Oleh
Siti Qodriyatus (P17111173031)
DAFTAR PUSTAKA
i
Aushaf, Ahmad. 2018. Ketahanan Pangan Nasional : Potensi dan Tantangannya
Rusono, Nono, Anwar, dkk. 2014. RPJMN Bidang Pangan dan Pertanian 2015-
2019 .: Jakarta
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA37
LAMPIRAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
iii
sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar.
Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar,
yang memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik; yang mudah
diakses oleh setiap orang; dan diyakini bahwa esok masih ada pangan
buat rakyat.
Selain itu, petani kecil selama ini hanya menjadi obyek kebijakan.
Petani terpaksa harus mencari upaya untuk menyelamatkan diri
sendiri. Spekulasi dan serbuan produk impor telah mengempaskan
puluhan ribu petani hortikultura karena harga hortikultura yang jatuh
saat panen. Harga cabai selama dua bulan terakhir ini jatuh di bawah
biaya produksi karena masuknya cabai olahan impor yang
menyebabkan petani merugi puluhan juta rupiah per hektar (Kompas,
7/7/2014). Petani tebu juga menghadapi hal yang sama. Gula rafinasi
iv
yang diimpor masuk ke pasar bebas dan persetujuan impor gula kristal
putih oleh Kementerian Perdagangan (10/7/2014) menghancurkan
harga gula di tingkat petani justru ketika petani tebu mulai memasuki
panen raya. Siklus itu terus berulang setiap tahun dan terjadi di hampir
semua komoditas, baik bawang merah, bawang putih, kedelai, jagung,
beras, ikan, maupun garam.
Pola konsumsi masyarakat juga berubah. Konsumsi beras menurun
rata-rata sebesar -1,62 persen setiap tahun (BPS 2014). Penurunan
konsumsi beras itu bukan disebabkan beralihnya konsumsi ke sumber
karbohidrat lokal lainnya, melainkan lebih disebabkan peningkatan
konsumsi pangan olahan berbasis tepung terigu yang meningkat
tajam. Impor gandum selama periode tersebut meningkat rata-rata
sebesar 8,6 persen setiap tahun (diolah dari WOAB, USDA 2014).
Pengeluaran rata-rata untuk konsumsi makanan dan minuman jadi
meningkat tajam rata-rata sebesar 14,7 persen (BPS 2014). Pola
konsumsi berbasis impor Perubahan gizi masyarakat juga praktis tak
terjadi karena hanya terjadi peningkatan kecil konsumsi protein asal
hewani, yaitu 0,28 persen setiap tahun, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Ironisnya sumber
protein hewani yang hampir 100 persen pakan maupun bibitnya
dikuasai perusahaan multinasional meningkat tajam 4,6 persen untuk
daging ayam ras dan 1,61 persen untuk telur ayam ras setiap tahun.
"Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai
di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya
alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat". Program diversifikasi gagal dan pola konsumsi
masyarakat kian bergeser sedikit demi sedikit dari pola konsumsi
berbasis produksi lokal asal petani kecil dan nelayan ke pangan
berbasis impor dan produk korporasi. Alih-alih meningkatkan
kapasitas petani kecil untuk mampu bersaing dalam pasar yang sampai
saat ini tidak adil bagi mereka, kebijakan pemerintah dalam lima
tahun terakhir justru semakin liberal dan sangat condong ke korporasi
asing. Jumlah investasi asing (Foreign Direct Investment/ FDI) untuk
sektor pertanian melalui lisensi yang telah diterbitkan pemerintah
meningkat luar biasa tinggi, yaitu dari 1221 pada tahun 2009 menjadi
v
4342 pada tahun 2011 atau 255 persen hanya dalam tempo dua tahun
(BKPM 2012). Pada periode 2010-2013 nilai investasi asing di bidang
pangan dan perkebunan meningkat sebesar 113 persen (BKPM 2014).
Kecenderungan ini sungguh mengkhawatirkan, apalagi pada 2015
Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hambatan tarif
dan nontarif akan dihilangkan dan prosedur karantina akan
diintegrasikan melalui ASEAN Single Window. Bahan pangan
maupun pangan olahan yang diimpor melalui salah satu negara akan
dengan bebas masuk ke pasar terbesar ASEAN, yaitu Indonesia, tanpa
hambatan. Petani dan nelayan kecil semakin dibenturkan sistem
perdagangan pangan dan pertanian yang tak adil bagi mereka. Dengan
demikian, perlu upaya luar biasa keras sehingga program luhur
kedaulatan pangan bisa benar-benar terwujud dan tidak menjadi
jargon kampanye tanpa isi. Dengan pertimbangan pentingnya beras
tersebut, Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan
ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan
produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin
penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya semakin besar
dengan sebaran populasi yang luas dan cakupan geografis yang
tersebar.
Yang disayangkan adalah fenomena substitusi pangan pokok dari
pangan lokal ke bahan pangan impor.
vi