Anda di halaman 1dari 9

Deterjen mengandung enzim kationik yang berguna untuk membasmi noda

pada pakaian.

Namun ternyata, zat kationik adalah zat beracun yang jika tak sengaja tertelan
dapat menyebabkan seseorang merasa mual, muntah, syok, kejang-kejang,
bahkan koma.

Adapula deterjen yang mengandung enzim "non-ionik" yang lebih sedikit


jumlah racunnya, daripada deterjen kationik. Meski demikian, zat "non-ionik"
dapat membuat kulit iritasi dan membuat mata cenderung lebih sensitif atau
terasa perih.

Pewangi yang biasa terkandung dalam deterjen pun, ternyata dapat


menyebabkan efek negatif bagi kesehatan, seperti : iritasi pada kulit dan
saluran pernapasan, sakit kepala, bersin, mata berair, alergi, serta asma.

Baca Juga: Dispenser Air Minum Adalah Sarang Hewan Menjijikan Ini


Bersama Kuman yang Dapat Sebabkan Berbagai Penyakit

The National Institute of Occupational Safety and Health, telah menemukan


bahwa sepertiga zat yang digunakan pada pewangi adalah racun. Tetapi
karena formula kimia pewangi dianggap sebagai rahasia dagang, perusahaan
tidak diharuskan untuk membuat daftar bahan-bahannya dan hanya
melabelinya dengan "wewangian".

Deterjen juga bertanggung jawab atas banyaknya kasus keracunan dalam


rumah, karena hal yang tak disengaja. Biasanya ketidaksengajaan tersebut
banyak dilakukan oleh anak-anak.

Deterjen memiliki banyak jenis, pun juga banyak masalah kesehatan yang
ditimbulkannya. Bahkan, efek jangka panjang dari penggunaan deterjen bisa
menyebabkan kanker.

Tak hanya menimbulkan berbagai masalah kesehatan, ternyata deterjen juga


berpotemsi merusak lingkungan.

Baca Juga: Tidak Ada Nyamuk Tapi Kulit Gatal Saat Tidur, Tanda Tungau
Ada di Kasur

Air berbusa yang dihasilkan dari deterjen, akan menghilang ke saluran


pembuangan air dan akan mencemari lingkungan melalui aliran dan proses
infiltrasi.
Air bekas mencuci ini akan menimbulkan berbagai masalah pencemaran yang
juga dapat merusak ekosistem dalam air, seperti: mencemari kualitas air
tanah dengan bahan kimia, pertumbuhan ganggang atau tumbuhan air
belebihan yang merusak ekosistem dalam air, hingga menipisnya oksigen
dalam air yang akhirnya membunuh ikan dan organisme lainnya.

2. Bersifat mikroplastik

Mikroplastik menjadi masalah utama dalam isu sampah plastik saat ini. Enri mengatakan
sampah plastik, terutama styrofoam, yang dibuang ke perairan, lama kelamaan akan
terpecah-pecah menjadi pecahan kecil plastik tak kasat mata yang disebut mikroplastik.
Mikroplastik itu kemudian dimakan oleh ikan.

“Ikan itu lalu dimakan oleh kita. Itu artinya benzenanya juga masuk ke dalam tubuh kita.
Kembali lagi ke masalah kesehatan manusia,” kata Enri.
Bandung larang penggunaan styrofoam karena sumber banjir disebut akibat kantong plastik dan
styrofoam. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

1. Sulit terurai

Sampah styrofoam merupakan sampah yang sulit terurai seperti halnya sampah plastik
lainnya. Namun jika jenis plastik lain dicari oleh pemulung karena bisa didaur ulang,
styrofoam tidak. 

Sebab itulah, sampah styrofoam terus menggunung dan mengganggu lingkungan. Jika
dibuang ke sungai atau saluran air, styrofoam bisa menyumbat saluran air dan
mengakibatkan banjir.

Berdasarkan penelitian Enri dan rekannya di Jurusan Teknik Lingkungan ITB pada 2011,
jumlah sampah styrofoam di Kota Bandung mencapai 27 ton setiap bulannya.  

Penyumbang terbesar sampah styrofoam adalah non-rumah tangga sebanyak 11,9 ton per
bulan. Sementara, rumah tangga menyumbang sebanyak 9,8 ton per bulan. Persentase
sampah styrofoam mencapai 1,14% dari 12% sampah plastik yang terkumpul setiap
bulannya. 

“Tapi itu kan dihitung berdasarkan satuan berat, sedangkan styrofoam ringan. Memang
hanya 1,14 persen, tapi secara volume jumlahnya sangat banyak,” kata Enri.

2. Masih gunakan CFC

Selain mengganggu lingkungan, styrofoam ternyata ikut berkontribusi pada timbulnya efek
rumah kaca. Menurut Enri, proses pembuatan produk plastik itu hingga kini masih
menggunakan chloro fluoro carbon (CFC) yang menjadi penyebab efek rumah kaca.

“Pembuatan styrofoam itu biasanya menggunakan CFC untuk mengelembungkannya.


Sampai sekarang teknologi pembuatan styrofoam masih menggunakan itu,” ujar Enri.

Belum ada payung hukum

Larangan penggunaan styrofoam turut disambut baik Wahana Lingkungan Indonesia


(Walhi) Jawa Barat. Deputy Walhi Jabar, Dwi Retnastuti, mengatakan pihaknya mengapresiasi
kebijakan tersebut karena styrofoam menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan.  

Namun pihaknya menyesalkan belum adanya payung hukum atas aturan itu. Dwi khawatir
aturan itu tidak akan dipatuhi warga karena tidak memiliki kekuatan hukum.

“Ini sepertinya harus diiringi dengan payung hukum yang ada dan harus berjalan beriringan,
antara bagaimana menyosialisasikan persoalan styrofoam ini kepada pedagang dengan
bagaimana Pemkot Bandung menyiapkan payung hukum untuk itu semua, agar tidak ada
lagi yang berani melanggar,” kata Dwi.

Ridwan mengakui pihaknya belum membuat payung hukum tentang larangan styrofoam.
Namun dalam mengeluarkan kebijakan itu, ia mengacu pada Undang-Undang No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Daerah
tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan.    
Menurutnya, tidak ada lagi alasan bagi siapapun untuk tidak mematuhinya.  

“Sekarang, mah, mau tegas tidak tegas, Pemkot meminta warga mengikuti karena tujuannya
baik. Kalau dikit-dikit minta hukumannya tegas, susah. Memang enggak ada khusus Perda
styrofoam, maka kita mencantol ke undang-undang yang lain,” kata Ridwan.
Pedagang kaki lima harus mencari pengganti styrofoam untuk kemasan makanan yang lebih murah. Foto
oleh Yuli Saputra/Rappler

“Penggantinya banyak sekali. Ada karton, ada tradisi bambu, ada tradisi bawa wadah
sendiri. Itu yang akan disosialisasikan. Kenapa styrofoam popular, karena harganya murah.
Sekarang saatnya mengubah kemalasan yang membahayakan. Lebih repot sedikit tapi
ramah lingkungan,” ujarnya.

Ridwan menegaskan, pihaknya tidak akan ragu menerapkan sanksi bahkan hingga
pencabutan izin usaha bagi siapapun yang membangkang, tak terkecuali produsen
makanan besar. Karena itu, ia meminta kepada produsen makanan dan minuman besar
untuk segera mengganti kemasannya.

Larangan styrofoam juga disambut baik oleh warga Kota Bandung, salah satunya Pilan
Iswuri. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi itu setuju jika penggunaan styrofoam untuk
wadah makanan dan minuman dilarang.  

Penggemar makanan seblak ini seringkali khawatir jika membeli makanan favoritnya itu


karena dikemas menggunakan styrofoam. Namun perempuan 20 tahun itu meminta agar
kebijakan itu diiringi dengan pilihan pengganti styrofoam.

“Setuju, sih, tapi harus ada penggantinya yang harganya lebih murah atau terjangkau.
Kasihan pedagang kaki lima harus beli mangkuk plastik kan mahal,” kata Pilan.

Persoalan itu juga dikeluhkan Dessy, seorang pedagang seblak di Jalan Gatot Soebroto Kota
Bandung. Ia merasa keberatan jika harus mengganti styrofoam dengan mangkuk plastik
yang harganya jauh lebih mahal.  

Jika untuk 100 buah styrofoam ia hanya membayar Rp 26 ribu, maka untuk mangkuk plastik
Dessy harus membayar lebih mahal lagi, yakni Rp1.500 per satu buah mangkuknya. Dessy
berpikir untuk menaikkan harga seblak per porsinya dari Rp10 ribu menjadi Rp12 ribu.

“Tapi enggak tahu pembelinya mau apa enggak dengan harga segitu,” kata perempuan 28
tahun itu.

Meski demikian, Dessy mengaku mau mematuhi aturan tersebut. 

“Mau [mematuhi], ya gimana lagi kalau itu sudah jadi aturan,” ujarnya pasrah. —
Rappler.com

RECOMMENDED STORIES

‘Duterte believes Espenido is clean’ – Malacañang

[OPINION] False idols, choosing sides: History repeats itself post-EDSA

Trump 'offered pardon' to Assange if he denied Russia leak, court hears

Duterte says shun 'petty political differences' but again skips EDSA anniversary rites

Cathay Pacific fined by UK watchdog over massive data breach


Brand Profile

Drilon to Pagcor: 'Stupid mindset' to allow POGOs for money

Alex Eala advances to 2nd round of Tunisia pro tournament

ABOUT RAPPLER

Welcome to Rappler, a social news network where stories inspire community engagement and
digitally fuelled actions for social change. Rappler comes from the root words "rap" (to discuss) +
"ripple" (to make waves).

Read more

 Rappler's Founding Board


 Rappler's 2017-2018 Board
 Rappler Team
 Rappler Indonesia Team
 Job Openings
 Archives
 X
 Privacy statement
 Terms of Use
 Comment moderation Policy
 Advertise With Us
 Contact Us

Penggunaan styrofoam ternyata memiliki dampak yang tidak baik terhadap


lingkungan. Pengunaan styrofoam yang berlebih akan menghasilkan
limbah yang bertumpuk. Styrofoam merupakan limbah yang sulit terurai
secara alamiah karena perlu waktu yang sangat lama, hampir seribu tahun
lamanya. Selain itu, styrofoam bukan hanya mencemari lingkungan darat
saja. Apabila terbawa ke laut, styrofoam pun dapat merusak ekosistem dan
biota laut. Disamping itu, styrofoam merupakan salah satu peyebab banjir,
styrofoam yang tersangkut tersebut menjadi pemicu sampah lain ikut
tersangkut pula. Akibatnya, sampah akan menumpuk dan menutup aliran
air sehingga apabila musim hujan datang, dan debit air cukup besar, maka
kemungkinan besar untuk banjir di atas 50%. Data dari
EPA(Environmental Protection Agency) menyebutkan bahwa styrofoam
ini adalah limbah berbahaya terbesar ke-5 di dunia. Beberapa perusahaan
memang mendaur ulang styrofoam. Namun sebenarnya, yang dilakukan
hanya menghancurkan styrofoam lama membentuknya menjadi styrofoam
baru dan menggunakannya kembali.
Istilah plastik mencakup produk polimerisasi sintetik atau semi-sintetik. Mereka terbentuk
dari kondensasi organik atau penambahan polimer dan bisa juga terdiri dari zat lain untuk
meningkatkan performa atau ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai