikut :

“Produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan baku, pembuat
suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan
mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan
produk asli pada produk tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan,
disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk lain dalam transaksi perdagangan, pemasok
(supplies), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.”12

18
Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda karena
produsen atau pelaku usaha dapat berupa perseorangan, atau badan hukum.

Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di
luar negeri, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) membatasi orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia.

Aspek Hukum dalam Perlindungan Konsumen

Peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan ilaonsumen yang disebut sebagai


umbrella act adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya dsingkat UUPK), yang disahkan tanggal 20 April 1999, dan baru diberlakukan
satu tahun kemudian (tanggal 20 April 2000).

Penundaan ira dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diperlukan.

Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memuat aturan-aturan hukum tentang


perlindungan terhadap konsumen yang berupa payung (umbrella) bagi perundang-undangan
lainnya yang rnenyangkut konsumen, sekaligus mengintegrasikan perundang-undangan itu
sehingga memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen.

Sebagaimana dimuat dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK),


bahwa UUPK ini bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang
perlindungan konsumen. Terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada
dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dari segi substansi,
UUPK memuat garis-garis besar perlindungan konsumen yang membuka peluang untuk
diatur didalam perundang-undangan tersendiri.;13

Di samping UUPK, hukum konsumen juga diketemukan di dalam berbagai peraturan


perundang-undangan yang berlaku, yang juga memuat berbagai kaidah yang menyangkut
hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan tersebut tidak
khusus diterbitkan untuk konsumen, setidak-tidaknya dapatdijadikan dasar bagi perlindungan
konsumen.14

Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR.

19
Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, alinea ke 4: “… kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
…”

Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, “Tiap warga negara berhak atas penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”

Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat 1993; “…meningkatkan pendapatan produsen dan


melindungi kepentingan konsumen.”

Terkait dengan bunyi Pembukaan alinea ke-4 UUD 1945, umumnya sampai saat ini orang
bertumpu pada kata “segenap bangsa”, sehingga ia diambil sebagai azas tentang persatuan
seluruh bangsa Indonesia (azas persatuan bangsa). Akan tetapi, disamping itu, dari kata
“melindungi” menurut Az. Nasution didalamnya terkandung pula azas perlindungan (hukum)
pada segenap bangsa tersebut.

Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa termasuk
konsumen, tanpa kecuali.

Landasan hukum lainnya adalah Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945. Penghidupan yang layak,
apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak
semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh. Selanjutnya untuk
melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, khususnya melindungi
konsumen, MPR telah menempatkan berbagai ketetapan, khususnya TAP MPR Tahun 1993.

TAP MPR Tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Hanya
sayang dalam TAP MPR ini tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud melindungi
kepentingan konsumen tersebut. Satu hal yang menarik dari TAP MPR 1993 adalah
disusunnya dalam satu napas, dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dengan
konsumen. Susunan kalimat sebagaimana dimaksud berbunyi; “…. meningkatkan pendapatan
produsen dan melindungi kepentingan konsumen.” Dengan susunan kalimat. demikian,
terlihat lebih jelas arahan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang kekhususan
kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan
konsumen.

Kepentingan pendapatan produsen (lebih tepat pelaku usaha atau pengusaha) dalam rangka
pelaksanaan kegiatan usaha mereka terkait dengan memproduksi, menawarkan dan/atau
mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum yang mereka perlukan adalah

20
agar penghasilan/pendapatan dalam berusaha bisa meningkat, tidak merosot atau bahkan
hilang sama sekali karena;

Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien dalam menjalankan
manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang pembinaan).

Adanya praktek-praktek niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan para


pengusaha dari pasar, seperti praktek persaingan melawan hukum, penguasaan pasar yang
dominan, dan lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).

Sementara kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa,
adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi
kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga, dan/atau rumah
tangganya (tidak membahayakan atau merugikan mereka). Jadi yang menonjol dalam
perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta
dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.

Peraturan Perundang-undangan Lainnya

Di tingkat undang-undang, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan Konsumen tersebut, telah ada beberapa undang-undang yang secara
tidak langsung bertujuan untuk melindungi konsumen dapat disebutkan sebagai berikut:15

Kitab Undang-Undang Hukum Perbahan hukum (KUH Perbahan hukum) Stb. 1847 Nomor
23, bagian Hukum Perikatan (Buku III), khususnya mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan
seterusnya) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 dan seterusnya).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk Usaha-Usaha Umum.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

21
Ordonansi tentang Barang Berbahaya, Stb. 1949 Nomor 337.

Undang-Undang Nomor STahun 1984 tentang Perindustrian.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1987 tentang Hak Cipta.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6


Tahun 1989 tentang Paten.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19


Tahun 1989 tentang Merek.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.

dan lain-lain.

22
Country Report delegasi Indonesia pada ASEAN Consumer Protection Seminar, yang
diselenggarakan di Manila tanggal 30 September sampai 4 Oktober 1980, antara lain dimuat
lampiran perundang-undangan yang ada hubungannya dengan perlindungan konsumen, yaitu
yang berhubungan dengan barang dan jasa sebanyak 18 buah, pengawasan mutu dan
keamanan barang sebanyak 41 buah, perdagangan sebanyak 8 buah, dan masalah lingkungan
hidup sebanyak 10 buah.16

Sedangkan di dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen


pada tanggal 16-18 Oktober 1980 di Jakarta, R. Sianturi menyebutkan sebanyak 119 buah
peraturan di bidang kesehatan, cerdiri dari obat-obatan sebanyak 56 buah, makanan dan
minuman sebanyak 15 buah, bidang kosmetika dan alat kesehatan sebanyak 8 buah, dan jasa
pelayanan kesehatan sebanyak 40 buah.17

Diberlakukannya Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu Undang-undang


No. 8 Tahun 1999, maka ketentuan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya masih
tetap berlaku sejauh belum diatur atau jika tidak bertentangan dengan UUPK. Seperti
ditegaskan dalam ketentuan pasal 64 UUPK sebagai berikut :

Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang


telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

Sejarah, Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang baru tetapi bercorak
universal. Sebagian besar perangkat hukumnya diwarnai hukum asing, namun jika dilihat dari
segi hukum positif di Indonesia dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk
hukum adat.

Perkembangan hukum konsumen di dunia berasal dari adanya gerakan perlindungan


konsumen (Consumers Movement) yang terjadi di Amerika Serikat pada abad ke 19 yang
dipraktekkan oleh pemukim-pemukim pertama di negara itu ketika berada di Inggris.
Pengadilan-pengadilan di Inggris pada masa itu menjatuhkan hukuman untuk menekan
praktik banting harga, memperkecil ukuran dan menurunkan mutu dimana hal ini dianggap
bertentangan dengan kepentingan umum.

Diberlakukannya The statute of Apprentices pada tahun 1563 yang bertujuan mengurangi
tindakan penipuan terhadap konsumen dan memaksa diterapkannya suatu standar kualitas

23
atas produk-produk tertentu menyebabkan aspek hukum publik lebih dominan dari pada
aspek hukum perbahan hukumnya.

Pengaturan hukum dan kasus-kasus transaksi perdagangan merupakan embrio bagi


tumbuhnya kesadaran para imigran yang memasuki benua Amerika, hal ini dapat dilihat
dengan dianutnya suatu azas hukum yang disebut Caveat Emptor atau Let The Buyer Beware
yang artinya diserahkan kepada kesadaran masing-masing pembeli untuk mempertahankan
hak-haknya. Azas ini sangat menguntungkan kalangan produsen karena mempunyai
kesempatan yang luas untuk mengeksploitasi ketidakberdayaan konsumne. Apalagi azas
tersebut didukung oleh putusan-putusan pengadilan, yang salah satunya mengatakan bahwa
puffing atau seller’s talk dianggap wajar dan tidak termasuk sebagai penipuan.

Munculnya Liga Konsumen di Amerika Serikat untuk pertama kalinya disambut positif
karena dapat digunakan untuk mempromosikan hak-hak konsumen.

Namun bukan berarti dengan adanya Liga Konsumen ini, perjalanan gerakan konsumen tidak
mendapat hambatan dan rintangan. Konsekuensi dari semakin kompleksnya kegiatan
produksi berbagai barang dan jasa semakin memperlemah posisi konsumen.18 Lahirnya
format-format perjanjian yang dibakukan (Standar Countract) semakin memperjelas bahwa
masyarakat konsumen seperti menerima nasib berada dibawah kendali para produsen.
Dimana konsumen tinggal menerima atau menolak atas perjanjian yang ditawarkan produsen.

Meskipun demikian prinsip Provity of Contract masih dianut secara mutlak dimana
konsumen mempunyai kewenangan untuk menuntut produsen jika ia dirugikan Fenomena
kontrak standar menggugah beberapa hakim untuk memutuskan berpihak pada konsumen.

Pada abad ke 20 tuntutan konsumen untuk diperlakukan lebih baik mendapat tanggapan pada
beberapa putusan hakim yaitu salah satunya dengan menetapkan suatu peraturan tentang
makanan dan obat-obatan walaupun pada akhirnya peraturan tersebut tidak dapat berlaku
efektif.

Kemajuan gerakan konsumen di Amerika Serikat telah meningkatkan kesadaran akan hak-
haknya sebagai konsumen. Peraturan-peraturan yang ada walaupun tidak sepenuhnya
menguntungkan konsumen, tetapi harus diakui lebih memihak konsumen dibandingkan
keadaan sebelumnya. Ditambah lagi dengan adanya dukungan dari Presiden Amerika Serikat
yang diperkenalkan empat hak konsumen dan konsep hukum baru tentang perlindungan
konsumen yang disebut dengan Product Warranty dan Product Liability.

24
Di Indonesia gerakan konsumen ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 Mei 1973 kemudian dilanjutkan dengan beberapa
organisasi-organisasi serupa yang berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen. YLKI
lahir dengan motto yang bertujuan melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan
membantu pemerintah.

YLKI belum mempunyai kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut suatu peraturan
karena YLKI bukan merupakan pemerintah dan tidak memiliki kekuasaan publik untuk
menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan sanksi.

Namun walaupun demikian YLKI telah mampu berperan besar khususnya dalam gerakan
menyadarkan konsumen akan hak-haknya.

Gerakan konsumen di Indonesia mencatat prestasi besar setelah naskah akademik Undang-
undang Perlindungan Konsumen berhasil dibawa ke DPR dan rancangannya disahkan
menjadi Undang-Undang pada tanggal 20 April 1999 walaupun masih memerlukan waktu
satu tahun untuk berlakunya efektif.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjadi agenda penting kedepan, sekaligus


kebutuhan mendesak ketika banyak kasus kerugian secara langsung atau tidak langsung
diderita konsumen.

Berdasarkan atas pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
menyebutkan bahwa Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

Didalam penjelasannya disebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai


usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dengan pembangunan nasional, yaitu :

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan bahwa segala upaya dalam


penyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan


konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.

25
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
negara menjamin kepastian hukum.

Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
maka tujuan dari perlindungan konsumen adalah :

Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-


haknya sebagai konsumen.

Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen


sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, keselamatan


konsumen.

C. Ringkasan Isi Buku III

A. Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen

1. Definisi Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan konsumen, menurut Nasution, merupakan bagian dari hukum


konsumen yang Iebih luas. Secara definitif beliau megemukakan;

”hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat
asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat melindungi
kepentingan konsume.

26
Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama Iain berkaitan dengan
barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup." 2

Nasution mengakui asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis. la menyebutkan, ‘seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum
administrasi negara dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan
dengan kepentingankepenu‘ngan konsumen". '

Dikarenakan posisl konsumen yang lemah maka la harus dilindungl oleh hukum. Salah
satu sifat. sekaligus tujuan hukum itu  adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat.
jadi sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang
hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya

Dengan demikian, sebaiknya dikatakan bahwa hukum konsumen berskala Iebih luas karena
di dalamnya meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen.
Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan hukum, termasuk
juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. salah satu bagian dari hukum konsumen adalah
aspek perlindungannya,  misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen
terhadap gangguan pihak Iain.

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum perlindungan
konsumen pada dasarnya berfokus pada hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku
usaha, di dalam berbagai tahap kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan produksi, distribusi maupun
konsumsi. Dalam perspektif hukum, hal ini menimbuikan konsukuensi, pembahasan terhadap
materi hukum perlindungan konsumen tidaklah hanya cukUp bila diiakukan dari satu aspek
bidang saja, akan tetapi meliputi berbagai bidang hukum seperti hukum administrasi negara,
hukum pidana dan hukum perdata (tennasuk hukum dagang). baik yang berupa hukum
materiil maupun hukum formil.

1. Subjek  Hukum Dalam Perlindungan Konsmen

Subiek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban. Maksudnya adalah segala
sesuatu yang dapat memiliki hak secara sah diakui (dapat dipertahankan dengan upaya
pemaksa yang sah) /berdasarkan hukum dan/atau dapat dibebani kewajiban menurut hukum
yang berlaku.

27
Dalam konteks Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), pembicaraan tentang subjek hukum, adalah untuk mengetahui siapa saja yang dapat
memiliki' hak dan dibebani kewajiban menurut UUPK dan dengan demikian berarti juga
untuk mengetahui siapa sajakah yang dapat “mempergunakan” UUPK untuk
memperjuangkan hak-haknya.

Terdapat dua Subjek Hukum yang diatur dalam UUPK, yaitu

a. konsumen

b. pelaku usaha.

Terminologi konsumen di dalam hukum positif, bukanlah sesuatu yang sudah lama dikenal.
Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sangat jarang ditemui istilah konsumen.‘
Baik hukum positif “warisan” dari zaman penjajahan yang masih berlaku berdasarkan Aturan
Peralihan Pasal ll Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD
1945), maupun di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang baru hasil karya
bangsa Indonesia sendiri, tidaklah dapat ditemukan terminologi konsumen. Padahal, apabila
diperhatikan sejak tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga pemegang
kekuasaan tertinggi negara dan pelaksana kedaulatan rakyat telah dengan tegas menetapkan
adanya subyek hukum yang disebut dengan konsumen dalam ketetapan-ketetapannya.

lstilah konsumen berasal dari kata consumer (lnggrisAmerika), atau consument (Belanda)
yang artinya pihak pemakai barang dan jasa.‘ Pengertian dari consumer atau consument
tersebut tergantung dalam posisi mana istilah tersebut digunakan.

Secara harfiah arti kata consumer itu adalah ”(lawan dari produsen) sedap orang yang
menggunakan barang". Tujuan penggunaan barang atau jasa tersebut akan menentukan posisi
kelompok konsumen. Menurut Nasution (1998), di dalam hukum positif Indonesia,
pengertian konsumen digunakan dalam berbagai istilah. Beberapa diantaranya adalah :

1. Undang-Undang RI No. 10 tahun 1961 tentang penerapan peratura pemerintaj pengganti


Undang-Undang no. 1 Tahun 1961 tentang barang. Dalam undang-undang barang, 
pengertian konsumen mengunakan istilah 'pengguna’, karena  dalam undang-undang tersebut
disebutkan rakyat yang oleh undang-undang tetsebut ingin dijaga supaya terjamin kesehatan
dan keselamatannya. Dalam penjelasan undang-undang ini ditegaskan lagi tentang rakyat
yang karena mutu barang kurang atau tidak baik, dibahayakan kesehatannya dan atau hal-hal
merugikan lainnya. Begitu pula bila barang seperti itu diekspor maka dapat merugikan nama

28
baik Indonesia dalam bidang perdagangan. Jadi, dalam undang-undang dan penjelasannya
tersebm dapat dilihat adanya: rakyat yang ingin dijaga kesehatan (tubuhnya) dan keselamatan
(jiwanya) dari barang dan/atau jasa yang mutunya kurang atau tidak baik. Tentunya hal ini
berkaitan dengan penggunaan barang tetsebm (pengguna). Dengan melihat hal tetsebut dapat
mudah dipahami bahwa pengguna manusia alamiah yang dapat terganggu kesehatan atau
keselamatan karena produk yang Imrang atau tidak bermutu. Dari uraian tersebut dapat
diketalmi adanya rakyat pengguna atau pemakai barang dan/atau jasa.

2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam undang-undang kesehatan


tidak menggunakan istilah konsumen untuk pengguna barang dan/atau jasa kesehatan. Tetapi
untuk memberikan pengertian konsumen digunakan berbagai istilah. Antara lain istilah
'orang" yang terdapat pada:

pasal 1 Angka 1:

kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Pasal 3:

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan


hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal

Pasal 4:

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

Pasal 5:

Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatakan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya.

Pasal 55 Ayat 1:

Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kerja.

juga istilah "masyarakat" yang terdapat pada:

Pasal 9:

pemerintah  bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

29
pasal 1 Angka 1:

kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Pasal 3:

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan


hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal

Pasal 4:

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

Pasal 5:

Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatakan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya.

Pasal 55 Ayat 1:

Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kerja.

juga istilah "masyarakat" yang terdapat pada:

Pasal 9:

pemerintah  bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Pasal 10:

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya
kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (pramotif), pencegahan
penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesahatan (rehabilitatif)
yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Pasal 21Ayat 1:

Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakatdari


makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau
persyaratan kesehatan.

30
Pengertian masyarakat seperti yang disebutkan dalam penjelasan undang-undang, termasuk
perorangan, keluarga, kelompok masyarakat dart masyarakat secara keseluruhan. Adanya
pencampuradukan pengertian tersebut bukan untuk dipertentangkan satu sama lain, tetapi
memang diperlukan kejelasan batasannya. Kepentingan orang sebagai manusia alaml dalam
penggunaan suatu harang dan/atau jasa adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendirl,
keluarga dan/ mu rumah tangga yang menjadi tangungjawabnya.

3. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Llntas dan Angkutan Jalan. Dalam
undang-undans Ialu llntas digunakan istilah ‘pengguna jasa". Pasal 1 Butir 22 yang berisi:

pengguna jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang  Menggunakan jasa perusahaan
angkutan umum.

Dengan demikian, pengguna jasa dapat diartikan setiap orang dan/atau badan hukum yang
menggunakan jasa angkutan, baik  untuk angkutan orang atau barang. Pengguna jasa
angkutatan seperti pengguna jasa lainnya dapat terdiri dari orang pribadi (manusia alami) atau
perusahaan baik yang diangkat sebagai orang atau badan hukum maupun yang tidak.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam undang-undang ini terdapat


beberapa istilah yang beragam, antara |ain istilah “pembeli” (Pasal 1460, 1513,dst. jo. Pasal
1457), “penyewa” (Pasal 1550 dst. jo. Pasal 1548), "penerima hibah" (Pasal 1670 dst. jo.
Pasal 1666), ”peminjam pakai” (Pasa) 1743 dst. jo. Pasal 1740), ”peminjam” (Pasal 1744).

Dilihat dari banyaknya istilah yang digunakan dalam mengartikan konsumen, maka
pengertian konsumen itu sendiri beraneka ragam, dimana masing-masing ketentuan memiliki
suatu kelebihan dan kekurangan. Menurut Badrulzaman (1986), '‘Konsumen adalah pemakal
terakhir dari benda dan jasa (uitelndelijk gubruiker van goerderen en diensten) yang
diserahkan pada mereka oleh pengusaha".

Dalam studi yang  diselenggarakan baik yang bersifat akademis, maupun yang bertujuan
untuk mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang

perlindungan konsumen ditemukan beberapa pengertian yang menarik perhatian, antara lain:

a. PBadan Pembinaan Hukum Naslonal (BPHN) Departemen Kehakiman, sebagalmana


tersebut dl dalam draft rancanaan undang-undang tentang perllndungan konsumen
menyebutkan bahwa konsumen adalah pemaknl akhlr darl barang, digunakan untuk
keperluan dlrl sendlrl atau orans lain dan tidak diperjualbelikan.

31
b. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, sebagalmana tersebut di dalam draft
rancanaan undang-undang tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa
konsumen adalah pemakai barang dan/atau Jasa yang tersedla dalam masyarakat, bagi
kepentingan dirl sendlrl, keluarga, atau orang Iain dan tidak untuk dlperdagangkan
kemball.
c. Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Departemen
Perdagangan, sebagaimana tersebut dl dalam draft rancanaan UU tentang
perlindungan konsumen menyebutkan bahwa konsumen adalah setlap orang atau
keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakal dan udak untuk diperdagangkan.’
d. Selain pengertian di atas, dalam ketentuan normatif yang terdapat dalam
UndangUndang No. S tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoll dan
Persalngan Tidak Sehat, juga memuat suatu pengertian konsumen yaitu: Seriap
pemakal dan / atau pengguna barang dan / atau jasa, baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun orang Iain.

A. Hal-hal yang Dipandang Sebagai Masalah dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen

Dari pernyataan-pernyataan pembuat UUPK tersebut dapatlah diketahui, bahwa masalah-


masalah yang dihadapi oleh konsumen adalah masalah kepastian atas mutu, jumlah, dan
keamanan barang dan/atau jasa yang dkonsumsinya. Selain itu, Dari pernyataan-pernyataan
pembuat UUPK tersebut dapatlah diketahui, bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh
konsumen adalah masalah kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa
yang dkonsumsinya. Selain itu,

konsumen pun seringkali dirugikan oleh berbagai aktvitas bisnis yang dilakukan pelaku usaha
melalui kiat pramosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.

Apabila disimak secara seksama, adanya berbagai masalah yang merugikan konsumen
tersebut, pada dasarnya disebabkan karena adanya ketidakseimbangan kedudukan antara
konsumen dengan pelaku usaha. Adanya ketidakseimbangan ini terutama disebabkan karena:
(1) kelemahan konsumen yaitu tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal

32
ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.“; (2) monopoli penguasaan
kemajuan dan perilaku teknologi dan informasi oleh pelaku usaha.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa berbagai hal yang
diidentifikasikan sebagai masalah yang akan diselesaikan melalui UUPK, oleh pembentuk
UUPK, adalah masalah:

1. Kepastian atas mutu barang dan atau jasa yang  dikonsumsinya.

2. Kepastian atas jumlah barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.

3. Kepastian atas keamanan barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.

4. kiat-kiat promosi yang merugikan konsumen.

5. Cara penjualan yang merugikan konsumen.

6. Penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

7. Adanya ketidakseimbangan kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha, yang


disebabkan karena:

a. tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah.

Dari pernyataan-pernyataan pembuat UUPK tersebut dapatlah diketahui, bahwa masalah-


masalah yang dihadapi oleh konsumen adalah masalah kepastian atas mutu, jumlah, dan
keamanan barang dan/atau jasa yang dkonsumsinya. Selain itu,

konsumen pun seringkali dirugikan oleh berbagai aktvitas bisnis yang dilakukan pelaku usaha
melalui kiat pramosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.

Apabila disimak secara seksama, adanya berbagai masalah yang merugikan konsumen
tersebut, pada dasarnya disebabkan karena adanya ketidakseimbangan kedudukan antara
konsumen dengan pelaku usaha. Adanya ketidakseimbangan ini terutama disebabkan karena:
(1) kelemahan konsumen yaitu tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal
ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.“; (2) monopoli penguasaan
kemajuan dan perilaku teknologi dan informasi oleh pelaku usaha.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa berbagai hal yang
diidentifikasikan sebagai masalah yang akan diselesaikan melalui UUPK, oleh pembentuk
UUPK, adalah
33
masalah:

1. Kepastian atas mutu barang dan atau jasa yang  dikonsumsinya.

2. Kepastian atas jumlah barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.

3. Kepastian atas keamanan barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.

4. kiat-kiat promosi yang merugikan konsumen.

5. Cara penjualan yang merugikan konsumen.

6. Penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

7. Adanya ketidakseimbangan kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha, yang


disebabkan karena:

a. tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah.

b. rendahnya pendidikan konsumen.

c. penguasaan teknologi dan informasi oleh pelaku usaha

D. Tujuan Perlindungan Konsumen (Kondisi Ideal yang Ingin Diciptakan dengan


Diberlakukannya UU Perlindungan Konsumen)

Tujuan utama diberlakukannya UUPK adalah Untuk memberikan perlindungan terhadap


konsumen. Upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen tersebut dilakukan
dalam rangka untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen, sehingga pada tahap
akhirnya akan dapat mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan antara konsumen
dan pelaku usaha.

E. Strategi Untuk Mencapai Tujuan Perlindungan

Konsumen (Mengatasi Berbagai Hal Yang Diidentifkasi Sebagai Masalah Oleh Pembentuk
UUPK)

Ada dua strategi yang dipilih oleh pembentuk UUPK untuk mengatasi berbagai permasalahan
yang ada dan kemudian merubahnya menjadi kondisi ideal yang diharapkan, yaitu melalui:

1. Pemberdayaan konsumen.

2.  Mendorong iklim usaha yang sehat dengan tetap memberikan perhatian khusus kepada
pelaku usaha kecil dan menengah

34
Strategi pertama (dan Utama) yang ditentukan oleh pembentuk UUPK dalam upayanya
melindungi konsumen adalah melalui perberdayaan konsumen. Perberdayaan konsumen
secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya-upaya untuk melindungi konsumen yang
dilakukan oleh konsumen sendiri.

Upaya-upaya untuk melindungi konsumen melalui pemberdayaan ini penting, karena telah
puluhan tahun konsumen berada dalam posisi kalah, rasa pasrah dan nrimo ketika dirugikan
telah menjadi kebiasaan. ltu pun masih diperburuk oleh ketiadaan solidaritas konsumen,
rendahnya disiplin, juga mental para pelaku usaha maupun aparat pelayan masyarakat. Dalam
kondisi yang demikian, maka konsumen tidak akan pernah terlindungi, bila tidak didasarkan
pada kekuatan, kemampuan dan kemauan dari konsumen sendiri untuk melindungi dirinya
sendiri.

Upaya-upaya pemberdayaan konsumen yang pada hakekatnya Inerupakan bagian untuk


meningkatkan harkat dan martabat konsumen ini dilakukan dengan cara meningkatan
pengetahuan. kesadaran, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya sendiri", yang dilakukan melalui pembinaan dan pendidikan baik oleh
pemerintah, masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Strategi kedua yang dipilih oleh pembentuk UUPK untuk melndungi konsumen adalah
dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat. Strategi ini dipilih karena
sebagaimana dikemukan oleh pembentuk UUPK, piranti hukum yang melindungi konsumen
tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, akan tetapi justru mendorong
agar pelaku usaha dalam melakukan kegiatannya dilakukan dengan cara-cara yang jujur tidak
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

lklim usaha yang sehat, yang dapat menjamin terjadinya pesaingan usaha yang sehat,
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan suatu fenomena yang normal dalam
kehidupan ekonomi  yang mendasarkan pada sistem ekonomi pasar, karena dalam situasi
yang kompetitif, akan terjadi alokasi

sumber daya secara efisien, dimana setiap pelaku usaha akan memproduksi barang/jasa sesuai
keinginan konsumen, dengan harga yang mencerm'mkan biaya produksi. Dalam keadaan
yang demikian, maka baik para pe|aku usaha maupun konsumen akan berada pada posisi
yang sama-sama diuntungkan.

35
Sebagai bagian untuk menciptakan iklim usaha yangs sehat ini maka di dalam
pelaksanaannya UUPK tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pemb‘maan dan penerapan sanksi atas
pelanggarannya.

D. Ringkasan Isi Buku IV

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Perlindungan kosumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keannanan, dan


keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Penjelasan

"Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas


yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat dmaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam


menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan


konsumen, pelaku Usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemnanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan Konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum,"

Memerhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian pula


penjelasannya,tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional

36
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara
Republik Indonesia.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

1. asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3. asas kepastian hukum.

Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai "tiga ide dasar
hukum" atau "tiga nilai dasar hukum", yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum.
Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, di
mana Friedman menyebutkan bahwa: "In terms of law, justice will be judged as how law
treats people and how it distributes its benefits and cost," dan dalam hubungan ini Friedman
juga menyatakan bahwa "every function of law, general or specific, is allocative".

Sebagai asas hukum, Gengan sendininya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan
pertarma baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang
berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang teriibat di
dalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai
tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali
menyatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali
mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan,
kemanfaatan,dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam
kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya,
dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya "adil" men urut
persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian
pula sebaliknya.' Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan: "bahwa kita harus
menggunakan asas prioritas di mana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru
kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum."

Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut,


sebagaimana dikatakannya:

37
"Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah
menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut
keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terakhir kepastian hukum. Penulis sendiri
menganggap hal yang lebih realistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang
penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum KIta diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapl,
sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan sedang untuk kasus B
prioritasnya pada kepastian hukum.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan
hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semuanya tergantung
dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.

Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat


keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak,
yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini
tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha
dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang
kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan
dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan


fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat
dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan
kata lain sebagai sarana kontrol sosial.

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak


terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para
pihak. Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat
publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan
solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang
dinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban
sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama
di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum
memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas
sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas
kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang

38
menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap
mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival bagi manusia.
Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan
yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama."
Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas
keseimbangan di atas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam
kajian hukum ekonomi.

Sejak masuknya paham welfare state, negara telah ikut campur dalam perekonomian
rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen.
Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham negara modern melalui
welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa
melibatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif di dalam suatu negara. Sesuai fungsi
kehadiran negara, maka pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab
memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional.
Campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi Pembukaan dan Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara
jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka
pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke


dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan
bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di
samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.

Memerhatikan uraian tentang asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen tersebut,


demikian pula hubungannya dengan komentar kami tentang substansi Pasal 1 angka 1 dalam
bab sebelumnya, maka tidak dapat diragukan bidang hukum ini berada dalam lingkup kajian
hukum ekonomi.

Hukum ekonomi yang dimaksud, mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus yaitu
aspek hukum publik dan aspek hukum privat (perdata), dalam hubungan ini, maka hukum
ekonomi mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum

39
dimaksud. Di dalamnya mengandung nilai-nilai untuk melindungi berbagai aspek kehidupan
kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas asas utama dari hukum ekonomi yang
bersumber dari asas-asas hukum pubiik antara lain; asas keseimbangan kepentingan, asas
pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan
asas- asas hukum yang bersumber dari hukum perdata dan/atau hukum dagang yaitu khusus
mengenai hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau
perbuatan hukum tertentu di mana harus menghormati "hak dan kepentingan pihak lain".

Oleh karena hukum ekonomi mempersoalkan hubungan antara hukum dan kegiatan-
kegiatan ekonomi, maka asas lain yang Juga patut mendapat perhatian adalah asas-asas yang
berlaku dalam aspek kegiatan ekonomi tersebut. Dalam kegiatan ekonomi yang sangat
terkenal yaitu upaya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang
sekecil-kecilnya. Berangkat dari hal ini, maka dalam hukum ekonomi juga berlaku asas
"maksimalisasi" dan asas "efisiensi". Melalui asas ini suatu aturan yang hendak
diambil/diterapkan harus mempertimbangkan sesuatu yang lebih menguntungkan secara
maksimal bagi semua pihak, demikian pula harus menghindari suatu prosedur yang panjang
dalam rangka efisiensi waktu, biaya, dan tenaga.

Himawan mengatakan, dua konsep ekonomi yang menjadi dasar yaitu; konsep
maximization (maksimalisasi) dan konsep eguilibrium (keseimbangan). Disamping kedua
konsep ini, konsep efisiensi juga merupakan dasar pemikiran Sebagai contoh, dampak negatif
tidak digunakannya konsep maksimalisasi tampak pada dampak tindakan moneter pemerintah
Indonesia pada bulan Pebruari 1991 yang telah meningkatkan bunga kredit sekitar 30% pada
taraf permulaan, hingga menyukarkan dilakukannya investasi. Alternatif lain, mencari dana
dari luar negeri dengan suku bunga yang relatif rendah yang banyak beredar di pasar dunia,
tetapi Indonesia gagal memanfaatkannya karena pranata hukum tentang pinjam meminjam
tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh badan peradilan Indonesia. Sebaliknya, apabila
konsep maksimalisasi tidak dikendalikan dengan baik, maka akan membawa ekses-ekses
yang membahayakan tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, konsep maksimalisasi
yang dibutuhkan agar pranata hukum dapat berperan dalam proses pembangunan,
memerlukan mekanisme pengendalian yang berupa konsep keseimbangan. Konsep
keseimbangan dalam hal ini tidak berusaha menghilangkan sama sekali benturan (gangguan),
tetapi berusaha menekan serendah mungkin benturan tersebut. Secara relatif keseimbangan
sudah tercapai apabila gangguan (disequilibrium) berada pada tingkat minimum.

40
Menyangkut konsep etisiensi, suatu proses dikatakan telah mencapai efisiensi apabila
proses yang bersangkutan menghasilkan output maksimal dengan input minimum. Di bidang
ekonomi konsep tersebut menjelma dalam bentuk; efficient production, efficient exchange,
dan utilitarian efficiency. Dalam hubungan ini, maka pranata hukum juga perlu dilihat
sebagai "faktor produksi", yang baru menjadi efisien apabila nilai ekonomi barang dan jasa
telah dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pranata hukum bersangkutan. Lebih dari itu,
ahli hukum yang dapat menerapkan konsep-konsep maximization, equilibrium, dan
efficiency akan lebih mudah melihat pranata hukum sebagai suatu "komoditi Namun bukan
berarti hukum dapat diperdagangkan, tetapi terus dibina dan dijaga kualitasnya, sehingga
selalu apa bersaing di pasar pranata hukum" dalam dan luar negeri Dalam negeri pranata
hukum bersaing dengan pranata nonhukum, seperti pranata ekonomi. Di luar negeri pranata
hukum Indonesia bersaing dengan pranata hukum asing.

Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga)


kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemantaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum
ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan
asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian
hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut Himawan bahwa: "Hukum
yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat
melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa
penyimpangan".

Pasal 3

"Perlindungan konsumen bertujuan:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya darı ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,menentukan, dan menuntut hak-


haknya sebagai konsumen.

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum


dan keterbukaan formasi serta akses untuk mendapatkan informasıi;

41
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh Sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau Jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen".

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan


nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan
konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Bab III Hak dan kewajiban

HAK DAN KEWAJIBAN

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan


perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh
kemajuan teknologi telekomunikasi kiranya memperluas ruang gerak arus transaksi barang
dan/atau jasa. Akibatnya barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar
negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini di satu pihak mempunyai manfaat
bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi
serta semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas
barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Tetapi di sisi lain,
dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Berkenaan dengan
pertimbangan tersebut, maka perlu Juga diketengahkan apa yang menjadi hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha, sebagai berikut:

Bagian Pertama

Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 4

42
"Hak konsumen, adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau
jasa;

b. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pemdapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e.hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa


perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensası, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya"

secara keseluruhan pada dasarnya dikenal sepuluh hak konsumen, yaitu sebagai berikut:

a.hak atas keamanan dan keselamatan,

b. hak untuk memperoleh informasi;

c. hak untuk memilih;

d. hak untuk didengar;

e. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

f. hak untuk memperoleh ganti rugi;

g. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

h. hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

i. hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;

43
j. hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.

Selanjutnya masing masing hak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Hak atas keamanan dan keselamatan;

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga
konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu
produk.

b. Hak untuk memperoleh informasi

Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang
disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk,
yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai.
Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh
gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen
dapat memilih produk yang diinginkan/ sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian
akibat kesalahan dalam penggunaan produk.

C. Hak untuk memilih;

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk
memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak
luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau
tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baikkualitas maupun
kuantitas jenis produk yang dipilihnya.

Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari
jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen
atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang maupun Jasa), maka aengan
sendirinya hakuntuk memilih ini tidak akan berfungsi.

d. Hak untuk didengar;

44
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut,
atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh
tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian
yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan/pendapat
tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup.
Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar
(barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya (secara layak). Hak-hak ini terutama
yang berupa hak atas pangan, sandang, papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk
memperoleh pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian;

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah
menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak
memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah
merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut
diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus
melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun
yang diselesaikan melalui pengadilan.

g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen


memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari
kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut,
konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang
dibutuhkan.

h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen
dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk

45
memperoleh informasi tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup. Sedangkan dalam Pasal 3 g Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
sebagai pengganti Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ditentukan bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan menjamin pemenuhan dan
perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.

i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan
harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar
harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas
barang atau jasa yang diperolehnya. Penegakan hak konsumen ini didukung pula oleh
ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketentuan di dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak Sehat, menentukan bahwa:

"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas Suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama."

Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik


Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa:

"Pelaku usaha dilarang mermbuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk
barang dan atau jasa yang sama".

j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.

Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah
dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.

Sepuluh hak konsumen, yang merupakan himpunan dan berbagai pendapat tersebut di
atas hanpir semuanya sarma dengan hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikutip sebelumnya.

46
Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut terdapat satu hak yang tidak terdapat pada 10 (sepuluh hak konsumen
yang diuraikan sebelumnya, yaitu "hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar
danjujur serta tidak diskriminatif, namun sebaliknya Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tidak mencantumkan secara khusus tentang "hak untuk memperoleh kebutuhan
hidup" dan "hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat", tapi hak tersebut
dapat dimasukkan ke dalam hak yang disebutkan terakhir dalam Pasal 4 UUPK tersebut,
yaitu "hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Sedangkan hak-hak lainnya hanya perumusannya yang lebih dirinci, tapi pada dasarnya sama
dengan hak-hak yang telah disebutkan sebelumnya.

Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan,


namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:

1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal,
maupun kerugian

2. hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wayar; dan

3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi;

Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak
konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK, maka hal tersebut sangat esensial bagi
konsumen, sehingga dapat dijadikan/merupakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen
di Indonesia.

Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang


disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena
pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi konsumen. kerugian konsumen dari
berbagai aspek.

Pasal 5

"Kewajiban konsumen, adalah:

A. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/ataujasa demi keamanan dan keselamatan;

47
b. beriktikad baik dalam melakukan transakst pembelhan barang dan/ atau jasa;

C.membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut".

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6

"Hak pelaku usaha adalah:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang

dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak
baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangka;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya".

Pasal 7

"Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b.memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

48
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian".

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu


produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu.
Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan,
maupun yang berupa instruksi.

Representasi

Perlunya representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu penyebab
terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi terhadap produk
tertentu.

Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam kaitannya dengan


misrepresentasi banyak disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan atau brosur-brosur produk
tertentu, sedangkan iklan atau brosur tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar,
karena pada umumnya hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya
kelemahan produk tersebut ditutup-tutupi.

Instruksi

Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi penggunaan produk,
juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen Pencantuman informasi
bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk/prosedur pemakaian suatu produk
merupakan kewajiban bagi produsen agar produknya tidak dianggap cacat (karena ketiadaan
informasi atau informasi yang tidak memadai). Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk
membaca, atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

49
BAB VIII BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL

Bagian Pertama

Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas

Pasal 31

"Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan


Perlindungan Konsumen Nasional".

Berangkat dari ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN) diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di
Indonesia. Istilah "mengembangkan" yang digunakan di dalam rumusan pasal ini,
menunjukkan bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk sebagai
upaya untuk mengembangkan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam pasal yang
lain, khususnya tentang pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha,
pengaturan larangan-larangan bagi pelaku usaha di dalam menjalankan bisnisnya, pengaturan
tanggung jawab pelaku usaha, dan pengaturan penyelesaian Sengketa perlindungan
konsumen.

Pasal 32

"Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik


Indonesia dan bertanggung Jawa kepada Presiden".

Ketentuan pasal ini memberikan kedudukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional


di Ibu Kota Negara dan bertanggung jawab kepada Presiden adalah kedudukan yang kuat di
dalam mengembangkan upaya perlindungan konsumen. Badan Perlindungan Konsumen
Nasional tidak dapat diintervensi oleh pihak departemen seperti Departemen Perdagangan
dan Perindustrian di dalam pelaksanaan tugasnya. Kedudukannya independen dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kedudukan seperti ini sangat baik untuk
kepentingan perlindungan konsumen. Sifat lebih otonom diharapkan dapat berperan
memberikan perlindungan konsumen secara lebih maksimal, sebagai bentuk perlindungan
dari arus atas.

Pasal 33

50
"Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di
Indonesia".

Substansi pasal ini memperjelas peran Badan Perlindungan Konsumen Nasional


terhadap pemberdayaan konsumen. Apabila dihubungkan dengan substansi Pasal 34, maka
ketentuan Pasal 33 ini merupakan aturan yang bersifat umum, yang dijabarkan lebih lanjut
dalam Pasal 34.

Fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya


mengembangkan perlindungan Konsumen di Indonesia dapat terjadi dalam berbagai bentuk
dan tidak terbatas pada penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.

Pasal 34

(1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional mempunyai tugas:

a.memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan


kebijaksanaan di bidang

perlindungan konsumen;

b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang


berlaku di bidang perlindungan konsumen

c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan


konsumen;

d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan


memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;

f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga


perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha;

g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

51
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , Badan perlindungan
Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan orgamisasi oonsumen internasional.

Bagian Kedua

Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Pasal 35

(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdıri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lıma belas) orang dan
sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakilı semua unsur.

(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.

(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumem Nasional
selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

(4) Ketua, wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.

Pasal 36

Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri dari

unsur:

a. pemerintah;

b. pelaku usaha;

c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

d. akademisi; dan

e. tenaga ahli".

Penjelasan

Huruf d

52
"Akademisi adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota Perguruan Tinggi".

Huruf e

"Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen".

Pasal 37

"Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:

a. warha negara Republik Indonesia

b. berbadan sehat;

c. berkelakuan baik

d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;

e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan

f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun".

Hal yang perlu dikomentari, adalah Pasal 37 huruf e tentang syarat keanggotaan Badan
Perlindungan Konsumen Nasional yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
perlindungan konsumen. Syarat ini seharusnya tidak boleh diberlakukan sama untuk semua
unsur keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional, karena sudah jelas di antara
setiap unsur tidak memiliki ukuran atau kriteria yang sama, baik itu aspek pengetahuan
maupun aspek pengalaman. Berbeda dengan 5 (lima) syarat lainnya, mutlak diberlakukan
sama.

Pasal 38

"Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:

a.meninggal dunia;

b. mengundurkan diri atas permıntaan sendiri;

c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;

d.sakit secara terus-menerus;

e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau

53
f. diberhentikan".

Penjelasan

Huruf d

"Sakit secara terus-menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya".

Pasal 39

(1) untuk kelancaran pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu
oleh sekretariat.

(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

(3) Fungsi, tugas, dan tata Rerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Kesekretariatan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas Badan Perlindungan


Konsumen Nasional. Walaupun sekretaris tidak masuk struktur keanggotaan Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, tetapi kehadirannya sangat penting. Oleh karena itu,
seharusnya ada syarat yang ditetapkan untuk pengangkatan seorang sekretaris.

Pasal 40

(1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk


perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.

(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Penjelasan

Ayat (2)

"Yang dimaksud dengan keputusan ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah
keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota."

54
Pasal 41

"Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlındungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata
kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional".

Penjelasan

"Yang dimaksud dengan keputusan ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah
keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota"

Komentar tentang ketentuan pasal ini, sama menyangkut cara pengambilan keputusan
dalam musyawarah anggota, yang ternyata tidak dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001.

Pasal 42

"Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumem Nasional dibebankan


kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber lain yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Ketentuan pasal ini sudah seharusnya, karena bagaimanapun dalam pelaksanaan tugas
pihak Badan Perlindungan Konsumen Nasional akan memerlukan cukup banyak biaya. Hal
ini membedakan dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
yang merupakan partner BPKN dari arus bawah yang banyak diserahi tugas melakukan
pengawasan dan bahkan penelitian. Menurut kami agar LPKSM dapat efektif menjalankan
tugas yang dibebankan oleh undang-undang ini, perlu dipertimbangkan bantuan pembiayaan.
Sudah jelas bantuan yang dimaksud diberikan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif
melaksanakan tugas berdasarkan laporan yang disusun sesuai hasil pengawasan dan
penelitian yang dilakukan. Walaupun demikian, konsep pemikiran ini masih perlu ditelaah
kembali secara lebih mendalam, oleh karena jangan sampai bantuan pembiayaan yang
dimaksud Justru mengganggu independensi. Bagi kami bantuan pembiayaan memang
penting, akan tetapi independensi LPKSM jauh lebih penting daripada sekadar bantuan biaya.

Pasal 43

"ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam
Peraturan Pemerintah".

55
Ketentuan pasal ini sangat penting kehadirannya, untuk dan/atau menjabarkan lebih lanjut
ketentuan pasal tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Hanya saja dengan
diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 sebagaimana terlihat dalam
komentar kami sebelumnya, tampak masih ada pasal-pasal yang belum mendapat penjelasan
dan/atau penjabaran lebih lanjut.

56
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pembahasan Buku I

Kelebihan buku

Buku ini juga sangat bagus jika ditinjau dari segi cover,dan tata bahasanya yang sudah
mengikuti keinginan pembaca pada masa sekarang ini . Memiliki materi yang mudah dicerna
oleh si pembaca dan juga memiliki materi yang jelas. Buku ini juga sangat unik dan menarik
mengapa saya katakan begitu karena pada setiap bab penulis menyertakan contoh dan
gambar. Buku ini juga mengaplikasikan materi didalam buku ini kedalam kehidupan sehari-
hari. Buku ini juga mudah di pahami oleh si pembaca.

Kekurangan buku
Walaupun secara garis besar buku ini sangat bagus untuk dibaca namun masih ada
kekurangan didalam buku utama tersebut. Buku ini tidak banyak disertai pandangan para
ahli,begitu juga dengan sejarah teori perkembangan. Tidak memiliki gambar. Buku ini
cakupan materinya sangat luas sehingga terkesan membosankan bagi pembaca yang ingin
memahaminya cepat. Mencari inti materi yang terlalu sulit.

B. Pembahasan Buku II

Kelebihan 

Materi yang terkandung dalam buku ini memberikan semangat pada pembaca untuk dapat
berkarya, yaitu dengan cara menulis dan mengarang. Buku ini juga mampu menyajikan ide-
ide yang kreatif dan motivas-motivasi didalam proses belajar menulis dan mengarang.

Kekurangan 
Secara implisit buku ini ditulis secara asal dan terkesan mahal.

C. Pembahasan Buku III

Kelebihan

57
Mudah disentuh, sumber referensi terpercaya, dan hemat, buku pun dapat memberikan ilmu
bagi yang membacanya.

kekurangan
mudah rusak, memerlukan tempat khusus, memerlukan perawatan khusus.

D. Pembahasan Buku IV

Kelebihan Buku

Buku ini sangat memotivasi bagi siapa saja yang membacanya. Ketika kamu membaca buku
ini, ekspresi wajah kamu pasti akan senyum-senyum sendiri. Selain itu, buku ini memiliki
ilustrasi-ilustrasi cerita pengalaman seseorang yang mampu menarik perhatian pembaca yang
akan menambah citra buku ini.

Kekurangan Buku

Kurangnya ilustrasi dalam buku ini akan menjenuhkan para pembaca, khususnya bagi orang-
orang yang tidak suka membaca.

58
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap keterampilan itu erat sekali dengan keterampilan lainya dengan cara yang sangat
beraneka ragam. Dalam memperoleh keterampilan mengkritisi biasanya adalah urutan

59
terakhir. Mula mula menyimak bahasa, sesudah itu membaca, menulis dan yang terakhir
mengkritik. Ke-empat keterampilan tersebut merupakan catur tunggal atau kesatuan
keterampilan.
Setiap keterampilan kerap berhubungan dengan proses proses berfikir yang memberi
bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikiran nya, semakin terampil seseorang berbahasa,
semakin cerah dan cerdas pula jalan pikiran nya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan
dikuasai dengan jalan praktek dan banyak latihan. Seperti melakukan tugas CBR ini, ini
adalah contoh untuk melatih keterampilan kita baik itu menyimak bahasa buku, membaca,
menuis dan mengkritik dengan menggunakan bahasa yang baik. Melatih keterampilan
berbahasa berati pula melatih keterampilan berfikir.

B. Rekomendasi

Menurut yang saya baca dari buku Etika Bisnis dan Hukum Bisnis, buku tersebut
sangat layak digunakan untuk seorang mahasiswa seperti kami dan menjadi reverensi bagi si
pembaca dan diharapkan agar buku tersebut lebih teliti lagi saat dalam pengetikan agar tidak
ada kesalahan serta memudahkan pembaca untuk mengaplikasikan dalam kehidupan sehari
hari serta perlengkaplah identitas buku tersebut.

60
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. PT RAJAGRAFINDO


PERSADA; Jakarta

A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Diadit Media,. h.3

Bpk. Arus Akbar Silondae, SH., L.L.M. dan Ibu Andi Fariana, S.H., M.H. Aspek Hukum
dalam Ekonomi & Bisnis. Mitra. Wacana Media

Kartika S,Elsi dan Advendi.Hukum Dalam Ekonomi (Edisi II Revisi).Grasindo

Wardiono, Kelik. Hukum Perlindungan Konsumen Aspek Substansi Hukum, Struktur Hukum
dan Kultur Hukum dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Ombak; Yogyakarta.

61

Anda mungkin juga menyukai