Anda di halaman 1dari 11

Kasus Kecelakaan

PT. Alpen Food Industry (Es Krim Aice) Jari Buruh Terpotong

Milka Suci Icha Putri (0516040050)

BERITA 1
Jari Buruh Terpotong, Pabrik Aice Didesak Perbaiki Keamanan

Oleh: Dieqy Hasbi Widhana - 8 Desember 2017

tirto.id - Kecelakaan kerja kembali menimpa buruh PT Alpen Food Industry (AFI)
yang memproduksi es krim Aice. Insiden serupa pernah terjadi sebelumnya, tapi PT AFI
belum serius melindungi buruh dari ancaman kecelakaan kerja.

Kejadian ini menimpa Nunu Anugrah, 27 tahun, buruh bagian produksi PT Alpen
Food Industry (AFI) yang sudah bekerja satu tahun empat bulan, pada Rabu 6 Desember
2017, pukul 22.30 WIB. Saat kejadian, Nunu sedang membersihkan mesin pemotong yang
tajam di penghujung jam kerjanya. Tiba-tiba Nunu berlari keluar pabrik dengan darah
berceceran di setiap bekas langkahnya.

Menurut kakak sepupu Nunu, 27 tahun, kala itu Nunu bergegas mencari pertolongan awal.
Sang kakak yang juga buruh PT AFI ini menerangkan satu ruas jari tengah tangan kiri Nunu
terpotong mesin produksi. Beberapa buruh kemudian membawanya dengan sepeda motor ke
Rumah Sakit Medika Narom yang berjarak sekitar 3,2 kilometer. “Rumah sakit kecil itu tidak
bisa menangani, [Nunu] dibawa pulang lagi ke pabrik,” ungkap kakak sepupu Nunu yang
enggan nama terangnya dipublikasikan. Dia yang membawa potongan jari Nunu hingga saat
ini. Nunu lalu duduk bersandar tembok di pos satpam PT AFI. Dia lemas dan wajahnya
pucat. Jarinya yang buntung dibalut perban. PT AFI tak menyediakan kotak Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan (P3K). Para buruh biasanya patungan Rp5 ribu per orang tiap
bulan untuk menyediakan isi kotak P3K. Saat itu, Nunu masih menunggu pihak PT AFI
meminjami mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Setelah melalui proses perizinan yang
rumit, Nunu dibawa ke RSUD Cibitung. Rumah sakit itu tak mau menerima Nunu dengan
alasan pasien sudah penuh. Dia juga ditolak RSUD Tambun dengan alasan yang sama. Nunu
akhirnya dibawa ke RS Karya Medika II sekitar jam 1.15 dinihari, Kamis (7/12/2017). Di
rumah sakit itu tak ada dokter yang berjaga hingga larut malam, akan tetapi ia mendapat
pertolongan pertama, diperban ulang, dan ditempatkan di salah satu ruang inap. Kamis sore
sekitar pukul 15.00 WIB, Nunu dioperasi. Saat kecelakaan kerja terjadi, Nunu hanya
mengenakan masker, seragam, dan sepatu sepanjang mata kaki yang terbuat dari karet.
Perlengkapan semacam itu dikenakan setiap buruh saban harinya, padahal para buruh bekerja
di lingkungan yang berair, licin, terkadang gas amonia bocor, dan berada di antara mesin
yang memiliki pisau tajam. “Harusnya jangan sampai ada kejadian fatal kayak gini,
kehilangan organ tubuh,” lanjut kakak sepupu Nunu. “Ini kerugian seumur hidup. Harusnya
lebih pentingkan keamanan diri bagi karyawannya.”

Insiden Berulang tapi Perusahaan Enggan Disalahkan Kecelakaan kerja di PT AFI


terjadi secara berulang. Sebelum Nunu, nasib serupa pernah menimpa Gugun Gumilar, 24
tahun. Di tulisan kami sebelumnya mengisahkan, bagaimana Gugun tak sanggup melihat
potongan jarinya sendiri yang dikembalikan dokter untuknya. Setiap hari ia mengurus
pemotongan plastik pembungkus es krim Aice. Dalam sehari, ia harus memotong 12
gulungan plastik. Setiap gulungan sepanjang 1.200 meter. Jika dikalkulasi dalam sehari,
Gugun memotong 14,4 kilometer plastik es krim Aice.

Selasa, 16 Mei 2017, mesin pemotong bermasalah pada waktu housekeeping. Ia


bergegas memanggil pekerja bagian mekanik. Saat diminta petugas mekanik untuk menarik
plastik yang tersangkut mesin, tanpa berpikir panjang Gugun melakukannya. Jarinya
terpotong. Darah mengucur deras. Peristiwa itu berlangsung cepat. Gugun dibawa ke rumah
sakit terdekat, Rumah Sakit Aprilia Medika di Setu, Cikarang. Kini jarinya yang terpotong
sering ngilu. Ia kehilangan kekuatan untuk menggenggam. Oleh karena itu, Ketua Serikat
Gerakan Buruh Bumi Industry (SGBBI), Panji Novembri mendesak PT AFI mengevaluasi
internal perusahaan terkait upaya menghindari buruh dari ancaman kecelakaan kerja. “Jangan
sampai ada korban-korban lagi,” ungkapnya. Kecelakaan kerja berupa putusnya bagian tubuh
tertentu ini hanya sebagian kecil dari lalainya PT AFI dalam melindungi buruhnya.
Permasalahan lain yang kami dapati ialah para buruh yang menderita sering pingsan,
lambung perih, dan bronkitis karena sering menghisap gas beracun amoniak di tempat kerja.

Humas Aice Group Holdings Pte. Ltd, Sylvana Zhong Xin Yun, menganggap Nunu
telah melakukan pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) dan standar keselamatan
kerja PT AFI. “Terdapat standar keamanan penggunaan mesin dan perlengkapan kerja
karyawan yang telah disosialisasikan namun tidak ditaati,” ucapnya. Dia juga enggan
menjawab ketika ditanya, apa perusahaan akan melakukan evaluasi internal karena telah
mencelakakan buruh secara berulang. Peraturan yang disebut Sylvana menyangkut baju
seragam, sepatu kerja, masker, penutup kepala, dan sarung tangan. Selain itu juga terkait
standar keamanan penggunaan mesin. Menurutnya semua aturan itu disosialisasikan setiap
hari. Dia juga mengklaim pihak PT AFI telah membantu pertolongan pertama Nunu untuk
membawa ke rumah sakit. Selain itu menurutnya, PT AFI telah membantu pertolongan
pertama berupa membalut bagian jari Nunu yang terpotong dengan perban. Padahal perban
tersebut hasil patungan para buruh, bukan disediakan oleh pihak perusahaan. “Hingga saat
ini, perusahaan masih terus mendampingi karyawan di Rumah Sakit untuk memastikan
karyawan mendapat perawatan yang terbaik dan akan memberikan santunan kecelakaan
sesuai dengan peraturan yang berlaku,” ujarnya. Berdasarkan Pasal 31 Ayat

(1) UU SJSN, buruh yang menjadi korban kecelakaan kerja berhak mendapat layanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya. Selain itu korban juga berhak mendapat uang
tunai apabila mengalami kerugian berupa cacat permanen.

Sedangkan Pasal 9 UU Jamsostek dan Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, sebagaimana diubah PP 84/2013, korban berhak mendapat biaya transportasi hingga
ke rumah sakit atau rumahnya, seluruh biaya ketika dirawat di rumah sakit termasuk rawat
jalan, dan biaya rehabilitasi berupa alat bantu atau alat ganti bagi tenaga kerja yang anggota
badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja. Selain itu, korban kecelakaan
kerja berhak mendapat santunan sementara karena tak mampu bekerja dan santunan cacat
permanen.
BERITA 2

Tak Semanis Es Krimnya, Pekerja PT Alpen Food Industry Merasa Diperlakukan Tak
Manusiawi

Oleh: Joseph Ginting – 7 Maret 2020

RIAU ONLINE, BANDUNG-Sejumlah pekerja mengaku memiliki pengalaman


kurang menyenangkan bekerja sebagai buruh PT Alpen Food Industry, perusahaan penghasil
es krim, Aice. Mereka mengungkapkan kondisi kehidupan mereka yang diperlakukan tidak
manusiawi oleh perusahaan produsen es krim Aice tersebut, dan juga penyalur outsourcing.
Ravi Bimantara misalnya, kepada Suara.com, Kamis 5 Maret 2020, mengakui sejak awal
bekerja sudah mendapatkan perlakuan yang terbilang tidak manusiawi. Ia menceritakan, awal
mula melamar pekerjaan di PT AFI sekitar bulan Februari 2020. Dia dijanjikan penyalur
outsourcing untuk mendapatkan pekerjaan nyaman dengan gaji yang sesuai di PT Alpen Food
Industry, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Janji-janji itu, kata dia, contohnya ialah mendapat
gaji di atas upah minimum Kota Bekasi, mes yang nyaman, makanan sehat dan kepastian
status kerja.

"Kami diberi tahu ada fasilitas mes, di dalamnya ada sofa, kasur, pokoknya nyaman.
Soal makan, katanya dapat 3 kali sehari katering. Makanannya juga didatangkan dari tempat
asal kami, Jawa Timur. Satu kali makan Rp 10 ribu,” kata Ravi saat ditemui di kawasan
Rawamangun, Jakarta Timur. Tergiur oleh janji tesebut, lelaki asal Mojokerto, Jawa Timur
itu rela mengeluarkan uang Rp 300 ribu untuk tes kesehatan kepada penyalur outsourcing.
Tak hanya itu, Ravi juga mengungkapkan lebih dulu mengeluarkan uang Rp 700 ribu untuk
membiayai perjalanan Mojokerto – Bekasi. Namun, Ravi mulai merasakan kejanggalan sejak
tanggal 12 februari 2020, persisnya saat diberangkatkan ke Bekasi.

“Kami disuruh kumpul sejak pagi, karena jam 9 berangkat ke Bekasi. Tapi kami baru
diberangkatkan pukul 22.00 WIB, malamnya,” kata dia. Ravi mengungkapkan, berangkat
bersama rombongan berjumlah 75 orang. Semuanya diberangkatkan untuk bekerja di pabrik
Aice Bekasi menggunakan satu bus. Selama dalam perjalanan pun, Ravi mengakui hanya
diberikan sekali jatah makan. Padahal, waktu tempuh Mojokerto – Bekasi adalah 24 jam.

"Cuma diangkut satu bus, jadi ada yang tak kebagian tempat duduk. Saya sendiri dari
Mojokerto sampai Bekasi berdiri. Tapi karena lelah, saya tidur saja di lantasi bus,” kata dia.
Sepanjang perjalanan, Ravi berharap segera sampai di mes buruh PT AFI yang berkasur guna
beristirahat. Tapi sesampainya di mes, Ravi mengungkapkan jauh dari harapan semula. Dia
hanya menemukan 2 mes yang masing-masing terdiri dari 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi.
Satu kamar otomatis menjadi milik 3 buruh wanita yang harus tidur bersama 72 buruh laki-
laki lainnya di dalam satu atap. Sementara buruh laki-laki sisanya harus tidur berimpitan
setiap harinya.

"Yang cewek dapat satu kamar, laki-laki cuma menempati kamar satunya, ruang
tamu, ruang tengah, dapur, hingga teras juga. Kalau tak cukup, tidur di bus,” kata Ravi. Tak
sampai di situ, urusan makanan yang dijanjikan akan disesuaikan dengan "lidah Jawa Timur"
pun tak juga dipenuhi. Untuk menelan sepotong daging ayam dan setetes es teh manis, Ravi
mengakui ia dan kawan-kawannya sangat jarang merasakannya.

"Kalau katering di sini tidak pernah ada minuman manis. Pernah saya dapat nasi
bungkusan isinya Cuma nasi, urap, dan kangkung. Itu pun urapnya cuma tahu dipotong kecil-
kecil dan parutan kelapa.” "Ayam jarang, soto juga jarang, yang paling sering itu telur ayam
bumbu Bali dan nasi. Kadang juga ditambahkan ote-ote buat lauk, itu yang katanya Rp 15
ribu. Kan kita manusia, butuh makanan 4 sehat 5 sempurna." Masa kerja Ravi tak
berlangsung lama. Per hari ini, Kamis (5/3/2020),ia tidak lagi berstatus sebagai karyawan PT
Alpen Food Industry karena di-PHK. Ia merasa, mendapat PHK bersama 600-an pekerja PT
AFI lainnya karena bersikap kritis terhadap kondisi tersebut, dan melakukan pemogokan
umum.

Klarifikasi Aice

Berdasar rilis yang diterima Suara.com, Legal Corporate PT AFI, Simon Audry
Halomoan Siagian menegaskan pihaknya telah mengikuti regulasi yang ada untuk menjawab
tuntutan massa aksi. Diketahui, para pekerja yang tergabung dalam Serikat Gerakan Buruh
Industry (SGBBI) menyerukan aksi mogok kerja sejak Jumat, (21/2/2020)

"Kami harap pihak DGBBBI PT AFI dapat mengikuti anjuran yang diberikan oleh
mediator," ungkap Simon. Lebih lanjut, Simon menjawab sejumlah poin tuntutan yang
diajukan SGBBI dalam bipartit. Selengkapnya, berikut klarifikasi yang disampaikan PT AFI.

1. Upah Pekerja
Salah satu tuntutan krusial yang diajukan oleh SGBBI yakni mengenai sistem
pengupahan. Pada awalnya, SGBBI meminta agenda pembahasan kenaikan upah
sebesar 15 persen dari sales tahun 2018 pada tahun 2019. Besaran upah yang diminta
sebesar Rp 11.623.616.
Namun setelah perundingan bipartit berjalan lima kali, PT AFI menawarkan
formula lain yakni dengan kenaikan upah senilai Rp 8.031.668 lantaran tidak bisa
memenuhi besaran upah rapelan yang dituntutkan. Tawaran inipun tidak berujung
pada penyelesaian.
"Tidak terjadi kesepakatan dalam proses bipartit maupun mediasi. Pihak
mediator sudah mengeluarkan anjuran tertulis. Bagi pihak yang tidak setuju bisa
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial," ucap Simon.

2. Tuduhan Eksploitasi Wanita Hamil


Selain sistem pengupahan, PT AFI juga diduga melakukan tindakan
eksploitasi kepada pekerja wanita hamil. Disebut-sebut banyak pekerja yang
mengalami keguguran karena porsi kerja yang berat. Terkait hal ini, Simon
menerangkan pihaknya telah mematuhi aturan mengenai keselamatan kerja seperti
yang tertuang dalam Pasal 76 ayat (2) UU 13/2003.
"Kami memiliki tim medis yang bertugas di dalam operasional. Mereka secara
rutin memberikan cek medis secara berkala termasuk bag rekan pekerja yang sedang
mengandung untuk tidak melakukan pekerjaan berat, terutama saat shift malam," kata
Simon. Lebih lanjut kata Simon, PT AFI juga melakukan verifikasi kepada pekerja
yang mengalami keguguran melalui pengecekan surat dokter. "Tidak pernah ada
diagnosa yang menerangkan pekerja keguguran karena melakukan pekerjaan terlalu
berat," lanjutnya.

3. Klaim Mogok Kerja Tidak Sah


Dalam keterangan selanjutnya, PT AFI pun mengonfirmasi soal klaim aksi
mogok kerja karyawan tidak sah. Menurut Simon, PT AFI telah memberikan
tanggapan terhadap Surat Pemberitahuan Mogok Kerja sebagai Mogok Kerja Tidak
Sah yang diajukan oleh SGBBI. Ia mengatakan, selama negosiasi bipartit yang
dilakukan lima kali tidak sekalipun menghasilkan penyelesaian.

Perusahaan telah mengundang SGBBI untuk melakukan bipartit pada aksi mogok
kerja pertama yang berlangsung pada 20, 21 dan 23 Desember 2019, namun tidak
menemukan titik temu. "SGBBI mengajukan penyelesaikan secara tripartit melalui forum
mediasi," ucap Simon. Pihak PT AFI juga mengklaim saat itu pihaknya juga masih membuka
peluang diskusi terkait Surat Pemberitahuan Mogok Kerja sebagai Mogok Kerja Tidak Sah,
namun menemui jalan buntu karena proses bipartit masih berlangsung.
BERITA 3

Oleh: CNN Industry – 01 Maret 2020

KRONOLOGI SERIKAT BURUH ‘GERUDUK’ MANAJEMEN AICE

Jakarta, CNN Industry -- Hujan deras yang mengguyur Jakarta tidak menyurutkan
semangat Serikat Gerakan Buruh Bumi Industry (SGBBI) PT Alpen Food Industry (AFI)
'menggeruduk' PT AFI yang menggelar konferensi pers. Manajemen Aice pun terlihat kaget
dan tak mengantisipasi kedatangan tersebut. Mereka tampak kecolongan saat kuasa hukum
SGBBI Syaiful Anam dan lima buruh AFI hadir di lokasi. Restoran Vietnam di bilangan
Jakarta Pusat yang awalnya terlihat sepi pengunjung, sontak menjadi ramai oleh kehadiran
dua kubu yang bertikai tersebut.  Rencana tim PT AFI memberikan penjelasan akan kasus
yang tengah menjadi buah bibir di sosial media pun terusik.

"Kami dari buruh, bawa jawaban kronologi PT AFI," potong Fajar, salah seorang
buruh yang hadir sembari membagikan selembaran kertas kronologi dari pihaknya. Suasana
pertemuan yang awalnya santai, tiba-tiba berubah tegang. Awak media yang hadir pun
sempat kebingungan dan saling bertukar tatap.

"Temen-temen buruh nanti boleh ya kasih penjelasan tapi ini kami selesaikan dulu
statement kami," ucap Tim Support Aice Joseph Sinaga berusaha menengahi. Penjelasan
kronologi dari produsen es krim Aice yang sempat terpotong kembali dilanjutkan oleh kuasa
hukum Aice Simon Siagian. Namun, sayangnya diskusi dua arah tak terjadi. Setelah serikat
buruh memberikan penjelasan, Tim Manajemen Aice memutuskan untuk meja diskusi dan
menutup pertemuan tergesa dengan alasan rapat tim.

Kronologi Perselisihan

Perselisihan tim manajemen Aice dan serikat buruh sudah berlangsung lama.
Perselisihan keduanya bahkan sempat menjadi buah bibir di media sosial. Sejak 2017, SGBBI
mempersoalkan berbagai kondisi kerja yang dirasa tak ideal dengan ketentuan Undang-
undang yang berlaku. Asisten Advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia Wilayah Barat (PBHI Jakarta) Sarinah mengungkap pada 2017 buruh mogok karena
pelbagai masalah yang melibatkan pekerja dan perusahaan. Misalnya, penurunan upah,
kondisi kerja ibu hamil pada malam hari, kontaminasi lingkungan, mutasi pekerja terhadap
anggota serikat, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Perusahaan sering tidak proporsional memberikan hukuman. Ada yang


meninggalkan pekerjaan karena ada urusan serikat yang buru-buru, langsung ke SP-3.
Sedangkan ada yang 12 kali alpa, tidak dapat sanksi apa-apa," katanya. Menurut kuasa
hukum Aice, ketidakpuasan buruh pada 2017 telah mencapai kesepakatan dua pihak. Dalam
penyelesaiannya, salah satu solusi yang diberikan Aice adalah pengangkatan 665 buruh
menjadi karyawan tetap.
"Ada rangkaian peristiwa 2017 yang sudah kita selesaikan, jadi itu saya harap bukan
hal yang perlu diungkit lagi karena sudah selesai," jawab Simon pada Jumat (28/2). Sempat
mereda, pada 2019 kasus lainnya kembali mencuat. Menurut Sarinah, buruh merasa
dibohongi karena diberikan cek mundur yang kosong. Pada perjanjian yang dilakukan pada 4
Januari 2019, buruh setuju menunggu setahun bonus sebesar Rp600 juta untuk 600 karyawan.
Namun ketika hendak dicairkan pada 5 Januari 2020, pihak Bank menyatakan cek tersebut
tidak aktif alias kosong.

"Pihak Bank menelepon, katanya cek yang Bapak setorkan belum terdaftar. Aku kan
enggak ngerti, aku tanyakan tapi tidak ada respon akhirnya telepon lagi. Katanya ceknya
enggak aktif. Bayangkan setelah setahun kami menunggu, ternyata ceknya kosong," ungkap
Panji, salah seorang buruh yang tergabung dalam SKBBI. Dikonfirmasi mengenai klaim
tersebut, kuasa hukum Aice membantah akan pemberian cek tersebut. Simon menyebut
bahwa PT AFI tidak pernah memberikan bonus dalam bentuk cek, ia juga mempersilahkan
SKBBI untuk menempuh jalur hukum jika dirasa perusahaan melanggar hukum.

"Saya ingin menantang kalau misalnya ada cek kosong dan itu merupakan
pelanggaran hukum, mereka (SKBBI) dapat melakukan jalur hukum pidana. Dari legal
corporate clear tidak ada cek keluar dari PT Alpen Food Industri," terang Simon pada Jumat
(28/2). Poin lainnya yang dipermasalahkan oleh SKBBI, menurut Sarinah, adalah jam kerja
malam masih diberlakukan kepada perempuan hamil meski telah dikeluarkan surat
rekomendasi oleh Komnas Perempuan. Hal itu menurutnya menjadi pemicu tingginya angka
keguguran karyawan wanita.

Aice membantah perusahaan telah melanggar ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur pekerjaan bagi perempuan hamil. "Kami melakukan
medical check up dengan RS Omni, dari 14 (keguguran) itu tidak ada pelanggaran," ucapnya.
Diketahui Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan: Pengusaha dilarang
mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya
bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul
23.00 s.d pukul 07.00.

Sementara, pada Oktober 2019 Aice membenarkan terjadinya kebocoran amoniak di


gudang bahan jadi perusahaan. Dari keterangan resmi yang didapatkan CNNIndustry.com,
disebutkan bahwa tidak ada pekerja yang diminta melakukan kegiatan pembersihan saat
terjadi kebocoran amoniak dan penanganan dilakukan oleh tim maintenance.

"Kejadian bocornya amoniak memang pernah terjadi sekali di Oktober 2019 di


ruang finish good (gudang bahan jadi). Namun saat terjadi kebocoran, seluruh karyawan
segera dievakuasi dan penanganan kebocoran segera dilakukan oleh tim maintenance,"
katanya seperti dikutip dari pernyataan resmi Aice. Belum mencapai kesepakatan, SKBBI
menyatakan akan menempuh jalur hukum dalam mencapai hak dan tuntutan mereka. Selain
itu, SKBBI AFI juga akan melaporkan manajemen perusahaan es krim Aice ke Kementerian
Ketenagakerjaan atas dugaan pelanggaran tenaga kerja.
"Kami mau lapor ke kementerian (tenaga kerja). Kami minta agar AICE diaudit
termasuk soal limbah. Karena pekerja tidak mau disuruh-suruh buang limbah malam-malam
atau ngecek amoniak yang bocor keluar. Pekerja juga bisa tunjukkan gorong-gorong di bawah
tanah tempat limbahnya dibuang," ujarnya. Sarinah pun telah mengantongi bukti-bukti yang
memberatkan manajemen. Kini, serikat buruh harus menanti hasil dari pelaporan yang
dilakukan ke pihak berwenang.
ANALISIS COGNITIVE FAILURE

Berdasarkan kasus kecelakaan kerja ruas jari tengah tangan kanan buruh terpotong
mesin pemotong yang dialami oleh Nunu, selaku karyawan PT. Alpen Food Industry (Es
Krim Aice), dapat dianalisis cognitive failure-nya dengan melakukan identifikasi
menggunakan tiga tahapan kognitif (menurut Pujiarti, 2012), sebagai berikut:

1. Persepsi
Permasalahan dan Faktor yang Mempengaruhi:
Persepsi ini didasarkan pada kedua belah pihak, baik pada Nunu sebagai korban, dan SPV
sebagai pengawas pekerjaan yang dilakukan oleh Nunu. Kedua pihak dinilai memiliki
persepsi keselamatan yang rendah. Ditinjau dari sisi buruh, Nunu tidak begitu
mengkhawatirkan resiko bahaya pada mesin pemotong, dan begitupula pihak SPV yang
mengentengkan pekerjaan housekeeping dan tidak melakukan pengawasan. Hal ini
termasuk dalam pengaruh dari faktor individu (berkaitan dengan kesadaran dan
perhatian).
Pencegahan dan Pengendalian:
Untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan dan kesehatan kerja di area kerja,
kedua pihak perlu mengikuti safety training, yang dalam kegiatannya akan berupa praktik
langsung mengenai prosedur keselamatan yang benar, dan penjabaran kecelakaan kerja
fatal yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu akibat unsafe action/condition.
2. Pengolahan Informasi
Permasalahan dan Faktor yang Mempengaruhi:
Diidentifikasi bahwa Nunu mengalami kesalahan pengolahan informasi akibat SOP
LOTO yang rumit, sehingga berpengaruh pada tindakan tidak menghiraukan SOP
tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pihak manajemen PT. AFI (SPV dan QHSE tim)
telah melakukan kesalahan dalam pembentukan prosedur yang baik. Pihak SPV juga
melakukan kesalahan berupa penilaian resiko pada area plant produksi pemotongan dan
proses komunikasinya kepada para buruh, sehingga terjadi kecelakaan yang dialami oleh
Nunu. Hal ini termasuk dalam pengaruh dari faktor pekerjaan.
Pencegahan dan Pengendalian:
Untuk mengatasi kesalahan pengolahan informasi,dapat dilakukan dengan peninjauan dan
pembentukan ulang SOP yang baik dan tidak rumit. Sedangkan untuk permasalahan
komunikasi pesan tentang risk assessment dapat dicapai dengan cara implementasi
Kebijakan K3 yang tertuang dalam SMK3 perusahaan pada saat sebelum kerja dan
disampaikan melalui toolbox meeting, safety briefing, media cetak dan media online, dll
3. Respon
Permasalahan dan Faktor yang Mempengaruhi:
Respon yang dilakukan oleh Nunu merupakan hasil dari buah kesalahan kognitif secara
persepsi dan pengolahan informasi, hal ini dibuktikan dengan unsafe action (tidak
memakai APD secara lengkap, dengan tidak mengajukan kondisi ketidaksesuaian APD
yang diberikan perusahaan) & unsafe condition (tidak melakukan prosedur LOTO
sebelum memulai pekerjaan pembersihan mesin pemotong) yang dilakukan oleh Nunu.
Kesalahan kognitif yang dialami oleh Nunu ini dipengaruhi oleh faktor individu
(kelelahan, dan kesadaran), dan faktor pekerjaan.
Pencegahan dan Pengendalian:
Untuk mengatasi kesalahan kognitif yang dialami oleh Nunu, dapat dilakukan
pengendalian sebagai berikut:
1) Ditinjau dari aspek individunya, yakni pihak PT. AFI perlu memberikan kompensasi
kecelakaan kerja atas hilangnya ruas jari tengah tangan kiri Nunu
2) Ditinjau dari aspek pekerjaannya, pihak PT. AFI melakukan pengaturan ulang jadwal
kerja buruh dengan tidak melebihi NAB 8 jam/hari, sehingga tidak terdapat keluhan
kelelahan yang menyebabkan incident maupun accident.
3) Ditinjau dari aspek kondisinya, pihak PT. AFI perlu menyediakan kondisi kerja yang
aman dan nyaman guna meningkatkan produktivitas para buruh.
4) Ditinjau dari aspek pekerjaannya, pihak PT. AFI dapat melakukan peninjauan dan
pembentukan ulang SOP yang baik dan tidak rumit, dan melakukan komunikasi risk
assessment melalui toolbox meeting, safety briefing, media cetak dan media online,
dll.

Anda mungkin juga menyukai