Anda di halaman 1dari 6

Patogenesis

Dermatitis kontak alergi (DKA) terjadi melalui respon imun yang diperantarai
oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat/tipe IV. Reaksi terjadi melalui dua fase, yaitu
fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi
yang dapat mengalami DKA.(1)

1. Fase Sensitisasi
Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel Langerhans.
Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada Human Leucocyte Antigen-
DR (HLA- DR), dan kompleks yang diekspresikan pada permukaan sel Langerhans.
Sel Langerhans akan bergerak melalui jalur limfatik ke kelenjar regional, dimana
akan terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T dengan CD4-positif. Kompleks
antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor T-sel tertentu (TCR) dan
kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan Interleukin-1 (IL-1).
Interaksi antigen dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T mensekresi IL-2 dan
mengekspresikan reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini menyebabkan stimulasi
autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di seluruh tubuh dan kembali ke
kulit. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.
Menurut konsep “danger signal”, sinyal antigenik murni suatu hapten cenderung
menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritan menimbulkan sensitisasi. Terjadinya
sensitisasi, tergantung oleh adanya sinyal iritan yang berasal dari alergen kontak
sendiri, ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, bahan kimia inflamasi
pada kulit yang meradang atau kombinasi ketiganya. Jadi, danger signal yang
menyebabkan sensitisasi, tidak hanya berasal dari sinyal antigenik sendiri, melainkan
dari sifat iritasi yang menyertainya.(1,2)

2. Fase Elisitasi
Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau memori
dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam jumlah dan beredar melalui pembuluh
darah kemudian masuk ke kulit. Ketika antigen kontak pada kulit, antigen akan
diproses dan dipresentasikan dengan HLA-DR pada permukaan sel Langerhans.
Kompleks akan dipresentasikan kepada sel T4 spesifik dalam kulit (atau kelenjar,
atau keduanya), dan elisitasi dimulai. Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi
dengan kompleks CD3-TCR spesifik untuk mengaktifkan baik sel Langerhans
maupun sel T. Ini akan menginduksi sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan
menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R oleh sel T. Hal ini menyebabkan proliferasi
sel T. Sel T yang teraktivasi akan mensekresi IL-3, IL-4, interferon-gamma, dan
granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GMCSF). Kemudian sitokin
akan mengaktifkan sel Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan
mensekresi IL-1, kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan
asam arakidonik untuk produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT
menginduksi aktivasi sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan
pelepasan histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan
chemoattractant, sel-sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit
yang teraktivasi juga mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1)
dan HLA-DR, yang memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel
darah.Fase ini berlangsung antara 24-48 jam.(1,2)

Gambar 1. Reaksi Hipersensitifitas tipe 4/tipe lambat(3)

Histopatologi
Gambaran histologis pada DKA mengungkapkan bahwa dermis diinfiltrasi oleh
sel inflamasi mononuklear, terutama pada pembuluh darah dan kelenjar keringat.
Epidermisnya hiperplastik dengan invasi sel mononuklear. Sering vesikel
intraepidermal terbentuk, yang bisa bergabung menjadi lepuh yang besar. Vesikula
dipenuhi dengan granulosit yang mengandung serosa dan sel mononuklear. Dalam
sensitivitas kontak Jones-Mote, selain akumulasi fagosit mononuklear dan limfosit,
basofil ditemukan. Ini merupakan perbedaan penting dari reaksi hipersensitivitas tipe
1, di mana basofil benar-benar tidak ada.(4)
Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai berdasarkan pada kelainan kulit
yang ditemukan. Misalnya, pada kelainan kulit berukuran numular di sekitar
umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, perlu
ditanyakan apakah pasien memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang
terbuat dari logam (nikel). Data anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi,
obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, berbagai bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi,
baik yang bersangkutan maupun keluarganya.
Anamnesis dimulai dengan diskusi tentang penyakit ini dan fokus pada tempat
timbulnya masalah dan agen topikal yang digunakan untuk mengobati masalah.
Riwayat penyakit kulit, atopi, dan kesehatan umum juga secara rutin diselidiki.
Gambaran klinis DKA tergantung pada jenis alergen penyebabnya. Biasanya,
dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen tetapi penyebaran dermatitis juga
mungkin terjadi. (1,5)

b. Pemeriksaan Fisik
Kelainan kulit bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya.
Berdasarkan fase berlangsungnya, DKA dapat dibagi menjadi 3 fase:(1,6)
1. Fase akut
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak dengan
bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan ada
pula yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang
pada yang berat selain eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau
bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung menyebar dan
batasnya jelas. Keluhan subyektif berupa gatal.
2. Fase Sub Akut
Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak ada maka
proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini akan terlihat eritema,
edema ringan, vesikula, krusta dan pembentukan papul-papul.
3. Fase Kronis
Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut yang
hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris, batasnya
kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama, terlihat pula bekas garukan
berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang
dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan oleh karena
umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal.
DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi. Tekanan,
gesekan, dan keringat merupakan faktor yang tampaknya meningkatkan sensitisasi.
Kelopak mata, leher, dan alat kelamin adalah salah satu daerah yang paling mudah
peka, sedangkan telapak tangan, telapak kaki, dan kulit kepala lebih resisten.(3,5)

Gambar 2. Berbagai gambaran fase dermatitis kontak alergi(7,8)

Kesimpulan
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) merupakan suatu penyakit peradangan kulit
yang ada dalam keadaan akut, subakut maupun kronis yang ditandai dengan rasa
gatal, eritema, disertai timbulnya papula, edema dan vesikula di tempat yang terkena.
Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe IV dan merupakan respon
hipersensitifitas tipe lambat dan timbul akibat pajanan suatu alergen, yang
sebelumnya sudah terpajan oleh alergen yang sama.
DKA adalah salah satu kondisi terkait pekerjaan yang paling umum. Gambaran
klinis DKA kronis dan dermatitis kontak iritan mungkin sering bertumpang tindih.
Oleh karena itu, identifikasi alergen yang berperan pada DKA sangat penting
Pemeriksaan penunjang uji tempel dapat membantu identifikasi alergen
penyebab. Penghindaran alergen merupakan tatalaksana utama dermatitis kontak
alergi. Penggunaan kortikosteroid topikal, antagonis calcineurin, terapi ultraviolet,
serta terapi sistemik  dapat membantu menangani gejala klinis yang timbul.

Referensi:
10. Sularsito S.A, Soebaryo R.W. Dermatitis Kontak Alergi. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Ketujuh. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2015.
11. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. 3rd
ed.USA: Mosby Inc; 2002. h. 3-33.
12. Goldys RA et al. Pathology of Type 4 Hypersensitivty. Immunology 5 th ed.
2003.p384
13. Scheman AJ. Contact Dermatitis. In: Grammer LC, Greenberger PA (eds).
Patterson’s Allergic Disease. 6 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2002. h. 387-401.
14. Holgate S, Church MK, Lichtenstein LM. Allergy. 3rd ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2006. h.118-127.
15. Mowad, C. M., Anderson, B., Scheinman, P., Pootongkam, S., Nedorost, S., &
Brod, B. (2016). Allergic contact dermatitis. Journal of the American Academy of
Dermatology;74(6):1043–1054
16. Moise LG et al. Acylic sculpting nails, an occupational hazard for contact
dermatitis. Case reports and review of the literature. Romanian Journal of
Occupational Medicine. 2019;70(1)
17. Mendonca MS, La Senna C, Tosti A. Severe Onychodystrophy due to Allergic
Contact Dermatitis From Acrylic Nails. Skin Appendage Disorder. Departement of
Dermatology School of Medicine University of Miami. 2015;1:91-94

Anda mungkin juga menyukai