Anda di halaman 1dari 8

ABDURRAHMAN BIN AUF (SAHABAT YANG SANGAT DERMAWAN)

Salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapat rekomendasi
masuk surga adalah `Abdurrahmân bin `Auf bin `Abdi `Auf bin `Abdil Hârits Bin Zahrah bin
Kilâb bin al-Qurasyi az-Zuhri Abu Muhammad. Dia juga salah seorang dari enam orang Sahabat
Radhiyallahu anhum yang ahli syura. Dia dilahirkan kira-kira sepuluh tahun setelah tahun Gajah
dan termasuk orang yang terdahulu masuk Islam. Dia berhijrah sebanyak dua kali dan ikut serta
dalam perang Badar dan peperangan lainnya. Saat masih jahilillah, ia bernama `Abdul Ka`bah
atau `Abdu `Amr; kemudian diberi nama `Abdurrahmân oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ibunya bernama Shafiyah. Sedangkan ayahnya bernama `Auf bin `Abdu `Auf bin `Abdul
Hârits bin Zahrah.

`Abdurrahmân bin `Auf adalah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
sangat dermawan dan yang sangat memperhatikan dakwah Islam.

`Abdurrahman bin Auf pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar, kemudian
membagi-bagikan uang tersebut kepada para fakir miskin bani Zuhrah, orang-orang yang
membutuhkan dan kepada Ummahâtul Mukminin (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Al-Miswar berkata:

“Aku mengantarkan sebagian dari dinar-dinar itu kepada Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan sebagian dinar-dinar itu.” Aisyah Radhiyallahu anhuma
berkata:

“Siapa yang telah mengirim ini?” Aku menjawab:

“`Abdurrahmân bin Auf”. Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata lagi:

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

“Tidak ada yang menaruh simpati kepada kalian kecuali dia termasuk orang-orang yang
sabar. Semoga Allah Azza wa Jalla memberi minum kepada `Abdurrahmân bin Auf dengan
minuman surga”

Dalam hadits lain disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan (sesuatu) kepada sekelompok Sahabat Radhiyallahu anhum yang di sana terdapat
`Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu anhu ; namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberikan apa pun kepadanya. Kemudian `Abdurrahmân Radhiyallahu anhu keluar dengan
menangis dan bertemu Umar Radhiyallahu anhu . Umar Radhiyallahu anhu bertanya:
“Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sesuatu kepada sekelompok


Sahabat, tetapi tidak memberiku apa-apa. Aku khawatir hal itu akibat ada suatu keburukan
padaku”. Kemudian Umar Radhiyallahu anhu masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menceritakan keluhan `Abdurrahmân Radhiyallahu anhu itu. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menjawab:

“Aku tidak marah kepadanya, tetapi cukup bagiku untuk mempercayai imannya.”

Keutamaan-Keutamaan `Abdurrahmân bin Auf di antaranya:


`Abdurrahmân bin `Auf walaupun memiliki harta yang banyak dan menginfakkanya di jalan
Allah Azza wa Jalla, namun dia selalu mengintrospeksi dirinya. `Abdurrahmân Radhiyallahu
anhu pernah mengatakan :

“Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diuji dengan kesempitan, namun
kami pun bisa bersabar, kemudian kami juga diuji dengan kelapangan setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami pun tidak bisa sabar”

Suatu hari `Abdurrahmân Radhiyallahu anhu diberi makanan, padahal dia sedang
berpuasa. Ia mengatakan,

“Mush`ab bin Umair telah terbunuh, padahal dia lebih baik dariku. Akan tetapi ketika dia
meninggal tidak ada kafan yang menutupinya selain burdah (apabila kain itu ditutupkan di
kepala, kakinya menjadi terlihat dan apabila kakinya ditutup dengan kain itu, kepalanya menjadi
terlihat). Demikian pula dengan Hamzah, dia juga terbunuh, padahal dia lebih baik dariku.
Ketika meninggal, tidak ada kafan yang menutupinya selain burdah. Aku khawatir balasan
kebaikan-kebaikanku diberikan di dunia ini.” Kemudian dia menangis lalu meninggalkan
makanan tersebut.”

Senada dengan kisah di atas, Naufal bin al-Hudzali berkata,

“Dahulu `Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu anhu teman bergaul kami. Beliau adalah
sebaik-baik teman. Suatu hari dia pulang ke rumahnya dan mandi. Setelah itu dia keluar, ia
datang kepada kami dengan membawa wadah makanan berisi roti dan daging, dan kemudian dia
menangis. Kami bertanya,

“Wahai Abu Muhammad (panggilan `Abdurrahmân), apa yang menyebabkan kamu


menangis?” Ia menjawab,

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia dalam keadaan beliau
dan keluarganya belum kenyang dengan roti syair. Aku tidak melihat kebaikan kita diakhirkan.”
`Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Umar bin Kaththâb
Radhiyallahu anhu pergi ke Syam. Ketika sampai di Sarghin (nama sebuah desa di batas Syam
setelah Hijâz), ia berjumpa dengan penduduk al-Ajnad yaitu Abu Ubâdah dan para sahabatnya.
Mereka memberitahu bahwa wabah penyakit telah berjangkit di Syam. Umar Radhiyallahu anhu
berkata :

“Panggilkan aku para Muhajirin yang awal (berhijrah)!’ Aku (`Abdullâh bin Abbâs) pun
memanggil mereka. Umar Radhiyallahu anhu memberitahu dan meminta pendapat mereka
tentang wabah tersebut. Kemudian mereka berselisih, sebagian mengatakan :

“Engkau telah keluar untuk suatu tujuan. Menurut pendapat kami, engkau jangan
mundur.” Sedangkan sebagian lain mengatakan :

“Engkau bersama banyak orang dan bersama para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka kami berpendapat agar tidak membiarkan mereka terkena wabah.” Umar
Radhiyallahu anhu berkata lagi :

“Panggilkan para Anshar untukku”. Akupun memanggil mereka. Kemudian Umar


Radhiyallahu anhu meminta pendapat kepada mereka dan mereka sama dengan pendapat para
kaum Muhajirin yaitu mereka juga berbeda pendapat. Lalu Umar Radhiyallahu anhu berkata:

“Panggilkan orang-orang tua Quraisy dari orang yang hijrah ketika fathu Mekah, yang
berada di sini.” Akupun memanggil mereka dan tidak ada seorangpun yang berselisih. Mereka
mengatakan,

“Pendapat kami, sebaiknya kamu membawa kembali orang-orang dan tidak membiarkan
mereka terkena wabah.” Kemudian Umar Radhiyallahu anhu berkata kepada orang-orang,

“Sebaiknya kita kembali.” Dan merekapun setuju dengannya. Abu Ubaidah bin Jarrâh
Radhiyallahu anhu mengatakan,

“Apa kita berusaha berlari dari takdir Allah Azza wa Jalla ?” Umar Radhiyallahu anhu
menjawab,

“Seandainya selainmu mengucapkan hal itu, wahai Abu Ubaidah. Ya, kami berlari dari
takdir Allah Azza wa Jalla menuju takdir Allah Azza wa Jalla yang lain. Kemudian datanglah
`Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu anhu dan mengatakan:

“Dalam hal ini, aku memiliki ilmunya. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :

ُ‫ض َوأَ ْنتُ ْم بِهَا فَالَ ت َْخ ُرجُوْ ا فِ َرارًا ِم ْنه‬


ٍ ْ‫ض فَالَ تَ ْق َد ُموا َعلَ ْي ِه َوإِ َذا َوقَ َع بِأَر‬
ٍ ْ‫فَإ ِ َذا َس ِم ْعتُ ْم بِ ِه بِأَر‬
“Jika kalian mendengar (ada wabah) di suatu negeri, maka janganlah kalian
mendatanginya. Dan apabila wabah terjadi di suatu negeri dan kalian berada di dalamnya,
maka janganlah kalian keluar/lari darinya.” [HR. Bukhâri no. 5398]

Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , `Abdurrahmân bin `Auf Radhiyallahu
anhu pernah menyedekahkan separuh hartanya. Setelah itu dia bersedekah lagi sebanqak 40.000
dinar. Kebanyakan harta bendanya diperoleh dari hasil perdagangan.

Ja`far bin Burqan mengatakan,

“ Telah sampai kabar kepadaku bahwa `Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu anhu telah
memerdekakan 3000 orang.”

Imam Bukhâri menyebutkan dalam kitab tarikhnya bahwa `Abdurrahmân pernah


memberikan wasiat kepada semua Sahabat yang mengikuti perang badar dengan 400 dinar. Dan
jumlah mereka ketika itu 100 orang.

Dia meninggal dunia pada tahun 32 H. Dia berumur 72 tahun dan dia dikubur di
pemakaman baqi` dan `Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu ikut menyalatkannya.
ABU DZAR AL-GHIFARI

Abu Dzar adalah salah satu sahabat nabi yang terdahulu memeluk Islam. Ia mendatangi
Nabi Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya. Abu Dzar Al Ghifari
berasal dari suku Ghifar.

Suatu hari, ia datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung, namun sinar matanya


bersinar bahagia. Memang, sulitnya perjalanan dan teriknya matahari yang menyengat tubuhnya
cukup menyakitkan. Namun tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan
meniupkan semangat kegembiraan.

Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi


berhala-berhala di sekitar Ka'bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang
memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.

Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk


menjumpai Nabi Muhammad SAW dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan
membunuhnya.

Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang mengatakan
tentang Rasulullah, ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati. Sehingga dari cerita yang
tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat mengarahkannya ke kediaman Nabi
Muhammad dan mempertemukannya dengan beliau.

Pada suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya
Rasulullah sedang duduk seorang diri. Ia mendekat kemudian menyapa,

"Selamat pagi, wahai kawan sebangsa."

"Wa alaikum salam, wahai sahabat," jawab Rasulullah.

"Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"

"Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur'an yang mulia," kata Rasulullah,
kemudian membacakan wahyu Allah SWT. Tak berselang lama, Abu Dzar berseru,
"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau
adalah hamba dan utusan-Nya."

"Anda dari mana, kawan sebangsa?" tanya Rasulullah.


"Dari Ghifar," jawabnya.

Bibir Rasulullah menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub.
Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman Rasulullah
setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu
adalah seorang laki-laki dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidak ada taranya dalam soal menempuh
jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam
yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau
jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam. Rasulullah pun bersabda,

"Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya..."

Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang
yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan.
Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah
yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga
keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Lelaki yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner.
Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini
kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya—
orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.

Baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah.

"Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut anda?"

"Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!" jawab Rasulullah.

"Demi Tuhan yang menguasai jiwaku," kata Abu Dzar,

"Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka'bah."

Ia pun menuju menuju Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang.
Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik yang tengah berkumpul di sana.
Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani
Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.
Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana,
pada suatu hari, barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju
pinggiran kota. Kalau bukan karena takbir yang mereka teriakkan dengan suara bergemuruh,
tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah pasukan tentara musyrik yang akan
menyerang kota.

Begitu rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid
Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam
tanpa kecuali; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.

Rasulullah semakin takjub dan kagum. Beliau bersabda,

"Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari
Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya."

Pada suatu ketika, Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan kepadanya.

"Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang
mengambil upeti untuk diri mereka?" Ia menjawab,

"Demi Allah yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka
dengan pedangku!"

"Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau
menemuiku!"

Abu Dzar akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan menggunakan
ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat
sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga tidak akan bungkam atau berdiam diri
mengetahui kesesatan mereka.

Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan godaan
harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke
pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah
sikap dan mental mereka satu per satu.

Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya
bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya
pun belum pernah melihatnya. Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak satu pun
daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang sampai ke sana, sudah
menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.
Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-
ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan.

"Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka
akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari
kiamat!"

Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan
perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha
guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.

Abu Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah.
Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya,

"Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?" Istrinya menjawab,

"Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!"

"Janganlah menangis," kata Abu Dzar,

"Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku
mendengar beliau bersabda, 'Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di
padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.’ Semua yang ada di majelis
itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup
selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah
jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku
tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!"

Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi. Dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang
lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat
sosok tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil,
kedua-duanya menangis.

Ketika pandangan Ibnu Mas'ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari.
Air matanya m engucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata,

"Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan
kembali seorang diri!"

Anda mungkin juga menyukai