pada pakaian.
Namun ternyata, zat kationik adalah zat beracun yang jika tak sengaja tertelan
dapat menyebabkan seseorang merasa mual, muntah, syok, kejang-kejang,
bahkan koma.
Deterjen memiliki banyak jenis, pun juga banyak masalah kesehatan yang
ditimbulkannya. Bahkan, efek jangka panjang dari penggunaan deterjen bisa
menyebabkan kanker.
Baca Juga: Tidak Ada Nyamuk Tapi Kulit Gatal Saat Tidur, Tanda Tungau
Ada di Kasur
2. Bersifat mikroplastik
Mikroplastik menjadi masalah utama dalam isu sampah plastik saat ini. Enri mengatakan
sampah plastik, terutama styrofoam, yang dibuang ke perairan, lama kelamaan akan
terpecah-pecah menjadi pecahan kecil plastik tak kasat mata yang disebut mikroplastik.
Mikroplastik itu kemudian dimakan oleh ikan.
“Ikan itu lalu dimakan oleh kita. Itu artinya benzenanya juga masuk ke dalam tubuh kita.
Kembali lagi ke masalah kesehatan manusia,” kata Enri.
Bandung larang penggunaan styrofoam karena sumber banjir disebut akibat kantong plastik dan
styrofoam. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler
1. Sulit terurai
Sampah styrofoam merupakan sampah yang sulit terurai seperti halnya sampah plastik
lainnya. Namun jika jenis plastik lain dicari oleh pemulung karena bisa didaur ulang,
styrofoam tidak.
Sebab itulah, sampah styrofoam terus menggunung dan mengganggu lingkungan. Jika
dibuang ke sungai atau saluran air, styrofoam bisa menyumbat saluran air dan
mengakibatkan banjir.
Berdasarkan penelitian Enri dan rekannya di Jurusan Teknik Lingkungan ITB pada 2011,
jumlah sampah styrofoam di Kota Bandung mencapai 27 ton setiap bulannya.
Penyumbang terbesar sampah styrofoam adalah non-rumah tangga sebanyak 11,9 ton per
bulan. Sementara, rumah tangga menyumbang sebanyak 9,8 ton per bulan. Persentase
sampah styrofoam mencapai 1,14% dari 12% sampah plastik yang terkumpul setiap
bulannya.
“Tapi itu kan dihitung berdasarkan satuan berat, sedangkan styrofoam ringan. Memang
hanya 1,14 persen, tapi secara volume jumlahnya sangat banyak,” kata Enri.
Selain mengganggu lingkungan, styrofoam ternyata ikut berkontribusi pada timbulnya efek
rumah kaca. Menurut Enri, proses pembuatan produk plastik itu hingga kini masih
menggunakan chloro fluoro carbon (CFC) yang menjadi penyebab efek rumah kaca.
Namun pihaknya menyesalkan belum adanya payung hukum atas aturan itu. Dwi khawatir
aturan itu tidak akan dipatuhi warga karena tidak memiliki kekuatan hukum.
“Ini sepertinya harus diiringi dengan payung hukum yang ada dan harus berjalan beriringan,
antara bagaimana menyosialisasikan persoalan styrofoam ini kepada pedagang dengan
bagaimana Pemkot Bandung menyiapkan payung hukum untuk itu semua, agar tidak ada
lagi yang berani melanggar,” kata Dwi.
Ridwan mengakui pihaknya belum membuat payung hukum tentang larangan styrofoam.
Namun dalam mengeluarkan kebijakan itu, ia mengacu pada Undang-Undang No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Daerah
tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan.
Menurutnya, tidak ada lagi alasan bagi siapapun untuk tidak mematuhinya.
“Sekarang, mah, mau tegas tidak tegas, Pemkot meminta warga mengikuti karena tujuannya
baik. Kalau dikit-dikit minta hukumannya tegas, susah. Memang enggak ada khusus Perda
styrofoam, maka kita mencantol ke undang-undang yang lain,” kata Ridwan.
Pedagang kaki lima harus mencari pengganti styrofoam untuk kemasan makanan yang lebih murah. Foto
oleh Yuli Saputra/Rappler
“Penggantinya banyak sekali. Ada karton, ada tradisi bambu, ada tradisi bawa wadah
sendiri. Itu yang akan disosialisasikan. Kenapa styrofoam popular, karena harganya murah.
Sekarang saatnya mengubah kemalasan yang membahayakan. Lebih repot sedikit tapi
ramah lingkungan,” ujarnya.
Ridwan menegaskan, pihaknya tidak akan ragu menerapkan sanksi bahkan hingga
pencabutan izin usaha bagi siapapun yang membangkang, tak terkecuali produsen
makanan besar. Karena itu, ia meminta kepada produsen makanan dan minuman besar
untuk segera mengganti kemasannya.
Larangan styrofoam juga disambut baik oleh warga Kota Bandung, salah satunya Pilan
Iswuri. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi itu setuju jika penggunaan styrofoam untuk
wadah makanan dan minuman dilarang.
“Setuju, sih, tapi harus ada penggantinya yang harganya lebih murah atau terjangkau.
Kasihan pedagang kaki lima harus beli mangkuk plastik kan mahal,” kata Pilan.
Persoalan itu juga dikeluhkan Dessy, seorang pedagang seblak di Jalan Gatot Soebroto Kota
Bandung. Ia merasa keberatan jika harus mengganti styrofoam dengan mangkuk plastik
yang harganya jauh lebih mahal.
Jika untuk 100 buah styrofoam ia hanya membayar Rp 26 ribu, maka untuk mangkuk plastik
Dessy harus membayar lebih mahal lagi, yakni Rp1.500 per satu buah mangkuknya. Dessy
berpikir untuk menaikkan harga seblak per porsinya dari Rp10 ribu menjadi Rp12 ribu.
“Tapi enggak tahu pembelinya mau apa enggak dengan harga segitu,” kata perempuan 28
tahun itu.
“Mau [mematuhi], ya gimana lagi kalau itu sudah jadi aturan,” ujarnya pasrah. —
Rappler.com
RECOMMENDED STORIES
Duterte says shun 'petty political differences' but again skips EDSA anniversary rites
ABOUT RAPPLER
Welcome to Rappler, a social news network where stories inspire community engagement and
digitally fuelled actions for social change. Rappler comes from the root words "rap" (to discuss) +
"ripple" (to make waves).
Read more