Anda di halaman 1dari 65

PROPOSAL

STUDI LITERATUTE PENGARUH PEMBIDAIAN BACK SLAB CAST


DAN SPALK TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA
PASIEN FRAKTUR EKTREMITAS BAWAH

DISUSUN OLEH :

SILVIA ANDONIA SAISELAR


NPM : 12114201160086

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
AMBON
2020
2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif

( Muttaqin, 2011 ). Pada pasien yang mengalami fraktur (patah tulang) baik

yang disebabkan oleh kecelakaan maupun trauma termasuk dalam kategori

nyeri akut. Selain menimbulkan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri

akut yang tidak redah dan tidak mendapatkan penanganan dapat

mempenggaruhi sistem pulmonnari, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin

dan imunologik.Nyeri juga dapat timbul berbagai stimulus seperti rangsangan

fisik karena terpapar oleh suhu, mekanik , listrik dan pembedahan( Wirawan,

2017 ).

Angka kejadian trauma saat ini masih sangat tinggi, baik di negara

maju maupun negara berkembang. Penyebab utamanya adalah kecelakaan

lalulintas yang merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di

dunia.Berdasarkan prevalensi data menurut World Health of Organisation

(WHO) menyebutkan bahwa 1,24 juta korban meninggal tiap tahunnya di

seluruh dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Menurut Departemen Kesehatan

Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2018menyatakan bahwa tempat

terjadinya cedera dijalan raya 31,4 %, sebesar 72,7 % pengendara sepeda

3
motor dan cedera disebabkan kecelakaan lalulintas provinsi Maluku 72,5 %

(Riskesdas, 2018).

Menurut data Dinas kesehatan Kabupaten Maluku Barat Daya tahun

2019 angka kejadian trauma atau kecelakaan secara keseluruhan adalah 977

korban,sedangkan catatan di RSUD Tiakur korban kecelakaan sebanyak 355

jiwa, rawat jalan sebanyak 176 orang, rawat inap sebanyak 165 orang dan

yang meninggal 21 orang. Setiap kasus trauma yang di curigai dengan fraktur

datang ke rumah sakit terutama ke instalasi gawat darurat mengeluh rasa

nyeri disebabkan karena mengalami cedera otot, sendi maupun tulang.

Berdasarkan rekam medik Instalasi Gawat Darurat RSUD Tiakur tahun 2019

tercatat pasien fraktur yang datang sebanyak 112 kasus baik yang rawat inap

maupun rawat jalan, pasien yang meninggal tercatat sebanyak 6 orang. Pasien

fraktur ekstrimitas sebanyak 89 orang, 41 orang usia di atas 24 tahun, 43

kasus merupakan fraktur ekstrimitas bawah, rawat jalan sebanyak 27 orang,

rawat inap 16 orang dan sebanyak 7 orang mendapat penanganan medis

dengan tindakan pembidaian back slab cast dan spalk (Data Sekunder Dinas

Kesehatan MBD, 2019).

Prinsip penatalaksanaan pasien fraktur adalah reduksi, imobilisasi,

pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabiliti.Setelah fraktur

direduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi

dan kesejajaran yang benar (Mediarti, 2015).

Pembidaian/splinting merupakan salah satu cara untuk

mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh kita yang cedera. Ada berbagai

4
maccam pembidaian yaitu soft splint (bidai lunak), hard splint (bidai kaku),

air or vacuum splint (bidai udara, traction splint (bidai dengan traksi) dan

anatomy splint (bidai dengan anggota tubuh).Tujuan pembidaian adalah

untuk mempertahankan fragmen tulang, mencegah kerusakan jaringan sekitar

tulang yang patah dan mengurangi nyeri (Wirawan, 2017).

Penanganan awal pada pasien fraktur di triage IGD RSUD Tiakur saat

ini dilakukan dengan pembidaian menggunakan spalk ( bidai kayu yang

dibalut kapas dan verban atau dengan spon dibungkus plastik ). Pembidaian

menggunakan satu spalk untuk fraktur ekstrimitas atas dan tiga spalk untuk

fraktur ekstrimitas bawah. Pembidaian ini dilakukan untuk imobilisasi

sementara dalam menegakan diagnosis dan sebelum dilakukan tindakan

definitif baik operatif maupun non operatif ( Conservative care ). Selama itu

pasien merasakan nyeri yang sangat hebat pada ekstrimitas yang mengalami

fraktur saat digerakan yang diperberat dengan penekanan pada tonjolan tulang

akibat pembidaian back slab cast dan spalk yang telah dipasang walaupun

telah diberikan analgesia.

Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Pengaruh Pembidaian Back Slab Cast dan Spalk Terhadap

Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstrimitas Bawah di RSUD

Tiakur, Kabupaten Maluku Barat Daya”.

5
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh Pembidaian Back Slab Cast

dan Spalk Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur

Ekstrimitas Bawah di RSUD Tiakur, Kabupaten Maluku Barat Daya?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh Pembidaian Back Slab Cast dan Spalk Terhadap Penurunan

Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstrimitas Bawah di RSUD Tiakur,

Kabupaten Maluku Barat Daya.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui intensitas nyeri pada pasien fraktur ektrimitas bawah

sebelum dilakukan pembidaian back slab cast

b. Mengetahui intensitas nyeri pada pasien fraktur ekstrimitas bawah

setelah dilakukan pembidaian dengan back slab cast

c. Mengetahui intensitas nyeri pada pasien fraktur ekstrimitas bawah

sebelum dilakukan pembidaian dengan spalk

d. Mengetahui intensitas nyeri pada pasien fraktur ekstrimitas bawah

setelah dilakukan pembidaian dengan spalk

6
e. Menganalisa pengaruh pembidaian back slab cast dan spalk dalam

menurunkan intensitas nyeri pada pasien fraktur ektrimitas bawah.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah pengetahuan terutama dalam ilmu keperawatan yang

berhubungan dengan pengaruh Pembidaian Back Slab Cast dan Spalk

Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstrimitas

Bawah di RSUD Tiakur, Kabupaten Maluku Barat Daya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Responden

Hasil penelitian ini di harapkan menambah pengetahuan

responden terhadap pengaruh Pembidaian Back Slab Cast dan Spalk

Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstrimitas

Bawah.

b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Manfaat bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan

referensi untuk melakukan penelitian sejenis dan lebih lanjut dalam

bidang keperawatan.

c. Bagi Peneliti

Manfaat bagi peneliti adalah menambah pengetahuan dan

pengalaman pribadi mengenai pengaruh pembidaian Back Slab Cast

7
dan Spalk Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur

Ekstrimitas Bawah.

d. Bagi Instansi

Sebagai tambahan referensi dan pengembangan penelitian

tentang pengaruh pembidaian Back Slab Cast dan Spalk Terhadap

Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Fraktur Ekstrimitas Bawah.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan UmumTentang Fraktur

1. Pengertian Fraktur

Menurut Noor ( 2016 ) Fraktur merupakan istilah dari hilangnya

kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian.

Secara ringkas dan umum, fraktur adalah patah tulang yang disebabkan

oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan

tulang itu sendiri, serta jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan

apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak lengkap.

2. Penyebab Fraktur

Pada beberapa keadaan, kebanyakan proses fraktur terjadi karena

kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok,

memutar, dan tarikan. Trauma muskuluskeletal yang dapat menyebabkan

fraktur dapat dibagi menjadi trauma langsung, trauma tidak langsung dan

trauma ringan (Noor, 2016).

Trauma langsung yaitu benturan pada tulang, biasanya dengan

posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan

benda keras (jalanan).Trauma tidak langsung yaitu titik tumpuan benturan

dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar

9
mandi.Sedangkan ringan yaitu keadaan yang dapat menyebabkan fraktur

bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau underlying deases atau fraktur

patologis (Permana dkk, 2015).

3. Klasifikasi Fraktur
Menurut Noor (2015) klasifikasi fraktur dapat dibagidalam

klasifikasi penyebab, klasifikasi jenis, klasifikasi klinis, dan klasifikasi

radiologis.

a. Klasifikasi penyebab

1) Fraktur traumatik

Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang

dengan kekuatan besar.Tulang tidak mampu menahan trauma

tersebut sehingga menjadi fraktur.

2) Fraktur patologis

Disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat

kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada

daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor atau

proses patologis lainnya. Tulang seringkali menunjukan penurunan

densitas.Penyebab yang paling sering dari fraktur-fraktur semacam

ini adalah tumor, baik primer maupun metastasis.

10
Gambar 2.1.Radiologis fraktur disebabkan oleh tumor tulang

b. Klasifikasi Jenis

Berbagai jenis fraktur tersebut adalah sebagai berikut:

1) Fraktur terbuka.

2) Fraktur tertutup

3) Fraktur kompresi

4) Fraktur stress

5) Fraktur avulasi

6) Greenstick Fracture (fraktur lentur atau salah satu tulang patah

sedang sisi lainnya membengkok)

7) Fraktur transversal

8) Fraktur kominutif (tulang pecah menjadi beberapa bagian)

9) Fraktur impaksi (sebagian fragmen tulang masuk ke dalam tulang

lainnya).

11
Gambar 2.2.Klasifikasi jenis fraktur yang umum digunakan
dalam konsep fraktur.

c. Klasifikasi klinis

Manifestasi dari kelainan akibat trauma pada tulang

bervariasi. Klinis yang didapatkan akan memberikan gambaran pada

kelainan tulang. Secara umum keadaan pada tulang dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Fraktur tertutup (close fracture)

Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak tembus oleh

fragmen tulang sehingga lokasi fraktur tidak tercemar oleh

lingkungan atau tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

2) Fraktur terbuka (open fracture)

Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan

dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak,

dapat berbentuk dari dalam (from within) atau dari luar (from

without).

12
3) Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)

Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai

dengan komplikasi misalnya mal-union, delayed union, non-

union, serta infeksi tulang.

d. Klasifikasi radiologis

Klasifikasi fraktur berdasarkan penilaian radiologis yaitu

penilaian lokalisasi/letak fraktur, meliputi : diafisial, metafisial,

intraartikular, dan fraktur dislokasi. Estimasi penilaian pada

konfigurasi atau sudut patah dari suatu fraktur dapat dibedakan

sebagai berikut :

1) Fraktur tranfersal

Fraktur tranfersal adalah fraktur yang garis patahnya tegak

lurus terhadap sumbuh panjang tulang. Pada fraktur semacaam ini,

segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi

kembali ketempatnya semula, maka segmen-segmen itu akan

stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips.

Gambar 2.3. Contoh fraktur transversal

13
2) Fraktur kuminutif

Fraktur kuminutif adalah serpihan-serpihan atau

terputusnya keutuhan jaringan dimana terdapat lebih dari dua

fragmen tulang.

Gambar 2.4.Contoh fraktur kuminutif

3) Fraktur oblik

Faraktur oblik adalah frakur yang garis patahnya

membentuk sudut terhadap tulang.Fraktur ini tidak stabil dan sulit

diperbaiki.

Gambar 2.5.Contoh fraktur oblik

14
4) Fraktur segmental

Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu

tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai

daranya.Fraktur semacam ini sulit ditangani. Biasanya, satu ujung

yang tidak memiliki pembuluh darah akan sulit sembuh dan

mungkin memerlukan pengobatan secara bedah.

Gambar 2.6.Contoh fraktur segmental

5) Fraktur impaksi

Fraktur impaksi atau fraktur kompresi.Fraktur kompresi

terjadi ketika tulang menumbuk tulang yang berada diantaranya,

seperti satu vertebra denga dua vertebra lainnya (sering disebut

dengan brust fracture).Fraktur pada korpus vertebra ini dapat

didiagnosis dengan radiogram. Pandangan lateral dari tulang

punggung menunjukkan pengurangan tinggi vertikal dan sedikit

membentuk sudut pada satu atau beberapa vertebra.

15
Gambar 2.6.Fraktur impaksi

6) Fraktur spiral

Fraktur spiral timbu akibat torsi pada ekstremitas.Fraktur-

fraktur ini khas dengan cedera terputar sampai tulang patah.Yan

menarik adalah bahwa jenis fraktur rendah energi ini hanya

menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung

cepat sembuh dengan imobilisasi luar.

Gambar 2.7.Fraktur spiral

16
4. Manifestasi klinis
Manifastasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,

deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal

danperubahan warna (Wirawan dkk, 2017).

a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang

diimobilisasi.

b. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa

diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal.

c. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang

melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur.

d. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan

antara fragmen satu dengan yang lainnya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Diagonisis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan

pemeriksaan sinar rongten atau x-ray.Untuk mendapatan gambaran tiga

dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka dperlukan dua

proeksi yaitu AP atau PA dan lateral.Dalam keadaan tertentu diperlukan

proyeksi tambahan atau khusus dan adanya indikasi untuk

memperlihatkan paotologi yang dicari karena adanya super posisi. Perlu

disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan

pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.

17
5. Penatalaksanaan Fraktur

Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip

penatalaksaan “4 R” yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan

rehabilitasi.Rekognisi adalah pengenalan terhadap fraktur melalui

penegakan berbagai diagnosis yang mungkin untuk memperoleh

informasi sebanyak-banyaknya tentang fraktur, sehingga diharapkan

dapat membant dalam penanganan fraktur.Reduksi atau reposisi adalah

suatu tindakan mengembalikan posisi fragmen-fragmen tulang yang

mengalami fraktur seoptimal mungkin ke keadaan semula.Retensiadalah

mempertahankan kondisi reduksi selama masa

penyembuhan.Rehabilitasiyang bertujuan untuk mengembalikan kondisi

ulang yang patah ke keadaan normal.

Menurut Noor(2016), penatalaksanaan dilakukan berdasarkan 4

tujuan utama, meliputi :

a. Untuk menghilangkan rasa nyeri

Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya

sendiri, namun karna terluka jaringan disekitar tulang yang patah

tersebut.Untuk mengurangi nyeri tersebut,dapat diberikanobat

penghilang rasa nyeri dan juga teknik imobilisasi (tidak menggerakan

daerah yang fraktur). Teknik imobilisasi dapat dicapai dengan cara

pemasangan bidai atau gibs.

1) Pembidaian : Benda keras yang ditempatkan daerah sekeliling

tulang

18
2) Pemasangan gibs : Merupakan bahan yang dibungkuskan disekitar

tulang yang patah

b. Untuk menghasilkan dan memperthankan posisi yang ideal dari

fraktur.

Bidai dan gips tidak dapat memperthankan posisi yang lama.

Untuk itu diperlukan lagi teknik yang lebih mantap seperti

pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksternal atau fiksasi internal

tergantung dari jenis frakturnya sendiri.

1) Penarikan atau traksi : Menggunakan beban untuk menahan sebuah

anggota gerak pada tempatnya. Adapun jenis-jenis traksi meliputi :

a) Traksi lurus atau langsung

Pada traksi ini memeberikan gaya tarikan dalam satu garis

lurus dengan tubuh berbaring ditempat tidur

b) Traksi suspens seimbang

Traksi ini memberikan dukungan pada ekstremitas yang

sakit diatas tempat tidur sehingga memungkinkan mobilisasi

pasien sampai batas tertentu tanpa terputunya gaya tarikan.

c) Traksi kulit

Traksi kulit terjadi apabila beban menarik kulit, spons karet,

bahan kanvas yang diletakan pada kulit, berat bahannya dapat

dipasang sangat terbatas, tidak boleh melebihi toleransi kulit

yaitu tidak lebih dari 5 kg beban tarikan yang dipasang pada

19
kulit. Traksi pelvis pada umumnya 4,5 – 9 kg tergantung dari

berat badan. Rumus traksi kulit : 1/7 x BB.

d) Traksi skelet.

Dipasang langsung pada tulang.Metode traksi ini digunakan

paling sering untuk fraktur tibia, humerus, dan tulang

leher.Traksi skelet biasanya menggunakan 7-12 kg untuk dapat

mencapai efek terapi.Rumus traksi skelet 1/7 x BB dan bisa

ditambah sampai 20 kg.

e) Traksi manual

Traksi ini dipasang untuk sementara, saat akan dilakukan

pemasangan gibs.

2) Fiksasi internal dan eksternal

Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau

logam pada pecahan-pecahan tulang

c. Agar terjadi penyatuan tulang kembali

Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu

empat minggu dan akan menyatu dalam waktu enam bulan. Namun

kadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang sehingga

dibutuhkan graft tulang.

d. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula.

Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot

dan kakunya sendi.Oleh karena itu, diperlukan upaya mobilisasi

secepat mungkin.Untuk frakturnya sendiri, prinsispnya adalah

20
mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan

mempertahankan posisi selama penyembuhan fraktur(imobilisasi).

Ketika reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan

sepenuhnya seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan

untuk menyesuaikan bentuknya kembali sepeti bentuk semula (

remodelling/proses swapugar). Kelayakan reposisi suatu dislokasi

ditentukan oleh adanya dan besarnya dislokasi ad aksim, peripheriam,

dank um kontaktione, yang berupa rotasi atau perpendekan.

6. Komplikasi Fraktur

Komplikasi fraktur menurut Noor (2016) dibagi menjadi 2 yaitu:


a. Komplikasi awal

1) Syok

Syok terjadi akibat kehilangan banyak darah dan

meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan

oksigenasi.Hal ini biasanya terjadi pada fraktur.Pada kondisi tertentu

syok neurogenik sering terjadi pada fraktur femor karena rasa sakit

yang hebat pada pasien.

2) Kerusakan arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh : tidak

adanya nadi ; CRT (capillary refill time) menurun ; sianosis bagian

distal ; hematoma yang lebar ; serta dingin pada ekstremitas yang

21
disebabkan oleh emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang

sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.

3) Sindrom kompartemen

Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana

terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan

parut akibat pembengkakkan atau perdarahan yang menekan otot,

saraf dan pembuluh darah.Kondisi sindrom kompartemen akibat

komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan

persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang. Tanda khas

untuk sindrom ini adalah 5 P yaitu :pain (nyeri lokal), paralysis

(kelumpuhan tungkai), pallor (pucat bagian distal), parestesia (tidak

ada sensasi), dan pulselessness (tidak ada denyut nadi, perubahan

nadi, perfusi yang tidak baik, dan CRT >3 detik pada bagian distal

kaki).

4) Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma jaringan.Pada

trauma ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk

ke dalam.

5) Avaskular nekrosis

Avascular nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke

tulang rusuk atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang

yang diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

22
6) Sindrom emboli lemak

Sindrom emboli lemak (fat embolism syndrome-FES) adalah

komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang

panjang.FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan sumsum

tulang kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat

oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan

pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam.

b. Komplikasi lama

1) Delayed union

Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan

waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung

dengan baik. Ini disebabkan karen penurunan suplai darah ke

tulang. Delayed union dalah fraktur yanag tidak sembuh setelah

selang waktu 3 bulan anggotan gerak atas dan 5 bulan untuk

anggota gerak bawah.

2) Non-union

Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu

antara 6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat

pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa

infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang disebut

sebagai infected pseudoarthrosis.

23
3) Mal-union

Mal–union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada

saatnya ,tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi,

varus/valgus, pemendekan, atau menyilang, misalnya pada fraktur

raius-ulna.

B. Tinjauan Umum Pembidaian

1. Definisi Pembidaian

Pertolongan pertama pada kecelakaan adalah bantuan pertama yang

diberikan kepada orang yang cedera akibat kecelakaan dengan tujuan

menyelamatkan nyawa, menghindari cedera atau kondisi yang lebih parah

dan mempercepat penyembuhan.Ekstremitas yang mengalami trauma

harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai (Splint atau spalk) adalah alat yang

terbuat dari kayu, logam atau bahan lain yang kuat tetapi ringan untuk

imobilisasi tulang yang patah dengan tujuan mengistirahatkan tulang

tersebut dan mencegah timbulnya rasa nyeri. (Ermawan dkk, 2019).

Pemakaian pembidaian pada pasien rawat jalan termasuk

didalamnya fraktur, dislokasi dan sprain otot. Stabilisasi dari ektremitas

yang patah tulang dengan pembidaian membantu kesejajaran tulang

dan mengurangi ketidaknyamanan. Sesudah dilakukan reduksi dari

dislokasi, posisi anatomi dijaga dengan pembidaian (Wirawan, 2017).

2. Tujuan Pembidaian

24
Noor (2016), menyatakan bahwa ada beberapaalasan dalam

melakukan pembidaian pada cedera musculoskeletal yaitu:

a. Untuk mencegah pergerakan atau pergeseran fragmen atau bagian

tulang yang mengalami dislokasi.

b. Menghindari trauma soft tissue (terutama syaraf dan pembuluh darah

pada bagian distal yang cedera) akibat pecahan ujung fragmen tulang

yang tajam.

c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.

d. Untuk mencegah terjadinya syok.

e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan.

f. Mempermudah transportasi dan pembuatan foto rontgen.

g. Mengistirahatkan anggota badan yang patah.

3. Kontra Indikasi Pembidaian

Rahmawati (2018) menyatakan bahwa meskipun tidak ada

kontraindikasi absolut dalam menggunakan pembidaian/splinting pada

ekstremitas yang mengalami cedera, beberapa hal unik harus diperhatikan.

Pembengkakan alami akan terjadi sesudah terjadi cedera dapat menjadi

hambatan dari keamanan metode dari imobilisasi.

25
4. Prinsip Dasar Pembidaian

Prinsip dasar pembidaian ini harus selalu diingat sebelum kita

melakukan pembidaian (Ermawan, 2018)

a. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian.

b. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera sampai

kita benar- benar melakukan pembidaian.

c. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali

ketempat semula.

d. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang

bidai.

e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur

terbuka sebelum memasang bidai.

f. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang yang

patah.

g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi pada

tulang proksimal dan distal dari sendi tersebut.

h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada bagian

tulang yang menonjol dibawah kulit.

i. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap

nadi, gerakan dan rasa /sensasi pada bagian distal dari tempat yang

fraktur atau cedera.

j. Berikan dukungan dan tenangkan penderita menghadapi cedera ini.

26
5. Tipe-tipe Bidai

Ermawan (2018) menyatakan bahwa pembidaian membantu

mengurangi komplikasi sekunder dari pergerakan fragmen tulang, trauma

neurovaskular dan mengurangi nyeri. Ada beberapa macam splint, yaitu:

a. Hard splint (bidai kaku)

Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur

ekstremitas.Bidai kaku sederhana bisa dibuat dari kayu dan papan.

Bidai ini juga bisa dibuat dari plastik, aluminium, fiberglass dan gips

back slab. Gips back slab ini dibentuk dan diberi nama sesuai

peruntukannya untuk area trauma yang dipasang bidai. Gips back slab

merupakan alat pembidaian yang lebih baik dan lebih tepat digunakan

pada ekstremitas atas dan bawah serta digunakan untuk imobilisasi

sementara pada persendian.

b. Soft splint (bidai lunak)

Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan

oleh penolong dengan menggunakan alat pembidaian sederhana seperti

bantal atau selimut.

c. Air slint atau vacuum splint

Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai

udara. Bidai udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko

terjadi compartment syndrome dan iritasi pada kulit.

27
d. Traction splint (bidai dengan traksi)

Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu

melakukan traksi pada bidai.Bidai dengan tarikan ini biasanya

digunakan untuk trauma pada daerah femur dan sepertiga bagian tengah

ekstremitas bawah.

6. Syarat-syarat Pembidaian

Ermawan (2018) menyatakan beberapa syarat dalam melakukan

pembidaian yaitu ;

a. Siapkan alat alat selengkapnya.

b. Sepatu dan seluruh aksesoris korban yang mengikat harus dilepas.

c. Bidai meliputi dua sendi tulang yang patah, sebelumnya bidai diukur

dulu pada anggota badan kontralateral korban yang sehat.

d. Ikatan jangan terlalu keras atau terlalu longgar.

e. Sebelum dipasang, bidai dibalut dengan kain pembalut.

f. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah

tulang yang patah.

g. Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah

dibidai.

h. Penggunaan bidai, jumlah dua bidai saja diperbolehkan, tetapi tiga

bidai akan lebih baik dan stabil, hanya prinsip nya adalah dalam

pemasangan bidai tidak boleh menambah pergerakan atau nyeri pada

pasien.

28
7. Mekanisme Pembidaian

Berikut adalah langkah-langkah pemasangan bidai menurut

Subandono (2019).

a. Pastikan lokasi luka, patah tulang atau cedera sendi dengan memeriksa

keseluruhan tubuh korban (expose) dan membuka segala jenis

aksesoris yang menghalangi (apabila tidak melukai korban lebih jauh) .

b. Perhatikan kondisi tubuh korban, tangani perdarahan jika perlu. Bila

terdapat tulang yang mencuat, buatlah donat dengan menggunakan

kain dan letakkan pada tulang untuk mencegah pergerakan tulang.

c. Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang cedera

masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik),

dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak.

d. Tempatkan bidai di minimal dua sisi anggota badan yang cedera (misal

sisi samping kanan, kiri, atau bagian bawah). Letakkan bidai sesuai

dengan lokasi cedera.

e. Hindari mengangkat tubuh pasien untuk memindahkan pengikat bidai

melalui bawah bagian tubuh tersebut. Pindahkan pengikat bidai

melalui celah antara lekukan tubuh dan lantai.Hindari membuat simpul

di permukaan patah tulang.

f. Buatlah simpul di daerah pangkal dan ujung area yang patah berada

pada satu sisi yang sama. Lalu, pastikan bidai dapat mencegah

pergerakan sisi anggota badan yang patah. Beri bantalan/padding pada

29
daerah tonjolan tulang yang bersentuhan dengan papan bidai dengan

menggunakan kain.

g. Memeriksa kembali PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban

yang cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan

(M, Motorik), dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau

tidak.

h. Bandingkan dengan keadaan saat sebelum pemasangan bidai. Apabila

terjadi perubahan kondisi yang memburuk (seperti: nadi tidak teraba

dan / atau tidak dapat merasakan sentuhan dan / atau tidak dapat

digerakkan) Tanyakan kepada korban apakah bidai dipasang terlalu

ketat atau tidak maka, pemasangan bidai akan dilonggarkan.

i. Longgarkan balutan bidai jika kulit disekitarnya menjadi:

1) Pucat atau kebiruan

2) Sakit bertambah

3) Kulit di ujung tubuh yang cedera menjadi dingin

j. Ada kesemutan atau mati rasa.

8. Pembidaian pada Fraktur

Imobilisasi sendi di atas dan di bawah fraktur sering menimbulkan

kekakuan sehingga emmerlukan periode rehabilitasi yang lebih panjang.

Saat fraktur mencapai stabilitas tertentu, seperti pembentukan kalus, gips

diganti dengan bidai, sehingga memungkinkan kisaran gerakan pada

30
sendiproksimal dan distal fraktur tanpa membahayakan sokongan pada

tempat fraktur (Noor, 2016).

Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara

nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade

otot sekitar patahan. Pembidaian dapat menyangga atau menahan bagian

tubuh agar tidak bergeser atau berubah dari posisi yang dikehendaki,

sehingga menghindari bagian tubuh agar tidak bergeser dari tempatnya dan

dapatmengurangi/menghilangkan rasa nyeri.Pembidaian bertujuan

merelaksasikan otot-otot skelet dipercayai mampu merangsang tubuh

untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin yang

dapat mengurangi nyeri (Rahmawati, 2018).

9. Contoh penggunaan bidai pada fraktur ektrimitas bawah

Berikut ini adalah contoh gambar mengenai pemasangan bidai

pada korban fraktur ekstrimitas bawah (Ermawan, 2018)

Gambar 2.8. Pemasangan bidai pada fraktur cruris, bidai dipasang mulai

dari sisi proximal sendi lutut hingga distal dari pergelangan

kaki.

31
Gambar 2.9 .Pemasangan bidai pada ankle (kiri) dan pada frakur femur

(kanan)

10. Back Slab Cast

a. Pengertian Back slab cast

Back slab cast adalah alat imobilisasi pertama sebelum

dilakukan tindakan definitif yang digunakan untuk stabilisasi dari

bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dan digunakan untuk

mengurangi oedema (swelling) sebagai bidai. Back slab cast secara

umum dikenal dengan pemasangan alat yang digunakan untuk menyangga

dan menahan bagian tulang yang retak atau patah agar tidak digerakkan,

dengan tujuan untuk mencegah pergerakan atau pergeseran dari ujung

tulang yangretak. Gips ini mudah dilepaskan bila diperlukan

pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.Pemasangan alat

yang digunakan untuk menyangga dan menahan bagian tulang yang retak

atau patah agar tidak digerakkan, dengan tujuan untuk mencegah pergerakan

atau pergeseran dari ujung tulang yangretak (Wirawan, 2017).

32
Ermawan (2019) menyatakan bahwa back slab cast

merupakan gips sementara yang digunakan pada penanganan pertama

trauma seperti patah tulang ankle. Back slab cast ini terdiri dari plaster

yang menjaga tendon achiles dan digunakan pada bagian yang terjadi

pembengkakan tanpa memberikan penekanan. Bidai tradisional

dapat menekan aliran darah, meningkatkan rasa nyeri dan ketidak

nyamanan. Back slab cast ini dapat membantu mengurangi nyeri,

pembengkakan, spasme otot yang terjadi ketika trauma patah tulang.

Back slab cast ini menjaga tulang yang patah pada kesejajaran selama

proses penyembuhan. Back slab cast ini dipasang mengikuti

daerah tonjolan tulang.

b. Cara pembuatan

Tahap pertama dalam pembidaian adalah melapisi bagian

ekstremitas dengan beberapa lembar bantalan (padding) pada bagian

tonjolan tulang atau bagian tubuh yang mengalami iritasi. Ukur

panjang pembidaian yang diperlukan yaitu melewati dua sendi.

Gunakan tiga lembar dari gips untuk ekstremitas atas dan enam

lembar untuk ekstremitas bawah untuk meyakinkan pembidaian

yang dilakukan cukup kuat. Celupkan kedalam mangkok air yang

sudah disiapkan, diamkan beberapa saat sampai mengenai seluruh

gips, kemudian angkat, pegang secara vertikal dan gunakan dua jari

menurunkan sisa air pada gips sehingga memudahkan pengeringan

33
kemudian lapisi dengan padding. Letakkan dibawah ekstremitas yang

akan dibidai sesuai posisi anatomis. Gunakan perban elastis untuk

memegang posisi dari back slab cast yang dibuat dari bagian terjauh

dari tubuh ke bagian yang lebih dekat dari pusat tubuh. Gunakan

telapak tangan pada saat pemasangan back slab cast. Setelah kering

periksa kembali adekuat tidaknya imobilisasi yang dilakukan, posisi

anatomis dan kenyamanan pasien.Gips akan mengalami kristalisasi

yang menghasilkan pembalutan yang kaku.

Kecepatan terjadinya reaksi bervariasi sekitar 30 menit

sampai 60 menit tergantung dari ketebalan dan kelembaban

lingkungan. Selanjutnya perlu pemeriksaan X-ray untuk mengetahui

fraktur atau dislokasi yang membutuhkan reduksi sebelum pembidaian

dilepaskan (Fakhrurrizal, 2015).

c. Keunggulan dari Pembidaian dengan Back Slab Cast

Noor (2016), menyatakan bahwa pasien yang menderita

masalah tulang dan sendi sering mengalami nyeri yang sangat

berat.Nyeri dapat timbul secara primer baik karena masalah

muskuloskeletal maupun masalah penyertanya misalnya; tekanan pada

tonjolan tulang akibat dari pembidaian, spasme otot dan

pembengkakan.Tekanan yang berkepanjangan diatas tonjolan

tulang dapat menyebabkan rasa terbakar.

34
Menurut Wirawan (2017) back slab cast ini dapat membantu

mengurangi nyeri, pembengkakan, spasme otot yang terjadi ketika

trauma pada kasus patah tulang. Back slab cast ini terdiri dari

plaster yang menjaga tendon dan digunakan pada bagian yang terjadi

pembengkakan tanpa memberikan penekanan. Pergerakan ekstremitas

yang mengalami fraktur setelah pembidaian dengan back slab cast

sangat minimal, sehingga dapat mencegah kerusakan fragmen tulang

dan jaringan sekitarnya yang lebih berat, selain itu back slab cast

menjaga tulang yang patah pada kesejajaran selama proses

penyembuhan serta digunakan untuk stabilisasi dari bagian fraktur dan

otot yang mengelilinginya dan juga digunakan untuk mengurangi

oedema (swelling) sebagai bidai.Back slab cast ini dipasang

mengikuti daerah tonjolan tulang Gips ini sangat mudah dilepaskan

bila diperlukan pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.

d. Komplikasi Pembidaian

Wirawan (2017) menyatakan bahwa komplikasi pembidaian

biasanya timbul bila kita tidak melakukan pembidaian secara benar,

misalnya;

1) Bisa menekan jaringan saraf, pembuluh darah atau jaringan dibawah

bidai yang bisa memperparah cedera yang sudah ada, bila dipasang

terlalu ketat.

35
2) Bila bidai terlalu longgar bisa menimbulkan kerusakan pada

saraf perifer, pembuluh darah, atau jaringan sekitarnya akibat

pergerakan ujung-ujung fragmen patah tulang.

3) Menghambat aliran darah bila terlalu ketat bisa menyebabkan iskemi

jaringan.

Subandoro (2019), meyatakan bahwa komplikasi pembidaian

antara lain:

a) Kerusakan kulit

Penekanan pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada

kulit sehingga sebelum dilakukan pembidaian kulit harus benar-

benar dalam keadaan bersih. Pasir dan kotoran dapat menjadi titik

tekanan pada kulit.

b) Compartment syndrome

Compartment syndrome merupakan komplikasi serius dari

pembidaian. Peningkatan nyeri, pembengkakan, perubahan

warna dan peningkatan temperatur merupakan gejala penting yang

harus diperhatikan.

c) Infeksi

Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya

bakteri dan infeksi jamur.

d) Kerusakan saraf

Trauma dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat

menimbulkan penekanan sirkulasi dan kerusakan saraf.

36
C. Konsep Dasar Nyeri pada Fraktur

1. Pengkajian Neurovaskuler

Nyeri merupakan salah satu aspek dalam pengkajian

neurovaskular. Pengkajian neurovaskular pada pasien dengan trauma

ekstremitas merupakan keterampilan penting yang harus dimiliki oleh

seorang perawat (Noor, 2016).

Menurut Mutaqqin (2011), pengkajian neurovaskular adalah

tindakan yang dilakukan untuk mengetahuifungsi neurologis dan

integritas vaskuler dari ekstremitas. Pengkajian ini dilakukan secara

sistematis untuk mengetahui adanya penurunan fungsi neurovaskular

yang dapat membantu dalam upaya pencegahan kematian jaringan dari

ekstremitas yang mengalami cedera. Pengkajian difokuskan pada tanda

dan gejala penurunan status neurovaskular yang berdasarkan pada prinsip

5 P yaitu pain (nyeri), paralyze (kelemahan), pulselessness (penurunan/

hilangnya denyut nadi, parestesia(kehilangan sensasi) dan

pallor(penurunan suhu).

Pengkajian neurovaskuler dengan akurat serta pelaporan yang

cepat dan tepat dilakukan untuk mencegah iskemia, deformitas atau

kehilangan fungsi permanen dari ekstremitas tersebut. Pengkajian

neurovaskular dilakukan pada kasus trauma muskuloskeletal, pada pasien

yang dilakukan pemasangan gips, pasca operasi orthopedik dan kasus

pemasangan traksi. Beberapa hal yang diobservasi pada

pemeriksaan neurovaskular meliputi:

37
a. Warna

Warna ekstremitas yang dilakukan tindakan seharusnya

natural yang menggambarkan suplai arteri dan vena lancar ke area

yang cedera. Warna pucat mengindikasikan adanya sumbatan arteri dan

warna kebiruan mengindikasikan adanya sumbatan vena.

b. Suhu

Pemeriksaan suhu dari ekstremitas bagian bawah yang cedera

dengan menggunakan punggung tangan. Ekstremitas yang terasa dingin

mengindikasikan adanya insufisiensi arteri.Ekstremitas yang lebih

hangat dari ekstremitas yang tidak mengalami cedera kemungkinan

terdapat stasis vena.

c. Pergerakan/movement.

Pasien disuruh untuk menggerakkan jemari serta

pergelangan/sendi ekstremitas sesuai dengan toleransi. Jika pasien tidak

bisa melakukan secara aktif, maka bantu dengan teknik pergerakan

pasif. Penurunan kemampuan pergerakan mengindikasikan masalah

persarafan.

d. Pengisian kapiler/capillary refill

Dilakukan dengan menekan ujung jari pada kuku dan

melihat pengembalian warna sehingga menjadi normal. Tekan ujung

jari kuku selama 2-3 detik sampai berwarna pucat kemudian lepas

tekanan dan observasi waktu sampai warna kuku kembali seperti

semula:

38
1) Normal Capillary refill 1 –2 detik

2) Capillary refill > 2 detik (lambat) : insufisiensi arteri.

e. Sensasi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui sensasi

dengan meminta pasien menutup mata saat melaksanakan sentuhan

pada ekstremitas. Kemudian minta pasien mendeskripsikan sentuhan

tersebut, apakah merasa dengan baik atau kesemutan / tidak

merasakan sentuhan.

f. Nadi

Perawat melakukan palpasi pada daerah-daerah denyut

nadi.Bandingkan kekuatan denyutan dengan ekstremitas yang

sehat.Pasien yang mengalami iskemia karena vaskularisasi yang buruk

akan mengalami nyeri pada saat pergerakan pasif.

2. Nyeri pada Fraktur

Nyeri merupakan gejala penting yang timbul pertama kali

saat terjadi kompartemen sindrom. Bagian pertama dari observasi

neurovaskular adalah menentukan level dari rasa nyeri yang dialami

pasien. Alat pengkajian nyeri harus memberikan pilihan sesuai

kondisi pasien. Berbagai macam alat pengkajian nyeri dapat

digunakan dan masing – masing mempunyai kelebihan dan

kekurangan tetapi yang paling penting alat pengkajian nyeri harus

sama digunakan oleh satu team yang memberikan perawatan pasien.

Hal ini akan meningkatkan reliabilitas dan menurunkan subjektifitas

39
dari pemeriksa. Numeric pain scale yang memberikan rata- rata dari

tingkat rasa nyeri dengan menggunakan skala dari angka satu sampai

sepuluh sangat berguna. Respon non verbal seperti mengepalkan tangan,

meringis, berkeringat juga penting sebagai perwujudan nyeri. Nyeri dapat

timbul secara primer baik karena masalah muskuloskeletal maupun

masalah penyertanya. Misalnya; tekanan pada tonjolan tulang akibat

dari pembidaian, spasme otot dan pembengkakan. Tekanan yang

berkepanjangan diatas tonjolan tulang dapat menyebabakan rasa

terbakar ( Mutaqqin, 2011 ).

Pasien dengan fraktur terjadi kerusakan fragmen tulang dan

jaringan sekitar. Jaringan tulang terutama pada periosteum terdapat

ujung-ujung saraf bebas sebagai reseptor nyeri. Kerusakan jaringan

tulang dan sekitarnya mengakibatkan keluarnya mediator kimia yaitu

bradikinin, histamin dan kalium yang bergabung dengan lokasi reseptor di

nosiseptor untuk memulai transmisi neural. Bradikinin dilepas dari

plasma yang keluar dari pembuluh darah di jaringan sekitar pada lokasi

cedera jaringan. Bradikinin juga terikat dengan sel-sel yang

menyebabkan reaksi rantai yang menghasilkan prostaglandin dari

pemecahan fosfolipid dalam membrane sel. Rangsangan nyeri ini

menyebar disepanjang serabut saraf perifer aferen yang terdiri atas serabut

A delta yang bermielin menghantarkan impuls secara lebih cepat daripada

serabut C yang tidak bermielin. Transmisi stimulus nyeri berakhir di

bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Di dalam kornu dorsalis,

40
neurotransmitter seperti substansi glutamat dan substansi P dilepaskan

sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke

saraf traktus spinotalamus. Impuls nyeri diteruskan ke system saraf

pusat, sistem limbik, thalamus, kortek sensori dan kortek asosiasi

sehingga nyeri dapat dipersepsikan ( Wirawan, 2017 )

Menurut Andarmoyo ( 2013 ) secara umum nyeri diketahui

merupakan bentuk ketidaknyamanan, yang didefisnisikan dalam berbagai

perspektif. Asosiasi internasonal nyeri untuk penelitian nyeri

( Association for The Studi of Pain, IASP, 1979 ) mendefinisikan nyeri

sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak

menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual,

potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi

kerusakan. Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan

fisiologis.

3. Penyebab Nyeri

Mutaqqin (2011) menyatakan penyebab nyeri ialah adanya

ransangan fisik dan rangsangan kimiawi.Rangsangan fisik misalnya

karena terpapar suhu, mekanik, listrik, atau pembedahan. Rangsangan

kimiawi, misalnya karena ada substansia algogenik ekstrensik: HCl

lambung, ATP, bradikinin, prostaglandin dari sel yang rusak, serotonin,

asetilkolin, asam laktat. Zat-zat ini akan menimbulkan rasa nyeri bila

keluar dari sel dan berada di jaringan interstisial.

41
4. Klasifikasi Nyeri
Andarmoyo ( 2013 ) secara kualitatif membagi nyeri menjadi dua

jenis, yakni nyeri fisiologis dan nyeri patologis. Perbedaan utama antara

kedua jenis nyeri ini adalah nyeri fisiologis sensor normal berfungsi

sebagai alat proteksi tubuh. Sementara nyeri patologis merupakan sensor

abnormal dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain; trauma dan infeksi

bakteri maupun virus yang dirasakan seseorang.Nyeri patologis

merupakan sensasi yang timbul sebagai konsekuensi dari adanya

kerusakan saraf. Jika proses inflamasi mengalami proses penyembuhan

normal sehingga menghilang sesuai dengan proses proses penyembuhan

disebut sebagai adaptif pain yang lazim dikenal sebagai nyeri akut. Di

lain pihak kerusakan saraf justru berkembang menjadi intractable pain

setelah penyembuhan selesai, disebut sebagai maladaftive pain atau

neuropathy pain lanjut/kronik.Terdapat tiga klasifikasi nyeri yaitu,

klasifikasi nyeri beerdasarkan durasi, klasifikasi nyeri berdasarkan asal,

klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi.

a. Nyeri berdasarkan durasi

1) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,

penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat,

dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan

berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut dapat dijelaskan

sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam

bulan.

42
Nyeri akut umumnya berhubungan dengan adanya suatu

trauma atau cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan adanya

suatu kerusakan atau cedera yang baru saja terjadi. Sensasi dari

suatu nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan adanya proses

penyembuhan. Nyeri akut memeliki tujuan untuk memperingatkan

adanya suatu cedera atau masalah.

Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi saraf simpatis

yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan

respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung,

diaphoresis, dan dilatasi pupil. Secara verbal pasien yang

mengalami nyeri akan memperlihatkan respons emosi dan perilaku

seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah, atau

menyeringai.

2) Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah suatu keadaan ketidaknyamanan yang di

alami individu yang berlangsung lebih dari enam bulan biasanya

diklasifikasikan sebagai nyeri kronis. Nyeri kronis biasanya akibat

terjadinya penurunan fungsi tubuh.

b. Nyeri berdasarkan asal

Nyeri berdasarkan asalnya, dibedakan menjadi nyeri nyeri

nosiseptif dan nyeri neuropatik.

1) Nyeri nosiseptif

43
Nyeri nosiseptif ( nociceptive pain) merupakan nyeri yang

diakibatkan oleh aktivitasi atau sensitisasi nosiseptor perifer yang

merupakan reseptor khusus yang mengantarkan stimulus noxious.

Nyeri ini dapat terjadi karena adanya stimulus yang mengenai kulit,

tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi

pada nyeri post operatif dan nyeri kanker.Dilihat dari sifat nyerinya

maka nyeri nosiseptif merupakan nyeri akut. Nyeri akut merupakan

nyeri nosiseptif yang mengenai daerah perifer dan letaknya lebih

terlokalisasi.

2) Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau

abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer maupun

sentral. Berbeda dengan nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik bertahan

lebih lama dan merupakan proses input saraf sensorik yang abnormal

oleh sistem perifer, Nyeri ini lebh sulit diobati. Pasien akan

mengalami nyeri seperti rasa terbakar, tinglin, shooting, shock like,

hypergesia, atau allodynia. Nyeri neuropatik dari sifat nyerinya

merupakan nyeri kronis.

c. Nyeri berdasarkan lokasi

Klasifikasi berdasarkan lokasi menurut Potter dan

Perry(2006) dalam Andarmoyo (2013) dibedakan sebagai berikut.

1) Superficial atau Kutaneus

44
Nyeri superficial adalah nyeri yang disebabkan stimulus

kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan terlokalissi.

Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contohnya

tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau laserasi.

2) Viseral Dalam

Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi

organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat difus dan dapat

menyebar ke beberapa arah. Durasinya bervariasi tetapi biasanya

berlangsung lebih lama daripada nyeri superficial. Pada nyeri ini

juga menimbulkan rasa tidak menyenabgkan, dan berkaitan dengan

mual dan gejala-gejala otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul,

atau unik tergantung organ yang terlibat. Contoh sensasi pukul

(crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada

ulkus lambung.

3) Nyeri Alih( Reffered Pain )

Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri

visceral karena banyak organ tidak memeliki reseptor nyeri. Jalan

masuk neuron sensori dari organ yang terkena ke dalam segmen

medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan,

persepsi nyeri pada daerah yang tidak terkena. Karakteristik nyeri

dapat terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan

dapat terasa dengan berbagai karakteristik. Contoh nyeri yang

terjadipada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke

45
rahang, lengan kiri; batu empedu, yang dapat mengaligkan nyeri ke

selangkangan.

4) Radiasi

Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari

tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain. Karakteristik nyeri

terasa seakan menyebar ke sepanjang bagian tubuh Nyeri dapat

terjadi intermiten atau konstan. Contoh nyeri punggung akibat

diskus intravertebral.

5. Jenis-jenis Nyeri

Berdasarkan jenisnya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri perifer,

nyeri sentral dan nyeri psikogenik.

a. Nyeri perifer

Nyeri perifer ini dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu:

1) Superficial pain, nyeri pada kulit, mukosa terasa tajam atau seperti

ditusuk, akibat dari rangsangan fisik, mekanis, kimiawi.

2) Deep pain (nyeri dalam), nyeri pada daerah viscera, sendi pleura,

peritoneum

3) Refered (menjalar), kejang otot didaerah lain, nyeri dirasakan pada

daerah yang jauh dari sumber rangsangan, sering terjadi pada deep

pain.

b. Nyeri sentral (central pain), akibat rangsangan pada tulang belakang,

batang otak, dan thalamus.

46
c. Nyeri psikogenik, keluhan nyeri tanpa adanya kerusakan di organ

tempat dan tingkat keparahan berupa (rekayasa). Nyeri psikogenik

tidak diketahui penyebab fisiknya. Seringkali muncul karena faktor

psikologis bukan karena faktor fisiologis.

Selain itu, juga terdapat jenis-jenis nyeri yang lain, yaitu :

1) Nyeri somiatik, nyeri berasal dari tendon, tulang, saraf dan pembuluh

darah.

2) Nyeri menjalar, terasa di bagian tubuh yang lain, umumnya

disebabkan oleh kerusakan atau cedera pada organ visceral.

3) Nyeri neurologis, disebabkan oleh spasme di sepanjang atau di

beberapa jalur saraf.

4) Nyeri phantom, dirasakan pada baigan tubuh yang hilang, misalnya

pada bagian kaki yang sudah diamputasi (Andi dkk, 2020)

6. Fisiologi Nyeri
Fisiologis nyeri dimulai dengan adanya stimulus penghasil nyeri

yang mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri

memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberaparute

saraf dan akhirnya sampai didalam massa berwarna abu-abu (subtansia

grisea) dimedula spinalis.

Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor,

mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau transmisi

tanpa hambatan ke korteks serebri. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks

serebri, maka otak menginterprestasikan kualitas nyeri dan memproses

47
informasi tetntang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi

kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri.

Pada saat impuls nyeri sampai ke medulla spinalis menuju ke

batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi

sebagai bagian dari respons stress nyeri. Nyeri dengan intensitas ringan

hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi flight or

fight yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang

simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respons fisioogis.

Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan secara tipikal

melibatkan organ-organ viseral (seperti nyeri pada infark miokard, kolik

akibat batu empedu atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis

menghaslkan suatu aksi.

Respons fisiologis dapat membahayakan individu. Kecuali pada

pada kasus-kasus traumatic yang berat menyebabkan individu mengalami

syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi seperti tanda-tanda

fisik kembali normal ( Mutaqqin, 2011 ).

7. Teori Transmisi Nyeri


Impuls nyeri dialirkan ke sumsum tulang belakang oleh dua

jenis serabut yaitu serabut- serabut yang bermielin rapat disebut serabut

A-delta dan serabut lamban yang disebutb serabut C. Terdapat beberapa

teori tentang terjadinya pengiriman rangsangan nyeri yaitu :

48
a. Teori pengendalian gerbang (Gate Control Theory)

Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja saraf besar

dan kecil yang terdapat pada akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada

serat saraf besar akan meningkatkan aktifitas substansia gelatinosa yang

mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme (gate control) sehingga

aktifitas sel T terhambat sehingga rangsangan ikut terhambat.

Rangsangan saraf besar ini langsung merangsang korteks cerebri.

Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke medulla spinalis melalui

serat efferent. Rangsangan serat saraf kecil menghambat substansia

gelatinosa sehingga membuka pintu mekanisme gate control,

mengaktivasi sel T dan menghantarkan nyeri.

b. Teori pemisahan ( specifity theory)

Menurut teori ini rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis

melalui kornu dorsalis yang bersinap didaerah posterior, kemudian naik

ke traktus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya dan

berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan diteruskan.

c. Teori pola (pattern theory)

Rangsangan nyeri masuk melalui akar dorsalis ke medulla

spinalis kemudian merangsang aktifitas sel T mengakibatkan respon

yang merangsang bagian lebih tinggi yaitu kortek serebri serta

menimbulkan persepsi.

d. Teori transmisi dan inhibisi

49
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls

saraf sehingga menjadi lebih efektif oleh neurotransmitter yang spesifik

(Andarmoyo, 2013).

8. Karakteristik Nyeri
Karakteristik nyeri meliputi letak atau lokasi, durasi, irama dan

kualitas. Nyeri merupakan kejadian yang bersifat individu. Untuk

mengkaji nyeri dapat dilakukan dengan pengkajian analisis symptom

meliputi PQRST yaitu:

P: Paliatif/Provokating (pemacu) yang menyebabkan timbulnya nyeri

Q: Quality/Quantity (kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan)

R: Region (daerah) lokasi S: Severity (keparahan)

T: Time (waktu) serangan, lamanya ( Andarmoyo, 2013).

9. Skala Intensitas Nyeri


Untuk mengetahui suatu tindakan terhadap nyeri berhasil atau

tidak, maka perlu adanya suatu alat ukur. Menurut AHCPR (Agency for

Health care policy and research, 1992) ada beberapa metode pengukuran

tingkat nyeri seperti;

a. Skala Visual Analog Nyeri ( Visual Analog Scale)

Skala analog visual (Visual Analog Scale) adalah suatu garis

lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan

pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien

kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS

50
dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih karena klien

dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa

memilih satu kata atau satu angka (Mutaqqin,2011)

Tidak nyeri Nyeri sangat hebat

Gambar 2.10 Visual analog scale

b. Skala Intensitas Nyeri Numerik ( Numeric Pain Rating Scale)

Skala penilaian NPRS (Numerical Pain Rating Scales) lebih

digunakan sebagai penganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien

menilai nyeri dengan mengunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif

digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi

terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka

direkomendasikan patokan 10 cm (Andarmoyo, 2013)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri sedang Nyeri hebat

Gambar 2.10Numerical Pain Rating Scales

c. Skala Pendeskriptif Verbal (Verbal Descriptor Scalle)


Skala pendeskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan

yang lebih objektif. Skala ini berupa sebuah garis yang terdiri dari tiga

sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di

51
sepanjang garis. Pendeskripsi ini di rangking dari “tidak terasa nyeri”

sampai “nyeri yang tidak tertahankan” (Andarmayo, 2013)

01 2 3 4 5 6 7 8 910

Tidak nyerinyeri ringan sedang nyeri nyeri yang tidak tertahankan

Gambar 2.10Verbal Descriptor Scalle

Keterangan :
0 : tidak nyeri
1-3 : ada nyeri, mulai terasa dan masih dapat ditahan
4-6 : ada nyeri, terasa terganggu dengan usaha yang cukup kuat untuk
menahannya.
7-10: ada nyeri, terasa sangat mengganggu/tidak tertahankan sehingga
harus meringis, menjerit, bahkan berteriak.

10. Respon Terhadap Nyeri


Secara objektif respon nyeri dapat diamati berupa tanda dan

gejala fisiknya. Ada dua bentuk respon terhadap nyeri, berupa respon

fisiologis dan respon prilaku ialah sebagai berikut:

a. Respon prilaku akibat nyeri

Respon prilaku terhadap nyeri meliputi pernyatan verbal,

prilaku vokal, ekspresiwajah, gerakan tubuh, kontak fisik dan

perubahan respon terhadap lingkungan, seperti:

1) Menangis

2) Merintih

3) Mendesis

52
4) Merengut

5) Memegang bagian tubuh yang terasa nyeri

6) Takut mengerakan bagian tubuh

7) Mengepalkan tangan

8) Menarik diri

b. Respon fisiologis terhadap nyeri

Pada nyeri akut akan terjadi akan terjadi perubahan fisiologis yang

diangapsebagai indikator nyeri:

1) Peningkatan frekuensi pernafasan

2) Peningkatan frekuensi nadi

3) Pucat

4) Berkeringat ( Andarmoyo, 2013)

11. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

Andarmoyo (2013), menyatakan bahwa nyeri yang dialami pasien

dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain:

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehinga perawat

harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang

melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan

fungsi. Pada lansia cenderung menyembunyikan nyeri yang dialami,

karena mereka mengangap nyeri adalah hal alamiah yang harus

53
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau

meningal jika nyeri diperiksakan.

b. Makna nyeri

Makna nyeri berhubungan dengan bagaimana pengalaman

seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

c. Jenis kelamin

Andarmoyo (2013), menyatakan laki-laki dan wanita tidak

berbeda secara signifikandalam merespon nyeri, lebih dipengaruhi

budaya contoh: tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri

sedangkan wanita boleh mengeluh nyeri.

d. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka

berespon terhadapnyeri misalnya seperti suatu daerah menganut

kepercayan bahwa nyeri adalahakibat yang harus diterima karena

mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidakmengeluh jika ada

nyeri.

12. Penatalaksanaan Nyeri

Andarmoyo (2013), menyatakan penatalaksanaan nyeri atau

lebih dikenal dengan manejemen nyeri adalah suatu tindakan untuk

mengurangi nyeri. Ada dua jenis pentalaksanan nyeri yaitu;

penatalaksanaan farmakologis dan penatalaksanaan non-farmakologis.

54
a. Farmakologis

Intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan

dokter atau pemberi perawatan utama lainnya dan pasien.

Penatalaksanaan nyeri memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi

yang efektif antara pemberi perawatan kesehatan. Analgesik dapat

diberikan melalui rute parenteral, rute oral, rektal dan transdermal dan

melalui kateter epidural atau intrapsinal. Sebelum memberikan

preparat analgesik untuk meredakan nyeri, perawat harus mengkaji

status terakhir pasien, termasuk intensitas nyeri, perubahan dalam

intensitas nyeri setelah dosis medikasi sebelumnya dan efek-efek

samping medikasi.

b. Non Farmakologis

Metode pereda nyeri non farmakologis biasanya memiliki

resiko yang sangat rendah, tindakan tersebut diperlukan atau sesuai

untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa

detik atau menit. Jika nyeri hebat berlangsung selama berjam-jam atau

berhari-hari, perlu kombinasi non farmakologis dengan obat-obatan

supaya lebih efektif untuk menghilangkan nyeri. Bentuk terapi non

farmakologis yang dapat diberikan adalah Stimulasi dan masase

kutaneus, terapi es dan panas, stimulasi saraf elektris transkutan,

distraksi, Teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, hipnosis, metode

bedah-neuro dari penatalaksanaan nyeri.

55
D. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya,


maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Skema 2.1
Kerangka Teori

Fraktur Ekstrimitas Bawah

Nyeri terus- Deformitas Pembengkakan dan


menerus perubahan

Farmakologis

Non Farmakologis

1. Bidai Back Slab


Cast dan
Pembidaian 2. Spalk

Penurunan intensitas
nyeri.

: Diteliti

: Tidak diteliti

Sumber : Noor (2016), Andarmoyo (2013)

56
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif dengan

menggunakan metode Systematic Review yakni sebuah sintesis dari studi

literature yang bersifat sistematik, jelas, menyeluruh, dengan

mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi melalui pengumpulan data-data

yang sudah ada dengan metode pencarian yang ekspilisit dan melibatkan

proses telaah kritis dalam pemilihan studi. Tujuan dari metode ini adalah

untuk membantu peneliti lebih memahami latar belakang dari penelitian yang

menjadi subjek topik yang dicari serta memahami bagaimana hasil dari

penelitian tersebut sehingga dapat menjadi acuan bagi peneliti baru.

B. Tahapan Systematic Review

Berdasarkan judul penelitian dapat menentukan PICO (Population in

Question, Intervention or Interest, Comparator dan Outcome) tersebut:

a. (P)Populasi : Pasien fraktur ekstrimitas bawah

b. (I)Intervensi : Pembidaian dengan menggunakan Back Slab Cast

c. (C) Comprator: Pembidaian dengan menggunakan Spalk

d. (O) Outcome : Penurunan intensitas nyeri

57
Pertanyaan penelitian berdasarkan “PICO” adalah Apakah Pasien fraktur

ekstremitas bawah yang diberikan pembidaian Back Slab Cast dan Spalk

dapatmengalami penurunan intensitas nyeri.

C. Menyusun Protokol

Merupakan detail perencanaan yang dipersiapkan secara matang, yang

mencakup beberapa hal seperti dari studi, prosedur, kriteria untuk menilai

kualitas (kriteria inkulusi dan eksklusi), skala penelitian yang akan

dilakukan. Untuk menyusun protocol review kita menggunakan metode

PRISMA (Preferred Reposrting Items For Systematic Reviews and Mta

Analyses).

1. Pencarian data

Pencarian data mengacu pada sumber data base seperti PubMed, Proquest,

Google Scholar, Science Direct, dan lain-lain yang sifatnya resmi, yang

disesuaikan dengan judul penelitian, abstrak dan kata kunci yang

digunakan untuk mencari artikel dapat disesuaikan dengan pertanyaan

penelitian yang telah dibuat sebelumnya

2. Skrining data

Skrining adalah penyaringan atau pemilihan data (artikel penelitian) yang

bertujuan untuk memilih masalah penelitian yang sesuai dengan topic atau

judul, abstrak, dan kata kunci yang diteliti.

58
3. Penilaian Kualitas (Kelayakan) Data

Penilaian kualitas atau kelayakan didasarkan pada dat (artikel penelitian)

dengan teks lengkap (full text) dengan memenuhi kriteria yang ditentukan

(kriteria inklusi dan kriteria eksklusi)

4. Hasil Pencarian Data

Semua data (artikel penelitian) berupa artikel penelitian kuantitatif atau

kualitatif yang memenuhi semua syarat dan kriteria untuk dilakukan

analisis lebih lanjut.

Pencarian Pencarian pada situs Pencarian pada situs


pada situsLIPI Google scholar Researchgate

Hasil jurnal secara keseluruhan

Screening :

Screening a. Rentang waktu 10 tahun


b. Tipe (research articles, review
articles)
c. Jurnal bahasa indonesia

Full text:
Jurnal yang dapat o LIPI
diakses full text o Google scholar
o Researchgate

Kriteria Inklusi:

a. Jurnal membahas tentang fraktur


ekstremitas bawah
b. Jurnal yang berkaitan dengan
pembidaian ack slab cast dan spalk
Jurnal akhir yang c. Jurnal yang membahas tentang
sesuai dengan kriteria intensitas nyeri

Gambar 3.1 Diagram PRISMA Tahapan Sytematic Review

59
5. Menyusun Strategi Pencarian

Strategi pencarian dilakukan mengacu pada protocol yang telah dibuat dan

menentukan lokasi atau sumber database untuk pencarian data serta dapat

melibatkan orang lain untuk membantu review.

6. Ektraksi Data

Ektraksi data dapat dilakukan setelah proses protocol yang telah dilakukan

dan menggunakan metode PRISMA, ekstraksi data dapat dilakukan secara

manual dengan membuat formulir yang berisi tentang ; tipe artikel, nama

jurnal atau konferensi, tahun, judul, kata kunci, metode penelitian dan lain-

lain.

D. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan oleh peneliti. Adapun yang menjadi populasi dari penelitian ini

adalah jurnal nasional dan internnasional yang berkaitan dengan pengaruh

pembidaian back slab cast dan spalk terhadap penurunan intensitas nyeri

pada pasien fraktur ektremitas bawah.

2. Sampel

Sampel terdiri atas bagian populasi yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui sampling yaitu data (artikel penelitian)

yang membahas tentang fraktur ekstremitas bawah, pembidaian back slab cast

60
dan spalk serta penurunan intensitas nyeri dengan jumlah keseluruhan 5 artikel

penelitian yang meliputi artikel nasional maupun internasional.

3. Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan cara-cara yang digunakan dalam

pengambilan sample, agar memperoleh sampel yang sesuai dari

keseluruhan subjek penelitian. Pengambilan sampel pada penelitian ini

menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan

sampel dengan cara memilih sample diantara populasi sesuai dengan yang

dikehendaki peneliti yaitu mengetahui pengaruh pembidaian back slab cast

dan spalk terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien fraktur,

sehingga sampel dapat mewakili karakteristik populasi yang telah

diketahui sebelumnya. Berdasarkan karakteristik populasi yang telah

diketahui, maka dapat dibuat kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi

adalah semua aspek yang harus ada dalam sebuah penelitian yang akan di

review dan kriteria eksklusi adalah factor-faktor yang dapat menyebabkan

sebuah penelitian menjadi tidak layak untuk direview. Adapun kriteria

inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini ialah :

a. Kriteria Inklusi :

1. Artikel penelitian nasional dan internasional yang berkaitan dengan

pengaruh pembidaian back slab cast dan spalk terhadap penurunan

intensitas nyeri pada pasien fraktur ekstremitas bawah

2. Artikel penelitian yang diterbitkan dalam rentang waktu 10 tahun

3. Artikel penelitian di akses secara penuh

61
b. Kriteria Eksklusi

1. Artikel penelitian nasionan dan internasional yang tidak berkaitan

dengan permasalahan penelitian yang diteliti

2. Artikel penelitian yang diterbitkan lebih dari 10 tahun.

E. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Variabel Independen

Variabel independen adalah suatu stimulus aktivitas yang

dimanipulasi oleh peneliti untuk menciptakan suatu dampak dependen

variable (Surjaweni, 2014), variabel independen dalam penelitian ini

adalah; pembidaian back slab cast dan spalk.

2. Variabel Dependen

Variabel dependen adalah variabel respon atau ouput yang muncul

sebagai akibat dari manipulasi suatu variabel-variabel independen

(Surjaweni, 2014), variabel dependen dalam penelitian ini adalah

perubahan intensitas nyeri pada pasien fraktur.

F. Analisis Data

Setelah melewati tahap protocol sampai pada ektraksi data, maka

analisis data dilakukan dengan menggabungkan semua data yang telah

62
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi menggunakan teknik secara deskriptif

untuk memberikan gambaran sesuai permasalahan penelitian yang diteliti.

63
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, S,. 2013. Konsep & proses keperawatan nyeri. [e-book]: Ar-ruzz
media: Ipusnas, [22 september 2020]

Andi dkk, 2020. “ Nyeri pada pasien post op fraktur ektrimitas bawahdengan
pelaksanaan mobilisasi dan ambulasi dini”vol 2, 10 halaman :[online]
https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JOTING/article/view/1129[29 september
2020]

Donzu, J,.2016. Buku metodologi penelitian keperawatan. Cetakan I. Yogyakarta:

Pustaka Baru.

Ermawan, R,.2019 Buku pedoman ketrampilan klinis basic life support and

trauma:Pembebetan dan pembidaian. Edisi I. Surakarta: Binara Rupa Aksara.

Fakhrurrizal, A, 2015 . “Pengaruh pembidaian terhadap penurunan rasa nyeri

pada pasien fraktur tertutup” Jurnal ilmu kesehatan, vol 3, 11 halaman : [online]

https://docplayer.info/68809518-Pengaruh-pembidaian-terhadap-penurunan-rasa-

nyeri-pada-pasien-fraktur-tertutup-di-ruang-igd-rumah-sakitumum-daerah-a-m-

parikesit-tenggarong.html [ 17 september 2020].

Fakultas Kesehatan, 2020 Buku Panduan Teknis Penuisan Penelitian Systematic

Review, Universitas Kristen Indonesia Maluku.

Mediarti dkk, 2015.“ Pengaruh pemberian kompres dingin terhadap nyeri pada

pasien fraktur ekstrimitas Tertutup”. Jurnal kedokteran dan kesehatan, vol

64
2,,halaman 253-260:[online]http://jurnal.syntax-idea.co.id/index.php/syntax-

idea/article/view/3[ 20 september 2020].

Muttaqin, A, 2011.Buku ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan.Edisi I. Jakarta: Salemba Medika.

Noor, Z.,2016. Buku ajar gangguan musculoskeletal.Edisi 2. Jakarta: Salemba

Medika.

Subandono , J. 2019. Buku pedoman ketrampilan klinis pembebetan dan

pembidaian. Edisi III. Jakarta: Salemba Medika

Rahmawati dkk, 2018.“Pengaruh pembidaian terhadap penurunan skala nyeri

pada pasien fraktur tertutup.[online], vol 7, 12 halaman : [online]

http://repo.stikesperintis.ac.id/344/1/53%20RAHMA%20WATI.pdf[20 september

2020]

Wirawawan, G.P.A ( 2017 ) “ Efektifitas pembidaian back slab cast dan spalk

terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien fraktur ektrimitas bawah”.

[ online], vol 5, 8 halaman. : https://scholar.google.co.id/scholar?

lookup=0&q=efektifitas+pembidaian+back+slab+cast+dan+spalk+terhadap+penu

runan+intensitas+nyeri+pada+pasien+fraktur+ekstrimitas+bawah&hl=id&as_sdt=

0,5[ 11 agustus 2020 ].

65

Anda mungkin juga menyukai