Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

SUBSTITUSI IKAN TERI, JAMUR KUPING DAN DAUN KELOR TERHADAP


NILAI ENERGI, KADAR ZAT GIZI, KADAR FE, DAN MUTU ORGANOLEPTIK
NUGGET UNTUK REMAJA PUTRI PENDERITA ANEMIA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Pangan


Yang dibina oleh Ibu Ir . Astutik Pudjirahayu , M . Si

Oleh
Siti Qodriyatus (P17111173031)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN GIZI
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV
MALANG
2019

DAFTAR PUSTAKA

i
Aushaf, Ahmad. 2018. Ketahanan Pangan Nasional : Potensi dan Tantangannya

Dinas Ketahanan Pangan. 2018. Laporan Kegiatan Penyusunan Data Base


Potensi Produk Pangan. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) :
Kabupaten Buleleng.

Rusono, Nono, Anwar, dkk. 2014. RPJMN Bidang Pangan dan Pertanian 2015-
2019 .: Jakarta

Erwidodo, 2014. Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian Dan


Ketahanan Pangan Nasional. Dalam: Haryono, dkk 2014 (eds). Reformasi
Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. IAARD Press, Jakarta

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN …………………………..39


JFJFJFJ …………………………..20

DAFTAR PUSTAKA37

LAMPIRAN

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemenuhan pangan dicerminkan dari tersedianya pangan yang cukup,


baik jumlah dan mutunya, aman,
B. beragam,bergizi,merata dan terjangkau

Tingginya nilai impor dari kebanyakan negara berkembang


memicu utang luar negeri meningkat, sehingga cadangan
devisa semakin menipis.

Alasan suatu negara melakukan impor disebabkan adanya


kegagalan negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan
dalam negeri, baik dalam bentuk kualitas maupun
kuantitas. Ketidakmampuan suatu negara dalam
menyediakan kebutuhan terjadi akibat negara tersebut
tidak dapat berproduksi secara efisien. Sehingga negara
tersebut akan melakukan transaksi impor. Transaksi dan
realisasi impor merupakan transaksi perdagangan luar
negeri yang dilakukan semua negara tanpa kecuali.

Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan pangan


menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya

iii
sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar.
Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar,
yang memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik; yang mudah
diakses oleh setiap orang; dan diyakini bahwa esok masih ada pangan
buat rakyat.

faktor-faktor yang cukup mampu memengaruhi pencapaian ketahanan


pangan di Indonesia.
1. Sisi Penyediaan Pasokan
Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan
kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan adanya
kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan nasional yang
berasal dari impor.

Terabaikannya pembangunan sektor pertanian dan pangan pasca


Reformasi menyebabkan kita kian dalam masuk jurang impor pangan
yang menghambat upaya mandiri di bidang pangan dan
mengorbankan petani kecil.   Impor pangan yang semakin membesar
selama sepuluh tahun terakhir ini merupakan kenyataan. Selama
periode pemerintahan terakhir, impor pangan dibandingkan dengan
tahun 2004 meningkat tajam. Beras meningkat 482,6 persen, daging
sapi 349,6 persen, cabai 141,0 persen, gula 114,6 persen, bawang
merah 99,8 persen, jagung 89,0 persen, kedelai 56,8 persen, dan
gandum 45,2 persen (Bappenas, 2014)

Selain itu, petani kecil selama ini hanya menjadi obyek kebijakan.
Petani terpaksa harus mencari upaya untuk menyelamatkan diri
sendiri. Spekulasi dan serbuan produk impor telah mengempaskan
puluhan ribu petani hortikultura karena harga hortikultura yang jatuh
saat panen. Harga cabai selama dua bulan terakhir ini jatuh di bawah
biaya produksi karena masuknya cabai olahan impor yang
menyebabkan petani merugi puluhan juta rupiah per hektar (Kompas,
7/7/2014). Petani tebu juga menghadapi hal yang sama. Gula rafinasi

iv
yang diimpor masuk ke pasar bebas dan persetujuan impor gula kristal
putih oleh Kementerian Perdagangan (10/7/2014) menghancurkan
harga gula di tingkat petani justru ketika petani tebu mulai memasuki
panen raya. Siklus itu terus berulang setiap tahun dan terjadi di hampir
semua komoditas, baik bawang merah, bawang putih, kedelai, jagung,
beras, ikan, maupun garam.
Pola konsumsi masyarakat juga berubah. Konsumsi beras menurun
rata-rata sebesar -1,62 persen setiap tahun (BPS 2014). Penurunan
konsumsi beras itu bukan disebabkan beralihnya konsumsi ke sumber
karbohidrat lokal lainnya, melainkan lebih disebabkan peningkatan
konsumsi pangan olahan berbasis tepung terigu yang meningkat
tajam. Impor gandum selama periode tersebut meningkat rata-rata
sebesar 8,6 persen setiap tahun (diolah dari WOAB, USDA 2014).
Pengeluaran rata-rata untuk konsumsi makanan dan minuman jadi
meningkat tajam rata-rata sebesar 14,7 persen (BPS 2014). Pola
konsumsi berbasis impor Perubahan gizi masyarakat juga praktis tak
terjadi karena hanya terjadi peningkatan kecil konsumsi protein asal
hewani, yaitu 0,28 persen setiap tahun, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Ironisnya sumber
protein hewani yang hampir 100 persen pakan maupun bibitnya
dikuasai perusahaan multinasional meningkat tajam 4,6 persen untuk
daging ayam ras dan 1,61 persen untuk telur ayam ras setiap tahun.
"Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai
di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya
alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat". Program diversifikasi gagal dan pola konsumsi
masyarakat kian bergeser sedikit demi sedikit dari pola konsumsi
berbasis produksi lokal asal petani kecil dan nelayan ke pangan
berbasis impor dan produk korporasi. Alih-alih meningkatkan
kapasitas petani kecil untuk mampu bersaing dalam pasar yang sampai
saat ini tidak adil bagi mereka, kebijakan pemerintah dalam lima
tahun terakhir justru semakin liberal dan sangat condong ke korporasi
asing. Jumlah investasi asing (Foreign Direct Investment/ FDI) untuk
sektor pertanian melalui lisensi yang telah diterbitkan pemerintah
meningkat luar biasa tinggi, yaitu dari 1221 pada tahun 2009 menjadi

v
4342 pada tahun 2011 atau 255 persen hanya dalam tempo dua tahun
(BKPM 2012). Pada periode 2010-2013 nilai investasi asing di bidang
pangan dan perkebunan meningkat sebesar 113 persen (BKPM 2014).
Kecenderungan ini sungguh mengkhawatirkan, apalagi pada 2015
Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hambatan tarif
dan nontarif akan dihilangkan dan prosedur karantina akan
diintegrasikan melalui ASEAN Single Window. Bahan pangan
maupun pangan olahan yang diimpor melalui salah satu negara akan
dengan bebas masuk ke pasar terbesar ASEAN, yaitu Indonesia, tanpa
hambatan. Petani dan nelayan kecil semakin dibenturkan sistem
perdagangan pangan dan pertanian yang tak adil bagi mereka. Dengan
demikian, perlu upaya luar biasa keras sehingga program luhur
kedaulatan pangan bisa benar-benar terwujud dan tidak menjadi
jargon kampanye tanpa isi. Dengan pertimbangan pentingnya beras
tersebut, Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan
ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan
produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin
penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya semakin besar
dengan sebaran populasi yang luas dan cakupan geografis yang
tersebar.
Yang disayangkan adalah fenomena substitusi pangan pokok dari
pangan lokal ke bahan pangan impor.

Dengan pertimbangan permasalahan pangan tersebut di atas maka


kebijaksanaan pangan nasional harus dapat mengakomodasikan dan
menyeimbangkan antara aspek penawaran/produksi dan
permintaan. Pengelolaan kedua aspek tersebut harus mampu
mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tangguh menghadapi
segala gejolak. Pengelolaannya harus dilakukan dengan optimal
mengingat kedua aspek tersebut dapat tidak sejalan atau bertolak
belakang.

vi

Anda mungkin juga menyukai