Anda di halaman 1dari 9

RESUME MATERI

PRINSIP HIDUP DAN KONDISI PSIKOSOSIAL PADA


BAYI DAN ANAK YANG TERINFEKSI HIV

OLEH :
PUTU AYU DHARMANING
NIM. 193223102

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES WIRA MEDIKA BALI
2020
Penularan HIV pada bayi dan anak-anak bisa terjadi secara horizontal melalui
transfuse darah, ataupunsecaravertikaldariibukebayi yang dilahirkan pada saat
kehamilan, persalinan dan laktasi atau pemberian ASI dari ibu HIV positif.
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(Kemenkes RI) kasus HIV/AIDS pada anak semakin meningkat; di tahun 2014,
sampai dengan bulan September, sudah ditemukan 78 kasus baru AIDS pada anak.
Data Kemenkes RI memperlihatkan bahwa jumlah kematian anak dengan AIDS
tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun.
Beberapa penelitian mengungkapkan anak dengan HIV/AIDS (ADHA) tidak
dapat mencapai umur 5 tahun tanpa didukung oleh pengobatan ARV. Namun
demikian, data menunjukkan juga bahwa sebagian anak-anak HIV positif bisa
bertahan hidup hingga usia 14 tahun. Sayangnya, data yang disajikan oleh Kemenkes
hanya menunjukkan jumlah anak dan bukanlah data cohort, sehingga dari data ini
tidak bisa bertahan hidup adalah mereka yang terdiagnosa sejak usia dini. Dari
observasi awal di lapangan ditemukan bahwa beberapa yayasan yang peduli dengan
anak AIDS, seperti YPI (Yayasan Pelita Ilmu), Lentera Anak Pelangi dan Yayasan
Rachel, memberikan perawatan kepada anak dengan HIV/AIDS (ADHA) yang sudah
memasuki usia remaja ketika memulai ART (Antiretroviral Therapy).
Dalam ilmu sosial dikenal dengan istilah “Positive Deviance”. Penelitian ini
mengkaji bagaimana ADHA menjalani hidup sebagai Positve Deviant dan bagaimana
keluarga dan sistem sosial mendukung mereka menjalani kehidupan mereka.
Menjalani hidup sebagai ADHA juga tidak mudah karena mereka harus berdamai
dengan penyakit dan obat-obatan, mengalami masalah psikososial karena merasa
berbeda dengan teman sebayanya, dan sulit untuk berprestasi karena halangan
kesehatan. Namun, bantuan dan dukungan terhadap ADHA malah membuat mereka
menjadi pahlawan untuk keluarganya karena dianggap sebagai sumber financial
untuk mendukung kebutuhan keluarga mereka. Penelitian juga menemukan bahwa
keluarga dan sistem sosial memegang peranan penting bagi informan untuk bisa
bertahan hidup lebih lama dari ADHA lainnya.
A. PRINSIP HIDUP PADA BAYI/ANAK YANG TERINFEKSI HIV
1. PrinsipHidup Bersama Anak Dengan HIV/AIDS (ADHA)
Hidup dengan ADHA selama ini selalu digambarkan dengan sebuah kondisi
yang sulit untuk dikendalikan oleh kebanyakan orang namun pada kenyataanya hal
ini merupakan cara yang mudah untuk dilakukan. Hidup dengan ADHA artinya
menghilangkan segala batasan antara pasien dengan orang yang merawatnya, jika hal
ini dilakukan dapat membantu pasien HIV untuk bangkit dari keterpurukan yang
dialaminya. AIDS pada ADHA dapat ditekan apabila tubuh ADHA sehat, dan
kesehatan ini secara langsung juga dipengaruhi oleh mental ADHA.
Oleh karena diskriminasi terhadap ADHA menjadi sumber dari segala bentuk
kesewenangan dan kekerasan yang di alaminya. Akan tetapi interaksi ADHA dengan
yang lain tetap memerlukan ilmu baik dari sisi medis maupun psikospirit agar
interaksi yang berjalan tidak menjadi interaksi yang negative terutama bagi ADHA
sendiri.

2. PrinsipHidup Bersama Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) Saat Rumah


a. Tidak menguncilkan ADHA dalam ruangan tertutup
ADHA atau pasien HIV yang mana ada kemungkinan besar telah mengindap
penyakit AIDS pada tubuhnya adakalanya dikunci dalam ruangan tertutup karena
anggota keluarga yang takut untuk tertular atau ditulari penyakit yang sedang dialami
ADHA. Namun perlu diketahui bahwa cara yang dilakuan ini tidak akan pernah
menyelesaikan masalah atau menyembuhkan penyakit yang dialami oleh anggota
keluarga yang sedang menderita penyakit HIV/AIDS dan justru akan berdampak
sebaliknya yang mana tubuh pasien mengalami penurun kesehatan yang drastis.
Membiarkan anggota keluarga yang merupakan pasien HIV untuk tetap dapat
bergerak bebas dalam rumah ataupun bersosialiasi dengan anggota keluarga lainnya
akan membantu meningkatkan kepercayaan diri pasien. Anggota keluarga juga ada
baiknya tidak memandang aneh pasien serta menganggap pasien berbeda dengan yang
lainnya. ADHA di dalam tubuhnya hanya memiliki virus HIV yang melemahkan daya
tahan tubuhnya sehingga terkadang dapat menimbulkan dampak AIDS terhadap
kehidupan sosial yang dimilikinya.
b. Mengajak ADHA untuk terbuka
Ada kalanya ADHA akan merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain di
sekitarnya akibat penyakit yang dialaminya, hal ini jika dibiarkan lama kelamaan
akan membuat ADHA menjadi pribadi yang tertutup dan sulit untuk didekati. Jika
melihat situasi ini ADHA sebenarnya membutuhkan seorang atau tempat yang mana
dapat ia percayai untuk mencurahkan isi hati dan pemikirannya. ADHA yang dalam
kehidupan sehari-harinya mengalami tekanan batin akibat banyak hal dan pemikiran
yang dipendamnya sendiri lama kelamaan akan membuat kesehatan mentalnya
menjadi terganggu.

B. KONDISI PSIKOSOSIAL PADA BAYI/ ANAK YANG TERINFEKSI HIV


1. Positive Deviant yang Terdeteksi
Pendekatan PD mengkaji bagaimana sekelompok orang bisa berbeda
dengan yang lainnya walaupun mereka berada dalam kondisi yang persis sama.
Perilaku yang PD biasanya terjadi secara sengaja karena adanya perlakuan khusus,
bisa melalui intervensi, untuk suatu perubahan tingkah laku pada kelompok tertentu.
Namun mereka secara tidak sengaja menjadi PD karena telat terdeteksi karena
minimnya pengetahuan orang tua dan keluarga luas yang mengasuh mereka tentang
penularan HIV/AIDS dan kurangnya akses pada VCT (Voluntary Counseling and
Testing) pada ibu hamil. Di Indonesia, ibu hamil tidak diwajibkan untuk melakukan
VCT dan tidak semua ibu hamil diberikan akses pada VCT. Akibatnya ibu hamil
HIV positive tidak mengetahui statusnya sehingga tidak bisa mencegah penularan
HIV dari ibu ke bayi yang dikandungnya.
Saat mereka pertama kali terdeteksi mengidap HIV bisa jadi ADHA sakit
parah dan tidak segera sembuh atau ada kondisi kesehatan mereka yang
mengkuatirkan. Biasanya mereka terserang jamur di kulit atau di paru-paru atau di
mulut/sariawan, diare akut, atau TBC akut yang tidak kunjung sembuh. Pada keadaan
ini, pediatric meminta anak dan ibu untuk menjalankan VCT dan baru mengetahui
bahwa ibu dan anak tertular HIV. Bahan juga bisa jadi mereka terdeteksi saat salah
satu atau kedua orang tua sakit parah atau meninggal karena AIDS; anak diminta
untuk melakukan VCT walaupun terkadang terlihat masih sehat, pada saat itulah baru
anak terdeksi HIV.
Walaupun terdeteksi saat balita, pasien tidak serta merta memulai ART.
Mereka baru memulai ART saat mereka berusia lebih dari lima tahun, bahkan ada
yang sudah lebih dari 10 tahun karena alasan CD4 (Claster of Diferentiation 4)
masih di atas 350 atau baru terdeteksi setelah usia lebih dari 5 tahun. ART baru
akan dimulai bila CD4 sudah berada di bawah 350, sesuai dengan peraturan
Permenkes 87/2014 tentang Pedoman Pengobatan ARV (Indonesia 2014). Dengan
kata lain, mulai sejak mereka terdeteksi HIV hingga saat mereka memulai ARV
kondisi kesehatan mereka tidak mengkuatirkan. Seorang pediatric mengemukakan
pengamatannya dalam wawancara mendalam bahwa: kualitas hidup mereka tidak
berbeda dengan anak dari lingkungan sosial yang sama. Pada kelompok anak 10-14
tahun menunjukkan tidak ada perbedaan dengan anak yang tidak HIV. Penelitian
pada anak umur 2-4 tahun dan 4-10 tahun juga tidak menunjukkan gangguan
perkembangan.
Walaupun anak bisa hidup lebih lama dibandingkan dengan ADHA lainnya,
namun tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang anak yang terinfeksi HIV. Pada
bagian ini digambarkan bagaimana ADHA menjalani kehidupan mereka meliputi:
a. Hidup dalam kesakitan
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga ADHA
seringkali mengalami gangguan kesehatan. Penyakit kulit, diare akut, batuk pilek, dan
sariawan/jamur di rongga mulut adalah penyakit oportunistik (opportunistic
infection) yang sering kali muncul pada ADHA bila kekebalan tubuhnya menurun,
terutama mereka yang belum memulai ART.
Seperti yang telah dikemukakan, ADHA diwajibkan untuk memulai
ART setelah CD4-nya di bawah 350. ADHA harus mengkonsumsi ARV sepanjang
hidupnya di waktu yang sama setiap harinya dan konsultasi kesehatan
rutin minimal sebulan sekali. Kegagalan dalam kepatuhan minum obat/putus obat
akan mengakibatkan tubuh ADHA resisten terhadap ARV sehingga pertumbuhan
virus tidak lagi bisa ditekan dengan ARV. Ironisnya, efek samping ARV merupakan
salah satu faktor penyebab ADHA putus obat.
Mereka malah merasakan gangguan kesehatan yang cukup menganggu
aktivitasnya ketika mulai menkonsumsi ARV, seperti mual, pusing dan kelelahan.
Apalagi, seperti remaja lainnya, ADHA yang memasuki masa remaja seringkali
bosan dan malas karena terbebani dengan keharusan minum obat dengan waktu yang
tertentu dan akhirnya memberontak dengan menolak ART (putus obat).
ADHA lupa waktu bila sedang bermain bersama temannya, sehingga lupa
minum obat. Selain itu, ADHA akan menolak minum obat bila sedang tidur atau bila
sedang ada kegiatan di sekolahnya. Belum lagi ukuran pil ARV yang besar dan susah
untuk ditelan atau rasanya yang pahit bila diberikan dalam bentuk bubuk (puyer).
Putus obat adalah salah satu masalah yang sering dihadapi ADHA. Putus obat bisa
terjadi sementara atau pun selamanya, namun keduanya beresiko pada resistensi
ARV. Oleh karenanya, sepanjang hidupnya ADHA harus hidup berdamai dengan
penyakit dan obat-obatan.
b. Gangguan fungsi psikososial
Proses pengungkapan (disclosure) status HIV berimplikasi pada fungsi
psikososial ADHA. Mereka yang proses disclose statusnya dipersiapkan dengan baik
oleh pediatric yang merawat mereka atau oleh ibu mereka yang juga HIV positif
memiliki kondisi psikososial yang lebih baik. Bahkan ADHA yang diasuh oleh ibu
HIV positif beradaptasi dan menerima keadaan dirinya dengan lebih baik. Mereka
menjadi lebih patuh minum obat dan lebih memperhatikan kesehatan dirinya.
Sayangnya, ketakutan akan terdiskriminasi membuat orang tua dan keluarga
melindungi mereka dari disclosure status HIV dan kondisi kesehatan mereka.
Apalagi, anak dianggap sebagai agen yang pasif yang tidak mampu menerima
kondisi kesehatannya. Bahkan ditemukan juga kasus di mana orang tua dan keluarga
yang mengasuh memberitahukan informasi yang salah dan memberikan harapan
bahwa HIV dapat disembuhkan. Akibatnya, banyak ADHA yang mengalami
gangguan psikososial seperti depresi, cemas, tidak bisa bersosialisasi, dan merasa
berbeda dengan teman sebayanya karena sering sakit dan harus minum obat (ARV)
setiap hari.
Beberapa informan yang memasuki usia remaja pada akhirnya yang mencari
tahu sendiri informasi tentang kondisi kesehatan mereka melalui media sosial.
Sayangnya, seringkali mereka tidak mendapatkan informasi yang memadai sehingga
keterbukaann terhadap penyakitnya tidak maksimal (partial disclosure). Informan
yang mengalami partial disclosure tidak bisa menerima keadaan dirinya dan
memberontak dengan menolak untuk mengkonsumsi ARV (putus obat).
c. Minim Prestasi
ADHA menjadi minim prestasi karena kondisi kesehatannya. Secara
akademik, kondisi penyakitnya sering membuat mereka harus tidak masuk sekolah.
Apalagi bila harus menjalani pemeriksaan kesehatan rutin ke puskesmas maupun
rumah sakit yang memakan waktu, sehingga mereka terpaksa tidak bisa masuk
sekolah. Oleh karenanya mereka sering ketinggalan pelajaran sekolah. Belum lagi
bila kondisi kesehatan mereka menurun dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit.
Selain itu, efek samping ARV membuat mereka sering merasa kelelahan,
pusing dan mual, sehingga mereka terpaksa tidak dapat mengikuti kegiatan yang
memerlukan banyak tenaga, seperti olah raga dan pramuka. Bahkan ada juga, satu
kasus ADHA yang sering tertinggal pelajaran, dimana ADHA yang sudah memasuki
masa remaja menjadi bosan dan kemudian memutuskan untuk drop out dari sekolah
dan bekerja serabutan.
d. Menjadi “pahlawan” bagi keluarga
ADHA sering mendapatkan anak yatim piatu bila orang tuanya sudah
meninggal, atau pun bantuan sebagai anak yang terinfeksi HIV/AIDS. Dalam
kenyataannya, bantuan yang diberikan tidak hanya ditujukan untuk ADHA tetapi
digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, termasuk
keluarga luas yang mengasuh mereka sebagai pengganti orang tua yang sudah lebih
dulu meninggal dunia.
Dengan adanya bantuan tersebut, keberadaan ADHA menjadi penting karena
mereka menjadi sumber dana. Bahkan beberapa informan diperlakukan istimewa
dalam keluarga. Sayangnya, kondisi ini malah membuat ADHA rentan putus obat
karena tidak ada lagi yang disegani mereka apabila mereka menolak minum obat
(ARV).
2. Sistem Sosial ADHA
ADHA tidak akan dapat bertahan hidup dengan segala permasalahannya, baik
masalah medis maupun psikososial tanpa ada sistem sosial yang menopang mereka.
Keluarga adalah segalanya. Aktor yang berperan dalam sistem sosial ADHA
adalahorangtua (dalam hal ini Ibu) dan keluarga luas, termasuk, nenek, paman, atau
bibi. Keberadaan mereka sangat menunjang kehidupan ADHA untuk bisa bertahan
hidup lebih lama. Selain faktor nutrisi dan pengobatan medis, kehadiran keluarga
memiliki peran dalam perawatan ADHA dan merupakan lini utama perlindungan bagi
mereka. Beberapa informan tinggal bersama ibu karena ayah meninggal atau
bercerai. Ibu bisa tertular HIV dari ayah yang HIV positif, namun ada juga ibu
yang tertular dari jarum suntik tidak steril. Bisa jadi ibu kemudian menikah kembali
dan membentuk keluarga baru dengan atau tanpa anaknya yang positif. Mereka
yang ditinggal orang tuanya akan tinggal keluarga luas dari pihak ibu atau dari pihak
ayah. Keberadaan orangtua dan keluarga luas mempengaruhi kondisi psikologis
berupa rasa aman, rasa nyaman, dan kasih sayang, sehingga ADHA dapat bertahan
hidup terutama pada saat masa-masa krisis awal terinfeksi HIV/AIDS.
Bagi ADHA yang tinggal bersama ibu yang positif, kebiasaan makan mereka
lebih sehat karena ibu yang positif mempunyai pengetahuan yang memadai dan lebih
memperhatikan kualitas makanan anak-anaknya. ADHA yang tinggal dengan
keluarga luas cenderung tidak diperhatikan kualitas makanan yang mereka konsumsi
karena keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan keuangan.

3. Dukungan dan Bantuan Lembaga Sosial


Sistemsosial ADHA juga melibatkan LSM, pediatric, dan sekolah yang
memberikandukungan dan bantuan sehingga ADHA bisa menjalankan kehidupannya.

Dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan anak dengan HIV/AIDS sangat
bervariasi baik dari segi jenis dan sumbernya. Dukungan emosional dan instrumental
tidak hanya diberikan oleh orangtua dan keluarga luas yang berada di dekat
lingkungan anak, tetapi juga oleh pendamping LSM, teman sebaya, dan masyarakat.
Dukungan informasional secara eksklusif hanya bisa diberikan oleh
pendamping dari LSM ataupun pediatric yang merawat ADHA, mengingat mereka
yang lebih mengetahui tentang HIV/AIDS. Bantuan yang diberikan pada ADHA
bervariasi tergantung pada institusi lembaga pemberibantuan. Puskesmas sangat
membantu dalam pemberian ARV gratis yang diberikan secara langsung dengan
rekomendasi dari LSM pendamping ADHA. Pemberian ARV yang disertai dengan
dukungan sosial menyebabkan anak berkembang secara optimal. Selain ARV, ADHA
mendapatkan bantuan obat-obatan lain untuk menyembuhkan Infeksi Oportunisktik
mereka dari bantuan lembaga sosial Internasional. Bantuan yang diberikan tidak
selalu untuk kesehatan mereka.
LSM sebagai Lembaga Sosial memberikan program yang sangat bervariasi,
seperti memberikan pemeriksan VCT secara gratis, memberikan pemberian pelajaran
tambahan serta mengajak ADHA untuk berekreasi, memberikan bantuan susu,
vitamin dan suplemen kesehatan bagi ADHA. Adapula lembaga yang memberikan
bantuan financial yang memungkinkan mereka untuk tetap bisa bersekolah dan tidak
menyebabkan mereka memutuskan untuk drop out dan hanya bekerja mencari uang.

Anda mungkin juga menyukai