PerkembanganPolitikSetelah21Mei1998
1.Sebab-SebabterjadiReformasi
Sejak 13 Mei 1998 rakyat meminta agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri. Tanggal 14 Mei 1998 terjadi kerusuhan di Jakarta dan di
Surakarta. Tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto pulang dari mengikuti
KTT G-15 di Kairo, Mesir. Tanggal 18 M ei para mahasiswa menduduki
gedung MPR/DPR dan pada saat
itu ketua DPR/MPR mengeluarkan per-nyataan agar Presiden Soeharto mengun
durkan diri. Hal ini jelas berpengaruh terhadap
nilai tukar rupiah yang merosot sampai Rp15.000 per dollar. Dari realita di a
tas,
akhirnya tanggal 21 Mei 1998 Presiden
Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada
B.J. Habibie, yang membuka peluang suksesi kepemimpinan nasional kepada B.
J. Habibie. Tujuan reformasi a dalah terciptanya kehidupan dalam b
idang p olitik,
ekonomi, hukum, dan sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya.
a. Tujuan Reformasi
2.JatuhBangunnyaPemerintahanRISetelah21Mei1998
Pemilihan umum dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Dari seratus lebih partai
politik
yang terdaftar, hanya 4 8 partai politik yang dinyatakan memenuhi p ersyarata
n
untuk mengikuti pemilihan u mum. Lima besar hasil Pemilu adalah P artai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), Partai Golongan
Karya (Partai Golkar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) dan sekaligus
merupakan lima penyusunan k eanggotaan MPR yang menempatkan
Amin Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR R I.
Sidang Umum MPR pada tanggal 1 9 Oktober 1999 menolak laporan
pertanggungjawaban P residen B.J.
Habibie yang disampaikan pada tanggal
16 Oktober 1999. Faktor penting y ang m enyebabkan ditolaknya laporan
pertanggungjawaban P residen B.J. Habibie adalah patut diduga bahwa presi
den
menguraikan indikator pertumbuhan ekonomi yang tidak akurat dan manipula
tif.
Sidang Umum MPR juga b erhasil mengambil keputusan memilih dan
menetapkan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI masa
bakti 1999–2004. Presiden K .H. Abdurrahman Wahid dalam menjalankan
pemerintahan didampingi Wapres M egawati Sukarnoputri. Sidang Umum MP
R
setelah berhasil menetapkan Presiden dan Wakil Presiden RI juga berhasil
membuat sembilan ketetapan d an u ntuk kali pertama melakukan amandeme
n
terhadap UUD 1945. Presiden A bdurrahman Wahid menjalankan pemerintah
an
dengan membentuk kabinet yang disebut Kabinet Persatuan Nasional.
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berjasa dalam membuka kran
kebebasan berpendapat dalam r angka demokrasi di Indonesia. Rakyat d iberi
kebebasan seluas-luasnya untuk berpendapat hingga akhirnya terjadi
kebingungan dan kebimbangan mengenai benar dan tidaknya suatu hal.
Pemerintah sendiri juga tidak pernah tegas dalam memberikan pernyataan
terhadap suatu masalah. P emerintahan Presiden Abdurrahman Wahid secar
a
umum belum mampu m elepaskan bangsa Indonesia keluar dari krisis yang
dialaminya. Fakta yang ada justru m enunjukkan makin banyak terjadi
pengangguran, naiknya harga-harga, dan bertambahnya jumlah penduduk y
ang
berada di garis kemiskinan. Disintegrasi bangsa juga makin meluas m eskipu
n
telah diusahakan penyelesaian, misalnya pergantian nama Irian Jaya menjad
i
Papua. Pertentangan DPR d engan lembaga kepresidenan juga makin transp
aran.
Banyak sekali teguran D PR yang tidak p ernah diindahkan Presiden Abdurrah
man
Wahid. Puncak pertentangan itu muncul dalam masalah yang dikenal s ebaga
i
Bruneigate dan Buloggate. Kasus Buloggate menyebabkan lembaga DPR
mengeluarkan teguran keras k epada presiden dalam bentuk memorandum I
sampai II. Intinya agar p
residen kembali bekerja sesuai GBHN yang telah
diamanatkan. Presiden Abdurrahman Wahid tidak mengindahkan peringatan
DPR tersebut. DPR akhirnya b ertindak m eminta MPR menggelar sidang
istimewa untuk meminta p ertanggungjawaban kinerja presiden. Presiden
berusaha menyelesaikan masalah laporan pertanggungjawaban dengan
kompromi politik. Namun, upaya i tu tidak mendapat sambutan p ositif l ima
dari enam partai politik pemenang Pemilu 1999, yaitu PDI Perjuangan, Partai
Golkar, PPP, PAN, dan Partai B ulan Bintang. Partai Kebangkitan Bangsa seb
agai
basis politik K.H. Abdurrahman Wahid jelas mendukung langkah-langkahnya.
Sikap MPR untuk menggelar sidang istimewa makin tegas setelah presiden
secara sepihak melantik pemangku sementara jabatan Kepala Kepolisian RI
Komisaris Jenderal (Pol) Chaerudin Ismail menggantikan Kapolri Jenderal
Suroyo Bimantoro yang telah dinonaktifkan karena berseberangan p endapat
dengan presiden. Padahal sesuai aturan yang berlaku pengangkatan jabatan
setingkat Kapolri meskipun i tu hak prerogatif presiden harus tetap berkoordin
asi
dengan DPR. Presiden sendiri dalam menanggapi rencana sidang istimewa
berusaha mencari kompromi politik y ang sama-sama menguntungkan. N amu
n,
jika sampai tanggal 31 Juli 1998 kompromi ini tidak didapatkan, presiden
akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya. MPR berencana menggel
ar
sidang istimewa mulai tanggal 2 1 Juli 2001. Presiden direncanakan akan
memberikan laporan p ertanggungjawabannya pada tanggal 23 Juli 2003.
Namun, presiden menolak rencana tersebut dan menyatakan Sidang Istimew
a
MPR tidak sah dan ilegal.
Di lain pihak, beberapa p impinan partai p olitik lima besar pemenang
pemilu minus PKB mulai mendekati dan mendorong Wapres Megawati
Sukarnoputri untuk maju m enjadi presiden. Melihat perkembangan politik yan
g
tidak menguntungkan tersebut, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menenga
rai
adanya persekongkolan untuk m enjatuhkan dirinya sebagai presiden. Oleh
karena itu, presiden segera bertindak meskipun tidak mendapat dukungan pe
nuh
dari kabinetnya untuk mengeluarkan D ekret Presiden pada tanggal 23 J uli 20
01
pukul 1.10 WIB dini hari. Dekret Presiden 23 Juli 2001 pada intinya berisi hal
sebagai berikut:
1. membekukan MPR d an D
PR RI;
2. mengembalikan kedaulatan ke t angan rakyat dan mengambil tindakan sert
a
menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pemilihan umum d alam waktu satu t ahun;
3. menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur orde
baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan
Mahkamah Agung.
Bangsa Indonesia m enanggapi D ekret Presiden itu dengan p enuh
kebimbangan. MPR pada t anggal 23 Juli 2001 pukul 8.00 WIB, akhirnya
bersikap bahwa dekret tidak s ah dan presiden jelas-jelas telah melanggar hal
uan
negara yang diembannya. P ernyataan MPR didukung oleh fatwa Mahkamah
Agung yang langsung dibacakan pada Sidang Istimewa MPR itu. Sidang
Istimewa MPR terus berjalan meskipun PKB dan PDKB menyatakan walk out
dan tidak bertanggung j awab atas h asil apapun dari Sidang Istimewa MPR.
Fraksi-fraksi MPR yang ada akhirnya setuju memberhentikan K.H. Abdurrah
man
Wahid sebagai Presiden RI d an m
enetapkan Megawati Sukarnoputri sebagai
Presiden RI. Keputusan m enetapkan Megawati Sukarnoputri sebagai p reside
n
dituangkan dalam Tap. M PR No. I II/MPR/2001. Masa jabatan terhitung s ejak
dilantik sampai tahun 2004 a
tau melanjutkan sisa masa pemerintahan Presid
en
K.H. Abdurrahman Wahid. Hamzah Haz terpilih Wakil Presiden RI. Presiden
Megawati Sukarnoputri menjalankan pemerintahan dengan membentuk kabi
net
yang diberi nama Kabinet Gotong Royong. Komposisi kabinet ini ditetapkan
pada tanggal 9 Agustus 2
001. P ersoalan berat yang dihadapi bangsa Indone
sia
telah menghadang Presiden M egawati d an kabinetnya untuk diselesaikan
secepatnya.
3.KondisiSosialdanP
olitikBangsaIndonesiaSetelah21Mei1998
Perubahan politik di Indonesia sejak bulan Mei 1998 merupakan
babak baru bagi penyelesaian masalah Timor Timur. Pemerintah
Indonesia yang dipimpin oleh Presiden B .J. Habibie telah mena-
warkan pilihan, yaitu pemberian otonomi khusus kepada Timor
Timur di dalam Negara K esatuan RI atau memisahkan diri dari Indone-
sia. Melalui perundingan yang disponsori oleh PBB, di New York,
Amerika Serikat pada t anggal 5 M ei 1999 ditandatangani kesepakatan
tripartit antara Indonesia, P ortugal,
dan PBB untuk melakukan jajak pendapat
mengenai status masa depan T imor Timur.
PBB kemudian membentuk misi P BB di Timor Timur atau U
nited Nations
Assistance Mission in East Timor (UNAMET). Misi ini bertugas m elakukan
jajak pendapat. Jajak pendapat d iselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. J
ajak
pendapat diikuti oleh 451.792 penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria
UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan Dili pada
tanggal 4 September 1999. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa 78,5%
penduduk Timor Timur menolak menerima otonomi khusus dalam NKRI dan
21,5% menerima usul o tonomi khusus yang ditawarkan pemerintah R I. Ini
berarti Timor Timur harus l epas dari Indonesia. Ketetapan MPR No. V/MPR/
1999 tentang Penentuan P endapat R akyat di Timor Timur menyatakan
mencabut berlakunya Tap. MPR N o. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasil
jajak pendapat tanggal 3 0 Agustus 1 999 yang menolak otonomi khusus.
Pengalaman lepasnya Timor Timur dari I ndonesia menjadikan p emerinta
h
lebih waspada terhadap masalah Aceh d an Papua. Sikap politik pemerintah d
i
era reformasi terhadap penyelesaian m asalah Aceh dan Papua d ilakukan de
ngan
memberi otonomi khusus p ada dua daerah tersebut. Untuk lebih memberi
perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan
Presiden Abdurrahman W ahid n ama Irian Jaya diganti menjadi Papua.
Pemerintah pusat juga memberi otonomi khusus pada wilayah Papua. Denga
n
demikian, pemerintah telah berusaha merespon sebagian keinginan warga P
apua
untuk dapat lebih memaksimalkan segala potensinya untuk kesejahteraan r a
kyat
Papua sendiri. Meskipun b egitu, m asih saja terjadi usaha untuk memisahkan
diri dari NKRI, terutama y ang d ipimpin oleh Theys H. Eluoy, Ketua Presidium
Dewan Papua. Gerakan P apua Merdeka sempat mereda setelah Theys H. El
uoy
tewas tertembak pada tanggal 11 November 2001 yang diduga dilakukan ole
h
beberapa oknum TNI d ari Satgas Tribuana X. Penyelesaian konflik seperti itu
sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja oknum yang
memancing di air keruh sehingga menimbulkan ketegangan.
Keinginan sebagian rakyat untuk m erdeka telah menyebabkan pemerinta
h
bertindak keras. Apalagi setelah p engalaman Timor Timur dan pemberian
otonomi khusus pada rakyat tidak memberikan hasil maksimal. Pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otono
mi
khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik
pemerintah kurang mendapat s ambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap p ada tuntutannya, yaitu ingin Aceh
merdeka. Akibatnya, d i Aceh s ering terjadi gangguan keamanan, seperti
penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa kebutuhan rakyat, s erta
terjadinya penculikan d an p embunuhan p ada tokoh-tokoh yang memihak
Indonesia. Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat d engan
persetujuan DPR, akhirnya m elaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum dar
urat
militer diberlakukan di Aceh. Para p endukung Gerakan Aceh Merdeka
ditangkap. Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan
warga sipil sehingga diharapkan dapat segera selesai.
Gejolak politik di era r eformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bo
m di
Indonesia. Teror bom terbesar terjadi d i sebuah tempat hiburan di L
egian, Kut
a,
Bali yang menewaskan ratusan o rang asing. Pada tanggal 12 O
ktober 2002 b
om
berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di J akarta bebe
rapa
waktu lalu. Keadaan yang tidak aman dan banyaknya teror bom memperburu
k
citra Indonesia di mata i nternasional s ehingga banyak investor yang batal
menanamkan modal di I ndonesia. Kondisi politik Indonesia yang kurang
menguntungkan tersebut diperparah d engan tidak ditegakkannya hukum dan
hak
asasi manusia (HAM) s ebagaimana m estinya. Berbagai kasus p elanggaran h
ukum
dan HAM terutama yang menyangkut tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan
oknum TNI tidak pernah terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh k arena i tu, r
akyat
makin tidak percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantia
n
pimpinan negara sejak S oeharto tidak m enjadi Presiden RI.