Anda di halaman 1dari 8

Analisa terkait omnibuslaw

1. Uang pesangon dihilangkan


( terkait ketentuan ini, terdapat dalam pasal 156
2. UMP, UMK, UMSP dihapus
3. Upah buruh di hitung perjam
4. Semua hak cuti ( cuti sakit, kawin, khitanna, atau baptis, kematian,
melahirkan) hilang dan tidak ada konpesasi
5. Outsourching diganti dengan kontrak seumur hidup
6. Tidak akan ada status karyawan tetap
7. Prusahan bisa memPHK kapan pun secara sepihak
8. Jaminan sosial, dan kesejahteraan lainnya hilang
9. Semua karyawan berstatus tenaga kerja harian
10.Tenaga kasir asing bebas masuk
11.Buruh dilarang protes, ancaman PHK
12.Libur hari raya hanya pada tanggal merah, tidak adanya penambahan cuti
13.Istirahat dihari jumaat cukup 1 jam saja termasuk solat jumaat

Kajian BEM terkait pasal yang masalah :

 Pasal Bermasalah Tentang Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja

Pasar 77A

RUU Cipta Kerja menambahkan pasal 77A yang memungkinkan peningkatan


waktu kerja lembur untuk sektor tertentu. Pengusaha dapat memberlakukan
waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu.
RUU Cipta Kerja juga akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja
kontrak serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari
pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap. Ketentuan baru ini akan
memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja
kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas.

Pasal 88C

RUU Cipta Kerja juga menambahkan pasal 88C yang menghapuskan upah
minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja.

Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di
semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.

Pasal 88D

Dalam RUU Cipta Kerja, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam
menetapkan upah minimum.

“Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum
akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan
ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua," kata Usman Hamid,
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

“Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum.


Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya
hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan
terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional."
Pasal 91

Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal ini memuat tentang kewajiban


pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan
standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 93 Ayat 2

RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti yang tertuang dalam pasal 93
ayat 2 UU Ketenagakerjaan. RUU ini menghapus cuti khusus atau izin tak
masuk saat haid hari pertama bagi perempuan (a).

RUU ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah,
menikahkan,mengkhitankan,membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu
rumah yang meninggal dunia (huruf b).

Ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan
kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan
pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan
(huruf h).

 Pasal Bermasalah Tentang Lingkungan Hidup di RUU Cipta Kerja

Pasal 88

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakar
hutan dan lahan (karhutla) tetapi pemerintah menghapusnya di RUU Cipta
Kerja.
Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan."

Namun pemerintah menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur


kesalahan" sehingga pasal 88 tersisa, “Setiap orang yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari
usaha dan/atau kegiatannya."

Pasal 93

Pemerintah dikritik karena ada upaya penghapusan partisipasi publik. Pasal 93


ayat (1) menyatakan “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap
keputusan tata usaha negara."

Namun, pada RUU Cilaka hanya ditulis, “Pasal 93 Dihapus."

“Ini adalah hal yang paling konyol. RUU ini pantas disebut sebagai RUU
Cilaka, karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodasi
kepentingan bisnis," ucap Manajer Kampanye Pangan Air dan Ekosistem
Esensial Nasional Walhi Wahyu A. Perdana dalam keterangan tertulis, Jumat
(14/2/2020).
 Pasal Bermasalah Tentang Pers di RUU Cipta Kerja

Pasal 11

Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo mengatakan RUU Cipta Kerja berpotensi
mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis, karena akan terjadi
perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers.

"Sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada perusahaan pers


dilakukan melalui pasar modal berubah menjadi pemerintah pusat
mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal," kata dia.

Pengubahan pasal ini, menurut Harry, berpotensi membuat pemerintah kembali


mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan
pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini.

pasal 18

perubahan juga terjadi pada pasal 18 UU pers. Point pertama, setiap orang yang
secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat
menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling
banyak Rp500 juta.

Berubah menjadi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja
melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2 milliar.
Poin kedua, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500
juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp2 milliar.

Kemudian, point ketiga perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat
(2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta,
berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2)
dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.

"Serta ada penambahan di point keempat, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis,
besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah,"
jelasnya.

Lebih lanjut, Hary menilai perubahan poin-poin dalam pasal ini jelas melanggar
semangat UU Pers sebelumnya, yang mengatur bahwa sengketa pers lebih
didorong pada upaya korektif dan edukasi.

Jika pun berkaitan dengan denda, maka itu dibuat seprofesional mungkin,
dengan kata lain tidak bermaksud untuk membangkrutkan perusahaan pers.
Pasal Bermasalah Tentang Pendidikan di RUU Cipta Kerja

Pasal 51 ayat (1)

Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh Pemerintah Pusat,


Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Pasal 62 ayat (1)

Syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah


dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana
pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta
manajemen dan proses pendidikan.

Pasal 71

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari


Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia


Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan Ketentuan tersebut pada intinya
menyebutkan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal,
termasuk pendidikan keagamaan seperti Pesantren, yang didirikan oleh
masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan. Pesantren juga wajib
memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Apabila, satuan pendidikan tersebut didirikan tanpa Perizinan Berusaha, maka


penyelenggara dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.

HNW menilai ketentuan umum ini sangat berbahaya dan perlu menjadi
perhatian bersama. Apalagi, khusus untuk Pesantren sudah ada UU tersendiri,
yakni UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang sama sekali tidak
mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sanksi administratif.

Anda mungkin juga menyukai