Anda di halaman 1dari 18

Masalah dan Situasi Kesehatan Ibu dan Anak Global

Millenium Development Goals (MDGs) merupakan komitmen nasional dan global dalam upaya lebih menyejahterakan masyarakat

melalui pengurangan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan, pemberdayaan perempuan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan. 8 (delapan)

tujuan (goals) menjadi komitmen MDGs mencakup: (1) Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan; (2) Mencapai Pendidikan Dasar untuk

Semua; (3) Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan; (4) Menurunkan Angka Kematian Anak; (5) Meningkatkan

Kesehatan Ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular lainnya; (7) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup; dan (8)

Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.

Gizi ibu dan anak telah meluas dan merusak kondisi berpenghasilan rendah dan menengah seluruh negara. Sebuah kerangka yang

dikembangkan oleh UNICEF mengakui dasar dan mendasari penyebab gizi, termasuk, lingkungan ekonomi, dan faktor-faktor kontekstual

sosial politik, dengan kemiskinan memiliki Peran sentral (Ezzati, dkk, 2005). Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) negara yaitu untuk

mengurangi separuh antara tahun 1990 dan 2015 proporsi orang yang menderita kelaparan. Salah satu dari 7 indikator untuk memantau

kemajuan untuk target ini adalah proporsi anak yang kurus-yaitu, berat badan rendah dibandingkan dengan yang diharapkan untuk anak

seusia dan jenis kelamin yang sama. Indikator antropometrik ini dapat menunjukkan wasting (yaitu, rendah berat badan, menunjukkan berat

badan akut yang hilang), dan pengerdilan/stunting (yaitu, rendah tinggi badan untuk-usia yang normal, disebut juga kelainan kronis. Kedua

kondisi tersebut memerlukan penanganan yang berbeda (Caufleld, dkk, 2004).

Ibu bertubuh pendek dan indeks massa tubuh rendah di masa kehamilan dan menyusui mengalami kekurangan gizi, termasuk

energi kronis dan defisiensi mikronutrien, lazim di banyak daerah, terutama Asia Selatan Tengah, di mana di beberapa negara lebih dari

10% dari wanita usia 15-49 tahun mengalami stunting lebih pendek dari 145 cm.

Masalah serius kurang gizi pada ibu yang ditandai dengan indeks massa tubuh kurang dari 18,5 kg di sebagian besar negara di sub-

Sahara Afrika, selatan-tengah dan tenggara Asia, dan di Yaman, di mana lebih dari 20% wanita memiliki indeks massa tubuh kurang dari

18,5 kg /m². Dengan prevalensi rendah indeks massa tubuh sekitar 40% pada perempuan, situasi dapat dianggap penting di India,

Bangladesh, dan Eritrea. Ibu bertubuh pendek dan rendah indeks massa tubuh memiliki pengaruh buruk pada hasil kehamilan nanti. Status

gizi seorang wanita sebelum dan selama kehamilan adalah penting untuk hasil kehamilan yang sehat. Perawakan pendek ibu merupakan

faktor risiko untuk kehamilan caesar, terutama terkait dengan disproporsi cephalopelvic (Kramer MS, 1987). Kurang Gizi pada ibu memiliki

efek pada volume atau komposisi ASI kecuali malnutrisi parah. Konsentrasi dari beberapa mikronutrien (vitamin A, iodium, thiamin,

riboflavin, pyridoxine, dan cobalamin) dalam ASI tergantung dari asupan dan status ibu sehingga risiko bayi kecil meningkat akibat

defisiensi gizi pada ibu (Allen LH, 1994).

1.      Kematian Ibu

Kematian ibu merupakan kematian ibu selama kehamilan, melahirkan, atau dalam 42 hari setelah melahirkan. Diperkirakan ada

342.900 (interval 302.100-394.300) kematian ibu di seluruh dunia pada tahun 2008, turun dari 526.300 (446.400-629.600) pada tahun 1980.

Rasio kematian ibu global yang menurun dari 422 (358-505) pada 1980-320 (272-388) pada tahun 1990, dan 251 (221-289) per 100.000

kelahiran hidup pada tahun 2008. Tingkat tahunan penurunan rasio kematian ibu dunia sejak tahun 1990 adalah 1,3% (1,0 -1,5). Selama

1990-2008, tingkat penurunan tahunan rasio kematian ibu bervariasi antara negara, dari 8,8% (8,7 -14.1) di Maladewa peningkatan dari

5,5% (5,2 -5 · 6) di Zimbabwe. Lebih dari 50% dari semua ibu kematian berada di hanya enam negara pada tahun 2008 (India, Nigeria,

Pakistan, Afghanistan, Ethiopia, dan Demokrat Republik Kongo). Dengan tidak adanya HIV, akan ada 281.500 (243.900-327.900) kematian

ibu di seluruh dunia pada tahun 2008.

Kecenderungan jumlah kematian global dengan terjadinya HIV epidemi di awal 1990-an, terdapat perlambatan dalam penurunan

kematian ibu global, dengan tingkat penurunan dari 1,8% antara tahun 1980 dan 1990 dan 1,4% dari tahun 1990 sampai 2008. MMR

menunjukkan penurunan yang konsisten yang sama; kami memperkirakan MMR global untuk menjadi 251 (221-289) per 100.000 kelahiran

hidup pada tahun 2008, turun dari 320 (272-388) pada tahun 1990 dan 422 (358-505) pada tahun 1980, yang merupakan tingkat tahunan

penurunan dari 1,8%. Sebagai perbandingan, target MDG dari 75% pengurangan dari tahun 1990 MMRs pada tahun 2015 akan memerlukan
tingkat penurunan tahunan sebesar 5,5%. Dengan tidak adanya prevalensi HIV, kami memperkirakan bahwa MMR global pada tahun 2008

akan menjadi 206 (179-240).

2.      Angka Kematian Bayi

Tingkat kematian di seluruh dunia untuk anak balita menurun terus menerus dari dasar MDG pada tahun 1990 untuk hadir pada

tingkat tahunan sebesar 2,2% (Interval ketidakpastian 1,8 -2,6). Pada tahun 2011, ada 7.2 (6.6 -7,8) juta kematian pada anak balita. Fraksi

kematian di sub-Sahara Afrika telah meningkat dari 33% (3,9 juta dari 11,6 juta) pada tahun 1990 menjadi 49% (3,5 juta dari 7,2 juta) pada

tahun 2011. Kontribusi kematian di utara Afrika dan Timur Tengah telah menurun dari 5,7% (0,66 juta 11,6 juta) menjadi 3,7% (0,27 juta

dari 7,2 juta) selama periode yang sama. Asia Selatan masih menyumbang sepertiga dari kematian di seluruh dunia anak-anak muda dari 5

tahun pada tahun 2011. Selama periode yang sama, awal neonatal, akhir neonatal, postneonatal, dan masa kanak-kanak (usia 1-4 tahun)

angka kematian menurun setiap tahun sebesar 1.7%, 2.7%, 2.5%, dan 2.4% masing-masing Di seluruh dunia, awal angka kematian neonatal

telah menjadi paling lambat menurun, meskipun tingkat kemajuan pada usia ini adalah heterogen seluruh daerah.

Jumlah terbesar kematian berada di wilayah Afrika (4.199.000) dan di wilayah Asia Tenggara (2,390 juta). Kedua wilayah itu

berbeda pola penyebab kematian: proporsi yang lebih rendah dari kematian neonatal terjadi di wilayah Afrika daripada di tenggara Asian

3.      Gizi kurang, stunting, dan wasting

Prevalensi gizi kurang, pendek, dan kurus di seluruh dunia dan untuk daerah PBB didasarkan pada analisis 388 dari survei nasional

dari 139 negara, menerapkan metode perbandingan, termasuk penggunaan Standards Pertumbuhan Anak baru WHO tahun 2005, 20% dari

anak-anak balita di negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki berat badan menurut umur Z skor kurang dari -2. Prevalensi

tertinggi terjadi di Asia selatan-tengah dan Afrika timur di mana 33% dan 28%, masing-masing, yang underweight. Untuk semua negara-

negara berkembang, diperkirakan 32% (178 juta) anak-anak balita memiliki tinggi menurut umur Z skor kurang dari -2 tahun 2005. Timur

tengah dan Afrika memiliki prevalensi tertinggi perkiraan dalam subregional PBB dengan 50% dan 42%, masing-masing, sejumlah besar

anak-anak mengalami stunting, 74 juta, hidup di Asia tengah-selatan. Dari 40 negara dengan prevalensi pengerdilan anak dari 40% atau

lebih, 23 berada di Afrika, 16 di Asia, dan satu diAmerika Latin, dan dari 52 negara dengan prevalensi kurang dari 20%, 17 berada di

Amerika Latin dan Karibia, 16 di Asia, 11 di Eropa, dan empat masing-masing di Afrika dan Oseania.

4.      Defisiensi Seng

Group International Consultative Gizi Seng mengusulkan metode untuk penilaian dari penduduk risiko defi siensi seng berdasarkan

indikator tidak langsung-yaitu, prevalensi stunting, salah satu klinik manifestasi dari defi siensi seng, dan kecukupan absorpsi seng dalam

penyediaan makanan di tingkat Negara. Negara beresiko tinggi defisiensi seng adalah negara dengan prevalensi stunting > 20% dan

prevalensi estimasi asupan seng tidak memadai > 25%, negara-negara yang berisiko rendah defi siensi seng adalah negara dengan prevalensi

stunting < 10% dan asupan seng tidak memadai <dari 15%; negara beresiko sedang defisiensi seng adalah Negara dengan semua kombinasi

lain dari kategori prevalensi stunting dan kecukupan seng dalam penyediaan makanan. Prevalensi Nasional seng defisiensi tertinggi di Asia

selatan, sebagian besar dari sub-Sahara Afrika, dan bagian Tengah dan Amerika Selatan

5.       Anemia Defisiensi Besi

Menurut review WHO survei perwakilan nasional 1993-2005, 42% dari wanita hamil dan 47% dari anak-anak prasekolah di seluruh

dunia memiliki anemia.75 Untuk analisis ini, 60% dari anemia ini diasumsikan karena defi siensi besi dalam non-malaria daerah dan 50% di

daerah malaria. 76 Penyebab utama besi defisiensi anemia rendah konsumsi daging, ikan, atau unggas, terutama di daerah orang miskin. 77

Pada anak-anak prevalensi puncak anemia defisiensi besi terjadi sekitar usia 18 bulan. Wanita usia subur berada pada risiko tinggi untuk

keseimbangan besi negatif karena kehilangan darah saat menstruasi dan besi secara substansial dibutuhkan saat kehamilan.

6.      BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

Bayi yang dilahirkan prematur (yaitu, yang telah menyelesaikan 37 minggu kehamilan), tetapi berat lahir rendah (<2500 g)

cenderung memiliki perlambatan pertumbuhan intrauterin, kami akan mengacu kelompok ini sebagai pembatasan pertumbuhan intrauterin

berat lahir rendah. Berbagai langkah yang digunakan untuk memperkirakanprevalensi kondisi ini, yang dalam negara berkembang hadir

dalam 10,8% dari kelahiran hidup setiap tahun. Proporsi bayi lahir dengan berat 1500-1999 gram dan 2000-2499 gram diperkirakan dengan
data set dari 5 negara. Proporsi tersebut menjadi data regional dan nasional dengan estimasi bahwa bayi lahir secara global 9.55% dengan

berat 2000-2499 gram dan 1.26% dengan 1500-1999 gram.

7.      ASI Ekslusif

Rekomendasi makanan untuk anak adalah ASI ekslusif pada 6 bulan pertama kehidupan dan dilanjutkan ASI sampai 2 tahun

kehidupan . di Afrika, Asia dan Amerika Latin dan Karibia hanya 47-57% bayi di bawah 2 tahun yang menyusui secara ekslusif. Untuk anak

usia 2-5 bulan persentase jatuh menjadi 25-30%. Untuk anak usia 6-11 bulan, 6% di Afrika dan 10% di Asia telah berhenti menyusui, 32%

di Amerika latin dan Karibia.

C.      Masalah dan Situasi kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia

Sebanyak 20 provinsi masih memiliki masalah besar untuk kesehatan ibu dan anak sehingga Indonesia diperkirakan tidak dapat

memenuhi target MDG untuk penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) jika tidak dilakukan intervensi.

Provinsi-provinsi itu menjadi prioritas dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak. Untuk daerah yang menyumbangkan jumlah kematian ibu

dan bayi paling besar akan dilakukan intervensi melalui Program EMAS.

Program EMAS atau Expanding Maternal and Neonatal Survival bertujuan untuk menurunkan 25 persen jumlah kematian ibu dan

anak melalui penguatan pada kualitas pelayanan kesehatan yang akan dijalankan di enam provinsi yang menyumbangkan jumlah kematian

dan anak terbesar yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Sedangkan 20 provinsi yang memiliki masalah kesehatan ibu dan anak tinggi adalah Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan,

Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Papua dan Papua Barat.

Kebijakan operasional dalam percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi akan menggunakan pendekatan layanan

berkelanjutan. Layanan berkelanjutan diberikan sejak bayi masih berada dalam kandungan hingga 1.000 hari pertama kehidupan bayi. Untuk

melaksanakan program tersebut, Kementerian Kesehatan juga melakukan perbaikan fasilitas kesehatan seperti meningkatkan kualitas

pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas (PONED) dan

fasilitas swasta. Selain itu, juga dilakukan penguatan sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit.

Sejak tahun 2011, Pemerintah juga menjalankan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang membebaskan biaya bersalin bagi

ibu hamil yang tidak memiliki asuransi kesehatan, dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Menurut Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka kematian ibu di Indonesia masih sebesar 228 per 100 ribu kelahiran hidup,

masih cukup jauh dari target MDG sebesar 102 per 100 ribu kelahiran hidup.  Penyebab utama kematian pada ibu adalah perdarahan dan

eklampsia (50 persen kasus) dan 45 persen sisanya disebabkan oleh penyebab tidak langsung seperti infeksi, penyakit jantung, hipertensi,

diabetes mellitus dan epilepsi. Berikut ini adalah daftar beberapa masalah kesehatan anak Indonesia:

1.      Gizi Buruk

Pemahaman orang tua akan pentingnya pemenuhan gizi bagi anak masih belum maksimal terutama pada orang tua di daerah.

Minimnya pendidikan serta tingginya kepercayaan masyarakat terhadap mitos membuat masalah gizi buruk ini menjadi agak susah untuk

ditangani. Dan tentu saja, faktor kemiskinan memegang peranan penting pada masalah kesehatan anak Indonesia ini.

2.      ASI

Apapun alasannya, ASI tetap yang terbaik bagi bayi dan anak. Namun sayangnya, tidak banyak orang tua yang sadar dan

mengetahui bahwa ASI bisa membantu anak untuk memiliki sistem kekebalan tubuh yang prima sehingga banyak orang tua yang cenderung

memilih untuk memberikan susu formula bila dibanding dengan memberikan ASI bagi anak mereka. Tenaga kesehatan, baik itu bidan,

dokter, dll memegang peranan penting untuk bisa mensosialisasikan tentang pentingnya ASI bagi kesehatan anak Indonesa.

3.      Imunisasi

Walaupun masih terjadi pro dan kontra di masyarakat tentang arti pentingnya imunisasi, namun yang perlu digaris bawahi adalah

imunisasi merupakan salah satu upaya orang tua untuk mengantisipasi anak mereka supaya tidak terpapar beberapa jenis penyakit.
4.      Kekurangan Zat Besi
Bisa dibilang hampir sebagian besar anak Indonesia kekurangan zat besi karena
sebenarnya sejak usia 4 bulan bayi harus diberi tambahan zat besi. Namun tidak semua orang
tua menyadari dan mengetahui masalah ini. Kekurangan zat besi atau yang terkadang disebut
dengan defisiensi zat besi akan berdampak bagi pertumbuhan anak di kemudian hari. Oleh
karena itu, ini merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian orang tua.
5.      Kekurangan Vitamin A
Mata adalah salah satu indera yang berperan penting bagi masa depan anak. Kekurangan
vitamin A bisa menyebabkan berbagai masalah penyakit mata yang tentu saja bila tidak
ditangani dengan baik bisa menyebabkan kebutaan. Oleh karena itu, sebaiknya sejak hamil
ibu sudah harus mulai memperhatikan asupan vitamin A sesuai dengan kebutuhan.
6.      Kekurangan Yodium
Ini merupakan masalah klasik bagi kesehatan anak Indonesia. Banyak ditemukan anak
Indonesia yang kekurangan yodium sehingga menderita penyakit pembengkakan kelenjar
gondok. Seorang ibu yang pada saat hamil menderita penyakit pembengkakan kelenjar
gondok secara otomatis akan melahirkan bayi yang kekurangan yodium. 
7.      Angka Kematian Ibu

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga

merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan

ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yang

dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan

millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus. Pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan terus

meningkat secara bertahap. Pada tahun 2007, pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan mencapai 46,1 persen dari total persalinan (SDKI,

2007). Angka tersebut meningkat menjadi 59,4 persen pada tahun 2010 (Data Sementara Riskesdas, 2010). Namun demikian, masih terjadi

disparitas antarwilayah, antarkota-desa, antara tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Disparitas antarwilayah, tertinggi di Bali sebesar

90,8 persen dan terendah di Sulawesi Tenggara sebesar 8,4 persen. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah dan swasta) lebih

tinggi di daerah perkotaan (70,3 persen) dibanding di daerah perdesaan (28,9 persen).

Pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan terus meningkat secara bertahap. Pada tahun 2007, pertolongan persalinan di fasilitas

kesehatan mencapai 46,1 persen dari total persalinan (SDKI, 2007). Angka tersebut meningkat menjadi 59,4 persen pada tahun 2010 (Data

Sementara Riskesdas, 2010). Namun demikian, masih terjadi disparitas antarwilayah, antarkota-desa, antara tingkat pendidikan dan tingkat

ekonomi. Disparitas antarwilayah, tertinggi di Bali sebesar 90,8 persen dan terendah di Sulawesi Tenggara sebesar 8,4 persen. Persentase

persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah dan swasta) lebih tinggi di daerah perkotaan (70,3 persen) dibanding di daerah perdesaan (28,9

persen). Ibu dengan tingkat pendidikan rendah cenderung bersalin di rumah dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih tinggi

(masing-masing 81,4 dibanding 28,2 persen). Ibu dengan kuintil tingkat pengeluaran terendah hampir lima kali lebih besar melakukan

persalinan di rumah dibandingkan dengan ibu dengan kuintil tingkat pengeluaran tertinggi (masing-masing 84,8 dan 15,5

persen).  Pelayanan antenatal (antenatal care/ANC) penting untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan dan menjamin ibu untuk

melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Para ibu yang tidak mendapatkan pelayanan antenatal cenderung bersalin di rumah (86,7

persen)  dibandingkan dengan ibu yang melakukan empat kali kunjungan pelayanan antenatal atau lebih (45,2 persen). Sekitar 93 persen ibu

hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa kehamilan (Gambar 4). Terdapat 81,5 persen ibu

hamil yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun yang melakukan empat kali

kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan baru mencapai 65,5 persen. Meski cakupan ANC cukup tinggi, diperlukan perhatian khusus

karena penurunan angka kematian ibu masih jauh dari target. Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah kualitas layanan ANC

untuk memastikan diagnosis dini dan perawatan yang tepat, di samping pendekatan kesehatan ibu hamil yang terpadu dan menyeluruh.
8.      Kematian Anak

Kesehatan anak Indonesia terus membaik yang ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian balita, bayi maupun neonatal.

Angka kematian balita menurun dari 97 pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI). Begitu pula dengan

angka kematian bayi menurun dari 68 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada periode yang sama. Angka kematian neonatal juga

menurun walaupun relatif lebih lambat, yaitu dari 32 menjadi 19 kematian per 1.000 kelahiran hidup.

Disparitas angka kematian balita, bayi dan neonatal antarwilayah, antar status sosial dan ekonomi masih merupakan masalah. Angka

kematian balita tertinggi di Provinsi Sulbar sedangkan terendah di DI Yogyakarta (22). Angka kematian anak pada ibu dengan tingkat

pendidikan rendah lebih tinggi daripada ibu yang berpendidikan tinggi. Angka kematian anak pada keluarga kaya lebih rendah jika

dibandingkan pada keluarga miskin.

Sebagian besar penyebab kematian balita, bayi dan neonatal dapat dicegah. Salah satu pencegahan yang efektif adalah pemberian

imunisasi. Secara keseluruhan, cakupan program imunisasi lengkap terus meningkat. Selama periode 2002-2005, cakupan beberapa program

imunisasi utama - yaitu BCG, DPT3, dan hepatitis - masing-masing telah meningkat mencapai 82 persen, 88 persen, dan 72 persen.

Sementara itu, cakupan nasional imunisasi campak pada tahun 2007 mencapai 67 persen (SDKI, 2007). Terdapat 18 provinsi dengan

cakupan imunisasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi dengan cakupan terendah adalah Sumatera Utara (36,6 persen),

Aceh (40,9 persen), dan Papua (49,9 persen). Sedangkan provinsi dengan cakupan tertinggi adalah DI Yogyakarta dengan cakupan 94,8

persen (Gambar 14). Cakupan nasional imunisasi campak terus meningkat menjadi sebesar 74,5 persen pada tahun 2010 (Data Sementara

Riskesdas, 2010).

D.      Upaya Pemerintah Dalam Menurunkan Angka Kematian dan Kesakitan


Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk mengatasi persoalan kesehatan
anak, khususnya untuk menurunkan angka kematian anak, diantaranya sebagai berikut:
1.      Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan pemerintah pelayanan kesehatan
Untuk meningkatkan mutu pelayanan serta pemerintahan pelayanan kesehatan yang ada di
masyarakat telah di lakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan meletakkan dasar
pelayanan kesehatan pada sektor pelayanan dasar. Pelayanan dasar dapat dilakukan di
perpustakaaan  induk, perpustakaan pembantu,posyandu,serta unit-unit yang berkaitan di
masyarakat. Bentuk pelayanan tersebut dilakukan ndalam rangka jangkauan pemerataan
pelayanan kesehatan. Upaya pemerataan tersebut dapat dilakukan dengan penyabaran bidan
desa, perawat komuniksi, fasilitas balai kesehatan, pos kesehatan, desa, dan puskesmas
keliling.
2.      Meningkatkan status gizi masyarakat
Meningkatkan status gizi masyarakat merupakan merupakan bagian dari upaya untuk
mendorong terciptanya perbaikan status kesehatan. Dengan pemerintah gizi yang baik
diharapkan pertumbuhan dan perkembangan anak akan baik pula, disamping dapat
memperbaiki status kesehatan anak. Upaya tersebut dapat dilakukan malalui berbagai
kegiatan, diantaranya upaya perbaikan gizi keluarga atau dikenal dengan nama UPKG.
Kegiatan UPKG tersebut didorong dan diarahkan pada peningkatan status gizi, khususnya
pada masyarakat yang rawan atau memiliki resiko tinggi terhadap kematian atau kesakitan.
Kelompok resiko tinggi terdiri anak balita, ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, dan lansia
yang golongan ekonominya rendah. Melalui upaya tersebut. Peningkatan kesehatan akan
tercakup pada semua lapisan masyarakat khususnya pada kelompok resiko tinggi.
3.      Meningkatkan peran serta masyarakat
Peningkatan peran serta masyarakat dalam membantu status kesehatan  ini penting, sebab
upaya pemerintah dalam rangka menurunkan kematian bayi dan anak tidak dapat dilakukan
hanya oleh pemerintah, melainkan peran serta masyarakat dengan keterlibatan atau partisipasi
secara langsung. Upaya masyarakat tersebut sangat menentukan keberhasilan proram
pemerintah sehingga mampu  mangatasi berbagai masalah kesehatan. Melalui peran serta
masyarakat diharapkan mampu pula bersifat efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan.
Upaya atau program kesehatan antara lain pelayanan imunisasi, penyedian air bersih, sanitasi
lingkungan, perbaikan gizi dan lain-lain. Upaya tersebut akan memudahkan pelaksanaan
program kesehatan yang tepat pada sasaran yang ada.
4.      Meningkatkan manajemen kesehatan
Upaya meningkatan program pelayanan keshatan anak dapat berjalan dan berhasil dengan
baik bila didukung dengan perbaikan dalam pengelolaan pelayanan kesahatan. Dalam hal ini
adalah meningkatan manajemen pelayanan malalui pendayagunaan tenaga kesehatan
profesional yang mampu secara langsung mengatasi masalah kesehatan anak. Tenaga
kesehatan yang dimaksud antara lain tenaga perawat, bidan, dokter yang berada
diperpustakaan yang secara langsung berperan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

1.      Upaya kesehatan Ibu dan Anak adalah upaya di bidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu

menyusui, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Pemberdayaan masyarakat bidang KIA merupakan upaya memfasilitasi masyarakat

untuk membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat dari aspek non klinis terkait kehamilan dan

persalinan.
2.      Adapun yang masalah dan situasi kesehatan ibu dan anak dalam lingkup global yaitu kematian ibu, angka kematian bayi, gizi kurang,

stanting dan wasting, defisiensi seng, anemia defisiensi besi, BBLR, asi eksklusif yang hanya 47-57% dibawa 2 tahun yang menyusui secara

eksklusif.

3.      yang menjadi masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia adalah gizi buruk, ASI eksklusif, imunisasi, kekurangan zat besi, kekurangan

yodium, angka kematian ibu, kematian anak.

DAFTAR PUSTAKA

http://agenacemaxsmalang.com/642/kesehatan-ibu-dan-anak-harapan-untuk-masa-depan.html
http://www.infoibu.com/
http://www.kesrepro.info/?q=ibuanak
http://www.scribd.com/doc/21737318/Kesehatan-Ibu-Dan-Anak

Di Indonesia bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) menunjukkan angka yang cukup tinggi. Padahal, bayi
yang terlahir dengan berat badan rendah berisiko lima kali lebih tinggi mengalami kematian ketimbang bayi yang
lahir dengan berat normal.

 BBLR adalah bayi yang terlahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa melihat usia kehamilan.
Umumnya, BBLR disebabkan oleh kelahiran prematur dan pertumbuhan janin terlambat (PJT).

Kelahiran pada usia kurang dari 37 minggu merupakan kelahiran prematur. Sementara pertumbuhan janin
terlambat (PJT) adalah terjadinya gangguan pada  pertumbuhan janin hingga berat janin di bawah presentil 10.

Risiko BBLR disebabkan beberapa faktor, yaitu: risiko medis, risiko demografik, risiko fasilitas kesehatan, serta
risiko perilaku dan lingkungan.

Faktor risiko medis meliputi kehamilan multipel yang disebabkan teknik bayi tabung hingga menghasilkan bayi
kembar lebih dari dua, jarak kehamilan yang terlalu pendek dari kehamilan sebelumnya, tidak optimalnya
kenaikan berat badan ibu, hipertensi, hipotensi, pendarahan pada trimester pertama atau kedua, adanya bakteri
dalam urin, atau cairan ketuban yang terlalu banyak atau sedikit.

Faktor risiko demografik bisa dipengaruhi oleh usia ibu yang terlalu muda yakni kurang dari 16 tahun atau
usianya terlalu tua, lebih dari 35 tahun. Selain itu, dipengaruhi pula tingkat pendidikan yang rendah serta kondisi
sosio-ekonomi yang menjadi salah satu tolak ukur penentu status gizi anak.
Menurut Dokter spesialis anak, Risma Kerina Kaban, BBLR yang disebabkan usia ibu yang terlalu muda banyak
ditemukan di pedesaan sedangkan di perkotaan usia ibu yang terlalu tua menjadi penyebat bayi dengan BBLR.

Faktor risiko perilaku dan lingkungan dipengaruhi pada saat masa kehamilan terpapar asap rokok, ibu
mengonsumsi alkohol, asupan nutrisi yang buruk.

Baca Juga: ASI Yang

Read more:http://doktersehat.com/penyebab-bayi-lahir-dengan-berat-badan-rendah/#ixzz4EUGbcPha

Read more:http://doktersehat.com/penyebab-bayi-lahir-dengan-berat-badan-rendah/#ixzz4EUGbdrvR

Berat badan bayi yang sangat rendah umumnya memiliki fisik yang lebih kecil dibandingkan
bayi normal yang dilahirkan lebih dari 37 minggu (kurang dari 2500 gram) tanpa memandang
usia kehamilan. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki resiko kematian lima kali lebih
tinggi dibanding bayi normal. Untuk mengurangi angka bayi berat lahir rendah, Anda perlu
mendapatkan pengetahuan tentang faktor-faktor resikonya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan bayi berat lahir rendah, diantaranya faktor dari ibu
hamil, seperti di bawah ini :

Gizi yang kurang saat hamil


Kekurangan gizi selama hamil akan berakibat buruk terhadap janin. Penentuan status gizi
yang baik yaitu dengan mengukur berat badan ibu sebelum hamil dan kenaikkan berat badan
selama hamil. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan
janin, menimbulkan keguguran, bayi lahir mati, cacat bawaan, dan anemia pada bayi.
Intrapartum (mati dalam kandungan) lahir dengan berat badan rendah (BBLR).
Pertambahan berat badan selama kehamilan rata-rata 0,3-0,5 kg/minggu. Bila dikaitkan
dengan usia kehamilan, kenaikan berat badan selama hamil muda 5 kg, selanjutnya tiap
trimester (II dan III) masing-masing bertambah 5 kg. Pada akhir kehamilan, pertambahan
berat badan total adalah 9-12 kg. Bila terdapat kenaikan berat badan yang berlebihan, perlu
dipikirkan adanya resiko bengkak, kehamilan kembar, hidroamnion, atau anak besar.
Indikator lain untuk mengetahui status gizi ibu hamil adalah dengan mengukur LILA
(Lingkar Lengan Atas). LILA kurang dari 23,5 cm merupakan indikator kuat untuk status gizi
yang kurang. Ibu beresiko untuk melahirkan anak dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR).

Umur
Berat badan lahir rendah juga ada hubungannya dengan usia ibu hamil. Persentase tertinggi
bayi dengan berat badan lahir rendah terdapat pada kelompok remaja dan wanita berusia
lebih dari 40 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum
matang, serta ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain. Kelahiran bayi BBLR
lebih tinggi pada ibu-ibu muda berusia kurang dari 20 tahun karena mereka belum memiliki
sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa. Pada ibu dengan usia lebih dari 40 tahun
meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah
mulai menurun sehingga dapat mempengaruhi perkembangan janin dalam rahim dan dapat
menyebabkan kelahiran BBLR.

Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat


Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik,
persalinan lama dan perdarahan pada saat persalinan karena keadaan rahim belum pulih
dengan baik. Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan (di bawah dua
tahun) akan mengalami peningkatan resiko terhadap terjadinya perdarahan pada trimester III,
termasuk karena alasan plasentaprevia, anemia dan ketuban pecah dini serta dapat
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

Paritas ibu
Anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin sehingga melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah dan perdarahan saat persalinan karena keadaan rahim biasanya
sudah lemah.

Asma bronkiale
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan,
karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen (O2) atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila
tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran,
persalinan prematur atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan (gangguan
pertumbuhan janin).

Infeksi saluran kemih dengan bakteriuria


Dari hasil penelitian menjelaskan bahwa adanya hubungan kejadian bakteriuria dengan
peningkatan kejadian anemia dalam kehamilan, persalinan prematur, gangguan pertumbuhan
janin, dan preeklampsia.

Hipertensi
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan vaskuler yang terjadi sebelum
kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada permulaan persalinan, hipertensi dalam
kehamilan menjadi penyebab penting dari kelahiran mati dan kematian neonatal. Ibu dengan
hipertensi akan menyebabkan terjadinya hipoksia sehingga pertumbuhan janin terhambat dan
sering terjadi kelahiran prematur. Hipertensi pada ibu hamil merupakan gejala dini dari
preeklamsi, eklampsi dan penyebab gangguan pertumbuhan janin sehingga menghasilkan
berat badan lahir rendah.

Gaya hidup
Konsumsi obat-obatan dan penggunaan alkohol selama masa hamil telah mengakibatkan
makin tingginya insiden keguguran, kelahiran prematur, retardasi mental dan BBLR.
Sumber gambar :

1. http://us.images.detik.com/content/2013/04/16/1300/075826_bayis.jpg

2. http://bagimu-wanita.com/uploads/2011/05/hipertensi-kehamilan.jpg

Ko

Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bayi Berat Lahir


Rendah
         Faktor Ibu
 Gizi saat hamil yang kurang
Kekurangan gizi selama hamil akan berakibat buruk terhadap janin. Penentuan status gizi
yang baik yaitu dengan mengukur berat badan ibu sebelum hamil dan kenaikkan berat badan
selama hamil. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat memengaruhi proses pertumbuhan janin
dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematianneonatal, cacat
bawaan, anemia pada bayi, asfiksia. Intra partum (mati dalam kandungan) lahir dengan berat
badan rendah (BBLR). Pertambahan berat badan selama kehamilan rata-rata 0,3-0,5 kg/
minggu. Bila dikaitkan dengan usia kehamilan, kenaikan berat badan selama hamil muda 5
kg, selanjutnya tiap trimester (II dan III) masing-masing bertambah 5 kg. Pada akhir
kehamilan, pertambahan berat badan total adalah 9-12 kg. Bila terdapat kenaikan berat badan
yang berlebihan, perlu dipikirkan adanya risiko bengkak, kehamilan kembar, hidroamnion,
atau anak besar.[rujukan?] Indikator lain untuk mengetahui status gizi ibu hamil adalah dengan
mengukur LLA. LLA adalah Lingkar Lengan Atas. LLA kurang dari 23,5 cm merupakan
indikator kuat untuk status gizi yang kurang/ buruk. Ibu berisiko untuk melahirkan anak
dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Dengan demikian, bila hal ini ditemukan sejak
awal kehamilan, petugas dapat memotivasi ibu agar ia lebih memperhatikan kesehatannya
(Hidayati, 2009).
 Umur
Berat badan lahir rendah juga berkolerasi dengan usia ibu. Persentase tertinggi bayi dengan
berat badan lahir rendah terdapat pada kelompok remaja dan wanita berusia lebih dari 40
tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain
pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain.
Kelahiran bayi BBLR lebih tinggi pada ibu-ibu muda berusia kurang dari 20 tahun. Remaja
seringkali melahirkan bayi dengan berat lebih rendah. Hal ini terjadi karena mereka belum
matur dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa. Pada ibu
yang tua meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya
sudah mulai menurun sehingga dapat memengaruhi janin intra uterin dan dapat menyebabkan
kelahiran BBLR. Faktor usia ibu bukanlah faktor utama kelahiran BBLR, tetapi kelahiran
BBLR tampak meningkat pada wanita yang berusia di luar usia 20 sampai 35 tahun
 Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat
Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik,
persalinan lama dan perdarahan pada saat persalinan karena keadaan rahim belum pulih
dengan baik. Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan (di bawah dua
tahun) akan mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya perdarahan pada trimester III,
termasuk karena alasan plasenta previa, anemia dan ketuban pecah dini serta dapat
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
 Paritas ibu
Anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin sehingga melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah dan perdarahan saat persalinan karena keadaan rahim biasanya
sudah lemah.
o    Penyakit menahun ibu
 Asma bronkiale:
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan,
karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen (O2) atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila
tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran,
persalinan premature atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan (gangguan
pertumbuhan janin).
 Infeksi saluran kemih dengan bakteriuria tanpa gejala (asimptomatik):
Frekuensi bakteriuria tanpa gejala kira-kira 2 – 10%, dan dipengaruhi oleh paritas, ras,
sosioekonomi wanita hamil tersebut. Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan
kejadian bakteriuria dengan peningkatan kejadian anemia dalam kehamilan, persalinan
premature, gangguan pertumbuhan janin, dan preeklampsia.
 Hipertensi:
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan vaskuler yang terjadi sebelum
kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada permulaan persalinan, hipertensi dalam
kehamilan menjadi penyebab penting dari kelahiran mati dan kematian neonatal. Ibu dengan
hipertensi akan menyebabkan terjadinya insufisiensi plasenta, hipoksia sehingga
pertumbuhan janin terhambat dan sering terjadi kelahiran prematur. Hipertensi pada ibu
hamil merupakan gejala dini dari pre-eklamsi, eklampsi dan penyebab gangguan
pertumbuhan janin sehingga menghasilkan berat badan lahir rendah.
o    Gaya hidup
Konsumsi obat-obatan pada saat hamil: Peningkatan penggunaan obat-obatan (antara 11%
dan 27% wanita hamil, bergantung pada lokasi geografi) telah mengakibatkan makin
tingginya insiden kelahiran premature, BBLR, defek kongenital, ketidakmampuan belajar,
dan gejala putus obat pada janin (Bobak, 2004). Konsumsi alkohol pada saat hamil:
Penggunaan alkohol selama masa hamil dikaitkan dengan keguguran (aborsi spontan),
retardasi mental, BBLR dan sindrom alkohol janin.
         Faktor kehamilan
 Komplikasi Hamil
 Pre-eklampsia/ Eklampsia:
Pre-eklampsia/ Eklampsia dapat mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan janin dalam
kandungan atau IUGR dan kelahiran mati. Hal ini disebabkan karena Pre-
eklampsia/Eklampsia pada ibu akan menyebabkan perkapuran di daerah plasenta, sedangkan
bayi memperoleh makanan dan oksigen dari plasenta, dengan adanya perkapuran di daerah
plasenta, suplai makanan dan oksigen yang masuk ke janin berkurang.
 Ketuban Pecah Dini
Ketuban dinyatakan pecah sebelum waktunya bila terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung. Ketuban Pecah Dini (KPD) disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membran yang diakibatkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.
Pada persalinan normal selaput ketuban biasanya pecah atau dipecahkan setelah pembukaan
lengkap, apabila ketuban pecah dini, merupakan masalah yang penting dalam obstetri yang
berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi ibu.
 Hidramnion
Hidramnion atau kadang-kadang disebut juga polihidramnion adalah keadaan di mana
banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc. Gejala hidramnion terjadi semata-mata karena
faktor mekanik sebagai akibat penekanan uterus yang besar kepada organ-organ seputarnya.
Hidramnion harus dianggap sebagai kehamilan dengan risiko tinggi karena dapat
membahayakan ibu dan anak. Prognosis anak kurang baik karena adanya kelainan kongenital,
prematuritas, prolaps funikuli dan lain-lain.
 Hamil ganda/Gemeli
Berat badan janin pada kehamilan kembar lebih ringan daripada janin pada kehamilan
tunggal pada umur kehamilan yang sama. Sampai kehamilan 30 minggu kenaikan berat
badan janin kembar sama dengan janin kehamilan tunggal. Setelah itu, kenaikan berat badan
lebih kecil, mungkin karena regangan yang berlebihan menyebabkan peredaran darah
plasenta mengurang. Berat badan satu janin pada kehamilan kembar rata-rata 1000 gram
lebih ringan daripada janin kehamilan tunggal. Berat badan bayi yang baru lahir umumnya
pada kehamilan kembar kurang dari 2500 gram. Suatu faktor penting dalam hal ini ialah
kecenderungan terjadinya partus prematurus.
 Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan pada kehamilan diatas 22 minggu hingga
mejelang persalinan yaitu sebelum bayi dilahirkan (Saifuddin, 2002). Komplikasi utama dari
perdarahan antepartum adalah perdarahan yang menyebabkan anemia dan syok yang
menyebabkan keadaan ibu semakin jelek. Keadaan ini yang menyebabkan gangguan
keplasenta yang mengakibatkan anemia pada janin bahkan terjadi syok intrauterin yang
mengakibatkan kematian janin intrauterin (Wiknjosastro, 1999 : 365). Bila janin dapat
diselamatkan, dapat terjadi berat badan lahir rendah, sindrom gagal napas dan komplikasi
asfiksia.
o    Faktor janin
  Cacat Bawaan (kelainan kongenital)
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak
kehidupan hasil konsepsi sel telur. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital,
umumnya akan dilahirkan sebagai Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) atau bayi kecil untuk
masa kehamilannya. Bayi Berat Lahir Rendah dengan kelainan kongenital yang mempunyai
berat kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya
  Infeksi Dalam Rahim
Infeksi hepatitis terhadap kehamilan bersumber dari gangguan fungsi hati dalam mengatur
dan mempertahankan metabolisme tubuh, sehingga aliran nutrisi ke janin dapat terganggu
atau berkurang. Oleh karena itu, pengaruh infeksi hepatitis menyebabkanabortus atau
persalinan prematuritas dan kematian janin dalam rahim. Wanita hamil dengan infeksi rubella
akan berakibat buruk terhadap janin. Infeksi ini dapat menyebabkan bayi berat lahir rendah,
cacat bawaan dan kematian janin
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Beranda
Langganan

Kehamilan adalah suatu hal dalam kehidupan yang dapat membuat keluarga
bahagia. Para calon ibu harus sehat dan mempunyai gizi cukup (berat badan
normal) sebelum hamil dan setelah hamil. Jika ibu tidak mendapat gizi yang cukup
selama kehamilan, maka bayi yang dikandungnya akan menderita kekurangan gizi.
Ibu yang menderita kekurangan gizi juga akan kekurangan ASI bila kelak menyusui
(Erna Francin Paath, 2004).
Diet yang baik mengurangi kemungkinan pembentukan janin abnormal dan
membantu menjamin janin tumbuh sebaik mungkin. Makan saja makanan sehat
yang, yaitu Makanan yang kaya vitamin, mineral, dan serat tapi tidak terlalu tinggi
kadar gula atau lemaknya. Secara ideal lemak yang diberikan tidak lebih 30% total
kalori harian (Lutfiatus Solihah, 2009). 
Gizi pada waktu hamil harus ditingkatkan hingga 300 kalori perhari, ibu hamil
seharusnya mengkomsumsi makanan yang  mengandung     protein,     zat
besi,     dan     minum     cukup     cairan
(Yuni Kusmiati, S. ST, dkk, 2009).
Tiga bulan pertama, pertumbuhan janin masih lambat dan penambahan
kebutuhan zat-zat gizi pun masih relative kecil. Tahap ini, ibu memasuki masa
anabolisme, yaitu masa untuk menyimpan zat gizi sebanyak-banyaknya dari
makanan yang disantap
setiap   hari   untuk  cadangan          persediaan          pada          trimester          beri
kutnya
(Mirza Maulana, 2009).
Memasuki trimester kedua, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan
sebelumnya. Kecepatan pertumbuhannya mencapai 10 gram per hari. Tubuh ibu
juga mengalami perubahan dan adaptasi, misalnya pembesaran payudara dan mulai
berfungsinya rahim serta plasenta. Peningkatan kualitas gizi sangat penting karena
tahap ini ibu mulai menyimpan lemak dan zat gizi lainnya untuk    cadangan sebagai
bahan pembentuk ASI (Mirza Maulana, 2009).
Trimester ketiga, dibutuhkan vitamin dan mineral untuk mendukung pesatnya
pertumbuhan janin dan pembentukan otak. Kebutuhan energi janin didapat dari
cadangan energi yang      disimpan ibu selama tahap  sebelumnya (Mirza Maulana,
2009).
Gizi sangat berpengaruh pada tumbuh kembang otak. Pertumbuhan otak
yang pesat terjadi 2 fase. Fase pertama pada usia kehamilan 15-20 minggu dan fase
kedua adalah 30 minggu sampai 18 bulan setelah bayi lahir  (Yuni Kusmiati, S.ST,
dkk, 2009).
Data WHO, UNICEF, dan Bank Dunia menunjukkan angka kematian ibu
hingga saat ini masih kurang dari satu persen pertahun. Pada 2005, sebanyak
536.000 perempuan meninggal dunia akibat masalah persalinan, lebih rendah dari
jumlah kematian ibu tahun 1990 yang sebanyak 576.000. Menurut data WHO,
sebanyak 99 persen kematian ibu akibat masalah persalinan terjadi di negara-
negara berkembang (Antaranews, 2009). 
Rasio kematian ibu di negara-negara berkembang merupakan yang tertinggi
dengan 450 kematian per 100 ribu kelahiran bayi hidup. Sementara itu di Asia
Tenggara, WHO memperkirakan sebanyak 37 juta kelahiran terjadi di kawasan Asia
Tenggara setiap tahun, sementara total kematian ibu dan bayi baru lahir
diperkirakan berturut-turut 170 ribu dan 1,3 juta per tahun. Sebanyak 98 persen dari
seluruh kematian ibu dan anak yang terjadi di India, Bangladesh, Indonesia, Nepal,
dan Myanmar (Antaranews, 2009). 
Tahun 2002 angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000
kelahiran hidup. Dari lima juta kelahiran hidup diIndonesia setiap tahunnya,
diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. Ini
merupakan dampak dari anemia
dan   kekurangan          energi           kronik         pada           ibu           hamil
(Mc Carthy dan Maine, 2009).
Eklampsia, perdarahan, serta penyakit infeksi dianggap sebagai penyebab
kematian pada umumnya. Ketiga penyakit ini terkait erat, baik langsung maupun
tidak langsung dengan status gizi ibu. Perdarahan pasca partum dan plasenta
previa, misalnya, kerap menyengsarakan penderita anemia defisiensi gizi. Kasus
anemia defisiensi gizi umumnya selalu disertai dengan malnutrisi serta infestasi
parasit (Dr. Arisman, B, 2004).
Data di atas memberikan gambaran bahwa masalah gizi ibu hamil sangat
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin maka peneliti merasa tertarik
untuk mengetahui gambaran status gizi pada ibu hamil di Puskesmas Batua
Makassar.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut  :
1.  Bagaimana gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan berat badan tahun
2011?
2.  Bagaimana gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan Lila (Lingkar Lengan
Atas) tahun 2011?
3.  Bagaimana gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan kadar Hb
(Hemoglobin) tahun 2011?
C.   Tujuan Penelitian
1.  Tujuan Umum
Diperolehnya gambaran status gizi pada ibu hamil di Puskesmas Batua
Makassar tahun 2011.
2.  Tujuan Khusus
a.  Diperolehnya gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan Berat Badan
b.  Diperolehnya gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan Lila
c.   Diperolehnya gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan Hb

D.   Manfaat Penelitian
1.  Bagi Peneliti
Pengalaman yang sangat berharga yang dapat meningkatkan khasanah ilmu
pengetahuan dan menambah wawasan serta merupakan acuan bagi penulis
2.  Bagi Masyarakat
Dapat dijadikan bahan informasi bagi masyarakat atau meningkatkan kesejahteraan
hidup
3.  Bagi Instansi tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas dalam pengambilan kebijakan dalam
peningkatan status gizi pada ibu hamil
4.  Bagi Institusi
Sebagai bahan bacaan dan informasi bagi institusi tempat pendidikan dalam rangka
meningkatkan pengetahuan tentang status gizi pada ibu hamil
Kehamilan adalah suatu hal dalam kehidupan yang dapat membuat keluarga
bahagia. Para calon ibu harus sehat dan mempunyai gizi cukup (berat badan
normal) sebelum hamil dan setelah hamil. Jika ibu tidak mendapat gizi yang cukup
selama kehamilan, maka bayi yang dikandungnya akan menderita kekurangan gizi.
Ibu yang menderita kekurangan gizi juga akan kekurangan ASI bila kelak menyusui
(Erna Francin Paath, 2004).

Diet yang baik mengurangi kemungkinan pembentukan janin abnormal dan


membantu menjamin janin tumbuh sebaik mungkin. Makan saja makanan sehat
yang, yaitu Makanan yang kaya vitamin, mineral, dan serat tapi tidak terlalu tinggi
kadar gula atau lemaknya. Secara ideal lemak yang diberikan tidak lebih 30% total
kalori harian (Lutfiatus Solihah, 2009). 
Gizi pada waktu hamil harus ditingkatkan hingga 300 kalori perhari, ibu hamil
seharusnya mengkomsumsi makanan yang  mengandung     protein,     zat
besi,     dan     minum     cukup     cairan
(Yuni Kusmiati, S. ST, dkk, 2009).
Tiga bulan pertama, pertumbuhan janin masih lambat dan penambahan
kebutuhan zat-zat gizi pun masih relative kecil. Tahap ini, ibu memasuki masa
anabolisme, yaitu masa untuk menyimpan zat gizi sebanyak-banyaknya dari
makanan yang disantap
setiap   hari   untuk  cadangan          persediaan          pada          trimester          beri
kutnya
(Mirza Maulana, 2009).
Memasuki trimester kedua, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan
sebelumnya. Kecepatan pertumbuhannya mencapai 10 gram per hari. Tubuh ibu
juga mengalami perubahan dan adaptasi, misalnya pembesaran payudara dan mulai
berfungsinya rahim serta plasenta. Peningkatan kualitas gizi sangat penting karena
tahap ini ibu mulai menyimpan lemak dan zat gizi lainnya untuk    cadangan sebagai
bahan pembentuk ASI (Mirza Maulana, 2009).
Trimester ketiga, dibutuhkan vitamin dan mineral untuk mendukung pesatnya
pertumbuhan janin dan pembentukan otak. Kebutuhan energi janin didapat dari
cadangan energi yang      disimpan ibu selama tahap  sebelumnya (Mirza Maulana,
2009).
Gizi sangat berpengaruh pada tumbuh kembang otak. Pertumbuhan otak
yang pesat terjadi 2 fase. Fase pertama pada usia kehamilan 15-20 minggu dan fase
kedua adalah 30 minggu sampai 18 bulan setelah bayi lahir  (Yuni Kusmiati, S.ST,
dkk, 2009).
Data WHO, UNICEF, dan Bank Dunia menunjukkan angka kematian ibu
hingga saat ini masih kurang dari satu persen pertahun. Pada 2005, sebanyak
536.000 perempuan meninggal dunia akibat masalah persalinan, lebih rendah dari
jumlah kematian ibu tahun 1990 yang sebanyak 576.000. Menurut data WHO,
sebanyak 99 persen kematian ibu akibat masalah persalinan terjadi di negara-
negara berkembang (Antaranews, 2009). 
Rasio kematian ibu di negara-negara berkembang merupakan yang tertinggi
dengan 450 kematian per 100 ribu kelahiran bayi hidup. Sementara itu di Asia
Tenggara, WHO memperkirakan sebanyak 37 juta kelahiran terjadi di kawasan Asia
Tenggara setiap tahun, sementara total kematian ibu dan bayi baru lahir
diperkirakan berturut-turut 170 ribu dan 1,3 juta per tahun. Sebanyak 98 persen dari
seluruh kematian ibu dan anak yang terjadi di India, Bangladesh, Indonesia, Nepal,
dan Myanmar (Antaranews, 2009). 
Tahun 2002 angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000
kelahiran hidup. Dari lima juta kelahiran hidup diIndonesia setiap tahunnya,
diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. Ini
merupakan dampak dari anemia
dan   kekurangan          energi           kronik         pada           ibu           hamil
(Mc Carthy dan Maine, 2009).
Eklampsia, perdarahan, serta penyakit infeksi dianggap sebagai penyebab
kematian pada umumnya. Ketiga penyakit ini terkait erat, baik langsung maupun
tidak langsung dengan status gizi ibu. Perdarahan pasca partum dan plasenta
previa, misalnya, kerap menyengsarakan penderita anemia defisiensi gizi. Kasus
anemia defisiensi gizi umumnya selalu disertai dengan malnutrisi serta infestasi
parasit (Dr. Arisman, B, 2004).
Data di atas memberikan gambaran bahwa masalah gizi ibu hamil sangat
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin maka peneliti merasa tertarik
untuk mengetahui gambaran status gizi pada ibu hamil di Puskesmas Batua
Makassar.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut  :
1.  Bagaimana gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan berat badan tahun
2011?
2.  Bagaimana gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan Lila (Lingkar Lengan
Atas) tahun 2011?
3.  Bagaimana gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan kadar Hb
(Hemoglobin) tahun 2011?
C.   Tujuan Penelitian
1.  Tujuan Umum
Diperolehnya gambaran status gizi pada ibu hamil di Puskesmas Batua
Makassar tahun 2011.
2.  Tujuan Khusus
a.  Diperolehnya gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan Berat Badan
b.  Diperolehnya gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan Lila
c.   Diperolehnya gambaran status gizi pada ibu hamil berdasarkan Hb

D.   Manfaat Penelitian
1.  Bagi Peneliti
Pengalaman yang sangat berharga yang dapat meningkatkan khasanah ilmu
pengetahuan dan menambah wawasan serta merupakan acuan bagi penulis
2.  Bagi Masyarakat
Dapat dijadikan bahan informasi bagi masyarakat atau meningkatkan kesejahteraan
hidup
3.  Bagi Instansi tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas dalam pengambilan kebijakan dalam
peningkatan status gizi pada ibu hamil
4.  Bagi Institusi
Sebagai bahan bacaan dan informasi bagi institusi tempat pendidikan dalam rangka
meningkatkan pengetahuan tentang status gizi pada ibu hamil

Anda mungkin juga menyukai