Anda di halaman 1dari 127

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kawasan kepulauan Indonesia Timur khususnya di Propinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) dengan luas wilayah 48 ribu km² dikenal dengan dua musim yaitu
musim hujan dan musim kemarau. Pada bulan Juni-September arus angin berasal dari
Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim
kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember-Maret arus angin banyak mengandung
uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim hujan.
Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan
pada bulan April-Mei dan Oktober-Nopember walaupun demikian mengingat NTT
dekat dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan
Samudera Pasifik sampai di wilayah NTT kandungan uap airnya sudah berkurang
yang mengakibatkan hujan di wilayah ini berkurang. Hal inilah yang menjadikan
Propinsi ini sebagai wilayah yang tergolong kering dimana hanya empat bulan
(Desember-Maret) yang keadaannya relaif basah dan delapan bulan sisanya relatif
kering dengan suhu udara rata-rata maksimum 30⁰-36⁰ Celcius dan suhu minimum
21⁰-24,5⁰ Celsius, serta curah hujan rata-rata 1.164 mm/tahun yang berbeda pada
setiap daerah. [ CITATION Dit18 \l 1057 ].
Daerah di NTT sering mengalami kekurangan air. Salah satu daerah yang
mengalami kekurangan air untuk pemenuhan hidup sehari-hari yaitu masyarakat di
Kelurahan Manulai II Kecamatan Alak, Kota Kupang. Kelurahan Manulai II
memiliki luas wilayah 19,74 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 3934 jiwa atau
atau 983 kepala keluarga. Masyarakat di Kelurahan Manulai II umumnya berprofesi
sebagai petani dan peternak. Untuk menunjang pekerjaan ini tentu membutuhkan air
sebagai sarana utama untuk mencukupi hasil tani maupun ternak yang ada. Hasil
pertanian dan ternak yang ada yaitu seperti jagung, sayur-sayuran, ayam, sapi, babi,
dan kambing. Sarana pemenuhan kebutuhan air untuk masyarakat Manulai II

1
terutama saat musim kemarau panjang menjadi permasalahan utama. Sebagian besar
masyarakat setempat menggunakan air tangki untuk kebutuhan sehari-hari. Ada juga
masyarakat yang menggunakan air dari Perusahaan Air Minum (PAM) namun tidak
berjalan secara optimal. Terkadang masyarakat yang sudah menggunakan fasilitas
dari PAM debit air yang mengalir sangat kecil dan untuk jangka waktu selama satu
minggu air yang mengalir hanya dalam 1 atau 2 hari saja. Dengan kondisi seperti ini
perlu diupayakan pengaturan atas air dan sumber air secara optimal. Usaha-usaha
tersebut menyangkut perlindungan, pemanfaatan, pengembangan, dan pelestarian.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan pembangunan embung.
Pembangunan Embung merupakan salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan
untuk mengatasi masalah kekurangan air. Embung berfungsi untuk menampung air
pada musim hujan dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air pada
musim kemarau. Pemanfaatan air embung untuk kebutuhan manusia melalui pipa
distribusi. Sedangkan untuk kebutuhan kebun dan ternak digunakan bak penampung.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin lebih memahami bagaimana proses untuk
merencanakan embung guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, dengan
demikian penulis mengangkat judul skripsi yaitu: “Studi Perencanaan Embung
Moin Fe’u, Kelurahan Manulai II, Kecamatan Alak, Kota Kupang”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dibahas antara
lain:
1. Berapa volume kebutuhan dan ketersediaan air pada embung ?
2. Berapa daya tampung embung?
3. Berapa dimensi tubuh embung dan saluran pelimpah untuk meluapkan debit air
yang lebih pada tampungan embung?

2
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka tujuan penulisan tugas akhir ini
yaitu: Untuk dapat merencanakan tubuh embung dan bangunan pelengkapnya
berupa spillway dan tanggul.

1.4 Batasan Masalah


Karena banyaknya item pekerjaan yang direncanakan maka penulis hanya
mengambil beberapa item pekerjaan untuk dituangkan dalam pembahasan
perencanaan yang ditinjau dan dibahas penulis yaitu:
1. Penelitian ini mentitikberatkan pada segi perencanaan fisik tubuh embung dan
fasilitas pendukungnya berupa bangunan pelimpah.
2. Analisis Hidrologi
a. Menghitung curah hujan maksimum rencana.
b. Meghitung debit banjir rencana.
3. Menghitung kebutuhan dan ketersediaan air pada embung.
4. Menghitung keseimbangan air di embung.
5. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait.
6. Dalam perencanaan embung ini tidak dibahas perhitungan Rencana Anggaran
Biaya (RAB)

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Gambaran Umum Daerah Semi – Kering di Indonesia


2.1.1 Gambaran Umum Iklim
Rangkaian kepulauan mulai dari sebelah Timur Pulau Jawa yakni Pulau Bali
menuju ke Timur hingga Pulau Seram di Maluku Tenggara mencakup daerah pantai
sepanjang 49.000 km, dan membentang dari Barat ke Timur sejauh 1250 km. Pulau
paling Selatan dari rangkaian ini yakni Pulau Rote yang merupakan pulau paling
Selatan dari kepulauan Nusantara dan terletak di 11⁰ Lintang Selatan. Iklim kawasan
ini umumnya cukup kering. Hal ini merupakan konsekuensi dari letak geografik dan
orientasi rangkaian kepulauan tersebut terhadap sirkulasi masa udara dan gerakan
angin yag berlaku di daerah tersebut. Evapotranspirasi tahunan terhitung kira-kira
1800 mm sampai 1850 m didaerah pantai, dan 1400 mm hingga 1600 mm di
pedalaman/perbukitan. Angka-angka tersebut lebih tinggi dibandingkan
evapotranspirasi tahunan di daerah pantai yang pada umumnya di Indonesia sebesar
1400 mm [ CITATION Ann08 \l 1057 ].
Musim hujan umumnya berlangsung selama 3 sampai 5 bulan, sedangkan
musim kering berlangsung selama 7 sampai 9 bulan. Curah hujan tahunan rata-rata
kurang dari 1000 mm di daerah pantai, sedangkan di daerah perbukitan di pedalaman
dapat mencapai 2000 mm atau lebih. Sebagian besar curah hujan terjadi beberapa
kali, sehingga menyebabkan banjir bandang yang selanjutnya terbuang ke laut. Mata
air yang merupakan sumber aliran dasar suatu sungai jarang sekali dijumpai di musim
kering. Dengan demikian ciri utama daerah semi kering adalah bahwa musim kering
berlangsung lebih dari setengah tahun, lebih panjang dari pada kebanyakan daerah
lain yang ada di Indonesia.

4
2.1.2 Gambaran Umum Topografi
Daerah dengan iklim semi kering adalah kawasan Kepulauan Indonesia Timur
bagian Selatan. Daerah ini terdiri atas puluhan pulau yang relatif kecil. Pada
umumnya pulau-pulau tersebut bertopografi perbukitan dengan ketinggian puluhan
hingga ratusan meter, sedangkan dataran rendah sangat sempit terdapat di pantai.
Kadang-kadang terdapat gunung berapi dengan ketinggian mencapai ribuan meter.
Karena keadaan topografi dan keadaan iklim yang kurang menguntungkan, maka
pada umumnya lahan untuk tanaman pangan sebagian besar berupa lahan kering yang
terdapat di perbkitan. Di Propinsi NTT misalnya luas lahan kering tanaman pangan
mencapai 72% sedangkan yang basah hanya sebesar 28%.

2.2 Pengertian Ilmu Pengairan


Ilmu Pengairan adalah suatu cabang dari pengetahuan Teknik Sipil yang
khusus mempelajari tentang pengairan atau teknik penguasaan air. Arti umum
pengairan adalah suatu usaha untuk mengatur air yang mencakup bidang irigasi,
drainase, reklamasi, pengaturan banjir dan pengendalian banjir.
Arti khusus pengairan adalah suatu usaha untuk mengatur dan memanfatkan air yang
tersedia baik di sungai ataupun di sumber lain, dengan menggunakan jaringan-
jaringan irigasi untuk kepentingan pengairan pertanian. Jaringan irigasi tersebut
meliputi antara lain:
1. saluran-saluran dan bangunan-bangunan untuk menyadap air dari suatu sumber
air,
2. saluran-saluran dan bangunan-bangunan pelengkap untuk mengalirkan dan
membagikan air ke lahan pertanian,
3. saluran-saluran dan bangunan-bangunan pelengkap untuk menunjang
terlaksananya irigasi.

5
2.3 Sumber Air Pengairan
Sumber air pengairan dapat dibagi menjadi tiga golongan:
1. Mata air
Mata air yaitu air yang terdapat didalam tanah, seperti air sumur, air artesis, dan
air tanah. Air tersebut banyak mengandung zat terlarut sehingga mineral bahan
makan tanaman sangat kurang dan pada umumnya konstan.
2. Air sungai
Air Sungai yaitu air yang terdapat di atas permukaan tanah. Air tersebut banyak
mengandung Lumpur yang mengandung mineral sebagai bahan makan
tanaman, sehingga sangat baik untuk pemupukan dan juga suhunya lebih
rendah daripada suhu atmosfer. Air sungai ini berasal dari dua macam sungai,
yaitu sungai kecil yang debitnya berubah-ubah, dan sungai besar.
3. Air waduk
Air waduk yaitu air yang terdapat di permukaan tanah juga seperti pada air
sungai. Tetapi air waduk sedikit mengandung lumpur, sedangkan zat terlarutnya
sama banyaknya dengan air sungai. Air waduk disini dapat berasal dari dua
macam waduk, yaitu waduk alam dan waduk buatan manusia. Air waduk juga
dibedakan menjadi dua macam menurut keuntungan yang diperoleh yaitu
waduk multi purpose atau waduk dengan keuntungan yang diperoleh hanya
satu. Misalnya air waduk selain untuk pertanian juga untuk perikanan,
penanggulangan banjir, pembangkit listrik, dan pariwisata. Tetapi ada juga
waduk yang hanya digunakan untuk pertanian saja.

2.4 Sistem Pengairan


Sistem pengairan yang ada saat ini antara lain:
1. Sistem Konvensional
Sistem ini hanya mengandalkan keadaan topografi, yaitu selisih tinggi muka
air pada sumber air dengan tinggi muka air tanah yang akan diairi harus cukup
atau dapat juga air pada sumber air diuraikan dengan tenaga pompa.

6
2. Sistem Pasang surut
Sistem ini merupakan tinggi muka tanah yang tersedia sangat dipengaruhi
oleh keadaan pasang surutnya air laut (tidak konstan).
3. Sistem Pengairan Pantai
Sistem ini terdapat didaerah pantai yang mana merupakan kombinasi antara
sistem pasang surut dan konvensional. Tetapi pada sistem ini diperlukan pintu
pengatur untuk mengatur aliran air kedalam petak pertanian.
4. Sistem pengairan polder
Sistem ini merupakan sistem pengairan dengan cara melokalisir suatu areal
dengan menggunakan tanggul, sehingga diperoleh sistem tata air yang terpisah
dari tata air sekitarnya. Sistem ini jarang dipakai karena biayanya mahal.

2.5 Embung
Defenisi embung berdasarkan buku Pedoman Teknis Konservasi Air Melalui
Pembangunan Embung yang diterbitkan oleh Direktorat Pengelolaan Air Irigasi,
Kementrian Pertanian adalah bangunan konservasi air berbentuk cekungan disungai
atau aliran air berupa urugan tanah, urugan batu, beton dan/atau pasangan batu yang
dapat menahan dan menampung air untuk berbagai keperluan.

Gambar 2.1 Ilustrasi Embung Kecil


Sumber: (Pedoman Pembangunan Embung Kecil dan Bangunan Penampung Air lainnya, 2017)

7
Embung juga dapat diartikan sebagai bangunan artifisial yang berfungsi untuk
menampung dan menyimpan air dengan kapasitas volume kecil tertentu, lebih kecil
dari kapasitas waduk/bendungan. Embung biasanya dibangun dengan membendung
sungai kecil atau dapat dibangun di luar sungai. Kolam embung akan menyimpan air
dimusim hujan dan kemudian air dimanfaatkan oleh suatu desa hanya selama musim
kemarau untuk memenuhi kebutuhan dengan urutan prioritas, penduduk, ternak, dan
kebun atau sawah. Jumlah kebutuhan tersebut akan menentukan tinggi tubuh embung
dan kapasitas tampungan embung. Kedua besaran tersebut perlu dibatasi karena
kesederhanaan teknologi yang dipakai [ CITATION Sya09 \l 1057 ]. Batasan tersebut
sebagai berikut:
1. tinggi tubuh embung maksimum 10 m untuk tipe urugan, dan 6 m untuk tipe
gravitasi atau komposi; dimana tinggi tubuh embung diukur dari permukaan
galian fondasi terdalam hingga ke puncak tubuh embung,
2. kapasitas tampung embung maksimum 100.000 m³,
3. luas daerah tadah hujan maksimum 100 ha.

2.5.1 Maksud Pembangunan Embung


Perencanaan embung dimaksudkan agar dapat membangun konstruksi embung
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air bagi keperluan :
a. domestik untuk penduduk,
b. air untuk ternak,
c. air untuk kebun,
d. konservasi DAS atau sub DAS (imbuhan air tanah).
Berdasarkan fungsi embung seperti tersebut diatas, maka kolam embung akan
menyimpan air di musim hujan dan kemudian air dimanfaatkan bagi suatu desa atau
kelompok masyarakat selama musim kemarau untuk memenuhi kebutuhan dengan
urutan prioritas : penduduk, ternak dan kebun. Sehingga setiap akhir musim hujan
maka kolam embung dapat mulai dimanfaatkan. Sedang bagi keperluan konservasi
kolam embung dapat terisi sepanjang waktu.
8
Bangunan atau konstruksi embung dan bangunan pelengkapnya terdiri dari
beberapa bagian yaitu :
a. tubuh embung berfungsi menutup lembah atau cekungan (depresi, alur)
sehingga air dapat tertahan,
b. kolam embung atau tampungan berfungsi menampung air hujan,
c. alat sadap atau bangunan pengeluaran berfungsi mengeluarkan air kolam bila
diperlukan,
d. pelimpah berfungsi mengalirkan banjir dari kolam tampungan ke lembah di
hilir untuk mengamankan terjadinya limpasan,
e. jaringan distribusi berupa rangkaian pipa, berfungsi membawa air dari kolam ke
tandon di daerah hilir embung secara gravitasi dan bertekanan.

2.5.2 Kriteria Embung Kecil


Embung kecil didefenisikan sebagai bangunan konservasi air berbentuk
kolam/cekungan untuk menampung air limpasan serta sumber air lainnya untuk
memenuhi berbagai kebutuhan air dengan volume tampungan 500 m³ sampai 3000 m³
dan kedalaman dari dasar hingga puncak tanggul maksimal 3 m. Sesuai dengan
instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2018, maka embung kecil dalam hal ini untuk
memenuhi kebutuhan air baku pertanian guna meningkatkan produksi pertanian.
Embung yang dibahas dalam hal ini yaitu embung kecil yang hanya menggambarkan
ukuran embung yang biasanya ditemui antara lain sebagai berikut:
a. volume tampungannya ada diantara 500 – 3000 m³,
b. tinggi embung dari dasar hingga puncak tanggul maksimal 3m,
c. mempunyai panjang 20 – 50 m dan lebar 10 – 30 m.

Kriteria utama dari klasifikasi embung adalah volume tampungan dan tinggi
maksimum sedangkan ukuran panjang dan lebarnya tidak bersifat mengikat dapat
disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Misalnya, kondisi di lapangan hanya
memungkinkan adanya embung dengan kedalaman 1 m dan lebar 10 m, panjang 60

9
m, embung tersebut masih diklasifikasikan sebagai embung kecil karena volumenya
adalah 600 m³.

2.5.3 Komponen Embung Kecil


Embung terdiri atas berbagai komponen seperti yang tertera pada Gambar 2. 2.
Komponen-komponen embung yang terdapat pada gambar tersebut adalah:

Keterangan :
6. Pelimpah

1. Sumber dari air sungai debit minimum 5 lt/dtk 7. Pintu penguras

2. Sumber mata air 8. Pipa distribusi PVC

3. Bak pengendap 9. Bak air untuk rumah tangga

4. Batas daerah tadah hujan 10. Bak air untuk hewan ternak

5. Kolam embung tampungan 500 m³ - 3000 m³ 11. Bak air untuk tanaman

Gambar 2.2 Embung Kecil dan Komponennya


Sumber: (Pedoman Pembangunan Embung Kecil dan Bangunan Penampung Air lainnya, 2017)

a. Sumber air dari sungai


Air yang berasal dari sungai/saluran alami yang masuk ke dalam kolam
embung.
b. Sumber air dari mata air
Air yang bersumber dari mata air alami sebagai sumber air yang masuk
kedalam kolam embung.
c. Bak pengendap
10
Bangunan yang berfungsi untuk mengendapkan material yang terbawa oleh
air sebelum masuk ke dalam embung.
d. Batas daerah tadah hujan
Titik tertinggi di sekeliling embung yang menandai daerah yang dapat diisi
oleh air ketika hujan turun.
e. Kolam embung
Wadah air yang terbentuk pada cekungan embung dan tertahan oleh tubuh
embung yang berfungsi menampung air hujan.
f. Pelimpah
Saluran terbuka dari galian/timbunan tanah atau batu untuk melimpaskan air
yang berlebih pada kolam embung.
g. Pintu penguras
Pintu yang bisa dibuka/tutup untuk menguras dan membersihkan embung dari
kotoran dan sedimentasi serta untuk mengosongkan seluruh isi embung bila
diperlukan untuk perawatan. Ilustrasi pintu penguras disajikan pada Gambar
2. 3

Gambar 2.3 Pintu Air Jenis Pintu Sorong yang dapat digunakan untuk Pintu
Intake dan Pintu Penguras

11
Sumber: (Pedoman Pembangunan Embung Kecil dan Bangunan Penampung Air lainnya, 2017)

Jenis pintu intake dan penguras dapat menggunakan kayu ulir atau scot balok
menyesuaikan kondisi di lapangan seperti ketahanan terhadap korosi untuk daerah
rawa dan pasang surut.
h. Pipa distribusi/saluran terbuka
Pipa yang menyalurkan air dari kolam embung ke lokasi di mana air akan
digunakan. Dalam kondisi tertentu, penggunaan saluran terbuka untuk pipa
distribusi dapat diterapkan.
i. Bak air untuk rumah tangga
Tampungan air yang akan digunakan untuk keperluan rumah tangga.
j. Bak air untuk hewan ternak
Tampungan air yang akan dikonsumsi oleh hewan ternak.
k. Bak air untuk tanaman
Tampungan air yang akan dipakai untuk mengairi tanaman pada sawah atau
kebun.
Gambar embung beserta komponen-komponen yang ditampilkan di atas adalah
gambaran embung kecil secara ideal dan umum. Gambar 2.2 mengilustrasikan
embung kecil mendapat air dari berbagai sumber, namun ada kalanya embung hanya
mendapat air dari satu sumber saja antara lain :
a. Embung sungai
Embung Sungai adalah embung yang sumber air utamanya adalah dari air
sungai dan ditambah dengan air hujan yang masuk ke dalamnya. (lihat
Gambar 2.4)

12
Gambar 2.4 Embung yang Sumber Air Utamanya Berasal dari Sungai
Sumber:( Pedoman Pembangunan Embung Kecil dan Bangunan Penampung Air lainnya, 2017)

b. Embung tadah hujan


Embung tadah hujan hanya mendapatkan air dari hujan saja. Daerah
tangkapannya dibatasi oleh tepi dari sisi-sisi kolam embung. Bila embung
berada di daerah cekungan besar, daerah tangkapan embung tidak lagi dibatasi
oleh sisi kolam embung, namun daerah topografi tertinggi di sekeliling
embung. Oleh karena itu, diusahakan agar embung ini harus memiliki daerah
tangkapan air hujan dari sekitarnya yang masuk ke embung. Ilustrasi dari
embung tadah hujan ada pada (Gambar 2.5)

13
Gambar 2.5 Embung yang Hanya Mendapat Air dari Hujan
Sumber: (Pedoman Pembangunan Embung Kecil dan Bangunan Penampung Air lainnya, 2017)

c. Embung mata air


Embung mata air adalah embung yang sumber air utamanya adalah dari mata
air dan ditambah dengan air hujan yang masuk ke dalamnya. Ilustrasi
disajikan pada Gambar 2.6

14
Gambar 2.6 Embung yang Sumber Air Utamanya Berasal dari Mata Air
Sumber: (Pedoman Pembangunan Embung Kecil dan Bangunan Penampung Air lainnya, 2017)

2.6 Pertimbangan dalam Perencanaan Embung


a. Topografi
Pertimbangan terhadap topografi daerah rencana lokasi embung, antara lain
termasuk bentuk permukaan lokasi bendungan dan daerah genangan,
kemudahan akses ke lokasi dan akses ke lokasi material konstruksi. Lembah
dengan dinding curam didekat lokasi embung dapat diidentifikasikan sebagai
lokasi yang berpotensi mempunyai dampak longsoran, aliran debris, dan lain-
lain. Dampak tersebut dapat merusak tubuh embung, menimbun bangunan
pengeluaran maupun mengurangi kapasitas tampungan.
b. Geologi
Pertimbangan dilakukan untuk menilai kondisi batuan maupun jenis tanah yang
akan digunakan sebagai fondasi embung. Kondisi geologi sering menjadi
penentu dalam menetapkan tipe bendungan yang cocok untuk lokasi tersebut.

15
Kondisi geologi maupun fondasi yang dipertimbangkan meliputi: kekuatan,
ketebalan, arah dan kemiringan lapisan.
c. Hidrologi
Karakteristik curah hujan pada lokasi embung di Indonesia bagian Barat atau di
Indonesia bagian Timur akan mempengaruhi pemilihan banjir desain untuk
bangunan pelimpah. Untuk kondisi hidrologi tertentu dapat mengacu pada
penjelasan Hidrologi.
d. Lingkungan
Kondisi vegetasi, bentuk dan kemiringan daerah hilir potensi lokasi embung
harus pula dipertimbangkan. Terdapatnya vegetasi penahan tanah di daerah
hilir dapat menjadi indikasi cukupnya suplai air . Adanya perubahan kondisi
muka tanah dan air tanah akibat bangunan embung dapat menyebabkan
pengurangan vegetasi di daerah hilir, dan berkembangnya alur yang curam dan
meningkatnya erosi.

2.7 Prosedur Desain Embung


1. Lokasi dan Tata Letak
Penentuan lokasi dan tata letak embung harus memperhatikan :
a. Ketersediaan sumber air
Didapat dari mata air, limpasan saluran pembuang irigasi, sungai, atau tadah
hujan. Kriteria sumber air untuk embung kecil adalah :
- sumber air yang disarankan adalah sumber yang menyediakan air sepanjang
tahun sebesar 1-5 liter/detik agar embung tidak kering,
- embung tidak boleh mengambil air dari saluran pembawa irigasi yang ada,
- embung sebaiknya ditempatkan atau mengambil air dari sungai kecil atau
anak sungai atau gulley,
- embung tidak boleh membendung sungai utama atau sungai besar, karena
dapat mengakibatkan kekeringan di sebelah hilir embung.
b. Penentuan volume dan ukuran embung

16
Diutamakan pada daerah cekungan, lereng bukit, daerah yang lebih tinggi dari
sekitarnya agar embung dapat dibuat sebesar-besarnya dengan batas maksimal
3.000 m³
c. Ketersediaan bahan dan material
Mudah tersedia bahan material di sekitar lokasi seperti batu, tanah urukan, dan
pasir.
d. Karakteristik tanah antara lain:
- embung tidak boleh dibangun di atas tanah lunak,
- apabila embung dibangun di atas tanah timbunan, tanah timbunan tersebut
harus dipadatkan terlebih dahulu,
- tanahnya harus relatif kedap air seperti tanah lempung. Pembangunan
embung sebisa mungkin menghindari tanah yang teksturnya berbutir kasar
seperti pasiran, kerikil, atau tekstur tanah lainnya yang mudah meresap air.
e. Jarak dengan sumber air dan lahan pertanian
Letak embung yang akan dibangun harus sedekat mungkin dari sumber air dan
lahan pertanian yang akan diirigasi agar kehilangan airnya tidak besar dan agar
tidak membutuhkan jaringan pemipaan yang terlalu panjang.
f. Elevasi embung
Idealnya, posisi embung terletak di atas lahan pertanian agar tidak
membutuhkan pompa .
g. Status kepemilikan lahan
Lokasi tempat pengembangan embung status kepemilikannya jelas (tidak dalam
sengketa) dan tidak ada ganti rugi yang dilengkapi dengan surat pernyataan oleh
kelompok penerima manfaat.

2. Volume dan Ukuran Embung


Ukuran embung harus disesuaikan dengan situasi yang ada. Contohnya, apabila
volume tampungan embung yang dibutuhkan adalah 3.000 m³ maka ukuran
tipikalnya adalah 50 m x 30 m dengan kedalaman 2 m. Namun, jika penggalian
kolam embung hanya bisa dilakukan sampai kedalaman 1 m maka panjang dan lebar
17
embung bisa diperluas lagi agar volume tampungannya bisa dioptimalisasi.Volume
kolam embung dapat ditentukan berdasarkan data hujan di lokasi. Data hujan dapat
diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) atau stasiun
hujan terdekat. Data hujan diperlukan untuk mengetahui volume hujan yang dapat
ditampung pada kolam embung.

3. Aspek Geoteknik pada Embung


Penyelidikan geoteknik untuk mengetahui jenis tanah dapat dilakukan secara
sederhana. Bila tanah dasar embung adalah lempung yang sudah padat atau rapat
maka embung tidak lagi membutuhkan selimut atau lapisan kedap air. Sebaliknya,
apabila tanah dasar embung adalah pasir maka selimut atau lapisan kedap air akan
sangat diperlukan. Berikut adalah tata cara membedakan pasir, lempung dan lanau di
lapangan :
1. Pasir:
- kasar, ukuran butir paling besar sekitar 2 mm (lebih dari itu disebut kerikil),
- sulit untuk disatukan (bersifat lepas antar butirnya).
2. Lempung:
- jika dibentuk seperti bola dengan tangan, permukaan mulus dan licin,
- pada saat dibentuk bola, tanah mengotori tangan,
- jika digores dengan kuku akan mengkilap.
3. Lanau:
- jika dibentuk seperti bola dengan tangan, permukaannya akan retak-retak,
- pada saat dibentuk bola, tanah tidak mengotori tangan.
- jika digores dengan kuku akan buram, tidak sekilap lempung.

4. Kolam Embung
Kehilangan air akibat infiltrasi atau rembesan atau bocoran baik dari dasar
maupun kolam embung adalah hal yang harus dihindari. Rembesan yang besar dapat
terjadi apabila tanah dasar embung terdiri dari pasir. Karena itu, kolam embung perlu

18
diberi lapisan atau selimut kedap air untuk mencegah hal tersebut. Jenis lapisan atau
selimut kedap air yang dapat dipakai adalah :
a. Lapisan tanah lempung
Apabila di sekitar lokasi proyek tersedia tanah lempung dalam jumlah banyak,
tanah lempung dapat digunakan sebagai material untuk melapisi dasar dan tepi
kolam embung.
b. Geomembran atau terpal
Apabila lapisan tanah lempung tidak dapat diperoleh di lapangan atau di dekat
lokasi embung maka diperlukan lapisan kedap air yakni geomembran atau
terpal. Kelebihan geomembran adalah bahannya yang lebih awet dibandingkan
terpal yang lebih cepat rusak.
c. Lapisan plesteran semen
Semen digunakan apabila tanah lempung dan geomembran sulit ditemukan.
Semen yang digunakan adalah PC yang masih baru dan dalam keadaan baik.
Selain itu, ketebalan lapisan plesteran semen adalah 1 cm sampai dengan 1,5
cm.
Selain infiltrasi, hal lain yang berpotensi menjadi masalah pada kolam embung adalah
longsoran dari tanah di tepi kolam embung. Karena itu, area di sekitar kolam embung
harus ditanami rumput.

5. Pelimpah
Pelimpah berfungsi untuk melimpaskan air yang berlebih pada kolam embung.
Pelimpah ditempatkan di bagian hilir kolam embung, berbentuk saluran terbuka, dan
kemudian tersambung dengan alur sungai lama.

6. Bak Pengendap
Bak pengendap dibangun dengan bentuk galian sebelum air masuk ke dalam
tampungan. Bak pengendap ini berguna untuk mengendapkan material yang terbawa
oleh air sebelum msuk ke dalam kolam embung.

7. Pintu Penguras Embung


19
Pintu penguras berfungsi untuk membersihkan kotoran dan sedimen yang
mengendap di dasar embung. Pintu penguras juga dapat berfungsi untuk mengatur
tinggi muka air agar menjaga volume tampungan dam parit apabila sewaktu – waktu
sawah yang dialiri perlu perawatan.

8. Sistem Distribusi
Sistem distribusi untuk meyuplai air pada lahan pertanian. Sistem distribusi
dapat menggunakan pipa PVC dengan ukuran 1¼ inci sampai dengan 2 inci ataupun
ukuran lainnya yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Sistem distribusi dengan
saluran terbuka juga bisa dipakai walaupun tidak disarankan untuk mencegah
kehilangan air akibat rembesan dan penguapan.

2.8 Analisis Hidrologi


Hidrologi adalah bidang pengetahuan yang mempelajari kejadian-kejadian serta
penyebab air alamiah di bumi. Faktor hidrologi yang berpengaruh pada wilayah hulu
adalah curah hujan (presipitasi). Curah hujan pada suatu daerah merupakan salah satu
faktor yang menentukan besarnya debit banjir yang terjadi pada daerah yang
menerimanya [ CITATION Ber13 \l 1057 ]. Analisis hidrologi untuk perencanaan
embung meliputi 3 hal, yaitu:
- aliran masuk (inflow) yang mengisi embung,
- tampungan embung,
- banjir desain untuk menentukan kapasitas dan dimensi bangunan pelimpah
(spillway).
Untuk menghitung semua besaran diatas lokasi dari rencana embung harus
ditentukan dan digambarkan pada peta. Hal ini dilakukan supaya dalam penetapan
dari hujan rata-rata dan evapotranspirasi yang tergantung dari lokasi dapat
ditentukan. Luas genangan embung harus diperkirakan dan elevasi dasar laut
ditempat embung serta elevasi tertinggi di daerah cekungan juga harus ditentukan.
Karena cekungan relatif kecil maka luas daerah tadah hujan diperhitungkan efekif
yaitu dikurangi terlebih dahulu dengan luas genangan embung.

20
2.9 Perkiraan Debit Aliran Masuk Embung
Debit aliran masuk ke dalam embung berasal dari hujan yang turun didalam
daerah cekungan. Curah hujan pada suatu daerah merupakan salah satu faktor yang
menentukan besarnya debit banjir yang terjadi pada daerah yang menerimanya
Sebagian dari hujan tersebut menguap, sebagian lagi turun mencapai permukaan
tanah. Hujan yang mencapai tanah sebagian mengalir menuju embung sebagian
masuk kedalam tanah (resapan) yang akan mengisi pori-pori tanah sebagian mengalir
menuju embung sebagai aliran bawah permukaan; sedangkan sisanya mengalir di atas
tanah (aliran permukaan) [ CITATION Ann08 \l 1057 ]. Dalam pemilihan jaringan lokasi
stasiun, harus direncanakan untuk menghasilkan gambaran yang mewakili distribusi
daerah hujan. Satu alat ukur curah hujan dapat mewakili beberapa km² tergantung
pada penempatan letak stasiun dan fungsinya. Jaringan stasiun yang relatif renggang
cukup untuk hujan besar yang biasa untuk menentukan nilai rata-rata tahunan di atas
daerah luas yang datar. Sedangkan jaringan yang sangat rapat dibutuhkan guna
menentukan pola hujan dalam hujan yang lebat disertai guntur [ CITATION Ber13 \l
1057 ]. Kerapatan minimum jaringan stasiun curah hujan telah direkomendasikan
World Meteorogical Organization sebagai berikut :
1. untuk daerah datar pada zona beriklim sedang, mediteranian, dan tropis, 600
km² sampai 900 km² untuk setiap stasiun,
2. untuk derah pegunungan pada zona beriklim sedang, mediteranian, dan tropis,
100 km² sampai 250 km² untuk setiap stasiun,
3. untuk pulau-pulau dengan pegunungan kecil dengan hujan yang tak beraturan,
25 km² untuk setiap stasiun,
4. untuk zona-zona kering dan kutub, 1.500 km² sampai 10.000 km² untuk setiap
stasiun.

21
Sehingga curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan
pemanfaatan air adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan,
bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan
wilayah atau daerah dan dinyatakan dalam mm [ CITATION Ber13 \l 1057 ].

2.9.1 Hujan Rata-rata Bulanan di dalam Daerah Tadah Hujan


Di daerah semi kering cekungan/celah bukit pada umumnya tidak ditemukan
aliran. Dalam keadaan seperti itu aliran masuk ke dalam embung hanya dapat
diperkiran dari curah hujan, sehingga perkiraan aliran sudah cukup teliti jika diambil
curah hujan rata-rata bulanan.
Rumus untuk menghitung hujan rata-rata bulanan sebagai berikut:
.................................................................(2.1)
1
Rjan = ∑ (Rjan)i
n
.................................................................(2.2)
1
RFeb = ∑ (Rfeb)i .................................................................(2.3)
n

Keterangan:
Rjan = hujan rata-rata bulanan untuk bulan Januari di daerah tadah hujan
(mm/bulan)
(Rjan)i = hujan rata-rata bulanan untuk bulan Januari di pos ke-i (mm/bulan)
n = jumlah pos hujan

2.10 Perkiraan Debit Banjir


Embung air bersih seperti pada waduk lainnya, harus dilengkapi dengan
bangunan pelimpah (spillway) yang memerlukan rencana banjir desain untuk
merencanakan ukurannya. Karena luas tangkapan hujan untuk embung kecil tidak
terlalu besar (maksimum 100 ha) dan kapasitas tampungan kolam embung juga relatif
kecil (maksimum 100.000 m³) maka kapasitas bangunan pelimpahnya di desain
berdasarkan banjir rencana dengan kala ulang 25 tahun. Oleh karena itu metode
sederhana yang akan digunakan yaitu metode rasional yang berasal dari Australia.
22
Cara perhitungan untuk menentukan debit puncak dengan metode Rasional adalah
sebagai berikut:
1. menentukan curah hujan maksimum tahunan rata-rata (Rm) dan jumlah hari
hujan badai (M) yang lebih besar dari 10 mm per hari,
2. waktu konsentrasi (tc) didefenisikan sebagai waktu yang dibutuhkan limpasan
untuk melalui jarak terjauh didaerah tadah hujan, yaitu dari suatu titik di udik
sampai ke titik tinjau paling hilir. Waktu konsentrasi (tc) dihitung dengan
menggunakan rumur Kirpich dan rumus Giandortti kemudian dua harga
tersebut dirata-ratakan.
Rumus Kirpich:

L1.156
tc = 0,945 ........................................................................(2.4)
D0,385

Keterangan:
tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang sungai utama (km), kalau tidak ada sungai pilih alur terpanjang
dimana aliran permukaan mengalir
ΔH = perbedaan tinggi antara lokasi embung dan titik tertinggi pada daerah tadah
hujan (m)
Rumus Giandotti:

.....................................................................(2.5)
1/2
4 A +1,5 L
tc =
0,8 h 1/ 2

Keterangan:
tc = waktu konsentrasi (jam)
A = luas daerah tangkapan (km²)
L = panjang sungai utama atau alur (km)

23
ΔH = perbedaan tinggi antara lokasi embung dan titik tertinggi pada daerah daerah
tadah hujan (km)
Tinggi rata-rata pada daerah tadah hujan dapat dihitung dengan merata-ratakan
minimal tiga titik pengamatan tertinggi, sedang dan terendah di alur cekungan. Nilai
tc diambil dengan merata-ratakan harga tc yang didapat dari rumus diatas.

........................................................................(2.6)
tc = (tc1 + tc2 )/2

Keterangan:
tc1 = waktu konsentrasi tc (rumus Kirpich)
tc2 = waktu konsentrasi tc (rumus Giandortti)

3. Perhitungan Curah Hujan (R)


a. Curah Hujan Area
Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental dalam
perencanaan/penelitian pembuatan embung. Ketetapan dalam memilih lokasi dan
peralatan baik curah hujan maupun debit merupakan faktor yang menentukan kualitas
data yang diperoleh. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran
curah hujan dan analisis statistik yang diperhitungkan dalam perhitungan debit banjir
rencana. Data curah hujan yang dipakai untuk perhitungan dalam debit banjir adalah
hujan yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai pada waktu yang sama (Sosrodarsono,
2006). Curah hujan wilayah ini dapat diperhitungkan dengan beberapa cara, antara
lain :

Metode rata-rata aljabar


Cara ini dipakai pada daerah yang datar dan banyak stasiun curah hujannya, dengan
anggapan bahwa didaerah tersebut sifat hujannya adalah seragam (uniform). Cara ini
adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan didalam dan disekitar daerah
yang bersangkutan dengan rumus sebagai berikut:

1 24
Ŕ = ( R 1+ R 2+ R 3+ …+ Rn )
n
....................................................................................................................(2.7)

Keterangan:
Ŕ = curah hujan daerah (mm)
N = jumlah titik-titik (pos) pengamatan
R1,R2,R3,Rn = curah hujan ditiap titik pengamatan (mm)

Metode Polygon Thiessen


Cara ini bardasar rata-rata timbang (weighted average). Metode ini sering digunakan
pada analisis hidrologi karena lebih teliti dan obyektif dibanding metode lainnya, dan
dapat digunakan pada daerah yang memiliki titik pengamatan yang tidak merata. Cara
ini adalah dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun
hujan yang disebut faktor pembobotan atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan
stasiun hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun.
Besarnya koefisien Thiessen tergantung dari luas daerah pengaruh stasiun hujan yang
dibatasi oleh polygon-polygon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis
penghubung stasiun.

Ŕ = .......................................................................(2.8)
A 1 R 1+ A 2 R 2+…+ AnRn
A 1+ A 2+ …+ An
Keterangan:
Ŕ = curah hujan daerah (mm)
N = jumlah titik-titik (pos) pengamatan
R1,R2,,Rn = curah hujan ditiap titik pengamatan (mm)
A1,A2,An = bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan

25
Sta 2
Batas DAS

A2 Poligon Thiessen

Sta 1 A3
Sta 3
A1 A4

Sta 4
A5
A6 A7

Sta 5 Sta 6 Sta 7

Gambar 2.7 Metode Polygon Thiessen


Sumber: [ CITATION Sya09 \l 1057 ]

Hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah sebagai berikut :
- jumlah stasiun pengamatan minimal tiga buah stasiun,
- penambahan stasiun akan mengubah seluruh jaringan,
- topografi daerah tidak diperhitungkan,
- stasiun hujan tidak tersebar merata.

b. Analisis Frekuensi
Analisis frekuensi dilakukan untuk mencari distribusi yang cocok dengan data yang
tersedia di pos hujan yang ada. Analisis frekuensi juga bertujuan untuk mengetahui
hubungan besaran banjir dengan kemungkinan (probabilitas) keterjadiannya, sering
juga ditampilkan sebagai hubungan antar besaran dan kala ulangnya. Analisis
frekuensi didasarkan pada sifat statistik sampel (data) yang tersedia unutuk
memperoleh probabilitas besaran suatu populasi (hujan/debit). Secara sistematis
metode analisis frekuensi perhitungan hujan rencana ini dilakukan secara
berurutan sebagai berikut:
- parameter statistik,
26
- pemilihan jenis sebaran,
- uji kebenaran sebaran,
- perhitungan hujan rencana.

Parameter Statistik
Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi parameter
nilai rata-rata (X̅), simpangan baku (Sd), koefisien variasi (Cv) koefisien kemiringan
(Cs) dan koefisien kurtosis (Ck). Perhitungan parameter tersebut didasarkan pada data
catatan tinggi hujan harian maksimum 10 tahun terakhir dan untuk memudahkan
perhitungan maka proses analisisnya dilakukan secara matriks dengan menggunakan
tabel. Sementara untuk memperoleh harga parameter statistik dilakukan perhitungan
dengan rumus dasar sebagai berikut:

1. Standar Deviasi
Ukuran sebaran yang paling banyak digunakan adalah deviasi standar. Apabila
penyebaran sangat besar terhadap nilai rata-rata maka nilai S d akan besar, akan tetapi
apabila penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka nilai Sd akan kecil.
Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagi berikut [ CITATION Muh17 \l
1057 ]

Σ ( Xi− X́ )² ......................................................................... (2.9)


Sd =
√ n−1

2. Koefisien Kemencengan
Koefisien kemencengan (coefficient of skewness) adalah suatu nilai yang
menunjukkan derajat ketidak simetrisan (assymetry) dari suatu bentuk distribusi. Jika
dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagi berikut [ CITATION Sya09 \l 1057 ].

n
3
n x ∑ ( Xi− X́ ) .........................................................................(2.10)
Cs = i=1
(n−1) x (n−2) x S ³ 27
3. Koefisien Kurtosis
Koefisien kurtosis adalah suatu nilai yang menunjukkan keruncingan dari bentuk kurva
distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal yang mempunyai C k =
3 yang dinamakan mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam yang dinamakan leptokurtik,
sedangkan Ck > 3 berpuncak datar dinamakan platikurtik.

leptokurtik

mesokurtik

platikurtik

Gambar 2.8 Koefisien Kurtosis


Sumber: [ CITATION Muh17 \l 1057 ]

n ..........................................................................(2.11)
n ² ∑ (Xi− X́ )⁴
Ck = i=1
( n−1 ) ( n−2 ) (n−3)( S) ⁴
4. Koefisien Variasi
Koefisien variasi (coefficient of variation) adalah nilai perbandingan antara standar
deviasi dengan nilai rata-rata dari suatu sebaran. Koefisien variasi dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut [ CITATION Muh17 \l 1057 ].

S ..........................................................................(2.12)
Cv = X̅

K = Koefisien frekuensi didapat dari tabel


28
Adapun syarat-syarat yang digunakan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Persyaratan Parameter Statistik suatu Distribusi


No Distribusi Persyaratan
Cs = 1,14
1 Gumbel
Ck = 5,4
Cs = 0
2 Normal
Ck = 3
Cs = Cv³ + 3Cv
3 Log normal
Ck = Cv5 + 6Cv6 + 15Cv4 + 16Cv2 + 3

4 Log Person III Selain dari nilai diatas

Sumber: Teknik Perhitungan Debit Rencana Bangunan Air (2010)

Pemilihan Jenis Sebaran


a. Distribusi Probabilitas Gumbel
Jika data hujan yang dipergunakan dalam perhitungan adalah berupa sampel
(populasi terbatas), maka perhitungan curah hujan rencana berdasarkan Probabilitas
Gumbel dilakukan dengan rumus-rumus sebagai berikut:

XT = X̅ + S x K ............................................................................................(2.13)

Keterangan:
XT = hujan rencana atau debit dengan periode ulang T tahun
X̅ = nilai rata-rata dari data hujan (x) mm
S = standar deviasi dari data hujan (x)
K = faktor frekuensi gumbel:
Y 1−Y n .........................................(2.14)
K= Sn
Y1 = reduced variate

29
Yn = reduced mean
Sn = reduced standar deviasi

b. Distribusi Probabilitas Normal


Perhitungan hujan rencana berdasarkan Distribusi Probabilitas Normal, jika data yang
digunakan adalah berupa sampel, dilakukan dengan rumus-rumus berikut:

.................................................................................................(2.15)
XT = X̅ + KTS

Keterangan:
XT = hujan rencana dengan periode ulang T tahun
X̅ = nilai rata-rata dari data hujan (x) mm
S = standar deviasi dari data hujan (x)
KT = faktor frekuensi, nilainya bergantung dari T

c. Distribusi Probabilitas Log Normal


Perhitungan curah hujan berdasarkan Distribusi Probabilitas Log Normal, jika data
yang digunakan berupa sampel, dilakukan dengan rumus-rumus berikut:

Log XT = log´ X + KT x S log X


...............................................................................................................................(2.16)

Keterangan:
Log XT = nilai logaritmis hujan rencana dengan periode ulang T tahun
LogX = nilai rata-rata dari nilai

n
...............................................................................................................................(2.17)
log Xi
log X =¿ ∑ i=1
n

S Log X = standar deviasi dari


30
........................................................................(2.18)
n

KT
Log X =
√ ∑ (log Xi−log X )²
i=1
n−1
= faktor frekuensi, nilainya bergantung dari T

d. Distribusi Probabilitas Log Person Type III


Perhitungan curah hujan rencana berdasarkan Distribusi Probabilitas Log Person
Type III jika data yang digunakan berupa sampel, dilakukan dengan rumus-rumus
berikut ini:

......................................................................................................................................(2.19)
Log XT = LogX + KT x S log X

Keterangan:
Log XT = nilai logaritmis hujan rencana dengan periode ulang T tahun
LogX = nilai rata-rata dari nilai

∑ log Xi ...................................................................(2.20)
Log X = i=1
n

S log X = standar deviasi dari Log X

n
..........................................................................(2.21)
Log X =
√ ∑ (log Xi−log X ) ²
i=1
n−1

31
n
Cs = ∑ ¿¿ ¿ ...................................................................................(2.22)
i=1

KT = variabel standar, besarnya koefisien kepencengan (Cs atau G)


Cara perhitungan ini durasi hujan diambil sebesar tc (waktu konsentrasi)
a) Untuk menghitung besarnya curah hujan dengan durasi atau t c = 5 – 120 menit
dengan kala ulang 2 – 100 tahun digunakan rumus:

RtT = R260 (0,35 ln T + 0,76 ) (0,54 tc0,25 – 0,5) .....................................(2.23)

Keterangan:
Rt T = hujan dalam mm dalam durasi t menit yang sama dengan waktukonsentrasi
(tc) untuk kala ulang T tahun.
R260 = hujan dengan durasi 60 menit dengan kala ulang 2 tahun dapat dihitung
dengan rumus Bell yang telah dimodifikasi oleh pusat Litbang Pengairan.
Rumus ini berlaku untuk seluruh daerah semi kering di Indonesia.

R260 = 0,17 Rm M0,33 ...............................................................................(2.24)

Untuk 0 < M < 50


80≤M≤115
R260 dan Rm dalam mm dan M dalam hari

b) Untuk menghitung besarnya curah hujan dengan durasi atau tc lebih besar dari 120
menit dengan kala ulang 2 sampai 100 tahun digunakan rumus:

RT = R260 (0,35 ln T + 0,76) ( 0,54 tc0,25 – 0,5) – [(0,18(t-120) + 1] ........(2.25)


32
Uji Kecocokan Sebaran
Pengujian kecocokan sebaran dogunakan untuk menguji kecocokan sebaran yang
dipilih dalam pembuatan duration curve cocok dengan sebaran empirisnya. Dalam
hal ini digunakan dengan uji Chi Square. Uji Chi Square diperlukan untuk
mengetahui apakah data curah hujan yang ada sudah sesuai dengan jenis sebaran
(distribusi) yang dipilih. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X 2
yang dihitung dengan rumus:

G
(O f −E f ) ²
X ²=∑ ...........................................................................(2.26)
i=1 Ef

Prosedur perhitungan chi square adalah sebagai berikut:


1. urutkan data pengamatan dari data yang terbesar ke data yang terkecil atau
sebaliknya,
2. hitung jumlah kelas yang ada (k) = 1 + 3,322 log n. Dalam pembagian kelas
disarankan agar masing-masing kelas terdapat empat buah pengamatan,
3. hitung nilai Ef = jumlah data (n)/jmlah kelas (k),
4. tentukan nilai Of untuk masing-masing kelas,
5. hitung nilai X2 untuk masing-masing kelas kemudian hitung nilai total X2,
6. nilai X2 dari perhitungan harus lebih kecil dari nilai X2 dari tabel untuk derajat
nyata tertentu yang sering diambil sebesar 5% dengan parameter derajat
kebebasan.
Derajat kebebasan ini secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut [ CITATION
Muh17 \l 1057 ]

...............................................................................................(2.27)
Dk = K – (p+1)

K = 1 + 3,322 log 33
n
.........................................................................................(2.28)

Keterangan:
Dk = derajat kebebasan
K = kelas distribusi
p = parameter sebaran
Menghitung kelas distribusi dengan rumus:

1
x 100% = .........................................................................................(2.29)
5
20%
Maka interval distribusi yaitu 20% ; 40% ; 60% ; dan 80%
Menghitung nilai ΔX dengan rumus:

Xmax− Xmin
ΔX =
K−1 .....................................................................................(2.30)

1
Xawal = Xmin - ΔX ..................................................................................(2.31)
2

Uji keselarasan Smirnov Kolmogorof


Uji ini biasanya digunakan untuk menguji simpangan atau selisih terbesar antara peluang
pengamatan (empiris) dengan peluang teoritis. Uji ini sering disebut juga uji non
parametik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedur
dari uji ini yaitu sebagai berikut:

- Urutkan data dari yang terbesar ke yang terkecil atau sebaliknya. Dan tentukan
besarnya peluang yang tak terlampaui dari data masing-masing tersebut.
X1 P (X1)
X2 P (X2)
Xm P (Xm)
Xn P (Xn)

34
- Tentukan nilai masing-masing peluang tak terlampaui teoritis dari hasil
penggambaran data (persamaan distribusinya) .
X1 P’(X1)
X2 P’(X2)
Xm P’(Xm)
Xn P’(Xn)
- Tentukan selisih terbesar antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis
Rumus:

Dmax = [P(Xm) – P’(Xm)] ........................................................................(2.27)

Dengan :

m
P (x) =
n+1 ..............................................................................................(2.28)

..........................................................................................(2.29)
P’(x) = F (t) = 1-t

Xi−X
F (t) = ..................................................................................................(2.30)
s

Keterangan:
D = selisih terbesar antara peluang empiris dengan teoritis
P (x) = sebaran frekuensi teoritik berdasarkan H0
P’(x) = sebaran frekuensi kumulatif berdasarkan sampel
F(x) = nilai unit variabel normal
m = nomor urut kejadian atau peringkat kejadian
n = jumlah data
Urutan penyelesaian Uji Smirnov Kolmogorov juga dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:

35
- data diurutkan dari yang terkecil ke yang terbesar,
- penentuan nilai K

K= ....................................................................................(2.31)

- menghitung peluang empiris (Pe) dengan rumus yaitu:

m
Pe = n+1 .......................................,...................................................(2.32)

Keterangan:
Pe = peluang empiris
m = nomor urut data
n = banyaknya data

- menghitung peluang teoritis (Pt) dengan rumus:

.............................................................................................(2.33)
Pt= 1 – Pr

Keterangan:
Pr = probabilitas yang terjadi

- menghitung simpangan maksimum (Δmaks) dengan rumus:

Δmaks = |Pe - Px| ..........................................................................................(2.34)

- menentukan nilai Δtabel


- menyimpulkan hasil perhitungan, yaitu apabila Dmaks < Dcr maka distribusi
teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima,
dan apabila Dmaks > Dcr maka distribusi teoritis yang digunakan untuk
menentukan persamaan distribusi tidak dapat diterima. Nilai Δ kritis untuk uji
Smirnov-Kolmogorof dapat dilihat dalam lampiran.

36
4. Perhitungan Intensitas Hujan
Untuk menghitung besarnya intensitas hujan dipergunakan rumus sebagai berikut:

iT = RTt/tc ......................................................................................................(2.35)

Keterangan:
iT = intensitas hujan pada kala ulang T (mm/jam)
RtT = hujan (mm) yang didapat dari persamaan diatas
tc = waktu konsentrasi (jam)

5. Perhitungan koefisien limpasan (runoff-C)


Koefisien limpasan (runoff-C) dapat dihitung dengan memperhatikan faktor iklim dan
fisiografi yaitu dengan menjumlahkan beberapa koefisien C sebagai berikut:

C = C p + Ct + C0 + Cs + Cc .......................................................................(2.36)

Keterangan:
Cp = komponen C yang disebabkan oleh intensitas hujan yang bervariasi
(Tabel 2.3)
Ct = komponen C yang disebabkan oleh keadaan topografi (Tabel 2.3)
C0 = komponen C yang disebabkan oleh tampungan permukaan (Tabel 2.4)
Cs = komponen C yang disebabkan oleh infiltrasi (Tabel 2.5)
Cc = komponen C yang disebabkan oleh penutup lahan (Tabel 2.6)

Tabel 2.2 Harga Komponen C oleh Faktor Intensitas Hujan (Cp)


Intensitas Hujan (mm/jam) Cp
< 25 0,05
25-50 0,15
50-75 0,25
>75 0,30

37
Sumber: Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering di Indonesia, Dep.PU, 20

Tabel 2.3 Harga Komponen C oleh Faktor Topografi

Keadaan Topografi Kemiringan m/km Ct


Curam dan tidak rata 200 0,10
Berbukit-bukit 100-200 0,05
Landai 50-100 0,00
Hampir Datar 0-50 0,00

Sumber: Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering di Indonesia, Dep.PU,
2008

Tabel 2.4 Harga Komponen C Oleh Tampungan Permukaan


Tampungan Permukaan Cp
1. Daerah pengaliran yang curam, sedikit depresi permukaan 0,10
2. Daerah pengaliran yang sempit dengan sistem teratur 0,05
3. Tampungan dan aliran permukaan yang berarti terdapat 0,05
kolam berkontur
4. Sungai berkelok-kelok dengan usaha pelestarian lahan 0,00

Sumber: Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering di Indonesia, Dep.PU

Tabel 2.5 Harga Komponen C Oleh Faktor Infiltrasi


Kemampuan Infiltrasi Tanah K (cm/dtk) Cs
Infiltrasi besar (tidak terdapat penutup lahan) < 10-5 0,25
Infiltrasi lambat (lempung) 10-5 < 10-6 0,20
Infiltrasi sedang (loam) 10-3 < 10-4 0,10
Infiltrasi cepat (pasir tebal, tanah beragregat
10-3 0,05
baik)

Sumber: Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering di Indonesia, Dep.PU

Tabel 2.6 Harga Komponen C oleh Penutup Lahan


Penutup Tumbuh-tumbuhan pada Daerah Pengaliran
Cc

38
1. Tidak terdapat tanaman yang efektif 0,25
2. Terdapat padang rumput yang baik sebesar 10% 0,20
3. Terdapat padang rumput yang baik sebesar 50%, ditanami atau 0,10
banyak pepohonan
4. Terdapat padang rumput yang baik sebesar 90%, hutan 0,05

Sumber: Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering di Indonesia, Dep.PU

6. Perhitungan Debit Puncak Banjir (QT)


Dalam menghitung debit puncak banjir digunakan rumus sebagai berikut:

QT = (C x IT x A) / 3,6 .............................................................................(2.37)

Keterangan:
QT = debit puncak banjir periode ulang T tahun (m³/dtk)
C = koefisien run off total
IT = besar hujan untuk periode ulang T tahun (mm/jam)
A = luas daerah tadah hujan (km²)

2.10.1 Penguapan dan Penguapan Peluh Potensial


Penguapan peluh potensial adalah jumlah air yang dapat diluapkan bila
ketersediaan air permukaan dan bawah permukaan dianggap berlebihan serta
permukaan tanah ditutupi dengan jenis tanaman tertentu. Sedangkan kehilangan air
karena penguapan peluh pada kondisi ketersediaan air dan penutup lahan yang
sebenarnya dan sering disebut sebagai penguapan peluh sebenarnya. Nilainya lebih
kecil atau sama dengan penguapan peluh potensial. Penguapan peluh potensial
diperlukan sebagai masukan untuk perhitungan debit bulanan, sedangkan penguapan
dipakai untuk menghitung kapasitas embung yang diperlukan.
Kedua parameter ini diperlukan untuk debit rata-rata bulanan. Untuk luas
daerah tadah hujan kecil, fungsi penguapan peluh kurang besar peranannya terutama
untuk daerah yang kemiringnnya cukup tinggi. Oleh karena itu untuk kebutuhan
desain embung harga penguapan peluh perlu direduksi. Koefisien reduksi terhadap
39
penguapan peluh dapat digunakan untuk menghitung debit bulanan. Besarnya reduksi
tergantung pada kemiringan lahan.

Tabel 2.7 Koefisien Reduksi Penguapan Peluh Untuk Luas DAS < 100 Ha
Kemiringan (m) Koefisien Reduksi
0 – 50 0,90
51 – 100 0,80
101 – 200 0,60
¿200 0,40

Sumber: Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering di Indonesia, Dep.PU

2.10.2 Perhitungan Debit Bulanan Cara Rasional


Persamaan atau rumus sederhana untuk menghitung aliran bulanan dari hujan
bulanan adalah sebagai berikut:

Vj = 10 Cj . Rj ...........................................................................................(2.38)
A

V = ∑ Vj ...............................................................................(2.39)

(untuk A ≤ 10 Ha = 1 km²)

Keterangan:
Vj = aliran bulanan dari seluruh daerah tadah hujan untuk bulan j (m³/bulan)
Rj = curah hujan bulanan untuk bulan j (mm/bln)
Cj = koefisien pengaliran untuk bulan j
A = luas daerah tadah hujan efektif (ha), yaitu setelah dikurangi luas kolam
embung dianggap sama dengan luas daerah tadah hujan
V = aliran masuk ke embung selama musim hujan (m³)

2.11 Tampungan Embung


2.11.1 Ketersediaan Air
Air yang akan masuk ke dalam embung terdiri atas 2 kelompok, yaitu:

40
- air permukaan dari seluruh daerah tadah hujan,
- air hujan efektif yang langsung jatuh diatas permukaan kolam.
Dengan demikian jumlah air yang yang masuk kedalam embung dapat dinyatakan
seperti berikut ini:

Vh = ∑ Vj + 10.Akt. ∑Rj atau Vh = ∑Vj ..............................................(2.40)


Dimana:
Vh = volume air yang dapat mengisi kolam embung selama musim hujan (m³)
Vj = aliran bulanan pada bulan j (m³/bulan)
∑ Vj = jumlah aliran total selama musim hujan (m³)
Rj = jumlah hujan bulanan pada bulan j (mm/bulan)
∑Rj = curah hujan total selama musim hujan (mm) curah hujan musim kemarau
diabaikan
Akt = luas kolam embung (ha)
Volume air (Vh) merupakan jumlah air maksimum yang dapat mengisi kolam
embung. Oleh karena itu air yang teredia ini harus dibandingkan dengan kapasitas
tampung yang diperlukan.

2.11.2 Kebutuhan Air dan Tampungan Hidup


Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Litbang Pengairan pada tahun 1994
di Pulau Timor, keperluan air baku bagi manusia , hewan, dan kebun dari sebuah
embung kecil didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Kebutuhan air untuk penduduk QP = 150 1/hari/KK
2. Kebutuhan air untuk penduduk Qh = 200 1/hari/KK *)
3. Kebutuhan air untuk kebun Qk = 450 1/hari/KK **)

Total Qu = 800 1/hari/KK

*) tiap KK dianggap memiliki 20 ekor ternak, KK = kepala keluarga

41
**) tiap KK dianggap menggarap kebun seluas 200 m²
Hasil tersebut diatas dianggap mewakili kebutuhan di daerah semi kering, maka
kebutuhan total untuk tampungan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

.........................................................................................(2.41)
Keterangan:
JKK = jumlah KK per desa, data dapat diperoleh dari buku statistik yang
dikeluarkan Pemerintah Daerah etempat
Jh = jumlah hari selama musim kemarau, yang secara praktis sebesar = 8 bulan x
30 hari = 240 hari
Qu = kebutuhan air penduduk, ternak, dan kebun (1/hari/KK)
Dengan memasukan persamaan diatas, maka bentuk persamaan dapat
disederhanakan menjadi:
Vu = 240 x JKK x 800
= 192000 JKK (dalam liter)

..................................................................................(2.42)
Vu = 192 JKK (dalam m³)

Proyeksi pertumbuhan penduduknya sampai tahun ke-n dihitung dengan persamaan


sebagai berikut:

Pn =P0 (1 + r)n ....................................................................................(2.43)

Keterangan:
Pn = jumlah penduduk pada tahun n (jiwa)
P0 = jumlah penduduk pada tahun awal dasar (jiwa)
r = angka pertumbuhan penduduk (%)
n = periode waktu (tahun)

42
2.11.3 Ruang Sedimen (Vs)
Ruang untuk sedimen perlu untuk disediakan dikolam embung walaupun
didaerah tadah hujan disarankan ditanami rumput untuk mengendalikan erosi.
Berdasarkan pengamatan pada beberapa embung yang ada secara praktis ruang
setinggi 1,00 m diatas dasar kolam sudah cukup untuk menampung sedimen. Ruang
ini masih dapat dimanfaatkan selama belum terisi sedimen. Dalam perencanaan
embung kecil ini diambil 0,05 Vu.

2.11.4 Jumlah Penguapan


Di daerah semi kering penguapan dari kolam embung relatif cukup besar apalagi
aliran di musim kering tidak ada. Dengan demikian jumlah penguapan selama
musim kemarau perlu diperhitungkan dalam penentuan kapasitas dan atau tinggi
embung. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Ve = 10 . Akt . ∑Ekj .............................................................................(2.44)

Keterangan:
Ve = jumlah penguapan dari kolam embung selama musim kemarau (m³)
Akt = 0,24 ; luas permukaan kolam pada setengah tinggi (m²)
Ekj = penguapan bulanan di musim kemarau pada bulan ke-j (mm/bulan), didapat
dengan mengalikan besaran penguapan panci A dengan koefisien embung
0,70
2.11.5 Jumlah Resapan
Air dalam kolam embung akan meresap masuk kedalam pori atau rongga
didasar dan dinding kolam. Besarnya resapan ini tergantung dari sifat lulus air atau
material dasar dinding kolam. Sedangkan sifat ini terganung pada jenis butiran tanah
atau struktur batu pembentuk dasar dan dinding kolam. Besarnya resapan air kolam
embung secara praktid dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Vi = K. Vu 43
.............................................................................................(2.45)

Keterangan:
Vi = jumlah resapan tahunan (m³)
Vu = jumlah air untuk berbagai kebutuhan (m³)
K = faktor yang nilainya tergantung dari sifat lulus air material dasar dan
dinding embung
K = 10% bila dasar dan dinding kolam embung praktis rapat air; (k≤ 10-5
m/dtk) termasuk penggunaan lapisan buatan (selimut embung,
geomembran, semen tanah)
K = 25% bila dasar dinding kolam embung bersifat semi lulus air

2.11.6 Kapasitas Tampung yang dibutuhkan


Di daerah semi kering musim hujan berlangsung pendek yaitu 3-5 bulan,
sedangkan musim kemarau berlangsung 7-9 bulan. Embung yang akan didaerah semi
kering akan menampung penuh air di musim hujan dan kemudian akan dioperasikan
pada musim kemarau untuk melayani kebutuhan yaitu: kebutuhan penduduk, ternak
dan kebun di suatu desa selama musim kemarau. Dengan demikian kapastitas
tampung embung harus dapat memenuhi kebutuhan diatas dan juga harus
memperhitungkan kehilangan air akibat penguapan di kolam, resapan di dasar dan
dinding kolam, serta menyediakan ruangan untuk sedimen. Untuk menghitung
kapasitas tampung yang dibutuhkan (Vn) untuk sebuah embung menggunakan bentuk
persamaan sebagai berikut:

............................................................................(2.46)
Vn = Vu + Ve + Vi + Vs

Keterangan:
Vn = kapasitas tampung total yang diperlukan suatu desa (m³)
Vu = volume hidup untuk melayani berbagai kebutuhan (m³)

44
Ve = jumlah penguapan dari kolam selama musim kemarau (m³)
Vi = jumlah resapan melalui dasar, dinding, dan tubuh embung selama musim
kemarau (m³)
Vs = ruangan yang disediakan untuk sedimen (m³)
Dalam menentukan kapasitas/tampungan total suatu embung harus
mempertimbangkan volume yang tersedia dan kemampuan topografi dalam
menampung air. Apabila air yang tersedia dari kemampuan topografi kecil, maka
embung harus didesain sesuai dengan kapasitas tersebut daripada keperluan
maksimum suatu desa. Dalam hal demikian untuk memenuhi kebutuhan maksimum
suatu desa maka diperlukan pembangunan lebih dari suatu embung.

2.11.7 Menentukan Kapasitas Tampung Desain (Vd)


Dalam menentukan kapasitas tampungan suatu embung (Vd) harus
membandingkan 3 hal yaitu:
1. volume tampungan yang diperlukan (Vn) untuk menyediakan:
- kebutuhan penduduk, hewan, dan kebun (Vu) di suatu Desa,
- volume cadangan untuk kehilangan air karena penguapan (V e) dan resapan
(Vi),
- ruangan untuk menampung sedimen (Vs) diperkirakan 0,05 – 0,1 Vu.

2. volume air yang tersedia (potensial) selama musim hujan (V h) yang


merupakan jumlah air maksimum yang dapat mengisi kolam embung,

3. daya tampung (potensi) topografi untuk menampung air (Vp) yaitu volume
maksimum kolam embung yang terbentuk karena dibangunnya suatu embung.
Dari ketiga besaran tersebut yaitu: Vn , Vh, dan Vp dipilih yang terkecil sebagai
volume atau kapasitas tampung desain suatu embung (Vd) . Bilamana Vh atau Vp yang
menentukan maka kemampuan untuk melayani penduduk akan berkurang, yaitu tidak
sebesar yang diperlukan (Vn).

2.12 Bak Distribusi

45
Untuk mendistribusikan air dari embung kepada pemakainya diperlukan bak-
bak distribusi yag dibagi dalam tiga macam yaitu bak untuk keperluan manusia, bak
untuk minum hewan, dan bak air untuk ladang atau kebun. Bak-bak tersebut harus
ditempatkan sesuai dengan fungsinya yaitu ditengah pemukiman untuk bak manusia,
disekitar daerah penggembalaan ternak untuk bak hewan, dan didaerah sekitar ladang
atau kebun. Struktur bak dapat dibuat dari beton atau pasangan batu atau bata dengan
plesteran kedap air.

a. Bak untuk Keperluan Manusia


Bak ini digunakan untuk penyediaan air bagi manusia untuk keperluan air
minum, mandi, dan mencuci. Sebaiknya bak manusia ditempatkan ditengah
lokasi pemukiman sehingga jarak yang ditempuh penduduk untuk mengambil
air tidak terlalu jauh atau tidak melebihi 500 m. Bak terbuat dari beton atau
pasangan batu dengan ukuran 1,00 x 2,00 m yang dibagi menjadi dua bagian.
Satu bagian berukuran 1,00 x 1,20 m berisi ir yang telah disaring. Instalasi
saringan pasir lambat dapat menggunakan standar SKSNI no. T-09-1992-03.
Untuk standar ini tinggi bak minimal 1,50 m dengan rincian sebagai berikut:

- tinggi bebas 0,20 m


- tinggi air diatas media pasir 0,30 m
- tebal pasir penyaring 0,40 m
- tebal kerikil penahan 0,20 m
- drain bawah 0,25 m
Pipa pemasukan air ke bak saringan pasir lambat dilengkapi dengan klep
penutup dengan pelampung sehingga bila muka air telah mencapai elevasi yang
ditentukan air berhenti mengalir secara otomatis. Pipa pada bak ini digunakan
pipa bergalvanis dengan diameter 1”. Kran penyadap air dari bak sebaiknya
menggunakan kran yang berkualitas tinggi untuk menghindari penggantian
akibat kerusakan yang teralu sering pada masa pemeliharaan.
b. Bak untuk Keperluan Hewan

46
Bak untuk keperluan hewan dibangun minimal 50 m dari tubuh embung
disekitar daerah pengembalan ternak dan pada lokasi tanah yang stabil, yang
tidak mudah tererosi dan amblas, tidak pada lokasi lereng yang curm, serta
mempunyai drainase yang cukup baik. Bak hewan dapat dibangun dari beton
atau pasangan batu atau bata dengan plesteran kedap air (1:2), berukuran
minimal 1,00 x 1,00 m dan maksimal 1,00 x 2,00 m. Pipa pemasukan air pada
bak hewan dilengkapi dengan klep penutup dengan pelampung sehingga air
dapat berhenti mengalir secara otomatis bila telah mencpai elevasi yang
ditentukan. Jumlah bak hewan dapat dbuat sesuai dengan kebutuhan. Sebagai
perkiraan bak berukuran 1,00 x 1,00 m dapat digunakan untuk sapi sebanyak 30
ekor atau kambing sebanyak 130 ekor.

c. Bak Kebun
Bak kebun ditempatkan disekitar ladang atau kebun yang akan digunakan
bersama oleh penduduk. Sruktur bak kebun sama dengan struktur bak hewan,
dapat terbuat dari beton maupun pasangan batu atau bata dnegan ukuran sekitar
0,80x 1,00 m. Pipa pemasukan pada bak kebun juga dilengkapi dengan klep
penutup yang berpelampung sehingga dapa menutup secara otomatis. Bak ini
terbuka dan pengambilan air oleh penduduk dilakukan dengan gayung.

2.13 Analisis Keseimbangan Air


Perencanaan kapasitas tampung embung dengan metode Simulasi merupakan
suatu proses yang menirukan perilaku suatu sistem tanpa benar-benar mencapai
kenyataan itu sendiri. Ini merupakan pengembangan suatu model matematik yang
dari semua karakteristik terkandung serta kemungkinan respon dari sistem tersebut.
Metode Simulasi untuk penentuan kapasitas tampung embung dikembangkan dari
persamaan kontinuitas tampungan yang secara matematik dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut:

...........................................................................(2.47)
0St≤- S1t =≤ SCt + It – Ot – Et - Lt
47
Keterangan:
C = kapasitas tampungan efektif (m³)
St = volume air ditampungan pada periode ke-t (m³)
St – 1 = volume air ditampungan pada waktu periode waktu ke t-1 (m³)
It = debit masuk pada waktu ke-t (m³/dtk)
Ot = debit kebutuhan pada periode waktu ke-t (m³/dtk)
Et = penguapan yang terjadi di tampungan pada periode waktu ke-t (m)
Lt = kehilangan air pada waktu ke-t (m)
Periode waktu yang umum pada perencanaan kapasitas tampungan adalah satu bulan,
tetapi periode lain juga dapat dipakai. Kehilangan akibat penguapan besarnya
tergantung pada luas permukaan air di embung dan kondisi hidrologinya. Sedangkan
kehilangan lainnya umumnya tidak besar dan biasanya diabaikan.
Anggapan-anggapan dalam metode simulasi adalah:
- pada tahun pertama operasi pengisian embung dimulai pada bulan Nopember,
- rangkaian data masukan dianggap mampu mewakili sungai di masa mendatang.
Batasan-batasan dalam metode simulasi adalah:
- pada tahun pertama operasi pengisian embung dimulai pada bulan Nopember.
Pengaruh asumsi ini terhadap ukuran embung bisa diperiksa dengan menelusuri
diagram perilaku untuk berbagai kondisi awal. Analisis yang didasarkan pada
data yang dibangkitkan memberikan gambaran bahwa paling sedikit dibutuhkan
data aliran sungai sepanjang 100 tahun pada beberapa sungai sebelum pengaruh
penuhnya embung yang diasumsikan bisa diabaikan,
- pelepasan yang berhubugan dengan tingkat pertumbuhan dalam waktu (misalnya
peningkatan permintaan dengan peningkatan populasi) tidak mudah ditangani
karena sulitnya menghubungkan permintaan mendatang dengan tahun tertentu
pada data aliran historik.

2.14 Mekanika Tanah

48
Mekanika tanah adalah suatu cabang ilmu dari teknik yang mempelajari
perilaku tanah dan sifatnya yang disebabkan oleh tegangan dan regangan akibat dari
gaya-gaya yang bekerja.
Pengelompokan jenis tanah berdasarkan campuran butir, yaitu:
- tanah berbutir kasar adalah tanah yang sebagian besar butir-butir tanahnya
berupa pasir dan kerikil,
- tanah berbutir halus adalah tanah yang sebagian besar butir-butir tanahnya
berupa lempung dan lanau,
- tanah organik adalah tanah yang cukup banyak mengandung bahan-bahan
organik.
Pengelompokan tanah berdasarkan sifat lekatnya, yaitu:
- tanah kohesif adalah tanah yang mempunyai sifat lekatan antar butir-butirnya.
(tanah lempung mengandung lempung cukup banyak).
- tanah non kohesif adalah tanah yang tidak mempunyai atau sedikit sekali sifat
lekatan antar butir-butirnya.(hampir tidak mengandung lempung misalnya
pasir).
- tanah organik adalah tanah yang sifat lekatnya dipengaruhi oleh bahan-bahan
organik. (sifat tanah tidak baik)

Pada dasarnya daya dukung tanah adalah kemampuan tanah memikul tekanan atau
tekanan maksimum yang diijinkan bekerja pada tanah pondasi. Jika lapisan tanah
dibebani, maka tanah akan mengalami regangan atau penurunan (settlement).
Regangan yang terjadi dalam tanah ini disebabkan oleh berubahnya susunan tanah
maupun oleh pengurangan rongga pori/air didalam tanah tersebut. Analisa tanah yang
dipakai antara lain dengan parameter-parameter sebagai berikut:

Berat tanah kering (ɣd)

ɣd = 95% x ɣdmaks ......................................................................................(2.48)

49
Kadar air tanah (W)

.......................................................................................(2.49)
W = Wopt + 3%

Berat volume tanah (ɣn)

...........................................................................................(2.50)
ɣn = (1 + W) x ɣd

Angka Pori (e)

..................................................................................................(2.51)
Gs−γd
e¿
γd

Berat tanah jenuh (ɣsat)

................................................................................................(2.52)
Gs−e
e=
1+e

2.14 Pelimpah
Untuk bangunan embung kecil, tipe pelimpah yang cocok adalah pelimpah
tanah saluran terbuka. Pelimpah jenis ini diletakan terpisah dengan tubuh embung dan
dibangun diatas tanah asli. Tempat pelimpah harus dipilih pada tempat dimana
alirannya tidak akan menyebabkan erosi pada tanggul dan aman terhadap longsoran.
Adapun bangunan pelimpah agar berfungsi secara baik, maka bangunan pelimpah
direncanakan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu pelimpah utama dan interflow. Dimensi
pelimpah ditentukan dengan rumus sebagai berikut.

Q50 = 1,55 x W x h1,5 ...........................................................................(2.53)

Keterangan:
Q50 = debit banjir rencana (m³/dtk)
h = tinggi air diatas pelimpah (m)
50
W = lebar pelimpah rencana (m) (tabel .......)

Dimensi outlet pelimpah direncanakan dengan menggunakan persamaan Manning


sebagai berikut:

Q = V. A .....................................................................................................(2.54)

1 2/3 0,5 .....................................................................................(2.55)


R I
V= n

'
A h(n +m)
R = P = n' +2 √1+m .........................................................................(2.56)

b ......................................................................................................(2.57)
n’ = h

Keterangan:
Q = debit banjir rencana (m³/dtk)
V = kecepatan aliran (m/dtk)
A = luas penampang basah (m²)
n = koefisien kekasaran manning (tabel 2.8)
P = lebar basah (m)
R = jari-jari hidrolik (m)
I = kemiringan saluran rencana
m = kemiringan lereng (1:1)
h = kedalaman air (h)
b = lebar saluran rencana (tabel 2.8)
n’ = perbandingan lebar dasar (b) dengan kedalaman air (h)

Tabel 2.8 Koefisien Manning untuk Berbagai Jenis Pelindung pada Pelimpah
Tipe Pelindung
No Pelimpah n

51
1 Rumput 0,03-0,025
2 Batu 0,035
3 Rip-rap 0,025
4 Pasangan batu/beton 0,014

Tabel 2.9 Lebar Minimal Pelimpah Bagian Inlet


Debit Banjir Lebar Inlet
No (m³) (m)
1 3 5,50
2 4 7,50
3 5 9,00
4 6 11,00
5 7 12,50
6 8 14,50
7 9 16,50
8 10 18,50
9 11 20,00
10 12 22,00
11 13 23,50
12 14 25,50
13 15 27,50

Kedalaman air dapat dicari dengan cara coba-coba, perhitungannya adalah sebagai
berikut:

1. Andaikan kedalaman air h= h0


2. Hitung kecepatan yang sesuai (V0)

2 /3
1 h0 ( n' +m)
...............................................................................................................................(2.58)

V0 =
(
n n '+2 √ 1+m) ) I 0,5

3. Hitung luas basah A0

52
Q
..............................................................................................(2.59)
A0 = V 0

4. Hitung kedalaman air yang baru h1

h1 =
..........................................................................................(2.60)

5. Bandingkan h0 dengan h1. Jika h1- h0 < 0,005 maka h1 = hrencana. Apabila
h1- h0 > 0,005 maka perhitungan diulangi kembali sampai didapatkan harga
h1- h0 < 0,005.

Bangunan pelimpah terdiri dari tiga bagian utama yaitu :


1. saluran pengarah dan pengatur aliran,
2. saluran peluncur,
3. peredam energi.

1. Saluran Pengarah dan Pengatur Aliran


Bagian ini berfungsi sebagai penuntun dan pengarah aliran agar aliran tersebut
senantiasa dalam kondisi hidrolika yang baik. Pada saluran pengarah aliran ini,
kecepatan masuknya aliran air supaya tidak melebihi 4 m/det dan lebar saluran
makin mengecil ke arah hilir. Kedalaman dasar saluran pengarah aliran biasanya
diambil lebih besar dari 1/5 X tinggi rencana limpasan di atas mercu ambang
pelimpah (Gambar 2.9). Kapasitas debit air sangat dipengaruhi oleh bentuk ambang.

Saluran pengarah aliran


Ambang pengatur debit
H V
1
W> 5 H
W V< 4m/dt

V < 4 m/det

53
Gambar 2.9 Saluran Pengarah Aliran dan Ambang Pengatur
Debit pada Sebuah Pelimpah
Sumber: (Soedibyo, 2003)

Perhitungan Lebar Bukaan Bagian Pengatur

bc =
..........................................................................................(2.61)

q =
...............................................................................................................................(2.62)

dc =
..............................................................................................(2.63)
2 1/3
q
[]
Vcg= .....................................................................................................(2.64)

hvc =
................................................................................................(2.65)

Ac = bc x dc ............................................................................................(2.66)

Pc = bc + (2 x dc) ........................................................................................(2.67)

Rc =
.......................................................................................................(2.68)

Ic = .....................................................................................(2.69)

2
Vc
[ ( K=×Rc
Ec
2/3 ]
dc +) hvc + Δe
..............................................................................(2.70)

54
Keterangan:
Bc = lebar bagian pengatur (m)
Q = debit (m³/dtk)
Q = debit persatuan lebar (m³/dtk/m)
Do = tinggi air di mulut masuk got miring (m)
dc = tinggi air kritis (m)
g = percepatan gravitasi (m/dtk)
Vc = kecepatan kritis (m/dtk)
hvc = tinggi kecepatan kritis (m)
Ac = luas penampang basah kritis (m²)
Pc = luas keliling basah kritis (m)
Rc = jari-jari hidrolis (m)
K = koefisien kekasaran dinding saluran (saluran pasangan)
Ic = kemiringan dasar pada kecepatan kritis
Ec = tinggi energi kritis dari udik sampai hilir (m)

Tabel 2.10 Koefisien Kekasaran Strickler


No Uraian K
1 pasangan batu 50
2 pasangan beton (untuk talut) 60
pasangan beton (untuk talut
3 dan dasar) 70

Perhitungan Keseimbangan Tinggi Energi


Syarat: Ec = E1
..................................................................................(2.71)
E1 = d1 + hv1 + hf

d1 = ........................................................................................................(2.72)

hv1 =
...............................................................................................(2.73)
2
V1 55
2×g
hf = L x I
.......................................................................................................(2.74)

V1 x A1 = Vc x Ac .......................................................................................(2.75)

Vc× Ac
V1 ........................................................................................(2.76)
A1 =

d1 = .......................................................................................................(2.77)

A1
b1
P1 = b1 + (2 x ..........................................................................................(2.78)
d1)
.......................................................................................................(2.79)
R1 =

Ic = ........................................................................................(2.80)

2
Vc
[ K×Rc 2 /3
Im =
] ..................................................................................................(2.81)

hv1 = ....................................................................................................(2.82)

Keterangan:
hf = kehilangan energi akibat kemiringan pada got miring (m)
Im = kemiringan dasar rata-rata dari awal got miring sampai akhir kolam olakan
L = panjang horisontal got miring (m)
d1 = tinggi air diawal ruang olak (m)

Tabel 2.11 Kemiringan Lereng Urugan

56
Kemiringan Lereng
Material Urugan Material Utama Vertikal : Horisontal
Hulu Hilir
a. Urugan Homogen CH,CL,SC,GC,GM,SM
1:3 1:2,25
b. Urugan Majemuk  
1. Urugan batu dengan
inti lempung atau Pecahan Batu 1:1,50 01.01,3
dinding diafragma
2. Kerikil-kerikil
dengan inti lempung Kerikil 1:2,50 1:1,75
atau dinding diafragma

57
h 1

h 2

4
1 2 3

Gambar 2.10 Bangunan Pelimpah


Sumber: (Soedibyo, 2003)
Keterangan:
1. saluran pengarah dan pengatur aliran,
2. sauran peluncur,
3. bangunan peredam energi,
4. ambang.

a. Ambang Bebas
Ambang bebas digunakan untuk debit air yang kecil dengan bentuk sederhana.
Bagian hulu dapat berbentuk tegak atau miring. (1 tegak : 1 horisontal atau 2 tegak :
1 horisontal), kemudian horizontal dan akhirnya berbentuk lengkung (Soedibyo,
2003). Apabila berbentuk tegak selalu diikuti dengan lingkaran yang jari-jarinya ½
h2

58
2/3h1

h1 1/3h1 h1 1/3h1 2/3h1

h2

Gambar 2.11 Ambang bebas


Sumber: (Soedibyo, 2003)

Untuk menentukan lebar ambang biasanya digunakan rumus sebagai berikut :

Q = 1,704 . b . c . (h1)3/2 .........................................................................(2.83)

Keterangan:
Q = debit air (m³/dtk)
b = panjang ambang (m)
h1 = kedalaman air tertinggi disebelah hulu ambang (m)
c = angka koefisien untuk bentuk empat persegi panjang = 0,82

b. Ambang berbentuk bendung pelimpah (overflow weir)


Digunakan untuk debit air yang besar. Permukaan bendung berbentuk lengkung
disesuasikan dengan aliran air, agar tidak ada air yang lepas dari dasar bendung.
Rumus untuk bendung pelimpah menurut JANCOLD (The Javanese National
Committee on Large Dams) adalah sebagai berikut :

....................................................................................(2.84)
1/2
Q = c.(L-KHN).H

59
Keterangan:
Q = debit air (m³/dtk)
L = panjang mercu pelimpah (m)
K = koefisien kontraksi
H = kedalaman air tertinggi disebelah hulu bendung (m)
c = angka koefisien
N = jumlah pilar

Hv 0,282 Hd
0,175 H d
He titik nol dari koordinat X,Y
Hd X

x
O
Y

poros bendungan
R = 0,2 Hd
X 1,85 = 2 Hd 0,85 Y
R = 0,5 Hd
Y

Gambar 2.12 Ambang Pelimpah Tipe Ogee


Sumber: (Soedibyo, 2003)
c. Saluran Peluncur
Dalam merencanakan saluran peluncur (flood way) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut (Sosrodarsono, 2006):
- agar air yang melimpah dari saluran pengatur mengalir dengan lancar tanpa
hambatan-hambatan hidrolis,
- agar konstruksi saluran peluncur cukup kukuh dan stabil dalam menampung semua
beban yang timbul,
- agar biaya konstruksi diusahakan se-ekonomis mungkin.

hv1 hL

60
V1

hd1

hv2

1 h1

V2

l1

hd2

Gambar 2.13 Skema Penampang Memanjang Aliran pada Saluran Peluncur


Sumber: (Sosrodarsono, 2006)

d. Bagian yang berbentuk terompet pada ujung hilir saluran peluncur


Semakin kecil penampang lintang saluran peluncur, maka akan memberikan
keuntungan ditinjau dari segi volume pekerjaan, tetapi akan menimbulkan masalah-
masalah yang lebih besar pada usaha peredaman energi yang timbul per-unit lebar
aliran tersebut. Sebaliknya pelebaran penampang lintang saluran akan
mengakibatkan besarnya volume pekerjaan untuk pembuatan saluran peluncur, tetapi
peredaman energi per-unit lebar alirannya akan lebih ringan. Berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka saluran peluncur dibuat dengan
penampang yang kecil, tetapi pada bagian ujung hilir saluran peluncur dibuat
melebar (berbentuk terompet) sebelum dihubungkan dengan peredam energi.
Pelebaran tersebut diperlukan agar aliran super-kritis dengan kecepatan tinggi yang
meluncur dari saluran peluncur dan memasuki bagian ini, sedikit demi sedikit dapat
dikurangi akibat melebarnya aliran dan aliran tersebut menjadi semakin stabil
sebelum mengalir masuk ke dalam peredam energi.

61
e. Peredam energi
Digunakan untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi energi air agar
tidak merusak tebing, jembatan, jalan, bangunan dan instalasi lain disebelah hilir
bangunan pelimpah. Guna mereduksi energi yang terdapat di dalam aliran tersebut,
maka di ujung hilir saluran peluncur biasanya dibuat suatu bangunan yang disebut
peredam energi pencegah gerusan. Dalam perencanaan dipakai tipe kolam olakan,
dan yang paling umum dipergunakan adalah kolam olakan datar. Macam tipe kolam
olakan datar yaitu :

1. Kolam olakan datar tipe I


Kolam olakan datar tipe I adalah lagi pada kolam olakan tersebut (Sosrodarsono,
2006) .

Gambar 2.14 Bentuk kolam olakan datar tipe I USBR


Sumber: (Sosrodarsono, 2006)

b. Kolam olakan datar tipe II

Kolam olakan datar tipe II ini cocok untuk aliran dengan tekanan hidrostatis yang tinggi
3
dan dengan debit yang besar (q > 45 m /dt/m, tekanan hidrostatis > 60 m dan bilangan

62
Froude > 4,5). Kolam olakan tipe ini sangat sesuai untuk bendungan urugan dan
penggunaannya cukup luas (Sosrodarsono, 2006).

Gambar 2.15 Bentuk kolam olakan datar tipe II USBR


Sumber: (Sosrodarsono, 2006)

c. Kolam olakan datar tipe III


Pada hakekatnya prinsip kerja dari kolam olakan ini sangat mirip dengan sistim kerja
dari kolam olakan datar tipe II, akan tetapi lebih sesuai untuk mengalirkan air dengan
tekanan hidrostatis yang rendah dan debit yang agak kecil (q < 18,5 m 3/dt/m, V <
18,0 m/dt dan bilangan Froude > 4,5). Untuk mengurangi panjang kolam olakan,
biasanya dibuatkan gigi pemencar aliran di tepi hulu dasar kolam, gigi penghadang
aliran (gigi benturan) pada dasar kolam olakan. Kolam olakan tipe ini biasanya untuk
bangunan pelimpah pada bendungan urugan rendah (Sosrodarsono, 2006) .

63
Gambar 2.16 Bentuk kolam olakan datar tipe III USBR
Sumber: (Sosrodarsono, 2006)

d. Kolam olakan datar tipe IV

Sistem kerja kolam olakan tipe ini sama dengan sistem kerja kolam olakan tipe III, akan
tetapi penggunaannya yang paling cocok adalah untuk aliran dengan tekanan hidrostatis
yang rendah dan debit yang besar per-unit lebar, yaitu untuk aliran dalam kondisi super
kritis dengan bilangan Froude antara 2,5 s/d 4,5. Biasanya kolam olakan tipe ini
dipergunakan pada bangunan-bangunan pelimpah suatu bendungan urugan yang sangat
rendah atau bendung-bendung penyadap, bendung-bendung konsolidasi, bendung-
bendung penyangga dan lain-lain (Sosrodarsono, 2006).

64
Gambar 2.17 Bentuk kolam olakan datar tipe IV USBR
Sumber: (Sosrodarsono, 2006)

Perhitungan Tinggi Muka Air Pada Kolam Olak

V1
.........................................................................................(2.85)
Fr = √ g×d1
..........................................................................(2.86)
d2 =

Keterangan:
Fr = bilangan froude diawal ruang olak
d1 = tinggi muka air kritis (m)
d2 = tinggi muka air di akhir ruang olak (m)

Perhitungan Panjang Kolam Olak dan Lebar Kolam Olak

L1 = 5 x d2
.................................................................................................(2.87)

b=
..........................................................................................(2.88)

65
Keterangan:
L1 = panjang kolam olak (m)
B = lebar kolam olak (m)
Q = debit rencana (m³/dtk)
d2 = tinggi muka air di akhir ruang olak (m)

Perhitungan Elevasi Pada Kolam Olak dan dasar hilir

V2 =
...................................................................................................(2.89)

hv2 = ..................................................................................................(2.90)

V2
2 g 2
V3 ..............................................................................................(2.91)
hv3 = 2×g

..............................................(2.92)
Elevasi B = (elevasi C + d3 + hv3) – (d2 + ............................................(2.92)

Keterangan:
Elevasi B = elevasi dasar olak
Elevasi C = elevasi dasar saluran di hilir ruang olak
d2 = tinggi muka air didasar ruang olak (m)
d3 = tinggi muka akhir di akhir ruang olak (m)
q = debit persatuan lebar (m³/dtk)
V2 = kecepatan air di akhir ruang olak (m/dtk)
V3 = kecepatan air di saluran, sebelah hilir ruang olak (m/dtk)
hv2 = tinggi kecepatan di akhir ruang olak (m)
hv3 = tinggi kecepatan pada saluran, di hilir ruang olak (m)

Perhitungan Tinggi Tembok pada Bagian Got Miring

66
.......................................................................................(2.93)
H = (1,5 x dc) + W

H´ = d2 + W
................................................................................................(2.94)

Keterangan:
H = tinggi tembok minimum got miring dibagian udik (m)
H´ = tinggi tembok minimum got miring dibagian hlir (m)

67
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian merupakan carayang teratur dan terpikir dengan baik
untuk mencapai maksud dalam sebuah kegiatan yang dilakukan. Dalam konteks
penelitian metode penelitian merupakan hal yang sangat penting, sebab dengan
menggunakan dan pemilihan metode yang tepat serta baik akan menghasilkan
penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam mencapai tujuan penelitian
maka tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:
- penggambaran lokasi penelitian,
- pengumpulan data penelitian,
- menganalisa data.

3.2 Lokasi Penelitian


Secara administratif, lokasi embung Moin Fe’u terletak di Kelurahan Manulai
II, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Secara geografis lokasi embung berada pada
10⁰12’58” dan 123⁰33’44”. Untuk menuju lokasi embung maka dari Jalan Lingkar
Luar 40 (Jalur 40) menuju kearah Manulai II ke Jalan Penkase sejauh ±1,5 km. Dari
Jalan Penkase sejauh ±1,3 km belok kiri ke Jalan Teratai. Dari Jalan Teratai sejauh
±400 m belok kanan ke lokasi Embung. Pencapaian lokasi cukup mudah dikarenakan
kondisi jalan yang cukup baik selain itu lokasi embung juga tidak berada jauh dari
Jalan Teratai. Batas wilayah Kelurahan Manulai II adalah sebagai berikut:

- Utara : berbatasan dengan Kelurahan Batuplat,


- Selatan : berbatasan dengan Desa Manulai I,
- Timur : berbatasan dengan Kelurahan Naioni,
- Barat : berbatasan dengan Desa Nitneo, Kelurahan Oeleta.

68
Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian
Sumber : Google Earth

Lokasi Penelitian

Gambar 3.2 Peta Administrasi Kota Kupang


Sumber: Google.com

69
Gambar 3.3 Lokasi Penelitian
Sumber: Gambar Auto Cad
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam teknik pengumpulan data untuk mendukung
penelitian dan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.
1. Metode Observasi
Metode observasi yaitu pengamatan/peninjauan dilakukan secara langsung
tentang situasi atau kondisi dilapangan secara visual. Dapat dilakukan dengan
pengukuran langsung di lokasi penelitian untuk panjang cut off, jarak blok
angker dan jumlah blok angker pada as embung untuk penentuan tinggi
tanggul.
2. Metode Wawancara
Metode ini dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab pada masyarakat
yang bermukiman disekitar embung. Dengan metode ini dapat diketahui
pemanfaatan embung bagi masyarakat disekitar embung.
3. Metode Studi Kepustakaan

70
Metode ini dilakukan dengan cara studi pustaka atau membaca kembali
literaratur-literatur maupun bahan-bahan ajar perkuliahan yang ada sebagai
panduan dalam penyusunan skripsi ini.

3.4 Data-data yang Diperlukan


Jenis data dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari
Instansi terkait. Berikut ini adalah data-data yang diperlukan.
1. Data curah hujan tahun (2009-2018)
Bersumber dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Lasiana Kupang. Data hujan tersebut diperlukan agar mengetahui debit banjir
rencana maupun besarnya aliran yang masuk (inflow). Data hujan yang
diperlukan minimum memuat kondisi hujan di tahun kering dan kondisi hujan
di tahun basah.
2. Peta Topografi
Merupakan peta yang menyajikan unsur alamiah dan unsur budaya manusia
yang dilengkapi garis kontur (garis ketinggian tanah). Peta ini diperoleh dari
Dinas PU Propinsi NTT Bidang SDA & Irigasi. Peta ini digunakan untuk
menentukan elevasi, letak embung dan untuk memprediksi tampungan embung.
3. Data Kondisi Sosial Ekonomi
a. Data Penduduk
Data penduduk digunakan untuk menghitung jumlah kebutuhan air
penduduk di sekitar embung. Data ini diperoleh dari Biro Pusat Statistik
Kota Kupang atau dapat juga diperoleh dari website statistik Kota Kupang.
b. Data Ternak
Data ternak digunakan untuk menghitung kebutuhan air untuk ternak. Data
ini diperoleh dari Biro Pusat Statistik Kota Kupang atau dapat juga
diperoleh dari website statistik Kota Kupang.

71
4. Data Klimatologi
Data ini diperoleh dari BMKG Lasiana dari tahun 2009-2018. Data klimatologi
digunakan untuk menghitung besarnya penguapan dan penyerapan oleh
tampungan embung.

3.5 Teknik Analisa Data


Teknik analisa data yang digunakan adalah data sekunder diolah dan
disajikan dalam bentuk laporan skripsi sehingga dapat membahas masalah dan
mencari pemecahan masalah yang terjadi dilokasi penelitian diantaranya :

1. Menganalisis debit banjir dengan metode Rasional:

1
Q= C.I . A
3,6
2. Menganalisis aliran yang masuk ke embung dengan rumus:

Vh = ∑Vj + 10.Akt.∑Rj atau Vh = ∑Vj

3. Menganalisis kebutuhan air dengan rumus:

Vu = Jh x JKK x Qu

4. Menganalisis kehilangan air dengan rumus:


Ve = 10.Akt. ∑Ekj dan Vi = K.Vu

5. Menganalisis keseimbangan air dengan rumus:

St - 1 = St + It – Ot – Et - Lt
6. Perencanaan dimensi tubuh embung, bangunan pelimpah dan tanggul.
3.6 Time Schedule Proposal Skripsi
Jadwal kegiatan penelitian merupakan tahapan-tahapan rencana penelitian untuk
menyelesaikan penelitian dalam suatu periode dan disusun dalam suatu tabel atau
format Time Line Schedule. Berikut Time Schedule penyusunan propsal skripsi.

72
Bulan 2019
No Kegiatan Ja Ma Ju
Feb Apr Mei Jul
n r n
1 Tahap Persiapan Proposal              
  a. Pencarian Judul proposal              
  b. Pengajuan Judul              
  c. Sidang Judul Proposal              
  d. Pembagian Dosen Pembimbing              
2 Tahap Penyusunan Laporan              
  a. Penyusunan BAB 1              
  b. Penyusunan BAB 2              
  c. Penyusunan BAB 3              
3 Tahap Bimbingan Penulisan Proposal              
4 Tahap Penyelasian Bimbingan Penulisan              
5 Seminar Proposal              

3.7 Diagram Alir


Penyusunan diagram alir (flow chart) sangat diperlukan dalam proses penyusunan
proposal skripsi. Dengan adanya diagram alir maka rangkaian proses penyusunan
proposal skripsi hingga pada tujuan akhir dapat mudah dipahami. Berikut diagram
alir penyusunan proposal skripsi.

73
Mulai

Pengumpulan Data Sekunder

Peta Topografi Data Kondisi Sosial Ekonomi Data Klimatologi


Curah Hujan Harian
Ekonomi

Menghitung Aliran yang Menghitung Kebutuhan Air: Menghitung


Menghitung Curah masuk Embung: - Kebutuhan air kebun Kehilangan Air:
Hujan Rencana - Air permukaan dari daerah - Kebutuhan air ternak - Penguapan
tadah hujan - Resapan
- Hujan rata”
- Air hujan efektif yang jatuh
Bulanan
di permukaan kolam
- Intensitas Hujan Kebutuhan Air Kehilangan Air
Ketersediaan Air

Debit Banjir
Rencana
Neraca Air

Desain Embung:
- Tubuh Embung
- Bangunan Pelimpah
- Tanggul

Gambar Rencana
Hasil Desain

Kesimpulan

Selesai

74
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hidrologi


Salah satu faktor penting dalam suatu pekerjaan bangunan pengairan adalah
analisa hidrologi. Analisa hidrologi ini antara lain berupa analisa data curah hujan,
debit banjir, serta analisa-analisa lainnya yang berpengaruh terhadap besaran dan
durasi banjir pada daerah yang bersangkutan. Maksud dari analisa hidrologi ini
adalah mengetahui kondisi secara hidrologi di lokasi embung, sedangkan tujuan dari
analisa hidrologi yaitu untuk mendapatkan durasi dan besaran debit banjir guna
analisis hidrolis bangunan dalam kaitannya dengan perencanaan embung ini. Dalam
analisa hidrologi ini dipakai satu stasiun hujan yang dekat dengan lokasi calon
embung yaitu stasiun hujan Oebobo. Ketersediaan data hujan dari stasiun ini berupa
data hujan harian yang dibawa ke hujan bulanan yang dapat dilihat pada lampiran.
Perhitungan analisa hidrologi yaitu perhitungan hujan rata-rata bulanan dan
perhitungan dan perhitungan debit bulanan.

4.1.1 Perhitungan Hujan Rata-rata Bulanan di Daerah Tadah Hujan


Dalam perhitungan ini aliran yang masuk ke dalam embung hanya dapat
diperkirakan dari curah hujan terdekat yaitu dari stasiun Oebobo sehingga perkiraan
aliran sudah cukup teliti bila diambil curah hujan rata-rata bulanan.
4.1.1.a Analisa curah hujan harian maksimum.
Menganalisa data curah hujan, distribusi curah hujan yang dipergunakan adalah
distribusi rata-rata aljabar. Curah hujan rencana maksimum dengan periode ulang
tertentu dapat ditentukan dengan cara menganalisa data curah hujan harian
maksimum. Curah hujan rencana tersebut dipergunakan untuk menentukan debit
rencana dengan periode ulang tertentu yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Perhitungan curah hujan rencana untuk perencanaan embung ini pada tabel 4.1
memakai data dari stasiun Oebobo, untuk data curah hujan dapat dilihat pada
lampiran 1.1 sampai lampiran 1.10

75
Tabel 4.1 Data Curah Hujan Harian Maksimum
Tanggal
No Tahun Xi (mm)
Kejadian
1 2009 113 23 Februari
2 2010 193 4 Maret
3 2011 113 23 Februari
4 2012 170 21 Februari
5 2013 173 16 Desember
6 2014 100 18 Januari
7 2015 78 24 Februari
8 2016 100 3 Februari
9 2017 139 7 Januari
10 2018 111 22 Januari

4.1.1.b Analisa Frekuensi Curah Hujan


Analisa ini digunakan untuk mengetahui jenis sebaran (distribusi).
Perhitungan analisa frekuensi curah hujan selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 4.2
berikut ini:
Tabel 4.2 Analisa Frekuensi Curah Hujan
Xi (Xi - X̄) (Xi - X̄)² (Xi - X̄)³ (Xi - X̄)⁴
No Tahun
(mm) (mm) (mm²) (mm³) (mm4)
1 2009 113 -16 256 -4096 65536
2 2010 193 64 4096 262144 16777216
3 2011 113 -16 256 -4096 65536
4 2012 170 41 1681 68921 2825761
5 2013 173 44 1936 85184 3748096
6 2014 100 -29 841 -24389 707281
7 2015 78 -51 2601 -132651 6765201
8 2016 100 -29 841 -24389 707281
9 2017 139 10 100 1000 10000
10 2018 111 -18 324 -5832 104976
Jumlah (∑X) 1290   12932 221796 31776884
Rata-rata (X̄) 129  

Dari hasil perhitungan diatas selanjutnya ditentukan jenis sebaran yang sesuai. Dalam
penentuan jenis sebaran diperlukan faktor-faktor sebagai berikut:

76
a. Standar Deviasi

∑ ( Xi− X̄ )2
Sd = √ 12932
n−1

S = √ 10−1
= 37,906
b. Koefisien Keragaman
S
Cv = X̄
37 ,906
Cv = 129
= 0,294
c. Koefisien Kepencengan
n
n ∑ ( Xi− X̄ )3
i=1

Cs = (n−1 )(n−2)S 3

10×221796
3
= 9×8×37 , 906
= 0,566
d. Koefisien Kurtosis
n
n2 ∑ ( Xi− X̄ )4
i=1

Ck = (n−1 )(n−2)(S 4 )

10×31776884
4
= 9×8×7×37,906

= 3,054
4.1.1.c Pemilihan Jenis Distribusi

77
Terdapat parameter statistik untuk pemilihan jenis sebaran (distribusi)
diantaranya yaitu.

a. Distribusi gumbel.
b. Distribusi log normal.
c. Distribusi log person-tipe III.
d. Distribusi normal.
Berikut ini adalah perbandingan syarat-syarat distribusi dan hasil perhitungan analisa
frekuensi curah hujan.

Tabel 4.3 Perbandingan Syarat Distribusi dan Hasil Perhitungan


No Distribusi Persyaratan Hasil Perhitungan Keterangan
1 Gumbel Cs = 1,14 Cs = 0,566 < 1,14 Tidak memenuhi
Ck = 5,4 Ck = 3,054 < 5,4 Tidak memenuhi
2 Normal Cs = 0 Cs = 0,566 > 0 Tidak memenuhi
Ck = 3 Ck = 3,054 > 3 Tidak memenuhi
3 Log normal Cs = Cv³ + 3Cv Cs < 0,907412 Tidak memenuhi
Ck = Cv5 + 6Cv6 + Ck > 3,001 Tidak memenuhi
15Cv4 + 16Cv2 + 3
4 Log person Selain dari nilai Memenuhi
III diatas

Selain dengan menggunakan persyaratan yang ada pada tabel 4.3 guna mendapatkan
hasil perhitungan yang meyakinkan maka penggunaan suatu distribusi probabilitas
diuji dengan menggunakan metode Chi-square. Berdasarkan kesesuaian syarat
distribusi probabilitas diatas distribusi Log Person Tipe III memenuhi persyaratan
probabilitasnya maka dilakukakan uji Chi-square.

78
Distribusi Log Person Tipe III
Tabel 4.4 Perhitungan Parameter Statistik Data
No Xi Log Xi Log Xi - Log X̄ (Log Xi-LogX̄)² (Log Xi-LogX̄)³
1 193 2,286 0,191 0,037 0,001
2 173 2,238 0,144 0,021 0,003
3 170 2,230 0,136 0,019 0,003
4 139 2,143 0,049 0,002 0,000
5 113 2,053 -0,041 0,002 0,000
6 113 2,053 -0,041 0,002 0,000
7 111 2,045 -0,049 0,002 0,000
8 100 2,000 -0,094 0,009 -0,001
9 100 2,000 -0,094 0,009 -0,001
10 78 1,892 -0,202 0,041 -0,008
Jumlah (∑X) 20,941 0,000 0,143 -0,003
Rata-rata (X̄) 2,094      

Berdasarkan Tabel 4.6 diperoleh ¿ ):


n

log´ X
∑ LogXi
i=1

= n

20,941
= 10
= 2,094
Diperoleh S Log X:
n
∑ ( LogXi−LogX )2
i=1

S Log X = n−1
0,143
= 9
= 0,126
n
n ∑ ( LogXi−LogX )3
i=1

Cs = (n−1 )(n−2)(S log X )3

79
10(−0,003)
3
= (9)( 8)(0, 126)
= -0,2
Nilai KT dihitung berdasarkan nilai T dan nilai Cs atau G dari tabel lampiran faktor
frekuensi KT untuk distribusi Log Person Tipe III (untuk Cs atau G positif dan
negatif) didapat untuk T = 5 dan Cs = -0,2 maka nilai KT = 0,850
Hitung hujan rencana dengan periode ulang 5 tahun (X5)
Log X5 = ( log ´X ¿)¿+ KT x S Log X = 2,094 + 0,850 x 0,126 = 2,201 maka X 5 = 158,9
mm
4.1.1.d Pengujian Kecocokan Sebaran
Prosedur perhitungan chi square adalah sebagai berikut:
1. urutkan data pengamatan dari data yang terbesar ke data yang terkecil atau
sebaliknya,
2. hitung jumlah kelas yang ada (k) = 1 + 3,322 log n. Dalam pembagian kelas
disarankan agar masing-masing kelas terdapat empat buah pengamatan,
3. hitung nilai Ef = jumlah data (n)/jmlah kelas (k),
4. tentukan nilai Of untuk masing-masing kelas,
5. hitung nilai X2 untuk masing-masing kelas kemudian hitung nilai total X2,
6. nilai X2 dari perhitungan harus lebih kecil dari nilai X2 dari tabel untuk derajat
nyata tertentu yang sering diambil sebesar 5% dengan parameter derajat
kebebasan.
Menentukan metode chi square atau chi kuadrat kesesuaian masing-masing distribusi
probbilitas (Gumbel, Normal, Log Normal, dan Log Person Tipe III) terhadap
distribusi statistik yang dianalisis.
- Data hujan diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil.

80
Tabel 4.7 Pengurutan data hujan dari yang besar ke kecil
Xi diurutkan
No Tahun Xi (mm) dari yang
besar ke kecil
1 2009 113 193
2 2010 193 173
3 2011 113 170
4 2012 170 139
5 2013 173 113
6 2014 100 113
7 2015 78 111
8 2016 100 100
9 2017 139 100
10 2018 111 78

- Menghitung jumlah kelas


Rumus derajat kebebasan dk = n-3
a. Jumlah data (n) = 10
b. Kelas distribusi (K) = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 10
= 4,32 diambil nilai 4 kelas
c. Menghitung derajat kebebasan (DK) dan X²n
- parameter (p) = 2
- derajat kebebasan (DK) = K – (p + 1) = 4 – (2 + 1) = 1
- nilai X²n dengan jumlah data (n) = 10 α = 5% = 5,991
(lihat pada lampiran tabel nilai Chi-Square)
n 10
- Ef = K = 4 = 2,5
d. Menghitung kelas distribusi
1
kelas distribusi = x 100% = 20%
5
interval distribusi yaitu 20% ; 40% ; 60% ; dan 80%
- untuk persentase 20%

81
1 1
P(x) = 20% diperoleh T = Px = 0,20 = 5 tahun

- untuk persentase 40%

1 1
P(x) = 40% diperoleh T = Px = 0,40 = 2,5 tahun

- untuk persentase 60%

1 1
P(x) = 60% diperoleh T = Px = 0,60 = 1,67 tahun

- untuk persentase 80%

1 1
P(x) = 80% diperoleh T = Px = 0,80 = 1,25 tahun

e. Menghitung nilai ΔX
X max − X min
ΔX = G−1
f. Menghitung interval kelas
Distribusi probabilitas log person tipe III
Nilai KT berdasarkan nilai T dari lampiran (tabel standar variabel Kt ) dan Tabel
harga K untuk Distribusi Log Person Type III didapat:
T=5; maka KT = 0,85
T = 2,5 ; maka KT = -0,11
T = 1,67 ; maka KT = -0,76
T = 1,25 ; maka KT = -1,45
Nilai log´ X = 2,094
S Log X = 0,126
maka interval kelas:
Log XT = log´ X + KT x S Log X
= 2,094 + KT x 0,126
Sehingga:

82
- X5 = 158,9 mm
- X2,5 = 120,2 mm
- X1,67 = 115,3 mm
- X1,25 = 107,9 mm

Perhitungan Nilai X²
Tabel 4.5 Perhitungan Nilai X² untuk Distribusi Log Person Tipe III
Kelas Interval Ef Of Ef-Of (Ef-Of)²/Ef
1 58,833-97,167 2,5 1 1,5 0,9
2 97,167-135,500 2,5 5 -2,5 2,5
3 135,500-173,833 2,5 3 -0,5 0,1
4 173,833-212,167 2,5 1 1,5 0,9
Total   10 X² 4,4

Berdasarkan tabel 4.5 distribusi probabilitas memiliki nilai X² < X²n maka dapat
disimpulkan bahwa distribusi Log Person Tipe III tersebut dapat diterima sehingga
untuk menganalisis data hujan yaitu dengan distribusi Log Person Tipe III.
Perhitungan curah hujan rencana selanjutnya metode Log Person Tipe III dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.6 Curah Hujan Rencana dengan berbagai kala ulang

No
Periode LogX (m Kt S log X Log XT XT (mm)
Ulang (tahun) m)

1 2 2,094 0,033 0,126 2,098 125,3

2 5 2,094 0,85 0,126 2,201 158,9

3 10 2,094 1,258 0,126 2,253 179,1

4 25 2,094 1,68 0,126 2,306 202,3

5 50 2,094 1,945 0,126 2,339 218,3

6 100 2,094 2,104 0,126 2,359 228,6

Perhitungan hujan rata-rata untuk bulan Januari tahun 2009 adalah sebagai berikut:
Jumlah Pos hujan = 1 stasiun

83
1
Rjan = x (244,0 mm)
1
= 244,0 mm
Perhitungan jumlah curah hujan rata-rata bulanan berdasarkan data curah hujan
stasiun Oebobo untuk tahun dan bulan selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

84
Tabel 4.7 Perhitungan curah hujan rata-rata bulanan (mm)
CURAH HUJAN BULANAN (mm)
No Tahun
JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGSTS
1 2009 244 285 385 111 0 24 0 0
2 2010 543 266 553 178 11 20 0 0
3 2011 244 285 385 111 0 24 0 0
4 2012 285 882 218 85 0 3 0 0
5 2013 554 454 105 3 40 0 2 0
6 2014 686 114 128,7 96 95 10,5 4 21
7 2015 510 274 294 244 65 0 0 0
8 2016 276 316 307,7 88 25 0 0 0
9 2017 650 368 412,8 26 31 66 0 0
10 2018 413 535 93 62 15 0 13 0
Rata" 440,5 377,9 288,22 100,4 28,2 14,75 1,9 2,1
Maksimum 686 882 553 244 95 66 13 21
Minimum 244 114 93 3 0 0 0 0

85
Berdasarkan tabel 4.7 curah hujan rata-rata bulanan maksimum adalah sebesar 440,5
mm yaitu terjadi pada bulan Januari sedangkan untuk curah hujan rata-rata bulanan
minimum yaitu sebesar 1,9 mm yaitu terjadi pada bulan Juli. Untuk curah hujan rata-
rata tahunan sebesar 1604,6 mm dengan curah hujan maksimum tahunan adalah
1991,0 mm dan minimum tahunan adalah sebesar 1210,7 mm. Dengan kondisi curah
hujan ini dapat dipastikan bahwa ketika terjadi hujan pada bulan Januari kolam
embung sudah terisi.

4.1.2 Perhitungan Debit Bulanan Cara Rasional


Berdasarkan data curah hujan yang diperoleh, musim kering hampir tidak
terjadi di daerah studi, sehingga dalam perhitungan aliran bulanannya adalah aliran
yang terjadi pada musim hujan. Untuk menghitung aliran bulanan yang masuk ke
embung digunakan rumus Rasional dengan koefisien pengaliran (C) dimana nilai
koefisien ini tergantung pada tingginya curah hujan dan kemiringan lahan dimana
besarnya ditentukan dari tabel nilai koefisien pengaliran (tabel 2.2 sampai tabel 2.6)
Persamaan atau rumus sederhana untuk menghitung aliran bulanan dari hujan bulanan
adalah sebagai berikut:
Vj = 10 Cj.Rj.A
Dimana:
Vj = aliran bulanan dari seluruh daerah tadah hujan untuk bulan j (m³/bulan)
Rj = curah hujan bulanan untuk bulan j (mm/bln)
Cj = koefisien pengaliran untuk bulan j
A = luas DAS Manulai II (ha)
V = aliran masuk ke embung selama musim hujan (m³)
Berdasarkan persamaan diatas, dilakukan analisis aliran bulanan dari seluruh daerah
tadah hujan dalam hal ini yaitu untuk DAS Manulai II untuk bulan j (Vj)
Untuk perhitungan bulan Desember sebagai berikut:

86
Vj = 10.Cj.Rj.A
= 10 x 0,30 x 80,6 mm x 75000 m²
= 10 x 0,30 x 0,0806 m x 75000 m²
= 18.135,00 m³
Hasil perhitungan selanjutnya dapat dilihat dalam tabel 4.8 berikut ini.

Tabel 4.8 Perhitungan Aliran Bulanan dari seluruh Daerah Tadah Hujan untuk Bulan
j (Vj) .

No Bulan Rj (mm) Cj A (m²) Vj (m³)


1 Nopember 0,0806 0,3 75000 18135,00
2 Desember 0,2498 0,1 75000 18735,00
3 Januari 0,4405 0,1 75000 33037,50
4 Februari 0,3779 0,1 75000 28342,50
5 Maret 0,28822 0,1 75000 21616,50
6 April 0,1004 0,1 75000 7530,00

Pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober tidak termasuk dalam
hitungan pada tabel 4.8 diatas karena pada bulan-bulan tersebut tidak terjadi hujan.

4.2 Tampungan Embung


Embung yang akan dibangun di daerah semi kering akan menampung penuh air
di musim hujan dan kemudian dioperasikan selama musim kemarau untuk melayani
berbagai kebutuhan di lokasi pembangunan embung tersebut. Perhitungan tampungan
embung meliputi perhitungan ketersediaan air embung dan kebutuhan air embung.

4.2.1 Ketersediaan Air


Air yang masuk kedalam embung terbagi menjadi dua kelompok yaitu.
- Air permukaan dari seluruh daerah tadah hujan.
- Air hujan efektif yang jatuh langsung di permukaan kolam.
Dengan demikian jumlah air yang masuk kedalam embung dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut:
Vh = ∑Vj + 10.Akt.∑Rj atau Vh = ∑Vj
Dimana:
87
Vh = volume air yang dapat mengisi kolam embung selama musim hujan (m³)
Vj = aliran bulanan pada bulan j (m³/bulan)
∑ Vj = jumlah aliran total selama musim hujan (m³)
Rj = jumlah hujan bulanan pada bulan j (mm/bulan)
∑Rj = curah hujan total selama musim hujan (mm) curah hujan musim kemarau
diabaikan
Akt = luas kolam embung (ha)
Volume air (Vh) merupakan jumlah air maksimum yang dapat mengisi kolam
embung. Untuk menentukan tinggi embung volume air yang tersedia akan
dibandingkan dengan kapasitas tampungan embung. Data yang dipakai dalam analisis
ini antara lain:
Luas DAS = 75.000 m² = 7,5 ha = 0,075 km²
Luas Genangan = 0,1 ha
Panjang Sungai (L) = 0,08 km = 80 m
Elevasi DAS tertinggi = 122 m
Elevasi DAS terendah = 106 m
Beda tinggi DAS = 16 m
m
Kemiringan Lahan = 200 km

Volume air pada bulan Nopember adalah sebagai berikut:


Vh = ∑Vj (lihat tabel 4.8)
= 18.135,00 m³
Maka hasil perhitungan volume air yang dapat mengisi kolam embung (Vh) dapat
dilihat dalam tabel 4.9 berikut ini.

88
Tabel 4.9 Perhitungan Volume Air yang dapat mengisi kolam embung selama musim
hujan (Vh)
No Bulan Vj (m³)
1 Nopember 18135,00
2 Desember 18735,00
3 Januari 33037,50
4 Februari 28342,50
5 Maret 21616,50
6 April 7530,00
∑ Volume Aliran Bulan (Vh) = 127.396,50 m³

Dari tabel 4.9 dapat dilihat volume air yang dapat mengisi kolam embung selama
musim hujan (Vh) adalah 127.396,50 m³

4.2.2 Kebutuhan Air dan Tampungan Hidup


Keperluan air baku bagi manusia , hewan, dan kebun dari sebuah embung
kecil didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Kebutuhan air untuk penduduk QP = 150 1/hari/KK
2. Kebutuhan air untuk hewan Qh = 200 1/hari/KK *)
3. Kebutuhan air untuk kebun Qk = 450 1/hari/KK **)

Total Qu = 800 1/hari/KK


*) tiap KK dianggap memiliki 20 ekor ternak, KK = kepala keluarga
**) tiap KK dianggap menggarap kebun seluas 200 m²
Hasil tersebut diatas dianggap mewakili kebutuhan di daerah semi kering, maka
kebutuhan total untuk tampungan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Vu = Jh x JKK x Qu
Dengan memasukan persamaan diatas, maka bentuk persamaan dapat
disederhanakan menjadi:
Vu = 240 x JKK x 800
= 192000 JKK (dalam liter)
= 192 JKK (dalam m³)

89
Contoh perhitungan untuk tahun 2015:
- Selisih pertumbuhan penduduk:
= jumlah penduduk tahun 2015 – jumlah penduduk tahun 2014
= 61.790 – 59.948
= 1842 jiwa.
- Persentase pertumbuhan penduduk:
= selisih pertumbuhan penduduk : jumlah penduduk x 100%
1842
=
( )
61 .790
100 %

= 2,98 %

Selanjutnya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Alak hingga


tahun 2018 dapat dilihat dalam tabel 4.10 berikut ini:

Tabel 4.10 Perhitungan Laju Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Alak


Jumlah Selisih Pertumbuhan
No Tahun Penduduk (jiwa) Penduduk (Jiwa) (%)
1 2014 59.948    
2 2015 61.790 1842 2,98
3 2016 62.090 300 0,48
4 2017 63.389 1299 2,05
5 2018 65.586 2197 3,35
Jumlah 8,86
Rata-rata 2,22

Jumlah penduduk di Kecamatan Alak tahun 2018 adalah 65586 jiwa dan proyeksi
pertumbuhan penduduknya sampai tahun 2028 sehingga dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:
Pn = P0 (1 + r) n
Dimana:
Pn = jumlah penduduk pada tahun n (jiwa)
P0 = jumlah penduduk pada tahun awal dasar (jiwa)
r = angka pertumbuhan penduduk (%)

90
n = periode waktu (tahun)
Dengan menggunakan persamaan diatas maka proyeksi pertumbuhan penduduknya
yaitu tahun 2028 yaitu:
P2028 = P0 (1 + r) n

= 65.586 [ 1+( 2 ,22/100 )10 ]


= 81.690 jiwa
Rata-rata jumlah jiwa dalam 1 KK diasumsikan 4 orang maka jumlah KK di
Kecamatan Alak tahun 2028 yaitu 20.423 KK
Untuk itu proyeksi kebutuhan total tampungan hidup (Vu) berdasarkan
pertumbuhan penduduk di Kecamatan Alak sampai tahun 2028 adalah:
Vu = Jh x JKK x Qu
Dimana:
JKK = jumlah KK per desa, data dapat diperoleh dari buku statistik yang
dikeluarkan Pemerintah Daerah setempat
Jh = jumlah hari selama musim kemarau, yang secara praktis sebesar = 8 bulan x
30 hari = 240 hari
Qu = kebutuhan air penduduk, ternak, dan kebun (1/hari/KK)
Dengan memasukan persamaan diatas, maka bentuk persamaan dapat
disederhanakan menjadi:
Vu = 240 x JKK x 800
= 240 x 20.423 x 800
= 3.921.216.000 (dalam liter)
= 3.921.216 m³
Jadi, kebutuhan total untuk tampungan hidup (Vu) sebesar 3.921.216 m³

4.3 Ruang Sedimen (Vs)


Ruang untuk sedimen perlu untuk disediakan di kolam embung walaupun di
daerah tadah hujan disarankan ditanami rumput untuk mengendalikan erosi. Pada
embung secara praktis ruang setinggi 1,00 m diatas dasar kolam cukup untuk
menampung sedimen. Dalam perencanaan embung ini Vs diambil 0,05 Vu . Dengan

91
demikian nilai Vs yaitu:
Vs = 0,05 x Vu
= 0.05 x 3.921.216 m³
= 196.061 m³
Jadi, ruang tampungan sedimen (Vs) untuk embung yaitu 196.061 m³

4.4 Jumlah Penguapan (Ve)


Di daerah semi kering penguapan dari kolam embung relatif cukup besar
apalagi aliran di musim kering tidak ada. Dengan demikian jumlah penguapan
selama musim kemarau perlu diperhitungkan dalam penentuan kapasitas dan atau
tinggi embung. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Ve = 10 x Akt x Ekj
Dimana:
Ve = jumlah penguapan dari kolam embung selama musim kemarau (m³)
Akt = luas permukaan kolam dalam keadaan setengah tinggi (m²)
Ekj = penguapan bulanan di musim kemarau pada bulan ke-j (mm/bulan), didapat
dengan mengalikan besaran penguapan panci A dengan koefisien embung
0,70
Ve = 10 x Akt x Ekj
= 10 x 500 m² x 0,0027 m
= 13,65 m³
Perhitungan jumlah penguapan dari kolam embung selama musim kemarau (Ve)
selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut ini.

92
Tabel 4.11 Perhitungan jumlah penguapan dari kolam embung selama musim
kemarau (Ve)
No Bulan Evaporasi Panci A Ekj (m) Akt (m) Ve (m³)
1 Januari 0,0039 0,0027 585 15,9705
2 Februari 0,0043 0,0030 585 17,6085
3 Maret 0,0055 0,0039 585 22,5225
4 April 0,0050 0,0035 585 20,5979
5 Mei 0,0049 0,0035 585 20,1884
6 Juni 0,0053 0,0037 585 21,5807
7 Juli 0,0062 0,0043 585 25,389
8 Agustus 0,0071 0,0049 585 28,9517
9 September 0,0067 0,0047 585 27,3137
10 Oktober 0,0076 0,0053 585 30,9992
11 November 0,0071 0,0050 585 29,0745
12 Desember 0,0034 0,0024 585 13,8002
Total   0,046837   273,996
Ekj = Evaporasi Panci A x 0,70

Berdasarkan perhitungan diatas terlihat bahwa jumlah penguapan bulanan selama


musim kemarau adalah 65,52 m³ maka jumlah penguapan dari kolam embung
selama musim kemarau yaitu:
Ve = 10. Akt. ∑Ekj
= 10 x 585 m² x 0,04684 m
= 234,185 m³
4.5 Jumlah Resapan
Air dalam kolam embung akan meresap masuk kedalam pori atau rongga didasar
dan dinding kolam. Besarnya resapan ini tergantung dari sifat lulus air atau material
dasar dinding kolam. Sedangkan sifat ini tergantung pada jenis butiran tanah atau
struktur batu pembentuk dasar dan dinding kolam. Besarnya resapan air kolam
embung secara praktis dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Vi = K. Vu

Dimana:

93
Vi = jumlah resapan tahunan (m³)
Vu = jumlah air untuk berbagai kebutuhan (m³)
K = faktor yang nilainya tergantung dari sifat lulus air material dasar dan
dinding embung
= 10% bila dasar dan dinding kolam embung praktis rapat air; (k≤ 10-5
m/dtk) termasuk penggunaan lapisan buatan (selimut embung,
geomembran, semen, tanah)
= 25% bila dasar dinding kolam embung bersifat semi lulus air

m
Karena dasar dan dinding kolam embung bersifat kedap air ( k ¿ 10-5 ) maka K
dtk
= 10% jadi besarnya resapan dalam embung kecil ini adalah:
Vi = K. Vu
= 0,10 x 3.921.216
= 392.121,6 m³
Jadi, jumlah resapan (Vi) untuk embung yaitu 392.121,6 m³

4.6 Kapasitas Tampung yang Dibutuhkan


Di daerah semi kering musim hujan berlangsung pendek yaitu 3-5 bulan,
sedangkan musim kemarau berlangsung 7-9 bulan. Embung yang akan didaerah semi
kering akan menampung penuh air di musim hujan dan kemudian akan dioperasikan
pada musim kemarau untuk melayani kebutuhan yaitu: kebutuhan penduduk, ternak
dan kebun di suatu desa selama musim kemarau.
Kapastitas tampung embung harus dapat memenuhi kebutuhan diatas dan juga
harus memperhitungkan kehilangan air akibat penguapan di kolam, resapan di dasar
dan dinding kolam, serta menyediakan ruangan untuk sedimen. Untuk menghitung
kapasitas tampung yang dibutuhkan (Vn) untuk sebuah embung menggunakan bentuk
persamaan sebagai berikut:
Vn = Vu + Ve + Vi + Vs

Dimana:
Vn = kapasitas tampung total yang diperlukan suatu desa (m³)
94
Vu = volume hidup untuk melayani berbagai kebutuhan (m³)
Ve = jumlah penguapan dari kolam selama musim kemarau (m³)
Vi = jumlah resapan melalui dasar, dinding, dan tubuh embung selama musim
kemarau (m³)
Vs = ruangan yang disediakan untuk sedimen (m³)
Kapasitas/tampungan total suatu embung harus mempertimbangkan volume yang
tersedia (Vh) dan kemampuan topografi dalam menampung air (V p). Apabila air yang
tersedia dari kemampuan topografi kecil, maka embung harus didesain sesuai dengan
kapasitas tersebut daripada keperluan maksimum suatu desa. Dalam hal demikian
untuk memenuhi kebutuhan maksimum suatu desa maka diperlukan pembangunan
lebih dari satu embung. Dari perhitungan V u, Ve, Vi, dan Vs diatas maka volume
tampungan (Vn) yang dibutuhkan adalah:
Vn = Vu + Ve + Vi + Vs
= 3.921.216 m³ + 234,185 m³ + 392.121,6 m³ + 196.061 m³
= 4.509.633 m³

4.6.1 Daya Tampung (potensi) topografi untuk menampung air (Vp)


Dari hasil pengukuran topografi didapat gambar potongan melintang embung
yang dapat dilihat dalam gambar 4.1 berikut ini:

Berdasarkan gambar 4.1 diperoleh besarnya volume genangan dari hasil potongan
melintang embung seperti pada tabel 4.12 berikut ini:

95
Contoh Hitungan:
Tinggi Genangan = Elevasi tertinggi – elevasi terendah
= 108,00 – 107,70
= 0,3 m
Luas genangan elevasi 117.
Pada segmen 1 berbentuk segitiga. Maka,
a×t
Luas = 2 ¿ Skala
5×2,5
×500
= 2
= 3125 m²
Luas Genangan Elevasi 117 = Jumlah luas segmen 1 - 14
= 8408,88 m²

Gambar 4.2 Sketsa Perhitungan Luas Genangan pada Embung

Volume Genangan:
tinggi genangan elevasi terendah+tinggi genangan elevasi tertinggi
= 3 x (Luas

genangan elevasi terendah + luas genangan elevasi tertinggi) +

√ luas genangan elevasi terendah x luas genangan elevasi tertinggi

=
( 0,0+0,3
3 )
+(230 , 00+240 , 00)+ √ 240+230

= 70,49 m³

Kumulatif Volume Genangan = Jumlah volume genangan


= 0.00 + 70,49
= 70,49 m³

Tabel 4.12 Hubungan elevasi, luas genangan, dan volume genangan pada embung.
Elevasi Tinggi Luas Volume Kumulatif
(m) Genangan (m) genangan genangan volume
96
(m²) (m³) genangan (m³)
         
107,70 0,0 230,00 0,00 0,00
108,00 0,3 240,00 70,49 70,49
109,00 1,3 540,00 486,38 556,88
110,00 2,3 660,00 599,00 1155,87
111,00 3,3 780,00 719,17 1875,04
112,00 4,3 960,00 868,44 2743,48
113,00 5,3 1000,00 979,93 3723,42
114,00 6,3 1170,00 1083,89 4807,30
115,00 7,3 2490,00 1788,95 6596,25
116,00 8,3 3600,00 3028,00 9624,25
116,60 8,9 5367,50 2672,66 12296,91
117,00 9,3 8408,88 2732,61 15029,52
         

Grafik Hubungan Elevasi dan Volume Tampungan Embung


116.70
115.70
114.70
113.70
Elevasi (m)

112.70
111.70
110.70
109.70
108.70
107.70
0.00 2000.00 4000.00 6000.00 8000.00 10000.0012000.0014000.0016000.00
Volume (m3)

Gambar 4.2 Grafik Hubungan antara Volume Tampungan (m³), Elevasi (m), dan
Luas Genangan (m²), pada embung.

Berdasarkan gambar 4.1 diatas terlihat bahwa muka air normal pada embung yaitu
pada elevasi +114,00 dengan luas genangan adalah 1170 m² dan volume tampungan

97
sebesar 4.807,30 m³ potensi topografi atau daya tampung embung potensi topografi
maksimum yaitu 15.029,52 m³

4.6.2 Menentukan Kapasitas Tampung Desain (Vd)


Dalam menentukan kapasitas tampungan suatu embung (Vd) harus
membandingkan 3 hal yaitu.
1. Volume tampungan yang diperlukan (Vn) untuk menyediakan:
- kebutuhan penduduk, hewan, dan kebun (Vu) di suatu Desa,
- volume cadangan untuk kehilangan air karena penguapan(Ve) dan resapan (Vi),
- ruangan untuk menampung sedimen (Vs) diperkirakan 0,05 – 0,1 Vu.
2. Volume air yang tersedia (potensial) selama musim hujan (V h) yang merupakan
jumlah air maksimum yang dapat mengisi kolam embung.
3. Daya tampung (potensi) topografi untuk menampung air (Vp) yaitu volume
maksimum kolam embung yang terbentuk karena dibangunnya suatu embung.
Dari ketiga besaran tersebut yaitu: Vn , Vh, dan Vp dipilih yang terkecil sebagai
volume atau kapasitas tampung desain suatu embung (Vd) . Bilamana Vh atau Vp yang
menentukan maka kemampuan untuk melayani penduduk akan berkurang, yaitu tidak
sebesar yang diperlukan (Vn). Hasil dari perhitungan Vn, Vh, dan Vp dapat dilihat pada
tabel 4.13 berikut ini:

Tabel 4.13 Hasil perhitungan Vn, Vh, dan Vp


Vdesain
Vn (m³) Vh (m³) Vp (m³)
(m³)

4.509.633 127.396,50 15.029,52 15.029,52

Berdasarkan tabel 4.13 dengan kapasitas desain (Vdesain) direncanakan dengan volume
tampungan terkecil yaitu 12.990,46 m³. Volume atau kapasitas tampungan ini lebih
kecil dari volume tampungan total kebutuhan (Vn) penduduk berdasarkan jumlah jiwa
atau KK dan volume air yang tersedia (potensial) pada saat hujan (V h). Untuk itu
diperlukan lagi beberapa embung agar kebutuhan penduduk dapat terpenuhi.

98
4.7 Perkiraan Debit Banjir
Embung harus dilengkapi dengan bangunan pelimpah (spillway) yang
memerlukan besaran banjir desain untuk merencanakan ukurannya. Karena luas
tangkapan hujan untuk embung kecil ini tidak terlalu besar (maksimum 100 ha) dan
kapasitas tampungan kolam embung juga relatif kecil (maksimum 100.000 m³) maka
kapasitas bangunan pelimpahnya didesain berdasarkan banjir rencana dengan kala
ulang 25 tahun. Oleh karena itu metode sederhana yang akan digunakan adalah
metode Rasional yang berasal dari Australia. Cara menentukan debit puncak dengan
metode Rasional yaitu sebagai berikut.

a. Menentukan curah hujan harian maksimum tahunan rata-rata (Rm) dan jumlah hari
hujan badai (M) yang lebih besar dari 10 mm per hari. Hasil perhitungan dari nilai-
nilai ini dapat dilihat pada tabel 4.14 dan tabel 4.16 berikut ini.

Tabel 4.14 Curah Hujan Harian Maksimum Tahunan Rata-rata (Rm) Stasiun Oebobo
Hujan Harian Maksimum
No Tahun
Tahunan Rata-rata (mm)
1 2009 113
2 2010 193
3 2011 113
4 2012 170
5 2013 173
6 2014 100
7 2015 78
8 2016 100
9 2017 139
10 2018 111
Rata-rata 129

Tabel 4.15 Perhitungan Jumlah Hujan Badai dari Data Curah Hujan Tahun 2009

Hujan Badai Jumlah Jumlah


Tangga
(mm) (data) hujan Tanggal Hujan Badai hujan
l
badai (mm) (data) badai
1 40 1 17    
2 55 1 18 11 1

99
3 36 1 19    
4 48 2 20 44 2
5     21    
6 101 1 22 15 1
7 58 2 23 115 2
8 38 1 24 16 2
9 70 1 25 61 1
10 18 1 26 21 2
11 23 2 27    
12 49 1 28 12 1
13 17 1 29    
14     30 19 2
15 53 1 31    
16 14 1      
Sub Total 17 Sub Total 14
Total 31

Untuk perhitungan selanjutnya yaitu dari tahun 2010-2018 dapat dilihat dalam tabel
4.16

Tabel 4.16 Jumlah Hujan Badai (M)


Jumlah Hujan Badai
No Tahun (hari)
1 2009 31
2 2010 41
3 2011 29
4 2012 55
5 2013 39
6 2014 38
7 2015 56
8 2016 31
9 2017 46
10 2018 41
Rata-rata 40,7

Dari hasil perhitungan pada tabel 4.14 dan tabel 4.16 dapat diketahui bahwa besarnya
curah hujan harian maksimum tahunan rata-rata (Rm) sebesar 129 mm dan jumlah
hujan badai > 10 mm perhari rata-rata adalah 41 hari.

100
b. Waktu konsentrasi (tc) didefenisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh limpasan
untuk melalui jarak terjauh di daerah tadah hujan, yaitu dari suatu titik di udik sampai
ke titik tinjau paling hilir. Waktu konsentrasi tc dihitung dengan menggunakan rumus
Kirpich dan rumus Giandortti, kemudian di rata-ratakan.

rumus Kirpich
L1 , 156
tc = 0,945 ΔH 0 ,385

0,081, 156
0 ,385
= 0,945 0,016
= 0,25 jam

rumus Giandortti

4 . A 0,5 +1,5 . L
tc = 0,8 ΔH 0,5
0,5
4 . 0 ,08 +1,5( 0 ,016 )
= 0,8(0 , 016 0,5 )
= 5,21 jam
Tinggi rata-rata dari daerah tadah hujan dapat dihitung dengan merata-ratakan
minimal tiga titik pengamatan tertinggi, sedang, dan terendah di alur cekungan. Nilai
tc diambil dengan merata-ratakan harga tc yang didapat dari rumus diatas.
0,25+5,21
tc = 2
= 2,7 jam
= 162 menit

c. Perhitungan curah hujan (R)


cara perhitungan ini durasi hujan diambil sebesar tc (waktu konsentrasi)

101
1. Untuk menghitung besarnya curah hujan dengan durasi atau tc = 5 sampai 120
menit dengan kala ulang 2 sampai 100 tahun digunakan rumus:
R1T = R260 (0,35 ln T + 0,76) (0,54tc0,25-0,5)
R260 = 0,17Rm M0,33
Untuk 0 < M < 50
80 ¿ M ¿ 115
R260 dan Rm dalam mm dan M dalam hari
2. Untuk menghitung besarnya curah hujan dengan durasi atau t c lebih besar dari
120 menit dengan kala ulang 2 sampai 100 tahun digunakan rumus:
R1T = R260 (0,35 ln T + 0,76) (0,54tc0,25-0,5)-(0,18(t-120)+1)
Karena tc = 162 menit maka:
R6010 = R260 (0,35 ln T + 0,76) (0,54tc0,25-0,5)-(0,18(t-120)+1)
R260 = 0,17Rm M0,33
= 0,17 x 129 x 410,33
= 74,689 mm
Maka:
R6010 = R260 (0,35 ln T + 0,76) (0,54tc0,25-0,5)-(0,18(t-120)+1)
= 74,689 mm (0,35 ln 10 + 0,76) (0,54(1620,25)-0,5)-(0,18((162-120)+1)
= 74,689 mm (0,832) (1,427) (8,560)
= 80,037 mm
d. Perhitungan intensitas hujan
untuk menghitung besarnya intensitas hujan digunakan rumus Mononobe.
R 24 24 2

IT = 24 t
( ) 3

0,67
80,037 24
= 24 ( 2,7 )
mm
= 14,415 jam

e. Perhitungan koefisien limpasan (runoff-C)

102
Koefisien limpasan (runoff-C) dapat dihitung dengan memperhatikan faktor iklim
dan fisiografi yaitu dengan menjumlahkan beberapa koefisien C sebagai berikut:
C = C p + Ct + C0 + C s + Cc
Perhitungan koefisien limpasan:
Cp = 0,30
Ct = 0,10
C0 = 0,10
Cs = 0,05
Cc = 0,05
C = C p + Ct + C0 + C s + Cc
= 0,30 + 0,10 + 0,10 + 0,05 + 0,05
= 0,60
Jadi, berdasarkan harga komponen C didapat koefisien limpasan (C) embung yaitu
sebesar 0,60.

f. Perhitungan debit puncak banjir (QT)


Dalam menghitung debit puncak banjir digunakan rumus sebagai berikut:
C×It× A
QT = 3,6
0,60×14,415×0,075
= 3,6
m3
= 2,33 dtk

Dengan menggunakan persamaan-persamaan diatas maka perhitungan untuk debit


puncak banjir (QT) dengan kala ulang 5 , 10, 25, 50, dan 100 tahun dapat dilihat
dalam tabel 4.17 berikut ini.

Tabel 4.17 Perhitungan Debit Banjir (QT) dengan Kala Ulang 5 , 10, 25, 50, dan 100
tahun.

103
Intensitas
A Qt
Kala Hujan Rt
Cp Ct C0 Cs Cc C (km² (m³/dtk
Ulang (mm/jam (mm)
) )
)
0,3 0,1 0,1 0,0 0,0 0,6 0,07
2 5,277 0 0 0 5 5 0 29,299 5 0,854
0,3 0,1 0,1 0,0 0,0 0,6 0,07
5 10,218 0 0 0 5 5 0 56,734 5 1,654
0,3 0,1 0,1 0,0 0,0 0,6 0,07
10 14,415 0 0 0 5 5 0 80,037 5 2,333
0,3 0,1 0,1 0,0 0,0 0,6 112,59 0,07
25 20,278 0 0 0 5 5 0 1 5 3,282
0,3 0,1 0,1 0,0 0,0 0,6 137,88 0,07
50 24,833 0 0 0 5 5 0 5 5 4,020
0,3 0,1 0,1 0,0 0,0 0,6 163,45 0,07
100 29,438 0 0 0 5 5 0 3 5 4,765

4.8 Analisis Keseimbangan Air


Perencanaan kapasitas tampung embung dengan metode Simulasi merupakan
suatu proses yang menirukan perilaku suatu sistem tanpa benar-benar mencapai
kenyataan itu sendiri. Ini merupakan pengembangan suatu model matematik yang
dari semua karakteristik terkandung serta kemungkinan respon dari sistem tersebut.
Metode Simulasi untuk penentuan kapasitas tampung embung dikembangkan dari
persamaan kontinuitas tampungan yang secara matematik dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut:

S t - 1 = S t + It – O t – E t - L t
Periode waktu yang umum pada perencanaan kapasitas tampungan adalah satu bulan,
tetapi periode lain juga dapat dipakai. Kehilangan akibat penguapan besarnya
tergantung pada luas permukaan air di embung dan kondisi hidrologinya. Sedangkan
kehilangan lainnya umumnya tidak besar dan biasanya diabaikan.
Anggapan-anggapan dalam metode simulasi adalah:
- pada tahun pertama operasi pengisian embung dimulai pada bulan Nopember,
- rangkaian data masukan dianggap mampu mewakili sungai di masa mendatang.
Batasan-batasan dalam metode simulasi adalah:

104
- pada tahun pertama operasi pengisian embung dimulai pada bulan Nopember.
Pengaruh asumsi ini terhadap ukuran embung bisa diperiksa dengan menelusuri
diagram perilaku untuk berbagai kondisi awal. Analisis yang didasarkan pada data
yang dibangkitkan memberikan gambaran bahwa paling sedikit dibutuhkan data
aliran sungai sepanjang 100 tahun pada beberapa sungai sebelum pengaruh
penuhnya embung yang diasumsikan bisa diabaikan,
- pelepasan yang berhubugan dengan tingkat pertumbuhan dalam waktu (misalnya
peningkatan permintaan dengan peningkatan populasi) tidak mudah ditangani
karena sulitnya menghubungkan permintaan mendatang dengan tahun tertentu
pada data aliran historik.
Beberapa keuntungan dari pemakaian metode simulasi adalah sebagai berikut:
a. analisa perilaku historik merupakan prosedur yang sederhana dan dengan jelas
menunjukan perlilaku air yang ditampung,
b. cara ini memperhitungkan korelasi seri, kemusiman dan parameter aliran lainnya
sejauh data tersebut diikutsertakan sebagai masukan dalam analisis,
c. cara ini dapat diterapkan pada data ayang didasarkan pada segala interval waktu,
d. bukan hanya pada draft musiman saja yang diperhitungkan dengan mudah, tetapi
kebijaksanaan operasi yang rumit pun bisa dibuat modelnya.

Contoh Perhitungan untuk bulan Nopember Tahun 1.


- Volume awal air di tampungan (St) =0
- Inflow (volume air yang masuk ke embung) (It) = 18.135,00 m³ (tabel 4.9)
- Volume pemakaian air/ kebutuhan air (Ot) =0
- Penguapan bulanan yang terjadi di tampungan (Et) = 29,07 m³ (tabel 4.11)
- Kehilangan air akibat resapan (Lt) = 0,10 x total pemakaian air
= 0,10 x 0
=0
- Volume akhir di tampungan ( St+1 ) = St + It - Ot - Et - Lt

105
= 0 + 18.135,00 – 29,07 – 0
= 18.105,93 m³

Contoh Perhitungan untuk bulan Oktober Tahun 1.


- Volume awal air di tampungan (St) = 5.737,11 m³
- Inflow (volume air yang masuk ke embung) (It) =0
- Volume pemakaian air/ kebutuhan air (Ot) = 1.828,84 m³
- Penguapan bulanan yang terjadi di tampungan (Et) = 31,00 (tabel 4.11)
- Kehilangan air akibat resapan (Lt) = 0,10 x total pemakaian air
= 0,10 x 1.634,4
= 163,44
- Volume akhir di tampungan ( St+1 ) = St + It - Ot - Et - Lt
=5.737,11+0–1.828,84-31,00-
163,44
= 1.828,84 m³

Tabel 4.18
Perhitungan Keseimbangan Air Embung Tahun 1
Tampungan Mati = 70,49 m³ Elevasi Tampungan
Tampungan Efektif = 14.959,03 m³ Elevasi Muka Air No
Total Tampungan = 15.029,52 m³
Luas Tampungan = 1170,00 m²
Kebutuhan per KK = 800 Ltr/KK/hri
Jumlah KK (2028) = 20.423 KK
Jumlah KK yang terlayani = 681 KK
Tahun 1

106
Outflow (O)
Jumlah Tampungan
Bulan Inflow (I)
Hari Awal Kebutuhan air
Evaporasi Re
ternak,kebun, penduduk

(Data) (800*681*a)/1000 (tabel 4.11) (0


     
(a) (b) (c) (d) (e)
  m³ m³ m³ m³
Nopember 30   18.135,00   29,07
Desember 31 15.029,52 18.735,00   13,80
Januari 31 15.029,52 33.037,50   15,97
Februari 28 15.029,52 28.342,50   17,61
Maret 31 15.029,52 21.616,50   22,52
April 30 15.029,52 7530,00   20,60
Mei 31 15.029,52   1.688,9 20,19 16
Juni 30 13.151,56   1.634,4 21,58 16
Juli 31 11.332,143   1.688,9 25,39 16
Agustus 31 9.448,99   1.688,9 28,95 16
Septembe
r 30 7.562,27   1.634,4 27,31 16
Oktober 31 5.737,11   1.634,4 31,00 16

Tabel 4.19
Perhitungan Keseimbangan Air Embung Tahun 2

Outflow (O)
Jumlah Tampungan
Bulan Inflow (I)
Hari Awal Kebutuhan air
Evaporasi Res
ternak,kebun,
107
penduduk
  (Data) (800 x 681 x a)/1000 (tabel 4.11) (0,1
   
  (a) (b) (c) (d) (e) (
    m³ m³ m³ m³ m
Nopember 30 1.828,84 18.135,00   29,07
Desember 31 15.029,52 18.735,00   13,80
Januari 31 15.029,52 33.037,50   15,97
Februari 28 15.029,52 28.342,50   17,61
Maret 31 15.029,52 21.616,50   22,52
April 30 15.029,52 7.530,00   20,60
Mei 31 15.029,52   1.688,9 20,19 16
Juni 30 13.151,56   1.634,4 21,58 16
Juli 31 11.332,14   1.688,9 25,39 16
Agustus 31 9.448,99   1.688,9 28,95 16
September 30 7.562,27   1.634,4 27,31 16
Oktober 31 5.737,11   1.688,9 31,00 16

Berdasarkan grafik hubungan Inflow (m³), Outflow (m³), dan tampungan awal
embung pada Tahun I terlihat bahwa tampungan embung mulai berkurang pada bulan
Mei sedangkan pada Tahun II tampungan embung mulai berkurang pada bulan Juni
dimana kondisi ini dipengaruhi oleh curah hujan yang sudah mulai berkurang
sedangkan kebutuhan air mulai bertambah baik itu untuk memenuhi kebutuhan hidup
maupun karena penguapan dan resapan. Dengan jumlah KK yang terlayani yaitu
sebanyak 681 KK maka kondisi tampungan akan sampai pada tampungan mati yaitu

108
di bulan Oktober dan akan terisi lagi pada bulan Nopember. Kondisi ini akan
berulang setiap tahun dengan periode pengisian yaitu pada bulan Nopember sampai
April dan pemakaian dari bulan Mei sampai Oktober.

4.9 Pelimpah
Untuk bangunan embung kecil, tipe pelimpah yang cocok adalah pelimpah tanah
saluran terbuka. Pelimpah jenis ini diletakan terpisah dengan tubuh embung dan
dibangun diatas tanah asli. Tempat pelimpah harus dipilih pada tempat dimana
alirannya tidak akan menyebabkan erosi pada tanggul dan aman terhadap longsoran.
Adapun bangunan pelimpah agar berfungsi secara baik, maka bangunan pelimpah
direncanakan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu pelimpah utama dan interflow. Untuk
embung Manulai II volume tampungan yang dibutuhkan pada perhitungan
keseimbangan air (water balance) yaitu sebesar 15.029,52 m³ yang diperoleh pada
elevasi ±114,00 meter. Dimensi pelimpah ditentukan dengan rumus sebagai berikut.

Q50 = 1,55 x W x h1,5

Dimana:
Q50 = debit banjir rencana (m³/dtk)
h = tinggi air diatas pelimpah (m)
W = lebar pelimpah rencana (m) (tabel 2.9)

Berdasarkan debit banjir (Q50) = 4,02 m³/dtk dengan tinggi air 0,43 m maka lebar
pelimpah embung direncanakan (W) = 7,5 m

Dimensi outlet pelimpah direncanakan dengan menggunakan persamaan Manning


sebagai berikut:

Q = V. A
1 2/3 0,5
R I
V= n
'
A h(n +m)
R = P = n' +2 √1+m

109
b
n’ = h

Dimana:
Q = debit banjir rencana (m³/dtk)
V = kecepatan aliran (m/dtk)
A = luas penampang basah (m²)
n = koefisien kekasaran manning (tabel 2.8)
P = lebar basah (m)
R = jari-jari hidrolik (m)
I = kemiringan saluran rencana
m = kemiringan lereng (1:3)
h = kedalaman air (h)
b = lebar saluran rencana (tabel 2.9)
n’ = perbandingan lebar dasar (b) dengan kedalaman air (h)

Kedalaman air dapat dicari dengan cara coba-coba, perhitungannya adalah sebagai
berikut:
1. Andaikan kedalaman air h= h0
2. Hitung kecepatan yang sesuai (V0)

2 /3
1 h0 ( n' +m)
V0 =
(
n n '+2 √ 1+m) ) I
0,5

3. Hitung luas basah A0


Q
A0 = V 0
4. Hitung kedalaman air yang baru h1
A0
h1 = √ n'+m
5. Bandingkan h0 dengan h1. Jika h1- h0 < 0,005 maka h1 = hrencana. Apabila
110
h1- h0 > 0,005 maka perhitungan diulangi kembali sampai didapatkan harga
h1- h0 < 0,005.

Dengan demikian dihitung dimensi untuk oulet pelimpah sebagai berikut.


- Kedalaman air (h) = 0,001
2 /3
1 h0 ( n' +m)
V0 =
(
n n '+2 √ 1+m) ) I 0,5

2/3
1 0 ,001(7,5/0 ,001)+1
(
= 0,03 (7,5/0 ,001 )+2, 828
) 10,5

= 0,326 m/dtk

Q
A0 = V 0
4,02
= 0,326
= 12,343 m

A0
h1 = √ n'+m

12, 343
= √ (7,5 /0 ,001 )+1
= 0,0016 m
Maka h1- h0 = 0,0006 < 0,005 dengan demikian tinggi rencana (h rencana.) outlet
pelimpah yaitu 0,001 m.
Dari hasil perhitungan diatas didapatkan dimensi outlet yaitu:
Q = 4,02 m³/dtk (tabel 4.17)
b = 7,5 m (tabel 2.9)
h = 0,001
I =1m
m = 1:3

111
n = 0,03 (tabel 2.8)

4.9.1 Perhitungan Pelimpah Utama


a. Perhitungan bagian pelimpah inlet
Q (debit banjir) = 4,02 m³/dtk
W (lebar inlet) = 7,5 m
h (tinggi air) = 0,43 m
b. Perhitungan tinggi air antar drempel
Elevasi hulu = 114,00 m (peta topogafi)
Elevasi hilir = 113,90 m (peta topografi)
I (kemiringan saluran rencana) =1m
n (koefisien Manning) = 0,03 (tabel 2.8)
b (lebar pelimpah) =7,5 m (tabel 2.9)
m (kemiringan lereng) =1
c. Dimensi pelimpah embung (saluran pasangan)
Elevasi muka air di hulu = + 114,00 (peta topografi)
Elevasi muka air hilir = + 108,00 (peta topografi)
Beda tinggi (Δh) = + 10 m
Elevasi ambang di udik got = + 113,90 (peta topografi)
Elevasi dasar olak, diambil = + 103,48 (peta topografi)
Beda tinggi energi (Δe) = 10,42 m

4.9.2 Perhitungan Lebar Bukaan Bagian Pengatur


0 ,734×Q
bc = do 3/2
0 ,734×0 ,402
= 0 ,0013/2
= 9.331 m
112
Q
q = bc
0,402
= 1,00
= 0,402 m³/dtk/m

1/3
q2
dc =
[]
g
1 /3
0 , 4022
=
[ ]
9 , 81
= 0,292 m

q
Vc = dc
0,402
= 0,292
= 1,378 m/dtk

2
Vc
hvc = 2×g
2
1,378
= 2×9,81
= 0,097

Ac = bc x dc
= 1,00 x 0,292
= 0,292 m²

Pc = bc + (2 x dc)
= 1,00 + (2 x 0,292)
= 1,584 m

113
Ac
Pc
Rc =

0,292
=
1,584

= 0,184 m

2
Vc
Ic =
[ ( K ×Rc )2/3 ]
2
1 , 378
=
[
(60×0 , 184 )0 ,67 ]
=0,076

Ec = dc + hvc + Δe
= 0,292 + 0,097 + 10,42
= 10,809 m

Dimana:
Bc = lebar bagian pengatur (m)
Q = debit (m³/dtk)
Q = debit persatuan lebar (m³/dtk/m)
Do = tinggi air di mulut masuk got miring (m)
dc = tinggi air kritis (m)
g = percepatan gravitasi (m/dtk)
Vc = kecepatan kritis (m/dtk)
hvc = tinggi kecepatan kritis (m)
Ac = luas penampang basah kritis (m²)
Pc = luas keliling basah kritis (m)
Rc = jari-jari hidrolis (m)
K = koefisien kekasaran dinding saluran (saluran pasangan)

114
Ic = kemiringan dasar pada kecepatan kritis
Ec = tinggi energi kritis dari udik sampai hilir (m)

4.9.3 Perhitungan Keseimbangan Tinggi Energi


Ec = 10,809 m
E1 = d1 + hv1 + hf
2
A1 V1
hf = L x I ; d1 = b1 hv1 = 2×g

Dicoba-coba V1, sehingga Ec = E1


Dicoba V1 = 3,534 m/dtk
V1 x A1 = Vc x Ac
Vc× Ac
V1
A1 =

1,378×0,292
=
3,534
= 0,114 m²

A1
d1 = b1

0,114
= 1,00

= 0,114 m

P1 = b1 + (2 x d1)

= 1,00 + (2 x 0,114)

= 1,228 m

115
A1
P1
R1 =

0,114
=
1,228

= 0,093 m

2
V1
Ic =
[ K×Rc 2 /3 ]
2
3 ,534
=
[
60×0 , 184 0, 67 ]
= 0,499

Ic+I 1
2
Im =

0 , 499+0 , 076
=
2

= 0,287

2
V1
hv1 = 2×g
2
3,534
= 2×9,81
= 0,637 m

hf = Im x L
= 0,287 x 35

116
= 10,058 m

E1 = d1 + hv1 + hf
= 0,114 + 0,637 + 10,058
= 10,809 m
Dimana:
hf = kehilangan energi akibat kemiringan pada got miring (m)
Im = kemiringan dasar rata-rata dari awal got miring sampai akhir kolam olakan
L = panjang horisontal got miring (m)
d1 = tinggi air diawal ruang olak (m)
Dengan demikian, perhitungan V1 = 3,534 m/dtk cocok.

4.9.4 Perhitungan Tinggi Muka Air Pada Kolam Olak.


V1
Fr = √ g×d1
3,534
=
√ 9,81×0,114
= 3,342

d1
( √1+8×Fr 2 )−1 )
2
d2 =

0 ,114
(( √ 1+8×3 ,3422 )−1 )
2
=

= 0,485 m

Dimana:
Fr = bilangan froude diawal ruang olak
d1 = tinggi muka air kritis (m)

117
d2 = tinggi muka air di akhir ruang olak (m)

4.9.5 Perhitungan Panjang Kolam Olak dan Lebar Kolam Olak

L1 = 5 x d2
= 5 x 0,485
= 2,424 m
Panjang kolam olak L1 diambil = 2,00 m

18,48× √Q
b= Q+9,91
18 ,48×√ 0,402
=
0,402+9,91
= 1,136 m
Lebar kolam olak b diambil = 1,00 m
Dimana:
L1 = panjang kolam olak (m)
B = lebar kolam olak (m)
Q = debit rencana (m³/dtk)
d2 = tinggi muka air di akhir ruang olak (m)

4.9.6 Perhitugan Elevasi Pada Kolam Olakkan dan Dasar Hilir.


q
V2 = d2
0,402
= 0,885
= 0,829 m/dtk

V2
hv2 = 2  g

118
0,829
= 2×9,81
= 0,035 m

2
V3
2×g
hv3 =

0,038
2×9,81
=

= 0,002

Elevasi B = (elevasi C + d3 + hv3) – (d2 + hv2)


Elevasi B = (103,62 + 0,10 + 0,002) – (0,485 + 0,035)
= 103,20
Elevasi B yang ada +103,48
Elevasi B yang ada lebih dalam dari elevasi B yang terjadi → diterima

Dimana:
Elevasi B = elevasi dasar olak
Elevasi C = elevasi dasar saluran di hilir ruang olak
d2 = tinggi muka air didasar ruang olak (m)
d3 = tinggi muka akhir di akhir ruang olak (m)
q = debit persatuan lebar (m³/dtk)
V2 = kecepatan air di akhir ruang olak (m/dtk)
V3 = kecepatan air di saluran, sebelah hilir ruang olak (m/dtk)
hv2 = tinggi kecepatan di akhir ruang olak (m)
hv3 = tinggi kecepatan pada saluran, di hilir ruang olak (m)

4.9.7 Perhitungan Tinggi Tembok Pada Bagian Got Miring


- Tinggi tembok minimum got miring di bagian udik (H)
H = (1,5 x dc) + 0,26
119
= (1,5 x 0,292) + 0,26
= 0,697 m
- Tinggi tembok minimum got miring di bagian hilir (H´)
H´ = d2 + 0,26
= 0,484 + 0,26
= 0,745 m
Berdasarkan perhitungan diatas maka diperoleh dimensi bangunan pelimpah embung
sebagai berikut:

Gambar 4.5 Dimensi Pelimpah Embung


4.10 Tanggul
Tanggul pada embung berfungsi untuk menahan air yang mengalir pada saat hujan
sehingga dapat membentuk tampungan atau genangan. Penentuan site As embung sangat
menentukan volume pekerjaan, kapasitas tampungan, dan jarak pengambilan bahan

120
timbunan saat pelaksanaan. Penentuan site yang baik akan mempengaruhi besarnya biaya
pelaksanaan. Tinggi embung sangat berkaitan dengan kapasitas tampungan embung.
4.10.1 Dimensi Tanggul
Tubuh embung direncanakan untuk dapat menahan gaya-gaya yang menyebabkan tidak
stabilnya tubuh embung. Dimensi tubuh embung direncanakan berdasarkan elevasi muka
air banjir tampungan embung, tinggi jagaan tubuh embung, material untuk konstruksi tubuh
embung.

a. Tinggi Tanggul
Tinggi tanggul embung ditentukan berdasarkan tinggi genangan tampungan yang
dibutuhkan, tinggi air diatas pelimpah saat debit banjir rencana Q50 dan tinggi jagaan (free
board). Untuk embung Manulai II volume tampungan yang dibutuhkan yaitu sebesar
15.029,52 m³ yang diperoleh pada elevasi +114,00. Elevasi ini merupakan elevasi pelimpah.
Tinggi air diatas pelimpah saat banjir rencana (Q50) yaitu sebesar 0,43 m yaitu pada elevasi
+115,00 m.
Tinggi jagaan (free board) adalah tambahan ketinggian yang disediakan sebagai faktor
pengamanan untuk mencegah agar gelombang atau aliran banjir yang lebih besar dari (Q50)
tidak meluap melalui tanggul dimana akan berakibat rusaknya tubuh tanggul itu sendiri.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkn untuk menentukan tinggi jagaan adalah
ketidakmerataan permukaan puncak (crest) dan penurunan akibat konsolidasi. Dengan
pertimbangan diatas, maka tinggi jagaan untuk embung direncanakan setinggi 1,00 m.
Sehingga untuk tinggi mercu direncanakan.
Elevasi mercu tanggul = + (114,00 + 0,48 + 1,00) m
= + 115,43 m
b. Lebar Mercu Tanggul
Lebar mercu perlu ditambah seiring dengan bertambahnya tinggi embung. Apabila
bagian puncak tanggul akan dipakai untuk jalan raya maka bagian atas tersebut harus
menyisahkan bagian bahu/tepi kiri kanan jalan. Lebar ini tidak boleh kurang dari 4 meter
dan lebar minimumnya hendaknya dibuat sekitar 2,5 m. Sedangkan hubungan tinggi tanggul

121
dan lebar puncak tanggul dapat dilihat pada tabel 2.11. Dengan demikian untuk embung
Manulai II direncanakan lebar puncak tanggul yaitu 4,00 m.

c. Kemiringan Lereng Tanggul


Kemiringan lereng tanggul urugan ditentukan sedemikian rupa agar stabil terhadap
longsoran. Hal ini sangat tergantung pada jenis material urugan yang hendak dipakai.
Kestabilan urugan harus diperhitungkan terhadap rembesan, serta tahan terhadap gempa.
Untuk embung Manulai II dengan pertimbangan bahwa embung yang dibangun yaitu
dengan material urugan homogen maka kemiringan lereng tanggul yaitu 1:3 di bagian hulu
dan 1:3 di bagian hilir.

4.10.2 Data-data Tanggul


Dari hasil perhitungan sebelumnya didapat data-data tanggul sebagai berikut:
Elevasi mercu tanggul = + 115,43 m
Elevasi pelimpah = + 114,00 m
Tinggi air saat banjir = 0,43 m
Tinggi jagaan = 1,00 m
Elevasi dasar tanggul hulu = + 105,68 m
Elevasi dasar tanggul hilir = + 100,11 m
Elevasi muka air normal = + 114,00 m
Berdasarkan data-data diatas maka diperoleh dimensi tanggul sebagai berikut:

4.00
3 +115.43 m
1 Timbunan Tanggul
Muka air normal +114.00 m

4.00
+ 106.00 m

+100.11 m
4.00

122
Gambar 4.6 Dimensi Tanggul Embung

4.10 3 Data-data Tanah


Untuk mengetahui daya dukung tanah maka diperlukan data mekanika tanah berupa
pengujian kepadatan tanah dilapangan secara langsung yang berfungsi untuk mengetahui
sifat tanah dasar embung yang kedap air dan membandingkan berat isi kering di lapangan
maka dilkukan pengujian sandcone dan permabilitas di lapangan. Dari hasil pengujian
tersebut diperoleh data sebagai berikut:
a. Berat spesifik (Gs) = 2,61
b. Kadar air (water content) (wn) = 34,94 %
c. % Clay = 20,75 %
d. % Silt = 24,09 %
e. % Sand = 40,23 %
f. % Gravel = 14,92 %
d. Berat volume tanah kering (Ƴd) = 1,50 ton/m³
e. Kadar air maksimum (Wopt) = 23,50 %

Spesifikasi tanah bahan material timbunan untuk penyesuaian dengan kondisi lapangan
adalah sebagai berikut:
a. Berat Volume Tanah Kering (Ƴd maks) = 95% x Ƴd = 95% x 1,50 ton/m³
= 1,425 ton/m³
b. Kadar air (wn) = Wopt + 4%
= 23,50 + 4
= 27,5 %
c. Berat Volume Tanah (Ƴn) = (1 + wn) x Ƴd
= (1+ 34,94) x 1,50
= 53,91 ton/m³
Gs−γd 2,61−1,50
γd maks 1, 425
d. Angka Pori = =

= 0,78

123
Gs−e 2,61−0 ,78
1+e 1+0 ,78
e. Berat isi tanah jenuh (Ƴsat) = =

ton/m³
= 1,22

124
125
126
127

Anda mungkin juga menyukai