Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS NEONATORUM

Diajukan untuk memenuhi tugas Prantik Klinik Keperawatan, Keperawatan Anak yang
diampu oleh:

Septian Andriyani,S.Kp.,M.Kep

Disusun oleh:

Suliaswati

1807597

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2020

1
TETANUS NEONATURUM
2.1 Pengertian

Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia dibawah 28 hari. Tetanus
berasal dari kata eflex (Yunani) yang berarti peregangan. Tetanus adalah suatu
penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium Tetani dengan tanda utama
kekakuan otot (spasme). Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot
(spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman
secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan
oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan
neuro muscular (neuro musculae jungtion) dan saraf autonom (Smarno, 2010).

2.2 Etiologi

Penyebabnya adalah Clostrodium tetani, yang infeksinya biasanya terjadi


melalui luka pada tali pusat. Ini dapat terjadi karena pemotongan tali pusat tidak
menggunakan alat-alat yang steril Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin)
dari bakteri gram positif anaerob, clostridium tetani, pada 1-2 minggu setelah
inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi)
(Brennen U, 2012).

Hasil Clostrodium tetani ini bersifat anaerob, berbentuk spora selama diluar
tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang dapat mengahancurkan sel darah
merah, merusak lekosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat
neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Masa inkubasi
biasanya 5-14 hari, tergantung pada tempat terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan
toksisitas kuman Tetanus Neonatorum. (Surasmi, Asrining,2003)

2.3 Patofisiolgi

Clostridium Tetani dalam bentuk spora masuk kedalam tubuh melalui luka
potongan tali pusat, yaitu tali pusat yang dipotong menggunakan alat yang tidak steril
atau perawatan tali pusat yang tidak baik. Spora yang masuk dan berada di lingkungan
anaerobik berubah menjadi bentuk flex dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam
jaringan yang anaerobic ini terjadi penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan
turunan tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium
yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf yang memakan

2
waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum dapat perubahan
elekrik dan fungsi sel walaupun toxin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum
belakang toxin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke letuk sinaps dan diteruskan
ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toxin menimbulkan
gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan. Eksotoksin mencapai
sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskular. Kemudian
menjadi terikat pada sel saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh
antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah
dinetralkan oleh arititoksin.

Pengangkutan toksin melaui saraf motorik:

a. Sinaps ganglion sumsum tulang belakang.


Eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan menjadi kaku.
b. Otak.
Toksin yang menempel pada cerebral ganglionsides diduga menyebabkan kekakuan
dan kejang yang khas pada tetanus.
c. Saraf autonom.
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat berlebihan,
hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block atau takikardia.
Masa inkubasi 3 – 28 hari, dengan rata-rata 6 hari. Bila kurang dari 7 hari,
biasanya penyakit lebih parah dan angka kematiannya tinggi.

Kategori Tetanus Neonatorum Sedang Tetanus Neonatorum Berat


Umur bayi > 7 hari 0 – 7 hari
Frekuensi Kadang-kadang Sering
kejang
Bentuk Mulut mencucu, Mulut mencucu,
kejang
Trismus kadang, Trismus terus-menerus,

Kejang rangsang (+) Kejang rangsang (+)


Posisi badan Opistotonus kadang-kadang Selalu opistotonus
Kesadaran Masih sadar Masih sadar
Tanda-tanda Tali pusat kotor, Tali pusat kotor,
infeksi
Lubang telinga kotor/bersih Lubang telinga kotor/bersih

3
PATHWAY TETANUS NEONATURUM

Terpapar kuman clostridium

Eksotoksin

Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Sumsum tulang belakang Otak Saraf otonom

Tonus otot Menempel pada Mengenai saraf

Cerebral Gangliosides Simpatis

Menjadi kaku Kekakuan & kejang khas Hipertermi

pada tetanus

Gangguan suhu

Hilangnya keseimbangan tonus otot

Kekakuan otot

Sistem pencernaan system pernapasan

Gangguan Gangguan Kedidak efektifan Gangguan

eliminasi nutrisi Jalan napas Komunikasi


2.4 Gambaran Klinik verbal
Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang
primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan”. Anak yang

4
semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala
klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus
sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada
penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter,
sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku. Bentukan
mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas
setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi
makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas.

Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai
namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak. Kekakuan
dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa
disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada
siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga
bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan
kepala dalam posisi menengadah.

Gambaran Umum pada Tetanus:

a. Trismus (lock-jaw, clench teeth)


Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan
otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk
menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap
hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher
lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga.
Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi terdapat
kekakuan mulut sehingga bayi tidak dapat menetek.
b. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil
menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
c. Opisthotonus Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot
leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan
tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara
klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan

5
busur tersebut. Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression
fracture pada tulang vertebra.
d. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot dinding
perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan
keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai
timbulnya perdarahan paru (pada eflexe) atau bronchopneumonia.
e. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya
terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara
kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang
makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.

2.5 Patologi

Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang belakang,
dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat spasmus
laring pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan oleh pengaruh
langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain ialah
pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali
merupakan sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.

2.6 Pencegahan

1. Melaui pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan
bersih alat .

a. Bersih tangan
Sebelum menolong persalinan, tangan penolong disikat dan dicuci dengan sabun
sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan
dilakukan selama 15 – 30 “ . Mencuci tangan secara benar dan menggunakan
sarung tangan pelindung merupakan kunci untuk menjaga lingkungan bebas dari
infeksi.

b. Bersih alas

6
Tempat atau alas yang dipakai untuk persalinan harus bersih, karena clostrodium
tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu kelahiran.
c. Bersih alat
Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril. Metode sterilisasi
ada 2, yang pertama dengan pemanasan kering : 1700 C selama 60’ dan yang
kedua menggunakan otoklaf : 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan
20 ‘ jika alat tidak dibungkus.

2. Perawatan tali pusat yang baik

Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas, cara yang
murah dan baik yaitu menggunakan alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang
telah dibasahi dengan alkohol dibungkuskan pada tali pusat terutama pada
pangkalnya. Kasa dibasahi lagi dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat
telah lepas, kompres alkohol ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul
(selama 3 – 5 hari). Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas
tali pusat karena akan terjadi infeksi.

3. Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil

Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu
hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi
tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah
melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh
tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanis neonatorum. Imunisasi TT pada
ibu hamil diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta
jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi
tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan
kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibosi tetanus
dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan
mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk
menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yang cukup dari tubuh ibu hamil ke
tubuh bayinya. TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk ibu hamil
tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu
hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat
bawaan ataupun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .

7
Tabel Pemberian Imunisasi TT dan Lamanya Perlindungan

Dosis Saat Pemberian % Lama


Perlindungan Perlindungan
TT1 Pada kunjungan pertama atau 0 Tidak ada

TT2 sedini mungkin pada kehamilan 80 % 3 tahun


Minimal 4 minggu setelah TT1
TT3 95 % 5 tahun
Minimal 6 bulan setelah TT2 atau
10 tahun
selama kehamilan berikutnya
TT4 99 % selama usia subur
Minimal setahun setelah TT3 atau
TT5 selama kehamilan berikutnya

Minimal setahun setelah TT4 atau 99 %


selama kehamilan berikutnya

2.7 Penatalaksanaan

1. Medik

a.  Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam
perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk
memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering
kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5%
dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah
dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde,
melalui eflex diberikan tambahan protein dan kalium.

b.   Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit,


kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam
dimasukan ke dalam cairan eflex dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih
sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-
lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5
mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15
mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan
diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau

8
bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh
diberikan secara intravena.
c. Antitetanus Serum 10.000 per hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan
IM. Perinfus diberikan 20.000 untuk sekaligus.
d.   Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari.
Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi
lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien
meningitis bakterialis.
e. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
f.  Perhatikan jalan napas, eflexe, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
g. Pemberian kompres pada anak
Kompres adalah salah satu metode fisik untuk menurunkan suhu tubuh anak
yang mengalami demam. Pemberian kompres hangat pada daerah pembuluh
darah besar merupakan upaya memberikan rangsangan pada area preoptik
hipotalamus agar menurunkan suhu tubuh. Sinyal hangat yang dibawa oleh darah
ini menuju hipotalamus akan merangsang area preoptik mengakibatkan
pengeluaran sinyal oleh sistem efektor. Sinyal ini akan menyebabkan terjadinya
pengeluarn panas tubuh yang lebih banyak melalui dua mekanisme yaitu dilatasi
pembuluh darah perifer dan berkeringat (Potter & Perry, 2005).
Sebagian besar tindakan penatalaksanaan demam dengan kompres yang
dilakukan oleh orang tua terhadap dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan (growth) bersifat kuantitatif dan perkembangan
(development) bersifat kuantitatif dan kualitatif (Soetjiningsih & Ranuh, 2013).
2. Keperawatan
Pasien tetanus adalah pasien yang gawat, mudah kejang dan bila kejang selalu
disertai sianosis. Spasme pada otot pernapasan sering menyebabkan pasien apnea.
Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan
dapat menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat dikamar yang
tenang tetapi harus terang.
Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernapasan,
kebutuhan nutrisi/cairan, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.

a. Bahaya terjadinya gangguan pernapasan

9
Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan
pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua
mengenai penyakit. Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea,
yang disebabkan adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan
sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot faring
menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut sehingga memudahkan
terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya lendir di tenggorokan juga menghalangi
kelancaran lalu lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap
kejang selalu disertai sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan :
a) Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal
dibawah bahunya.
b) Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2 L/menit jika
sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih
tinggi dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
c) Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke
belakang dan memudahkan penghisapan lendirnya.
d) Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas
buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
e) Observasi tanda vital setiap ½ jam .

f) Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.

b. Kebutuhan nutrisi/cairan

Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi
kebutuhan makanannya perlu diberi infus dengan cairan glukosa 10%. Tetapi
karena bayi juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus
11/2% dengan perbandingan 4:1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang
pemberian makanan dapat diberikan melaui sonde dan selanjutnya sejalan
dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.

c. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit

Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan
bahwa bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan
khusus, kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada
tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum memerlukan
alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup mahal (misalnya

10
mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil lagi agar
meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan minta pertolongan
persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut penataran Depkes.
Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat yang baik.

ASUHAN KEPERAWATAN

11
A. Pengkajian
1. Identitas : meliputi identitas bayu dan orang tua
2. Riwayat kesehata
a. Keluhan utama: biasanya bayi dikeluhkan sulit menyusui, terjadinya kejang,
dan demam
b. Riwayat penyakit sekarang : pengkajian sesuai PQRST dan keluhan penyerta
lainnya
c. Riyawat penyakit dahulu: dikaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami
kejang
d. Riwayat kesehatan keluarga: dikaji apakah memiliki riwayat penyakit turunan
3. Riwayat kehamilan
a. Prenatal :Dikaji apakah ibu sudah melakukan imunisasi TT
b. Riwayat natal : Tanyakan siapa penelong persalinan ibu
c. Riwayat post natal :Tanyakan pada ibu cara perawatan tali pusat, lalu sejak
kapan bayi tidak dapat menetek. Tanyakan selang waktu antara bayi tidak mau
menetek dengan gejala kejang yang pertama
4. Riwayat imunisasi : tanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT
dan kapan terakhir di imunisasi
5. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan antropometri (PB, BBL, BB sekarang dan sebelum sakit, LLA,
LD, LP, LK)
b. Kepala : kaji bentuk kepala, kebersihan rambut dan kulit kepala, adanya lesi,
tanda-tanda trauma
c. Wajah: kaji adanya rhesus sardonicus, opistotonus dan trimus, dahi biasanya
berkerut, tampak menangis
d. Mata : alis mata terangkat, saat kejang terjadi dilatasi pupil, mata aga menyipit
e. Hidung : kaji adanya pernafasan cuping hidung, polip, secret yang menyumbat
jalan nafas, konsistensi secret da jumlahnya
f. Mulut : kaji adanya tanda-tanda sardonicus, cynusitis, kaji adanya secret yang
menyumbat, mulut tertarik ke bawah muka, sianosis
g. Leher : kaji adanya tanda-tanda kaku kuduk, pembesara kelenjar tyeoid
h. Dada : kaji adanya suara nafas tambahan, inspeksi bentuk, simetris, irama
nafas, biasanya terjadi takicardi.

12
i. Abdomen : kaji adanya distensi abdomen atau ke kakuan otot abdomen,
konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus
j. Ekstremitas : biasanya ekstremitas terjadi kekakuan
k. Integument : sangat sessitif terhadap rangsangan, adanya luka, kaji warna,
kebersihan, dan apakah ada oedem atau tidak

Diagnose Tujuan/luaran Intervensi Rasional


keperawatan
Bersihan jalan Luaran utama : Manajemen Jalan Nafas
nafas tidak efekti Bersihan jalan 1. Monitor pola nafas
berhubungan nafas (frekuensi, kedalaman, 1. Mengetahui keadaan
nafas pada bayi
dengan spasme Setelah dilakukan usaha nafas)
2. Untuk mengetahui
tidakan 2. Monitor sputum
warna dahak dan
keperawatan (jumlah, warna)
jumlah
jalan nafas 3. Lakukan penghisapan
3. Untuk membuka jalan
efektif, dengan lendir
nafas
kriteria hasil: Terapi Oksigen:
4. SO2 dapat menandakan
- Produksi 4. Monitor kecepatan
kadar oksigen pada
sputum aliran oksigen
tubuh
menurun (5) 5. Bersihkan secret pada
5. Untuk membuka jalan
- Tidak mulut, hidung da
nafas pada bagian
sianosis (5) trakea, jika perlu
terdapat secret
- Tidak 6. Kolaborasi penentua 6. Untuk pemberian O2
tampak dosis oksigen
gelisah (5)
Menyusui tidak Luaran utama: Pemberian kesempatan
efektif Status menyusui menghisap pada bayi
berhubungan Luaran 1. Monitor pernafasan bayi 1. Mengetahui keadaan
nafas pada bayi
dengan tambahan: 2. Fasilitasi ibu 2. Untuk memudahkan
ketidakadekuatan Status menelan menemukan posisi yang dalam proses
menyusui pada bayi
reflex menghisap Setelah dilakukan nyaman
bayi tindakan 3. Anjurkan memberi 3. Untuk pemenuhan
asi pada bayi dari
keperawatan kesempatan bayi sampai
ibu
menyusui efektif lebih dari 1 jam sampai

13
dengan kriteria bayi menunjukan tanda-
hasil: tanda siap menyusu
- Bayi mampu Pendampingan proses
menghisap menyusui
ASI 4. Monitor kemampuan 4. Mengetahui apakah
- Reflex bayi menyusu bayi sudah bias
menghisap asi
menelan bayi 5. Damping ibu selama dengan kuat atau
membaik kegiatan menyusui tidak
5. Untuk memantau
- Usaha berlangsung
proses menyusui ibu
menelan 6. Ajarkan ibu 6. Untuk
meningkat mengarahkan mulut mempermudah bayi
dalam menghisap asi
bayi dari arah bawah
kearah puting susu
Hipertermi Luaran utama: Manajemen hipertemia
berhubungan Termoregulasi 1. Monitor suhu tubuh 1. Untuk mengetahui
proses infeksi Luaran 2. Monitor kadar elektrolit perkembangan suhu
2. Memantau cairan
tambahan: 3. Lakukan pendinginan masuk agar tidak
Status neorologis eksternal (mis. Kompres dehidrasi
3. Untuk mengurangi
Termoregulasi dingin pada dahi, leher,
hipertermi pada bayi
neonates dada, abdomen, aksila)
Setelah dilakukan 4. Kolaborasi pemberian 4. Untuk mempercepat
tindakan cairan dan elektrolit pemasukan cairan
pada tubuh bayi
keperawatan suhu intravena, jika perlu
tubuh bayi Manajemen kejang
5. Untuk memantau jika
menurun: dengan 5. Monitor terjadinya terjadi kejang
kriteria hasi: kejang berulang berkepanjangan

- Suhu tubuh 6. Monitor karakteristik 6. Memonitor ciri kejang


menurun. kejang (mis. Aktivitas pada bayi
Normal 36,5- motoric dan progresi
37,5°C (5) kejang)
- Frekensi 7. Damping selama 7. Agar tidak terjadi
kejang kepanjangan
kejang periode kejang
8. Untuk melihat
menurun (5) 8. Catat durasi kejang perkembangan dari
kejang sebelumnya

14
Evidence Based Kompres Pada Bayi
Penelitian Purwanti & Ambarwati (2013) menunjukkan bahwa rerata suhu tubuh
pasien sebelum dilakukan tindakan kompres hangat sebesar 38,9˚C dan sesudah dilakukan
intervensi rerata suhu tubuh pasien adalah 37,9˚C. Pada uji analisis terjadi perubahan rerata
suhu tubuh 0,97˚C dengan SD 0,35˚C nilai p = 0,0001 yang berarti bahwa p<0,05, dengan
efektivitas penurunan suhu tubuh pada anak demam sebelum pelaksanaan kompres air hangat
adalah suhu 38,65 derajat celcius dan sedudah diberikan kompres hangat suhu tubuh
berkurang 37,27 derajat celcius.
Berdasarkan perawatan yang telah dilakukan selama studi kasus, selain dengan
kompres hangat bisa juga dengan cara lain. Berikut beberapa cara yang dapat digunakan
untuk menurunkan panas:
1. Minum banyak, karena demam dapat menimbulkan dehidrasi.
2. Kompres anak dengan air hangat. Akibatnya suhu tubuh anak bukannya turun,
melainkan tambah panas. Sebaiknya kompres dilakukan ketika: anak merasa uncomfortable,
suhu mencapai 40C, pernah kejang demam/keluarga dekat pernah menderita kejang demam
atau anak muntah-muntah sehingga obat tidak bisa masuk. Cara melakukan kompres: taruh
anak di bath tub mandi dengan air hangat (30-32C) atau usapkan air hangat disekujur tubuh
anak. Kalau anak menolak, duduk di bath tub beri mainan & ajak bermain.
3. Beri obat penurun panas, acetaminophen atau paracetamol seperti tempra, panadol,
atau paracetol, tylenol, sesuai dosis. Kapan obat penurun panas diberikan? Bila suhu di atas
38.5C, atau bila anak uncomfortable. Sebaiknya jangan berikan obat demam apabila
panasnya tidak terlalu tinggi (dibawah 38.5C).

DAFTAR PUSTAKA
Surasmi, Asining. 2003. Perawatan bayi resiko tinggi. Jakarta:EGC
Purwanti & Ambarwati. (2013). Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Perubahan Suhu
Tubuh Pada Pasien Anak Hipertermia

15
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I).
Jakarta. Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia. Retrieved from http://www.innappni.or.id

16

Anda mungkin juga menyukai