Anda di halaman 1dari 20

Pendahuluan

Hernia adalah suatu penonjolan isi suatu rongga melalui pembukaan yang abnormal atau
kelemahan suatu area dari suatu dinding pada rongga dimana ia terisi secara normal. Hernia
inguinalis adalah hernia yang melalui anulus inguinalis internus/lateralis menelusuri kanalis
inguinalis dan keluar rongga abdomen melalui anulus inguinalis externa/medialis. Hernia
Inguinalis adalah  suatu penonjolan kandungan ruangan tubuh melalui dinding yang dalam
keadaan normal tertutup.
Kemajuan dalam ilmu kedokteran khususnya pembedahan, tidak terlepas dari peran dan
dukungan kemajuan di bidang anestesiologi. Anestesiologi sebagai cabang ilmu kedokteran,
merupakan ilmu yang mendasari usaha dalam hal pemberian anestesi dan analgesi serta
menjaga keselamatan penderitan yang mengalami pembedahan atau tindakan-tindakan
lainnya termasuk bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian
terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Kemajuan anestesi pada saat ini menyebabkan lebih aman dan menyenangkan bagi
pasien. Faktor yang mempengaruhi kemajuan tersebut adalah sudah adanya pemahaman
tentang fisiologi dan farmakologi tentang obat, sehingga pelaksanaan anestesi yang dimulai
dari persiapan pasien hingga pengawasan perioperatif dapat di laksanakan dengan baik,
apalagi dengan tersedianya tehnik anestesi yang baru seperti pemakaian obat pelumpuh otot,
intubasi endotrakeal, dan penggunaan obat-obatan yang mudah menguap.1-3

Manajemen Pre Operasi


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab
terjadinya kecelakaan anestesia. Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi
pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien
dibedah dalam keadaan bugar. Kadang kadang dokter spesialis anestesiologi mempunyai
waktu terbatas untuk menyiapkan pasien, sehingga persiapan kurang sempurna. Penundaan
jadwal operasi akan merugikan semua pihak, terutama pasien dan keluarganya. Tujuan utama
kunjungan pra anestesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Anamnesis
Yang pertama adalah melakukan anamnesa untuk mengetahui identifikasi penderita yang
terdiri dari nama, umur, alamat, pekerjaan, agama, status perkawinan, dll. Menanyakan juga

1
keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi. Adakah riwayat penyakit yang
sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti, diabetes melitus,
penyakit paru-paru kronis, (asma bronkial, pneumnia, dan bronkitis), penyakit jantung (infark
miokard, angina pektoris dan gagal jantung), hipertensi, penyakit hati dan penyakit ginjal.
Riwayat obat-obatan yag meliputi alergi obat, obat yang sedang digunakan dan dapat
menimbulkan interaksi dengan obat anestesi seperti, korsikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, golongan aminoglikosida, digitalis, dieuretikal, obat anti alergi, obat penenang
dan bronkodilator. Adakah riwayat anestesi/ operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi, dan perawatan intensif pascaoperatif untuk
menjadi acuhan dalam pertimbangan anestesi. Ditanyakan juga riwayat kebiasaan sehari-hari
yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi, seperti merokok, minum alkohol, obat
penenang, narkotik, riwayat keluarga yang mendrita kelainan seperti hipertermia maligna.
Ditanyakan pula berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernapasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointensinal, hematologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi, dan
dermatologi.1

Pemeriksaan Fisik
Perneriksaan fisik yang dilakukan secara umum adalah pemeriksaan tinggi dan berat
badan, kesadaran, tanda-tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, oedema, tekanan darah,
frekuensi nadi, suhu tubuh, frekuensi nafas dan nyeri. Secara keseluruhan dilakukan
pemeriksaan 5B yaitu : Breath, Blood, Bowel. Bladder, dan Bone. 1-3
 Breath (jalan nafas, pola nafas, suara nafas, anatomi dan fungsi paru)
Perhatikan jalan nafas terutama bagian atas dan rencanakan penatalaksanaan selama
anestesi. Evaluasi apakah jalan nafas tersumbat, apakah ada penyulit dalam intubasi
seperti panjang leher, gangguan membuka mulut (jarak minimal 4 cm), kekakuan otot
leher, masalah gigi (ompong, gigi palsu, gigi goyah), atau lidah yang relatif besar. Hal
tersebut dapat menjadi penyulit dalam pelaksanaan laringoskopi intubasi.
Leher yang pendek maupun panjang akan mempersulit intubasi, untuk mengetahui
apakah panjang leher cukup untuk melakukan intubasi dengan cara mengukur jarak
mentohyoid, yaitu jarak antara mento dengan os. hyoid dibelakang Adam’s apple. Jarak
ideal mentohyoid adalah 7 cm.
Untuk memeriksa rongga mulut biasanya digunakan pemeriksaan Mallampati, yaitu
dengan mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan. Pemeriksaan Mallampati ini dibagi
menjadi beberapa derajat, antara lain:

2
 Derajat I : Uvula terlihat semua
 Derajat II : Uvula terlihat sebagian
 Derajat III : Uvula tidak terlihat tetapi palatum molle terlihat
 Derajat IV : Hanya terlihat palatum durum
Periksa juga sistem pemafasan, perhatikan frekuensi nafas, irkan suara nafas, apakah
ada suara nafas tambahan seperti ronk iatau wheezing. perhatikan gerakan dada saat
bemafas simetris atau dan apakah pasien sesak atau nyeri saat bernafas.
 Blood (tensi. suara jantung, kelainan anatomis dan fungsi jantung)
Periksalah apakah pasien memiliki masalah dengan jantung dan pembuluh darah,
khususnya penyakit katup jantung, hipertensi dan gagal jantung baik kiri maupun kanan.
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat adanya peningkatan tekanan vena, oedem pada
ekstremitas bawah maupun pembesaran hepar. Dengarkan suara jantung apakah ada
suara tambahan atau tidak.
 Brain (GCS, kelainan saraf pusat atau perifer)
Periksa apakah pasien ada gangguan kesadaran atau tidak, adakah gangguan pada
saraf perifer atau pusat. Hal mi penting untuk ngelo1aan anestesi baik sebelum, selama
dan sesudah anestesi dan bedah.
 Bowel (makan minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik, gangguan lambung,
kehamilan)
Pada abdomen banyak yang harus diperhatikan, pembesaran hepar akibat konsumsi
alkohol atau penyakit lain akan berpengaruh terhadap obat anestesi yang akan digunakan.
Makan minum terakhir hams diperhatikan oleh karena dapat menimbulkan efek muntah,
yang dapat mengakibatkan aspirasi muntahan ke dalam paru.
Jika pasien dalam keadaan hamil harus diperhatikan obat-obat yang akan diberikan
karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin.
 Blader (produksi urine)
Periksa fungsi ginjal apakah ada gangguan atau tidak, misalnya gagal ginjal akut.
Secara umum urine dapat menggambarkan :
 Fungsi ginjal dan salurannya
 Kemodinamik penderita
 Hidrasi
 Hormonal
Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa :

3
 Produksi urine
Harus dinilai produksi urine apakah normal atau tidak
 Normal 0,5-1 ml/kg BB/jam
 Anuri : 20m1/24jam
 Oliguri : 25m1/jamatau400ml/24jam
 Poliuri 2500 ml/24 jm
 Serum kreatinin
 Sedimen urine
 Bone (kelainan postur tubuh, kelainan neuro muskuler, patah tulang)
Kelainan postur tubuh dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan menjadi penyulit saat
anestesi. Bentuk tulang belakang yang abnormal dapat mempengaruhi anatomi tubuh,
misalnya trakhea menjadi tertarik ke lateral sehingga mempersulit intubasi.

Pemeriksaan Laboratium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium
secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien
diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto rontgen. Praktek-praktek semacam ini
harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji
semacam ini.

Edukasi tentang Prosedur


Pada tahap ini pasien dan keluarga diberikan informasi tentang penyakit pasien,
pemeriksaan yang dilakukan, tindakan bedah yang akan dilakukan dan jenis anastesi yang
bisa dilakukan beserta dengan risiko dari setiap tindakan.

Informed Consent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien, hal lain
yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat,
yaitu Informed Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan
medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan

4
menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan tindakan
medis (pembedahan dan anestesi).
Meskipun mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi tidak dapat
dihindari dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien. Dan dalam kondisi nyata, tidak
semua tindakan operasi mengakibatkan komplikasi yang berlebihan bagi klien.
Bahkan seringkali pasien dapat pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat tanpa
komplikasi atau resiko apapun segera setelah mengalami operasi. Tentunya hal ini terkait
dengan berbagai faktor seperti: kondisi nutrisi pasien yang baik, cukup istirahat, kepatuhan
terhadap pengobatan, kerjasama yang baik dengan perawat dan tim selama dalam perawatan.
Informed Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi aspek etik
hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhadap pasien wajib untuk
menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang
dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan tujuan
serta segala resiko dan konsekuensinya.
Pasien maupun keluarganya sebelum menandatangani surat pernyataan tersebut akan
mendapatkan informasi yang detail terkait dengan segala macam prosedur pemeriksaan,
pembedahan serta pembiusan yang akan dijalani. Jika petugas belum menjelaskan secara
detail, maka pihak pasien/keluarganya berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-betul
paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak maka penyesalan akan
dialami oleh pasien/keluarga setelah tindakan operasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai
dengan gambaran keluarga.

Klasifikasi Status Fisik (ASA)


Berdasarkan hasil pemeriksaan kita dapat menentukan status fisik pasien, American
Society Of Anestesiologists (ASA) membuat klasifikasi pasien menjadi kelas-kelas :4
1. Kelas / ASA I Pasien normal sehat fisik dan mental
2. Kelas / ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional.
3. Kelas / ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi.
4. Kelas / ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi.

5
5. Kelas / ASA V Pasien yang tidak dapat hidup / bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi.
6. Kelas / ASA VI Pasien mati batang otak yang organ tubuhnya dapat diambil.
E, Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA di ikuti
huruf E (misalnya I E atau 2 E).

Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat-obatan 1 atau 2 jam sebelum induksi secara oral,
intramuskular, intravena maupun perrektal. Adapun tujuan dari pemberian premedikasi
adalah, menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan kekuatiran, memberikan
ketenangan, membuat amnesia dan memberikan analgesi), juga untuk memudahkan atau
memperlancar induksi, rumatan dan sadar dari anestesi serta mengurangi jumlah obat-obatan
anestesi. Dapat mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah
pascaoperatif, stress fisiologis (takikardi, napas cepat) dan keasaman lambung.5-6
Adapun obat-obat yang dapat diberikan antara lain :
 Sulfas atropin, 0,1 mg/kgBB dipakai untuk pengobatan bradikardi dan sebagai
therapi tambahan pada pengobatan bronkhospasme serta tukak lambung. Atropin
secara kompetisi mengantagonisir aksi asetil kolin pada reseptor muskarinik,
menurunkan sekresi saliva, bronkhus dan lambung serta merelaksasi otot polos.
 Diazepam per oral 10-15 mg untuk pereda kecemasan.
 Pethidin 50 mg untuk mengurangi nyeri atau kesakitan. Simethidin/ranithidin 150 mg
untuk mengurangi ph asam cairan lambung, Ondacetron, 2-4 mg untuk mengurangi
mual-muntah pascabedah.

Puasa
Induksi anestesi umum meniadakan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas
apabila terjadi regurgitasi isi lambung. Penting bagi penderita untuk memahami bahwa gula-
gula dan premen karet dianggap sebagai makanan padat, dan teh serta kopi bukan air putih.
Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau secara intravena jika
diberikan beberapa menit sebelum operasi. Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam,
anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka
dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.3,5

6
 Persiapan Pasien Sebelum Hari Operasi
Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah aspirasi isi lambung,
karena regurgitasi/muntah. Pada operasi elektif, pasien dewasa puasa 6-8 jam, pada anak
cukup 3-5 jam. Dan gigi palsu, bulu mata palsu, perhiasan (cincin, gelang, kalung) dilepas
serta bahan kosmetik (lipstik, cat kuku), di bersihkan sehingga tidak mengganggu
pemeriksaan.
Kosongkan juga kandung kemih dan bila perlu lakukan katerisasi, bersihkan lendir dari
saluran napas. Jangan lupa memberikan informed consent kepada keluarga dan membuat izin
pembedahan/anestesi secara tertulis. Sebelum pasien masuk kamar operasi harus mengenakan
pakaian khusus (diberi tanda dan label, terutama pada bayi). Pemeriksaan tentang fisik pasien
dapat diulangi di ruang operasi.

Intraoperatif
Klasifikasi Anestesi
 General Anestesi
Anestesi umum atau general anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri atau
sakit secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat putih kembali.
Hilangnya segala sensasi perasaan panas, dingin, rabaan, kedudukan tubuh (posture),
nyeri dan disertai hilangnya kesadaran. Anestesi umumnya terdiri dari tiga komponen
yaitu : Hipnotik, analgesi dan relaksasi.4
Cara pemberian obat untuk anestesi umum dapat melalui; pertama, Parenteral
(Intramuskural / Intravena), pemberian ini digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi.Yang kedua bisa melalui Perrectal (peranus), diberikan pada anak untuk
induksi anestesi atau tindakan singkat/ diagnostik pada pemeriksaan mata,  telinga,
penyinaran, rontgen foto. Ketiga, dapat melalui inhalasi/ anestesi inhalasi (valatile
agent), yaitu menggunakan gas/cairan anestesi sebagai zat anestetik yang mudah
menguap melalui udara pernafasan.
Teknik ini digunakan untuk pembedahan abdomen yang luas, intraperitoneum,
toraks, intrakranial, pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi dengan posisi
tertentu yang memerluakn pengendalian pernafasan.
 Regional Anestesi
Regional anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri atau sakit secara
regional tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian anestesi regional dapat dengan

7
cara, pertama yaitu blok sentral (blok neuroksial), yang meliputi blok spinal dan epidural
dan tindakan ini sering dikerjakan. Pengertian blok spinal adalah penyuntikan obat
anestesi lokal kedalam ruang subaraknoid. Sedangkan blok epidural adalah penyuntikan
obat anestesi lokal ke dalam ruang epidural. Yang kedua yaitu blok perifer (blok saraf),
misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, dll.4

Pemilihan Teknik Anestesi


Pemilihan anestesi berdasarkan atas usia penderita, status fisik penderita (adakah penyakit
sistemik yang diderita, bentuk fisik penderita), jenis pembedahan (kecil atau besar, terencana
atau darurat, lokasi pembedahan serta posisi penderita), keterampilan dan pengalaman ahli
bedah serta keterampilan dan pengalaman dokter dan perawat anestesi.4
Indikasi anestesi umum
Anestesi umum digunakan untuk bayi dan anak-anak, dewasa yang ingin dianestesi
umum, prosedur operasi yang lama dan rumit seperti, pembedahan abdomen yang luas,
intraperitoneum,  toraks, intrakranial, pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi
dengan posisi tertentu yang memerlukan pengendalian pernafasan, serta penderita dengan
gangguan mental.
Bila pemilihan anestesi umum dengan tindakan langoskopi dan intubasi trakea, maka
dapat menimbulkan komplikasi. Laringoskopi adalah alat yang digunakan untuk melihat
laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar.
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glotis,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Komplikasi yang timbul selama intubasi antara lain, trauma gigi-geligi,
laserasi pada bibir, gusi, laring, dapat merangsang saraf simpatis sehingga terjadi hipertensi
atau takikardi, aspirasi, dan spasme bronkus. Komplikasi yang timbul setelah ekstubasi
adalah, spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema gotis-subglotis, dapat juga
menimbulkan infeksi pada laring, faring dan trakea.4
Indikasi anestesi regional
Anestesi regional digunakan untuk orang dewasa, dengan indikasi bedah ekstremitas
bawah, operasi kebidanan, bedah urologi, tindakan sekitar rektum – perineum. Kontra
indikasi  absolut regional anestesi yaitu tidak boleh diberikan apabila pasien menolak, infeksi
pada tempat suntikan, hipovolema berat, syok, koagulopati atau mendapat terapi

8
antikoagulan, fasilitas resusitasi yang minim, kurang pengalaman atau tanpa didampingi
konsultan anestesia.4

Obat-Obat Anastesia
 Obat-obat Anestesi Lokal
Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada
penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls saraf ke SSP.
Luasnya daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan anestesi, volume yang
diberikan, kadar zat dan daya tembusnya. 4-6
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya
terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi semua organ
dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek
yang penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabang–cabang
neuromuskular dan semua jaringan otot .
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan
sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak mengakibatkan
kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas sistemik yang rendah, efektif
dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir, mula kerjanya
sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama, dapat larut dalam
air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga tahan terhadap pemanasan/sterilisasi
Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugus-amino hidrofil
(sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau amida
dengan suatu gugus aromatis lipofil. Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat
anestesi lokal sebab pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan
dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami
metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain,
dan Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan
Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol, Etilklorida, dan
Cryofluoran .
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan anestesi
tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang
diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi
sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak . 4-6

9
 Obat-obat Anestesi Regional
Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok sentral
dan blok perifer .
1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial)
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal.
a. Anestesi Spinal
Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang
subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis
obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra
abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran
obat .
b. Anestesi Epidural
Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada ruang
epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu,
sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi
sesuai dengan teori dermatom kulit . Ruang epidural berada di antara durameter dan
ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah
dengan selaput sakrogliseal. Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan
dan penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan
tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada
anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien.
c. Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena ruang kaudal
adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui
hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum sakrogsigeal tanpa tulang
yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan ligamentum interspinosum.
Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura.
2. Blok Perifer (Blok Saraf)
Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu teknik
yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi regional intravena
dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini saraf yang dituju
langsung saraf bagian proksimal. Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi
misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk

10
melakukan anetesi blok perifer harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang
bersangkutan .
 Obat-obat Anestesi Umum
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya
adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan
yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan
serta obat yang tersedia .
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan
efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah
terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik,
kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan. Obat anestesi umum yang
ideal mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya
analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat
dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak
toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh
variasi umur dan kondisi pasien.
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah
tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak
meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi
oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien.4-6

Monitoring Intraoperatif
Pemantauan standar selama anestesi meliputi EKG kontinu, pemantauan frekuensi
jantung dan suhu tubuh, oksimetri denyut dan kapnografi dan pengukuran non invasive
tekanan darah secara berulang. Parameter-parameter lain yang diukur dapat meliputi keluaran
urin, darah yang hilang, serta parameter-parameter yang berkaitan dengan ventilasi, termauk
oksigen yang dihirup, volume tidal, ventilasi permenit, tekanan inspirasi puncak pada jalan
napas, dan seluruh aliran gas. Dianjurkan agarmelakukan pengukuran langsung terhadap
kadar zat-zat anestetik volatile yang dihirup dan dihembuskan. Pada kasus-kasus tertentu,
dilakukan pengukuran invasive terhadap tekanan arteri, tekanan vena pusat, tekanan arteri
pulmonal, curah jantung, tekanan jepit kapiler pulmonal, fraksi penyemburan ventrikel kanan,

11
dan kejenuhan oksigen pada srteri pulmonal. Ekokardiografi transesofagus, terbukti sangat
bermanfaat dalam operasi jantung, dan beberapa situasi khusus lainnya.1-3

Post-operatif
Ruang pemulihan atau Recovery Room (RR) disebut juga unit perawatan pasca anestesi
atau Post Anesthesia Care Unit ( PACU ). Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang
pemuluhan atau ke ruang rawat intensif bila ada indikasi. Di ruang pemulihan dilakukan
pemantauan atau monitor sampai pasien sadar betul. Yang harus di monitor antara lain,
keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri,
perdarahan dari drain, dll.
Awasi keadaan vital penderita secara saksama, periksa tekanan darah, frekuensi nadi dan
frekuensi pernapsan dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau
hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Perbaiki defisit yang masih ada (cairan,
darah, nyeri, mual–muntah,menggigil karena hipotermia,dll). Seluruh pasien yang sedang
dalam pemulihan dari anestesi umum harus mendapat oksigen 30-40% selama pemulihan.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat
dipindahkan ke ruangan dengan pemberian intruksi postoperatif menilai keadaan umum
sebelum pasien dipindahkan ke ruang perawatan, dapat dipakai aldrete score untuk orang
dewasa dan steward Score untuk anak dengan berbagai kriteria penilaian. Nilai score yang
normal 8 -10, pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan ataupun pulang bila pasien rawat
jalan, tetapi atas ijin dokter anestesi yang bertugas.2-3

Monitoring Post Operasi


Monitoring setelah operasi perlu dilakukan setelah pasien menjalani operasi pembedahan.
Pada saat penderita berada diruang pemulihan perlu dicegah dan ditanggulangi keadaan-
keadaan yang ada sehubungan dengan tindakan anestesi, antara lain :
 Hipoksia disebabkan tersumbatnya jalan nafas. Terapi dengan O2 3-4 L/menit, bebaskan
jalan nafas, bila perlu pernafasan buatan.
 Irama jantung dan nadi cepat, hipertensi, sering disebabkan karena kesakitan, permulaan
hipoksia atau memang penyakit dasarnya. Terapi dengan O2, analgetik, posisi fowler.
 Hipotensi biasanya karena perdarahan, kurang cairan, spesial anestesi. Terapi dengan
posisi datar, infus RL dipercepat sampai tensi normal.

12
 Gaduh gelisah biasanya karena kesakitan atau sehabis pembiusan dengan ketamin, pasien
telah sadar tapi masih terpasang ganjal lidah/airway. Terapi dengan O2, analgetik, ganjal
dilepas, atau kadang perlu bantal.
 Muntah, bahaya berupa aspirasi paru. Terapi miringkan kepala dan badan sampai
setengah tengkurap, posisi trendelenberg, hisap muntah sampai bersih.
 Menggigil karena kedinginan, kesakitan atau alergi. Terapi dengan O2, selimuti, bila
perlu beri analgetika.
 Alergi sampai syok oleh karena kesalahan tranfusi atau obat-obatan. Terapi dengan stop
tranfusi, ganti Na Cl.

Pain Control
Pengendalian nyeri pada periode awal pasca operasi mungkin rumit, terutama jika opioid
belum pernah digunakan sebagai bagian dari anestetik yang seimbang. Pemberian opioid
diruang pemulihan dapat menjadi masalah jika dilakukan pada pasien yang masih banyak
mengalami efek anestetik residual. Perilaku pasien dapat berubah-ubah antara berteriak-teriak
kesakitan dan merasa sangat mengantuk disertai obstruksi jalan napas, yang semuanya dapat
terjadi dalam sekejap. Obat anti radang nonsteroid ketorolak (30-60mg secara intravena)
seringkali efektif dan pengembangan inhibitor-inhibitor siklooksigenase-2 memberi harapan
munculnya analgesia tanpa depresi pernapasan.
Teknik-teknik anestesi regional merupakan bagian penting dari pendekatan
multiprosedur perioperatif yang menggunakan infiltrasi anestetik lokal pada luka, blokade
epidural, spinal dan plexus; obat-obat antiradang nonsteroid; opioid; agonis reseptor alfa-2-
adrenergik; dan antagonis reseptor NMDA (yang mencegah neuroplastisitas).
Pemberian analgesik intravena dan epidural dapat dikendalikan oleh pasien
menggunakan pompa-pompa kecil terkomputerisasi yang dapat diaktifkan bila dikehendaki,
tetapi telah diprogram dengan batas yang aman untuk mencegah overdosis. Obat-obat yang
digunakan adalah opioid (seringkali morfin) melalui rute intravena serta opioid, anestetik
lokal, atau kedua-duanya, melalui rute epidural. Teknik-teknik ini telah merebolusi
pengendalian nyeri pascaoperasi, yang dapat dilanjutkan selama berjam-jam atau berhari-
hari, sehingga memungkinkan pasien untuk berobat jalan dan fungsi ususnya diperbaiki
sambil pengobatan oralnya distabilkan. 5

Opioid
13
Opioid adalah obat utama dalam penatalaksanaan nyeri akut. Opiat adalah turunan dari
opium, sedangkan opioid adalah segala sesuatu yang bekerja di reseptor opioid, dan
mencakup obat-obat sintetik, misalnya petidin. Obat-obat sintetik tersebut juga disebut
sebagai analgesik narkotik.
Opioid memiliki sejumlah persamaan sifat yang kadang-kadang disebut sebagai sifat
kardinal opioid. Obat-obat tersebut menyebabkan analgesia, mual dan muntah, depresi
pernapasan, dan adiksi.
1. Analgesia.
Kesalahpahaman yang lazim dijumpai adalag menganggap satu obat 'lebih kuat'
daripada obat lainnya. Efek analgesia maksimum morfin sama dengan efek
analgesia maksimum petidin, omnopon, atau diamorfin. Diamorfin lebih poten,
tetapi itu hanya berarti anda memerlukan dosis lebih kecil untuk memperoleh efek
yang sama. Kebutuhan dosis sangat bervariasi dan tidak mudah diperkirakan
berdasarkan berat badan.
2. Mual dan muntah.
Mual dan muntah pada periode pasca operasi masih merupakan masalah yang
signifikan setelah anestesia umum dan disebabkan oleh kerja anestetik pada zona
pemicu kemoreseptor dan pusat muntah di batang otak, yang dimodulasi oleh
serotonin, histamin, reseptor Ach muskarinik, dan dopamin. Antagonis reseptor 5-
HT3 ondansentron sangat efektif mensupresi mual dan muntah. Penanganan yang
lazim juga meliputi droperidol, metaklopramid, dexametason, dan menghindari
penggunaan N2O. Pengginaan propofol sebagai zat induksi dan obat anti radang non
steroid ketorolak sebagai pengganti opioid dapat mengurangi insiden serta
keparahan mual dan muntah pasca operasi.
3. Depresi pernapasan.
Efek samping yang terpenting dan dapat membahayakan. Efek ini dijumpai pada
semua opioid dan selalu sebanding dengan efek analgesianya, apapun klaim dari
pembuatnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
 Pada keadaan normal, pasien tidak akan berhenti bernapas tanpa merasa
nyaman sebelumnya. Ini adalah jendela terapeutik. Pada golongan opioid,
jendela terapeutik cukup lebar.
 Cara paling sederhana untuk menilai depresi pernapasan adalah dengan
menghitung frekuensi pernapasan, kurang dari 8 kali permenit adalah tanda

14
bahaya. Namun, penilaian ini tidak dapat diandalkan karena seringkali pasien
tetap bernapas adekuat pada frekuensi yang lebih rendah (terutama saat tidur).
 Jangan pernah menggunakan pulse oximetry untuk mendeteksi depresi
pernapasan. Hipoksia merupakan tanda yang sudah sangat lanjut, terutama bila
pasien bernapas dengan oksigen.
 Depresi pernapasan disertai oleh somnolen. Pada tahap-tahap awal, pasien
'lupa' bernapas, dan dapat diingatkan dengan sedikit senggolan. Pasien yang
sadar penuh, kecil kemungkinannya terjadi depresi dengan opioid, berapapun
frekuensi pernapasannya.
 Depresi pernapasan akibat opioid diatasi dengan pemberian nalokson dosis
kecil yang semakin meningkat, misalnya 0,2 mg iv. Nalokson memiliki durasi
kerja yang singkat (~10 menit) sehingga mungkin diperlukan pemberian
berulang.
4. Adiksi.
Tidak seorangpun menyangkal bahwa opioid memiliki kemampuan untuk
menyebabkan adiksi. Pasien yang diberi opioid secara benar saat menderita nyeri
akut tidak menjadi adiksi. Pasien yang memerlukan dosis opioid dalam jumlah
besar dapat dengan mudah disapih setelah sumber nyeri mereda. Orang yang
mengonsumsi opioid untuk kesenangan akan mengalami adiksi.
Perlu disadari bahwa kebutuhan dosis sangat bervariasi, dan bergantung pada banyak
faktor, misalnya, keparahan nyeri, usia, riwayat penggunaan opioid, faktor psikologis dan
berat badan. Bagi sebagian pasien, dosis mungkin butuh penyesuaian drastis.
Selain sifat-sifat umum tersebut diatas, terdapat sejumlah perbedaan anara berbagai
opioid yang tersedia, misalnya, awitan kerja, lama kerja, efek pada otot polos, eliminasi, dan
pelepasan histamin. Pemilihan opioid ditentukan oleh profil efek samping dan faktor
farmakokinetik.

Morfin
Morfin adalah obat yang istimewa dan benar-benar murah. Obat ini memiliki awitan
yang cepat apabila diberiksan secara iv dan lama kerjanya sekitar 4-6 jam. Morfin dapat
diberikan per oral (sebagai elixir atau preparat lepas lambat, misalnya MST), IM, atau IV.
Efek antibatuknya juga bermanfaat. Efek samping meliputi perlambatan pengosongan
lambung dan konstipasi. Morfin dapat menyebabkan spasme sfingter Oddi. Obat ini

15
menyebabkan pelepasan histamin yang dapat menimbulkan bronko spasme pada penderita
asma. Morfin diubah menjadi metabolit aktifnya yaitu morfin-6-glukuronida yang diekskresi
melalui urin. Pada penderita gagal ginjal, metabolit tersebut dapat tertimbun. Dosis terserah
pada pasien sampai ia merasa nyaman. Dosis untuk pemberian IM biasanya 10 mg setiap 3
jam prn.

Diamorfin
Diamorfin (heroin) adalah diasetil morfin, dan pada dasarnya adalah suatu pra-obat untuk
morfin dan oleh karena itu memiliki sebagian besar sifat morfin sehingga awitannya lebih
cepat. Dosis IM adalah 5-10 mg tiap 3 jam prn.

Petidin
Petidin dimasukkan dalam daftar ini karena tidak memiliki efek samping pelepasan
histamin dan aman untuk penderita asma. Petidin kurang menimbulkan konstipasi
dibandingkan dengan morfin, tetapi tidak menekan refleks batuk. Obat ini memiliki sifat
antikolinergik yang cukup kuat dan tidak menyebabkan konstriksi pupil seperti opioid lain.
Spasme pada sfingter Oddi juga tidak terlalu kuat.
Kekurangan petidin yang utama adalah masa kerjanya lebih singkat dari morfin (~2
jam). Obat ini dikenal lebih sering menyebabkan mual dan muntah. Metabolit utamanya,
norpetidin, dapat menyebabkan efek neurologis eksitatorik yang serius dan dapat tertimbun
apabila digunakan dalam dosis tinggi (biasanya >1000mg per hari). Regimen dosis lazim
untuk dewasa adalah 75-100 mg IM, setiap 2 jam prn.

Lain-lain
Pilihan opioid sebenarnya lebih luas dibandingkan dengan yang anda perlukan. Obat-
obat berikut juga cukup sering digunakan:
 Papaveretum (omnopon) adalah campuran dari semua konstituen opium yang larut
air. Obat ini mengandung morfin, papaverin dan kodein. Pada dasarnya papaveretum
bersifat seperti morfin walaupun mungkin lebih menimbulkan sedasi. Dahulu
papaveretum mengandung noskapin, suatu zat uang diduga menyebabkan cacat lahir.
Sayangnya omnopon baru yang bebas noskapin harganya lebih mahal. Obat tersebut
tersedia dalam bentuk ampun berisi 15,4 mg, suatu ukuran yang membingungkan
apabil tidak ditulis dengan benar. Jumlah yang ganjil ini setara dengan 10 mg morfin,

16
dan disinilah letak masalahnya: papaveretum adalah obat yang benar-benar bagus,
namun cara pemberiannya sulit dilakukan.
 Fentanil adalah obat kerja singkat yang berwarna bening yang terutama digunakan
pada anestesi, tetapi dapat dipakai di bangsal dalam bentuk larutan epidural.
 Kodein kurang efektif dibandingkan obat-obat lain karena daya ikat reseptornya
rendah. Obat ini kadang-kadang digunakan pada situasi yang mengharuskan opioid
dihindari (misal, cedera kepala). Obat ini tidak menimbulkan efek samping karena
tidak berefek terutama bila digunakan untuk mengobati nyeri hebat. Kodein banyak
dijumpai pada preparat oral yang bermanfaat untuk nyeri ringan sampai sedang.
 Buprenorfin adalah obat yang tidak lazim. Obat ini merupakan agonis parsian yang
antara lain berarti efek analgesianya memiliki batas atas dibanding obat lain. Selain
itu, tidak seperti obat yang lain, obat ini berikatan sangat kuat dengan reseptor opioid.
Obat ini diberikan melalui rute sublingual. Buprenorfin menyebabkan mual, muntah
dan secara umum merupakan obat yang harus dihindari.

Obat Anti Inflamasi Non Steroid


Obat-obat anti inflamasi non steroid memiliki sejumlah efek yaitu analgesia, antipiretik,
dan antiinflamasi. Obat golongan ini sangat bermanfaat sebagai analgesia pada pasien
pascaoperasi tertentu dan dapat digunakan bersama dengan opioid karena cara kerjanya
(inhibisi perifer terhadap sintesis prostaglandin) smaa sekali berbeda dengan opioid (agonis
reseptor sentral). Sebagai analgesik tambahan, obat-obat ini menurunkan kebutuhan akan
opioid, yang berarti juga menurunkan risiko efek samping opioid. Indikasi pemakaian obat-
obat ini adalah:
 Terapi tunggal untuk nyeri ringan sampai sedang
 Dikombinasikan dengan teknik-teknik lain untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat
 Menurunkan demam
 Mengurangi peradangan
Obat anti inflamasi non steroid menimbulkan serangkaian efek samping, namun sangat
efektif untuk menghilangkan nyeri pasca operasi. Sehingga obat-obat tersebut seyogyanya
digunakan untuk semua kasus apabila tidak ada kontra indikasi.
Lima masalah utama pada pemakaian obat anti inflamasi non steroid adalah:
1. Iritasi lambung: terjadi pada semua NSAID dengan derajat berbeda-beda. Efek terjadi
akibat inhibisi prostaglanding yang mengatur sekresi asam lambung sehingga apapun

17
rute pemberiannya, iritasi lambung tetap merupakan ancaman. NSAID merupakan
kontra inidikasi pada pasien yang memiliki riwayat tukak lambung atau duodenum,
atau semua predisposisi perdarahan saluran cerna bagian atas. Untuk mengurangi efek
samping ini, selalu anjurkan pasien minum obat saat makan. Misoprostol adalah
suatu preparat prostaglandin yang dapat diberikn oral bersama dengan NSAIDdan
mengurangi risiko tukak lambung.
2. Efek ginjal: meliputi penurunan aliran darah, retensi natrium dan air, dan kerusakan
ginjal kronik pada pemakain jangka panjang. Hati-hati bila memberikan obat ini pada
penderita penyakit ginjal, hipovolemia, hipertensi, atau gout.
3. Inhibisi trombosit: masalah ini hanya timbul pasca operasi pada orang yang hitung
trimbositnya rendah, mengalami disfungsi trombosit atau luka perdarahan luas.
Perdarahan yang dianggap disebabkan oleh disfungsi trombosit harus diterapi dengan
transfuse trombosit.
4. Bronkospasme: tonus otot polos di jalan napas juga diperngaruhi prostaglandin.
NSAID sangat dikontraindikasikan pada orang dengan bronkospasme aktif.
5. Interaksi obat: sejauh ini, interaksi obt yang paling penting adalah peningkatan
antikoagulasi bila diberikan bersamaan dengan warfarin. Terapi warfarin merupakan
kontraindkasi kuat pada pemberian NSAID.
Obat NSAID yang tersedia sangat bervarisi dan sebagian besar tidak dapat dibedakan
efek samping maupun efektivitasnya. Obat-obat berikut diambil sebagai contoh karena sering
digunakan atau memiliki keunggulan tertentu dalam rute pemberian. Banyak NSAID yang
terutama bersifat anti inflamasi dan kurang efektif sebagai analgetik pasca operasi.
 Aspirin
Aspirin bersifat antipiretik, anti inflamasi, dan analgesic, serta diberikan dalam dosis
500-1000 mg setiap 4-6 jam per oral. Sekarang obat ini jarang digunakan sebagai
analgesic pasca operasi karena ada obat-obat lain yang memiliki efek analgesia lebih
baik dengan efek samping lebih sedikit. Sekarang aspirin merupakan kontra indikasi
mt\utlak pada anak karena berisiko menimbulkan sindrom Reye. Parasetamol atau
ibuprofen merupakan alternative yang lebih baik sebagai anlgesik dan antipiretik.

 Ibuprofen

18
Ibuprofen adalah NSAID yang khas untuk pemakaian oral. Pada dosis analgesic
yang ekuivalen dengan aspirin, ibuprofen lebih sedikit menyebabkan efek samping.
Dosisnya adalah 200-400 mg setiap 4-8 jam. Masalah yang tmbul adalah iritasi
lambung, pusing, ruam dan tinnitus.
 Diklofenak
Diklofenak sering digunakan sebagai anlgesik pasca operasi. Obat ini tersedia
sebagai preparat oral, suntikan dan per rectum. Dosis hariuan maksimum adalah 150
mg melalui rute mana saja. Penyuntikan im menimbulkan nyeri hebat dan tidak
lebih menguntungkan dibandingkan pemberian supositoria.
 Ketorolak
Ketorolac sedang digemari oleh ahli anestesi karena merpakan analgesic kuat
(ekuivalen dengan 10 mg morfin)dan tersedia dalam bentuk suntkan. Obt ini tidak
mnimbulkn nyeri hebat apabila disuntikkan im dan juga dapat diberikan secara iv.
Dosis yang dipakai adalah 10 mg iv diikuti oleh 30 mg iv, atau 30 mg im, setiap 4-6
jam. Dosis harian total jangan sampai lebih dari 90 mg.3,5

Kesimpulan
Persiapan dalam melakukan tindakan pembedahan baik pada setiap bagian dari
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif perlu perhatian yang sangat baik karena dengan
adanya berbagai pemeriksaan pada bagian tersebut maka dapat menimalisir resiko dalam hal
keselamatan pasien, dan tingkat keberhasilan operasi sesuai yang diharapkan.

19
Daftar Pustaka
1. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Ed. 8. Jakarta:
EGC; 2009. h. 90-8.
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W;editor. Buku ajar ilmu bedah Sabiston. Ed. 2. Jakarta:
EGC; 2004. h. 394-53.
3. Hambly PR, Sainsbury MC. Manajemen perioperative: penatalaksanaan pasien bedah
di bangsal. Jakarta: EGC; 2007. h. 1-18.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Ed.2. Jakarta:
Bag. Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002. h. 47-57.
5. Hardman JG, Limbird LE;editor. Goodman & Gilman dasar farmakologi terapi. Ed.
10. Jakarta: EGC; 2007. h. 212-8.
6. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Ed. 10. Jakarta: EGC; 2010. h. 537-45.

20

Anda mungkin juga menyukai