Pasar 77A
Pasal 88C
RUU Cipta Kerja juga menambahkan pasal 88C yang menghapuskan upah
minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja.
Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di
semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.
Pasal 88D
Dalam RUU Cipta Kerja, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam
menetapkan upah minimum.
“Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum
akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan
ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua," kata Usman Hamid,
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Pasal 93 Ayat 2
RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti yang tertuang dalam pasal 93
ayat 2 UU Ketenagakerjaan. RUU ini menghapus cuti khusus atau izin tak
masuk saat haid hari pertama bagi perempuan (a).
RUU ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah,
menikahkan,mengkhitankan,membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu
rumah yang meninggal dunia (huruf b).
Ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan
kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan
pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan
(huruf h).
Pasal 88
Pasal 93
“Ini adalah hal yang paling konyol. RUU ini pantas disebut sebagai RUU
Cilaka, karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodasi
kepentingan bisnis," ucap Manajer Kampanye Pangan Air dan Ekosistem
Esensial Nasional Walhi Wahyu A. Perdana dalam keterangan tertulis, Jumat
(14/2/2020).
Pasal Bermasalah Tentang Pers di RUU Cipta Kerja
Pasal 11
Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo mengatakan RUU Cipta Kerja berpotensi
mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis, karena akan terjadi
perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers.
pasal 18
perubahan juga terjadi pada pasal 18 UU pers. Point pertama, setiap orang yang
secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat
menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling
banyak Rp500 juta.
Berubah menjadi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja
melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2 milliar.
Poin kedua, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500
juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp2 milliar.
Kemudian, point ketiga perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat
(2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta,
berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2)
dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
"Serta ada penambahan di point keempat, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis,
besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah,"
jelasnya.
Lebih lanjut, Hary menilai perubahan poin-poin dalam pasal ini jelas melanggar
semangat UU Pers sebelumnya, yang mengatur bahwa sengketa pers lebih
didorong pada upaya korektif dan edukasi.
Jika pun berkaitan dengan denda, maka itu dibuat seprofesional mungkin,
dengan kata lain tidak bermaksud untuk membangkrutkan perusahaan pers.
Pasal Bermasalah Tentang Pendidikan di RUU Cipta Kerja
Pasal 71
HNW menilai ketentuan umum ini sangat berbahaya dan perlu menjadi
perhatian bersama. Apalagi, khusus untuk Pesantren sudah ada UU tersendiri,
yakni UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang sama sekali tidak
mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sanksi administratif.