Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN HASIL

PRATIK LABORATORIUM KGD

PEMBIDAIAN FRAKTUR TERBUKA

DOSEN PENGAMPU : NS. KRISTIANUS EKO PURWANTO M.KEP

DISUSUN OLEH:

NAMA :MONSIUS MELIANUS YOPANIKO

NIM : 20181959

AKADEMIK KEPERAWATAN DHARMA INSAN PONTIANAK

2020/2021

BAB 1
PENDAHULUAN

fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan


penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain
mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi
fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam
penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera,
secara hati-hati, debridemen yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur,
penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang
adekuat. Sepertiga dari pasien fraktur terbuka biasanya mengalami cidera
multipel.

Fraktur terbuka sering membutuhkan pembedahan segera untuk


membersihkan area mengalami cidera. Karena diskontinuitas pada kulit,
debris dan infeksi dapat masuk ke lokasi fraktur dan mengakibatkan infeksi
pada tulang. Infeksi pada tulang dapat menjadi masalah yang sulit ditangani.
Gustilo dan anderson melaporkan bahwa 50,7 % dari pasien mereka memiliki
hasil kultur yang positif pada luka mereka pada evaluasi awal. Sementara 31%
pasien yang memiliki hasil kultur negatif pada awalnya, menjadi positif pada
saat penutupan definitf. Oleh karena itu, setiap upaya dilakukan untuk
mencegah masalah potensial tersebut dengan penanganan dini.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Fraktur terbuka
a. Definisi
fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri dan timbul
komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang
tajam dan keluar menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena
tertembus misal oleh peluru atau trauma langsung (from without).7 fraktur
terbuka merupakan suatu kondisi keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi.
b. Epidemiologi
frekuensi fraktur terbuka bervariasi tergantung faktor geografis dan
sosioekonomi, populasi penduduk, dan trauma yang terjadi. Dari data yang
diambil dari universitas gajah mada didapatkan insidensi fraktur terbuka
sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan perbandingan laki-laki dan perempuan
sebesar 3,64:1 dan untuk kelompok usia mayoritas pada dekade dua atau
dekade tiga, dimana mobilitas dan aktifitas fisik tergolong tinggi.8 sedangkan
insiden fraktur terbuka di edinburgh orthopaedic trauma unit di skotlandia
mendata sebanyak 21.3 kasus per 100.000 dala setahun. Yang terbanyak
adalah fraktur diafisis pada tibia (21,6%), lalu pada femur (12,1%), radius dan
ulna (9,3%), dan humerus (5,7%). Pada tulan panjang, fraktur terbuka
diafiseal (15,3%) lebih sering terjadi disbanding metafiseal (1,2%).9
c. Etiologi
sachdeva membagi etiologi fraktur menjadi tiga, yaitu cedera traumatik,
fraktur patologik, dan cedera spontan. Cedera traumatik pada tulang bisa
disebabkan karena cedera langsung atau pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan, cedera tidak langsung berarti pukulan
langsung berada jauh dari lokasi benturan, dan fraktur yang disebabkan
kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat. Fraktur patologik keadaan
dimana terjadinya fraktur pada tulang akibat proses penyakit dimana trauma
minor dapat menyebabkan fraktur. Fraktur patologik terjadi apabila terdapat
tumor tulang baik jinak maupun ganas, terdapat infeksi pada tulang seperti
pada osteomyelitis, dan pada rakhitis.10
Tingkat keparahan cedera fraktur terbuka berhubungan langsung
dengan lokasi dan besarnya gaya yang mengenai tubuh. Ukuran luka bias
hanya beberapa millimeter hingga terhitung diameter. Tulang yang fraktur
bias langsung terlihat atau tidak terlihat pada luka. Fraktur terbuka lainnya
dapat mengekspos banyak tulang dan otot, dapat merusak saraf serta
pembuluh darah sekitarnya. Penyebab lain fraktur terbuka selain trauma bias
karena kecelakaan kerja maupun luka tembak.

d. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut gustilo
dan anderson yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera,
derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur, dan derajat kontaminasi.
Klasifikasi gustilo membagi fraktur terbuka menjadi tipe i, ii, dan iii.11
e. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Apabila tekanan eksternal lebih besar dari yang diserap
tulang, maka terjadi trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat disebabkan oleh trauma
langsung, trauma tidak langsung, atau kondisi patologis. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah seta saraf dalam korteks, marrow dan
jaringan tulang yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medulla tulang.
Akibat hematoma yang terjadi dapat menghambat suplai darah atau nutrisi ke
jaringan tulang yang berdekatan, sehingga jaringan tulang mengalami nektosis
dan menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan
vasodilatasi, eksudasi plasma dan infiltrasi sel darah putih. Tahap ini
menunjukan tahap awal penyembuhan tulang. Hematoma yang terjadi juga
menyebabkan dilatasi kapiler otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler,
kemudian menstimulasi histamine pada otot yang iskemik dan menyebabkan
protein plasma hilang dan masuk ke interstisial, hal ini menyebabkan
terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung saraf yang
dapat menyebabkan nyeri yang bila berlangsung lama bias menyebabkan
sindroma kompartemen.
Fraktur yang hebat menyebabkan diskontinuitas tulang yang dapat
merubah jaringan sekitar seperti merusak integritas kulit atau terjadi laserasi
kulit hal ini menyebabkan fraktur terbuka. Fraktur juga menyebabkan
terjadinya pergeseran fragmen tulang yang dapat mempengaruhi mobilitas
fisik sehingga terjadi gangguan pergerakan dan gangguan perfusi jaringan jika
terjadi penyumbatan pembuluh darah oleh emboli lemak dan trombosit yang
terjadi akibat reaksi stress dan memicu pelepasan katekolamin yang disbabkan
oleh peningkatan tekanan sumsum tulang disbanding tekanan kapiler. Faktor-
faktor yang mempengaruhi fraktur yaitu faktor ekstrinsik, adanya tekanan dari
luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan
arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur, dan faktor intrinsik, yang
menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur, seperti kapasitas absorbs dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekeras

Gangguan
mobilitas Shock
fisik hipovolemik

Gangguan
perfusi jaringan
f. Manifestasi klinis
penderita fraktur terbuka biasanya datang dengan suatu trauma, baik
trauma hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari tempat ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi atau
pukulan langsung oleh benda berat akan mengakibatkan prognosis jelek
dibanding trauma sederhana atau trauma olah raga. Faktor trauma kecepatan
rendah atau taruma kecepatan tinggi sangat penting dalam menentukan
klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak pada kerusakan jaringan itu
sendiri. Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita,
biomekanisme trauma, lokasi dan derajat nyeri serta faktor umur dan kondisi
penderita sebelum kejadian, seperti adanya riwayat hipertensi dan diabetes
melitus merupakan faktor yang penting untuk ditanyakan. Apabila trauma
yang menyebabkan fraktur adalah trauma ringan perlu dicurigai adanya lesi
patologi.12
Keluhan umum penderita adalah nyeri, memar, dan pembengkakan
merupakan gejala yang sering ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan
fraktur dari cedera jaringan lunak, sehingga perlu diperhatikan ada tidaknya
deformitas dan krepitasi karena lebih mendukung terjadinya fraktur. Selain
keluhan umum, pada anamnesis juga perlu ditanyakan trauma yang terjadi
merupakan trauma langsung atau trauma tidak langsung serta ada tidaknya
luka pada daerah trauma dan fraktur, penting juga menanyakan mengenai
gejala-gejala cedera yang berkaitan, seperti baal atau hilangnya gerakan, kulit
yang pucat atau sianosis, darah dalam urin, nyeri perut, hilangnya kesadaran
untuk sementara, juga tentang riwayat cedera sebelumnya dan kemungkinan
terjadinya fraktur di daerah lain.10,12

g. Pemeriksaan fisik
pemeriksaan generalisata meliputi pemeriksaan abc penderita, perhatikan
apakah terdapat gangguan pada airway, breathing, circulation and cervical
injury. Setelah melakukan pemeriksaan status generalis lanjutkan dengan
pemeriksaan status lokalis. Pemeriksaan lokalis yang harus dilakukan adalah
identisifikasi luka secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal dan
lesi. Pulsasi arteri bagian distal penderita hipotensi akan melemah dan dapat
menghilang sehingga dapat terjadi kesalahan penilaian vaskular. Apabila
disertai trauma kepala dan tulang belakang maka akan terjadi kelainan sensasi
nervus perifer dari distal lesi, serta perlu dilakukan pemeriksaan kulit untuk
kemungkinan terjadinya kontaminasi.13

Pemeriksaan lokal yang dilakukan, yaitu13:

1) Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas, berupa penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, ataupun pemendekan, mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak, kalau kulit robek dan luka
memiliki hubungan dengan fraktur menunjukkan bahwa fraktur tersebut
merupakan fraktur terbuka (compound).

2) Feel (palpasi)
Palpasi dilakukan untuk memeriksa temperatur setempat, nyeri tekan,
krepitasi, pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior atau sesuai anggota gerak
yang terkena, refilling atau pengisisann arteri pada kuku, warna kulit pada
bagian distal daerah trauma, serta pengukuran tungkai terutama pada tungkai
bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai. Palpasi juga
untuk memeriksa bagian distal dari fraktur merasakan nadi dan untuk menguji
sensasi. Trauma pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan
pembedahan.

3) Movement (pergerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih pnting untuk
menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal
cedera. Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi paroksimal dan distal dari daerah yang mengalami
trauma. Pemeriksaan pergerakan harus dilakukan secara hati-hati karena pada
penderita dengan fraktur setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat dan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
h. Pemeriksaan penunjang
1) X-ray
Dengan pemeriksaan klinis, biasanya sudah dapat mencurigai adanya
fraktur. Walaupun demikian, pemeriksaan radiologis diperlukan untuk
menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur dengan mengingat rule of
twos14:
a) Two views, minimal dua jenis proyeksi (anteroposterior dan lateral) harus diambil.
b) Two joints, sendi yang berada di atas dan di bawah dari fraktur harus difoto.
c) Two limbs, x-ray pada sisi anggota gerak yang tidak cidera dibutuhkan sebagai
pembanding.
d) Two injuries, trauma keras biasanya menyeabkan cidera lebih dari satu daerah
tulang. Maka dari itu, pada fraktur calcaneum atau femur, penting untuk
memfoto x-ray pada pelvis dan vertebra.
e) Two occasions, beberapa fraktur sulit kelihatan pada hasil foto x-ray pertama
sehingga pemeriksaan ulang x-ray dalam satu atau dua minggu kemudian
dapat menunjukkan lesi yang ada.
2) Pemeriksaan khusus
Ct scan dan mri memperlihatkan hasil yang lebih optimal pada cidera
tulang dan jaringan lunak, namun keduanya sering tidak diperlukan dalam
manejemen awal dari fraktur terbuka. (1) ct scan melihat lebih detail bagian
tulang sendi dengan membuat irisan foto lapis demi lapis. Mri digunakan
untuk mengidentifikasi cidera pada tendon, ligament, otot, tulang rawan, dan
tulang.

i. Tatalaksana
pasien dengan fraktur terbuka kemungkinan besar memiliki cidera
multipel, maka dari itu perlu dilakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan
prinsip penanganan trauma yaitu penilaian awal (primary survey) yang
bertujuan untuk menilai dan memberikan pengobatan sesuai dengan proritas
berdasarkan trauma yang dialami.14 penanganan pasien terdiri dari evaluasi
awal segera serta resusitasi fungsi vital, penanganan trauma, dan identifikasi
keadaan yang mengancam jiwa.
 A: airway, penilaian terhadap patensi jalan napas. Jika terdapat obstruksi jalan
napas, maka harus segera dibebaskan. Apabila dicurigai terdapat kelainan
pada vertebra servikalis maka dilakukan pemasangan collar neck.
 B: breathing, perlu diperhatikan dan dilihat secara menyeluruh daerah toraks
untuk menilai ventilasi pasien. Jalan napas yang bebas tidak menjadikan
pasien memiliki ventilasi yang adekuat. Jika terdapat gangguan
kardiovaskuler, respirasi atau gangguan neurologis, harus dilakukan bantuan
ventilasi menggunakan alat pernapasan berupa bag-valve-mask yang
disambung pada reservoir dan dialirkan oksigen.
 C: circulation, kontrol perdarahan meliputi dua hal, yaitu (1) volume darah
dan output jantung; (2) perdarahan, baik dari luar maupun dalam, dengan
perdarahan luar yang harus diatasi dengan balut tekan.
 D: disability, evaluasi neurologis secara cepat setelah satu survey awal dengan
menilai tingkat kesadaran menggunakan glasgow coma scale, besar dan reaksi
pupil, serta refleks cahaya.
 E: exposure, untuk melakukan pemeriksaan secara teliti dan menyeluruh maka
pakaian pasien perlu dilepas, selain itu perlu dicegah terjadinya hipotermi.

sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif


terhadap kasus fraktur, terdapat prinsip pengobatan 4r15 pada waktu
menangani fraktur, yakni sebagai berikut:

1) Rekognisi, menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadinnya kecelakaan


dan kemudian di rumah sakit. Riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis
kekuatan yang berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh
penderita sendiri menentukan apakah ada kemungkinan fraktur, dan apakah
diperlukan permeriksaan spesifik untuk mencari adanya fraktur. Perkiraan
diagnosis fraktur pada tempat kejadian dapat dilakukan sehubungan dengan
adanya nyeri dan bengkak lokal, kelainan bentuk, dan ketidakstabilan.
2) Reduksi, adalah reposisi fragmen-fragmen fraktur sedekat mungkin dengan
letak normalnya. Biasanya reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalankan prosedur. Harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetik diberikan untuk mengurangi nyeri selama
tindakan. Lebih baik mengerahkan semua tenaga pada percobaan pertama
yang biasanya dengan cepat akan mencapai reduksi yang memuaskan daripada
melakukannya dengan perlahan-lahan tetapi merusak lebih banyak jaringan
kulit.
3) Retensi, menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan. Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Sebagai aturan umum,
maka fiksasi eksterna yang dipasang untuk mempertahankan reduksi harus
melewati sendi di atas fraktur dan di bawah fraktur.
4) Rehabilitasi, direncanakan segera dan dilaksanakan bersamaan dengan
pengobatan fraktur untuk mengembalikan kekuatan otot, pergerakan sendi,
dan melatih pasien agar dapat kembali menjalankan aktivitas normal dalam
kesehariannya.
Ketika fraktur terbuka siap untuk ditangani, luka pertama kali
diinspeksi secara menyeluruh, apabila terdapat perdarahan eksternal segera di
stop dan jika terkontaminasi maka segera dibersihkan. Kemudian, luka difoto
untuk dokumentasi cidera yang baru terjadi, lalu luka ditutup dengan dressing
yang dibasahi dengan normal saline. Pasien diberikan antibiotik yang biasanya
co-amoxiclav atau cefuroxime, tapi clindamycin dipakai jika pasien alergi
terhadap penicillin. Juga diberikan profilaksis tetanus toxoid jika sebelumnya
telah diimunisasi atau antiserum jika belum diimunisasi. Bagian yang cidera
lalu dibidai sampai pembedahan siap dilakukan. Sirkulasi dan status
neurologis bagian distal dari fraktur harus dicek secara berkala, terutama
setelah maneuver reduksi fraktur telah dilakukan.14
Tatalaksana ditentukan dari tipe fraktur, karakteristik dari kerusakan
jaringan lunak (termasuk ukuran luka) dan derajat kontaminasi. Biasanya
banyak digunakan klasifikasi fraktur terbuka dari gustilo. Semua fraktur
terbuka, sesimpel apapun kelihatannya harus dianggap telah terkontaminasi.
Penting bagi kita untuk mencegah fraktur tersebut mengalami infeksi, berikut
merupakan tahapan tindakan operatif untuk fraktur terbuka

PEMBIDAIAN
PENDAHULUAN

1.        Latar belakang
Pembidaian adalah proses yang digunakan untuk imobilisasi fraktur  dan
dislokasi. Pembidaian harus memfixasi tulang yang patah dan persendian yang
berada di atas dan dibawah tulang yang fraktur. Jika yang cedera adalah sendi,
bidai harus memfixasi sendi tersebut beserta tulang disebelah distal dan
proximalnya.
Tujuan pembidaian :
a. Mencegah pergerakan/pergeseran dari ujung tulang yang patah.
b. Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang
patah.
c. Memberi istirahat pada anggota badan yang patah.
d. Mengurangi rasa nyeri.
e. Mempercepat penyembuhan
Beberapa macam jenis bidai :
a. Bidai keras. Mumnya terbuat dari kayu! Alumunium! Karton! Plastik
atau bahan lain yang kuat dan ringan. "ada dasarnya merupakan bidai
yang paling baik dan sempurna dalam keadaan darurat. Kesulitannya
adalah mendapatkan bahan yang memenuhi syarat di lapangan. Contoh
bidai kayu! Bidai udara! Bidai &akum. 
b. Bidai traksi.bidai bentuk jadi dan ber&ariasi tergantung dari
pembuatannya! Hanya dipergunakan oleh tenaga yang terlatih khusus!
Umumnya dipakai pada patah tulang paha.contoh  bidai traksi tulang
paha.
c. Bidai impro&isasi.bidai yang dibuat dengan bahan yang cukup kuat
dan ringan untuk penopang. "embuatannya sangat tergantung dari
bahan yang tersedia dan kemampuan impro&isasi si
penolong.contoh  majalah! Koran! Karton dan lain'lain.
d. (endongan/belat dan bebat."embidaian dengan menggunakan
pembalut! Umumnya dipakai mitela )kain segitiga dan memanfaatkan
tubuh penderita sebagai sarana untuk menghentikan pergerakan daerah
cedera.

2.        Rumusan malah
a. Prinsip pembidaian 
b. Teknik pembidaian pada berbagai lokasi cedera
c. Jenis pembidaian 
d. Indikasi pembidaian 
e. Kontra indikasi pembidaian 
f. Komplikasi pembidaian 
g. Tujuan pembidaian 
h. Evaluasi pasca pembidaian 

3.        Tujuan
a. Apa saja prinsip pembidaian dalam ppc ?
b. Teknik-teknik apa saja dalam  pembidaian pada berbagai lokasi
cedera ?
c. Apa-apa saja jenis pembidaian ? 
d. Bagaimana indikasi pembidaian  ?
e. Kontra indikasi pembidaian ?
f. Komplikasi pembidaian  ?
g. Mengetahui tujuan pembidaian ? 
h. Mengetahui evaluasi pasca pembidaian. 

PEMBAHASAN

A. Prinsip pembidaian
Lakukan pembidaian di mana anggota badan mengalami cedera (korban
jangan dipindahkan sebelum dibidai). Korban dengan dugaan fraktur lebih
aman dipindahkan ketandu medis darurat setelah dilakukan tindakan
perawatan luka, pembalutan danpembidaian. Lakukan juga pembidaian pada
persangkaan patah tulang, jadi tidak perlu harus dipastikan dulu ada tidaknya
patah tulang. Kemungkinan fraktur harus selalu dipikirkan setiap
terjadikecelakaan akibat benturan yang keras. Apabila ada keraguan,
perlakukan sebagai fraktur.

B. Prinsip umum dalam tindakan pembidaian  


1. p e m b i d a i a n m i n i m a l m e l i p u t i 2 s e n d i ( p r o k s i m a l d a n
d i s t a l d a e r a h fraktur). Sendi yang masuk dalam pembidaian
adalah sendi di bawahdan di atas patah tulang. Sebagai contoh, jika
tungkai bawah mengalami fraktur, maka bidai harus bisa mengimobilisasi
pergelangan kaki maupun lutut.
2. luruskan posisi korban dan posisi anggota gerak yang mengalami
frakturmaupun dislokasi secara perlahan dan berhati-hati dan jangan
sampai memaksakan gerakan. Jika terjadi kesulitan dalam
meluruskan, maka pembidaian dilakukan apa adanya. Pada
trauma sekitar sendi,pembidian harus mencakup tulang dibagian
proksimal dan sistal.
3. fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan, dapat
terbantudengan traksi atau tarikan ringan ketika pembidaian
4. jika saat dilakukan tarikan terdapat tahanan yang kuat, krepitasi,
atau pasien merasakanpeningkatan rasa nyeri, jangan mencoba
untuk melakukan traksi. Jikaanda telah berhasil melakukan traksi,
jangan melepaskan tarikansebelum ekstremitas yang mengalami
fraktur telah terfiksasi dengan b a i k , k a r e n a k e d u a u j u n g
tulang yang terpisah dapat menyebabkantambahan
kerusakan jaringan dan beresiko untuk mencederai
s a r a f   atau pembuluh darah.
5. beri bantalan empuk dan penopang pada anggota gerak yang
dibidaiterutama pada daerah tubuh yang
keras/peka(lutut,siku,ketiak,dll),yang sekaligus untuk mengisi sela antara
ekstremitas dengan bidai.
6. ikatlah bidai di atas dan bawah luka/fraktur. Jangan mengikat
tepat dibagian yang luka/fraktur. Sebaiknya dilakukan sebanyak 4 ikatan
padabidai, yakni pada beberapa titik yang berada pada posisi :
a. Superior dari sendi proximal dari lokasi fraktur
b. Diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan pertama
c. Inferior dari sendi distal dari lokasi fraktur
d. Diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan ketiga (point c)
7. pastikan bahwa bidai telah rapat, namun jangan terlalu ketat
sehinggamengganggu sirkulasi pada ekstremitas yang dibidai.
Pastikan bahwapemasangan bidai telah mampu mencegah
pergerakan atauperegangan pada bagian yang cedera.
8. pastikan bahwa ujung bidai tidak menekan ketiak atau pantat
9. h a r u s s e l a l u d i i n g a t b a h w a i m p r o v i s a s i s e r i n g k a l i
d i p e r l u k a n d a l a m tindakan pembidaian. Sebagai contoh, jika tidak
ditemukan bahan yangsesuai untuk membidai, cedera pada tungkai
bawah seringkali dapatdilindungi dengan merekatkan tungkai yang
cedera pada tungkai yangtidak terluka. Demikian pula bisa
diterapkan pada fraktur jari, dengan merekatkan pada jari
disebelahnya sebagai perlindungan sementara.
10. kantong es dapat dipasang dalam bidai dengan terlebih dahuludibungkus
dengan perban elastis. Harus diberikan perhatian khusus
untukm e l e p a s k a n k a n t o n g e s s e c a r a b e r k a l a u n t u k
m e n c e g a h “ c o l d i n j u r y ” pada jaringan lunak.
C. Teknik pembidaian pada berbagai lokasi cedera
1. Fraktur cranium dan tulang wajah
      pada fraktur cranium dan tulang wajah, hindarilah melakukan
penekanan pada tempatyang dicurigai mengalami fraktur. Pada
fraktur ini harus dicurigai adanya fraktur tulang belakang, sehingga
seharusnya dilakukan imobilisasi tulang belakang. Ada beberapa bidaikhusus
yang digunakan untuk fiksasi fraktur tulang wajah (bersifat bidai definitif),
namun tidak dibahas pada sesi ini karena biasanya dilakukan oleh para ahli.
2. Pembidaian leher
     dalam kondisi darurat, bisa dilakukan pembidaian
d e n g a n p e m b a l u t a n . P e m b a l u t a n   dilakukan dengan hati-hati
tanpa menggerakkan bagian leher dan kepala. Pembalutan dianggap
efektif jika mampu meminimalisasi pergerakan daerah leher.jika tersedia,
fixasi leher paling baik dilakukan menggunakan
3. Tulang klavikula
       terapi definitif untuk fraktur klavikula biasanya dilakukan secara
konservatif yaitu dengan“ransel bandage” (lihat gambar 2). Pembebatan yang
efektif akan berfungsi untuk traksidan fiksasi, sehingga kedua ujung fragmen
fraktur bisa bertemu kembali pada posisi yangseanatomis mungkin, sehingga
memungkinkan penyembuhan fraktur dengan hasil yangcukup baik.
4. Tulang iga
       perhatian utama pada kondisi suspect fraktur costae adalah upaya untuk
mencegah bagian patahan tulang agar tidak melukai paru. Upaya terbaik yang
bisa dilakukan sebagai pertolongan pertama di lapangan sebelum pasien
dibawa dalam perjalanan ke rumah sakit adalah memasang bantalan dan
balutan lembut pada dinding dada, memasang sling untuk merekatkan lengan
pada sisi dada yang mengalami cedera sedemikian sehingga menempelsecara
nyaman pada dada.

5. Lengan atas
a. p a s a n g l a h sling (kain segitiga) untuk gendongan
l e n g a n b a w a h , s e d e m i k i a n s e h i n g g a s e n d i s i k u membentuk
sudut 90%, dengan cara
b. letakkan kain sling di sisi bawah lengan. Apex dari sling berada pada
siku, dan puncak d a r i s l i n g b e r a d a p a d a b a h u s i s i l e n g a n
y a n g t i d a k c e d e r a . P o s i s i k a n l e n g a n b a w a h sedemikian
sehingga posisi tangan sedikit terangkat (kira-kira membentuk
sudut 10°).ikatlah dua ujung sling pada bahu dimaksud.
Gulunglah apex dari sling, dan sisipkan di sisi siku.
c. posisikan lengan atas yang mengalami fraktur agar menempel
rapat pada bagian sisilateral dinding thoraks
d. p a s a n g l a h b i d a i y a n g t e l a h d i b a l u t k a i n / k a s s a
p a d a s i s i l a t e r a l l e n g a n a t a s y a n g mengalami fraktur.-
bebatlah lengan atas diantara papan bidai (di sisi lateral) dan
dinding thorax (pada sisimedial).
e. jika tidak tersedia papan bidai, fiksasi bisa dilakukan dengan
pembebatan menggunakan kain yang lebar.
1) Fraktur tangan dan pergelangan tangan
Ekstremitas ini seharusnya dibidai dalam “posisi dari fungsi
mekanik”, yakni posisi yangsenatural mungkin. Posisi natural
tangan adalah pada posisi seperti sedang menggenggamsebuah
bola softball. Gulungan pakaian atau bahan bantalan yang
lain dapat diletakkanpada telapak tangan sebelum tangan dibalut.
2) Tulang punggung
Pasien yang dicurigai menderita fraktur tulang
belakang/punggung, harus dibidaimenggunakan spine board atau
bahan yang semirip mungkin dengan spine board.
3) Fraktur/dislokasi sendi lutut 
Cedera lutut membutuhkan bidai yang memanjang
antara pinggulsampai dengan pergelangan kaki. Bidai ini
dipasang pada sisibelakang tungkai dan pantat
4) Fraktur panggul
Fraktur panggul lebih sering terjadi pada orang tua.
Jika seseorangyang berusia tua terjatuh dan mengeluhkan
nyeri daerah panggul,maka sebaiknya dianggap mengalami
fraktur.
5) Apalagi jika pasien tidak bisa menggerakkan tungkai, atau
ditemukan pemendekandan atau rotasi pada tungkai
(biasanya kearah lateral.
Pemindahan pasien yang dicurigai menderita fraktur
panggulharus menggunakan tandu. Tungkai yang mengalami
cedera diamankan dengan merapatkan pada tungkai yang
tidak cedera sebagai bidai.anda bisa melakukan penarikan/traksi
untuk mengurangi rasa nyeri, jika perjalanan menuju rumah
sakit cukupjauh, dan terdapat orang yang bisa menggantikan anda
saat andasudah kelelahan.
6) Fraktur/dislokasi pergelangan kaki
Cedera pergelangan kaki terkadang bisa diimobilisasi
cukupdengan menggunakan pembalutan. Gunakan pola figure
of eight: dimulai dari sisi bawah kaki, melalui sisi atas
kaki,mengelilingi pergelangan kaki, ke belakang melalui sisi
ataskaki, kesisi bawah kaki, dan demikian seterusnya.
Bidai penahan juga bisa dipasang sepanjang sisi
belakangdan sisi lateral pergelangan kaki untuk
mencegahpergerakan yang berlebihan. Saat melalukan
tindakanimobilisasi pergelangan kaki, posisi kaki harus selalu
dijagapada sudut yang benar
D. Jenis pembidaian
1. Pembidaian sebagai tindakan pertolongan sementara
        dilakukan di tempat cedera sebelum penderita dibawa ke rumah
sakit.bahan untuk bidai bersifat sederhana dan apa adanya.bertujuan
untuk mengurangi rasa nyeri dan menghindarkan kerusakan yang
lebihberat.b i s a d i l a k u k a n o l e h s i a p a p u n y a n g s u d a h
m e n g e t a h u i p r i n s i p d a n t e k n i k d a s a r   pembidaian.
2. Pembidaian sebagai tindakan pertolongan definitif 
        dilakukan di fasilitas layanan kesehatan (klinik atau rumah
sakit).pembidaian dilakukan untuk proses penyembuhan
fraktur/dislokasi.menggunakan alat dan bahan khusus sesuai standar
pelayanan (gips, dll).harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah
terlatih

E. Indikasi pembidaian
1. Adanya fraktur, baik terbuka maupun tertutup
2. Adanya kecurigaan terjadinya fraktur
3. Dislokasi persendian
4. Kecurigaan adanya fraktur bisa dimunculkan jika pada salah
satu bagiantubuh ditemukan :
5. Pasien merasakan tulangnya terasa patah atau mendengar
bunyi krek.
6. Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang sehat, atau
mengalamiangulasi abnormal
7. Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cedera
posisi ekstremitas yang abnormal
8. Memar
9. Bengkak 
10. Perubahan bentuk 
11. Nyeri gerak aktif dan pasif 
12. Nyeri sumbu
13. Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika menggerakkan
ekstremitasyang mengalami cedera (krepitasi)  perdarahan
bisa ada atau tidak 
14. Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal lokasi
cedera
15. Kram otot di sekitar lokasi cedera

F. Kontra indikasi pembidaian


            pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran napas,
pernapasandan sirkulasi penderita sudah distabilisasi. Jika terdapat gangguan
sirkulasidan atau gangguan persyarafan yang berat pada distal daerah
fraktur, jikaada resiko memperlambat sampainya penderita ke rumah sakit,
sebaiknyapembidaian tidak perlu dilakukan.
  
G. Komplikasi pembidaian
            jika dilakukan tidak sesuai dengan standar tindakan, beberapa hal
berikut bisa ditimbulkan oleh tindakan pembidaian :
1. Cedera pembuluh darah, saraf atau jaringan lain di sekitar fraktur
olehujung fragmen fraktur, jika dilakukan upaya meluruskan atau
manipulasilainnya pada bagian tubuh yang mengalami fraktur
saat memasang bidai.
2. Gangguan sirkulasi atau saraf akibat pembidaian yang terlalu ketat. 
3. Keterlambatan transport penderita ke rumah sakit, jika
penderitamenunggu terlalu lama selama proses pembidaian.

H. Tujuan pembidaian
1. Untuk mencegah gerakan fragmen patah tulang atau sendi yang
mengalami dislokasi.
2. Untuk meminimalisasi / mencegah kerusakan pada jaringan lunak
sekitar tulang yang patah.
3. Untuk mengurangi perdarahan & bengkak yang timbul.
4. Untuk mencegah terjadinya syok. 
5. Untuk mengurangi nyeri.
6. Mempercepat penyembuhan.
I. Evaluasi pasca pembidaian
            periksa sirkulasi daerah ujung pembidaian. Misalnya jika membidai
lenganmaka periksa sirkulasi dengan memencet kuku ibu jari selama
kurang lebih 5detik. Kuku akan berwarna putih kemudian kembali merah
dalam waktukurang dari 2 detik setelah dilepaskan.
            pemeriksaan denyut nadi dan raba seharusnya diperiksa di
bagian bawah bidai paling tidak satu jam sekali. Jika pasien
mengeluh terlalu ketat,atau kesemutan, maka pembalut harus
dilepas seluruhnya. Dan kemudian  bidai di pasang kembali dengan lebih
longgar.
Tekan sebagian kuku hingga putih, kemudian lepaskan.kalau 1-2 detik
berubah menjadi merah, berarti balutan bagus. Kalau lebihdari 1-2 detik tidak
berubah warna menjadi merah, maka longgarkan lagi balutan, itu artinya
terlalu keras.
meraba denyut arteri dorsalis pedis pada kaki  (untuk kasus di kaki).bila
tidak teraba, maka balutan kita buka dan longgarkan.meraba denyut arteri
radialis pada tangan untuk kasus di tangan. Bilatidak teraba, maka balutan
kita buka dan longgarkan.

Anda mungkin juga menyukai