Anda di halaman 1dari 60

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARURATAN

PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA TRAUMA THORAX

OLEH:

NURUL AFNI ANDINI


19/04/049

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG

PROGRAM STUDI NERS

MAKASSAR

2019/2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks atau
organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
Trauma tumpul toraks dapat menyebabkan kontusio paru dan merupakan kasus
yang sering terjadi. Sehingga sangat penting peranan dalam menentukan
diagnosis dan penanganan yang tepat untuk mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas yang diakibatkan oleh kontusio paru. Setiap satu fraktur kosta dapat
meningkatkan kemungkinan perburukan 19% dan terjadinya pneumonia 27%.
Posisi dari patahan fraktur kosta membantu untuk mengidentifikasi kemungkinan
cedera pada organ dibawahnya (Hudak dan Gallo, 2011)
Kontusio paru merupakan cedera parenkim paru yang terbanyak
didapatkan pada trauma tumpul toraks sekitar 25-35% kasus dengan 200,000
korban per tahun, 15.000 orang dewasa meninggal dengan 25% dari angka
kematian trauma tumpul toraks karena kontusio paru (Bruner & Suddart, 2011).
Di Cina, kontusio paru terhitung sekitar 5% dari kejadian trauma. Fraktur kosta
merupakan faktor risiko utama terjadinya ALI dan ARDS. Angka kematian
kontusio paru cukup tinggi yaitu 14%-40%. Pasien dengan kontusio paru dapat
menyebabkan kerusakan pada saluran nafas, alveoli, pembuluh kapiler,
kerusakan pada sel endothelial, sel epithel, meningkatkan permeabilitas kapiler
paru yang dapat menimbulkan edema pada alveolar. Hal ini menyebabkan
menurunnya oksigenasi dan sumbatan jalan nafas yang disebabkan karena darah
pada bronkus masuk kedalam jaringan yang normal, terjadi bronkospasme, jalan
nafas kolaps, rasio ventilasi dan perfusi tidak seimbang, penurunan compliance
paru dan kapasitas efektif serta hypoxemia (Jin et al, 2010).
Hipoksia merupakan tanda kontusio paru dan menjadi tanda awal adanya
hipoinflasi dan atelectasis sebagai bagian meluasnya kerusakan pertukaran gas.

2
Hipoksia selalu memburuk 48 jam sesudah trauma. Di Amerika Serikat, angka
kejadian multipel trauma sekitar 12%, menduduki urutan ke 4. Kasus multipel
trauma menghabiskan biaya sekitar 16 % dari seluruh biaya pengobatan. Trauma
toraks merupakan trauma yang paling sering terjadi pada multipel trauma. Sekitar
1 dari 3 multipel trauma terdapat trauma toraks, yang cenderung menyebabkan
kontusio paru. Insiden fraktur kosta di Amerika serikat banyak dilaporkan
dengan lebih dari 2 juta trauma tumpul yang biasanya terjadi karena kecelakaan
kendaraan bermotor, dengan insiden dari trauma toraks antara 67% dan 70%.
Suatu studi pada pasien dengan fraktur kosta, angka kematian mencapai 12%;
dengan 94% berhubungan dengan trauma itu sendiri dan 32% didapatkan dengan
hemothorax atau pneumothorax. Lebih dari setengah dari semua pasien
memerlukan tindakan operasi atau penanganan ICU. (Nugroho, dkk, 2015)
Dinding toraks melindungi dan mengelilingi bagian organ didalamnya
dengan tulang padat seperti tulang kosta, clavikula, sternum dan scapula. Fraktur
kosta mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme. Nyeri dari patah
tulang kosta dapat disebabkan karena penekanan respirasi yang menyebabkan
atelectasis dan pneumonia. Fraktur kosta yang berdekatan seperti flail chest
mengganggu sudut costovertebra lnormal dan otot diaphragma, menyebabkan
gangguan ventilasi. Fragmen tulang dari tulang kosta yang patah dapat menusuk
bagian paru yang menimbulkan hemothorax atau pneumothorax dan kontusio
paru (Bruner & Suddart, 2011)
Fraktur kosta merupakan cedera yang paling sering terjadi sebagai akibat
trauma tumpul pada toraks. Penyebab terjadinya trauma toraks bermacam-macam
seperti kecelakaan lalulintas, jatuh dari ketinggian, kecelakaan olahraga,
kekerasan, dan cedera karena ledakan. Sekitar 10% dari semua pasien yang
masuk rumah sakit yang disebabkan karena trauma toraks didapatkan dengan
satu atau lebih fraktur kosta. Fraktur kosta merupakan trauma yang mengancam
jiwa dan dapat menjadi tanda adanya trauma berat di dalam toraks dan abdomen.
Trauma toraks banyak terjadi pada kehidupan sehari-hari terutama karena

3
kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma menjadi penyebab utama kematian
selama 3 dekade dan terhitung 25 % dari semua kematian akibat trauma
disebabkan karena trauma toraks (Bruner & Suddart, 2011)

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep medis dan konsep keperawatan trauma toraks
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui defenisi trauma toraks
b. Untuk mengetahui etiologi trauma toraks
c. Untuk mengetahui patofisiologi trauma toraks
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma toraks
e. Untuk mengetahui komplikasi trauma toraks
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang trauma toraks
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma toraks
h. Untuk mengetahui pencegahan trauma toraks
i. Untuk mengetahui konsep keperawatan pasien dengan trauma toraks

C. Manfaat Penulisan
Memberikan kontribusi laporan kasus sebagai bentuk laporan hasil
tindakan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Trauma Toraks yang
akan bermanfaat dalam profesi keperawatan.

4
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Defenisi
Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma
yang mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh pada pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma
tumpul maupun oleh sebab trauma tajam. Peningkatan dalam pemahaman
mekanisme fisiologis yang terlibat, kemajuan dalam modalitas imaging yang
lebih baru, pendekatan invasif yang minimal, dan terapi farmakologis
memberikan kontribusi dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan cedera ini (Mattox, 2013)
Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang mengalami
cedera berat meliputi, kontusio, laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks
dan Pneumotoraks juga merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien -
pasien trauma toraks. Penatalaksanaan pada cedera ini telah berkembang selama
beberapa dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh kemajuan dalam teknik
imaging diagnostik dan peningkatan dalam pemahaman patofisologi.
Pemahaman ini akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal
atas trauma toraks sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera
(Mattox, 2013).

B. Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65%
dan trauma tajam 34.9 % Penyebab trauma toraks tersering adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis
benturan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan

5
terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat
yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab
trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat
energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti
tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata militer.
Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada
paru - paru yang bisa menyebabkan Pneumotoraks seperti pada aktivitas
menyelam (Nugroho, dkk, 2015)
Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan
sternum, rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan
ini dapat terjadi tunggal ataupun kombinasi tergantung dari mekanisme cedera
(Nugroho, dkk, 2015).

C. Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot -
otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan negatif
dari intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru - paru
selama inspirasi. Trauma toraks mempengaruhi strukur - struktur yang berbeda
dari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitu
dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum. Dalam dinding
dada termasuk tulang - tulang dada dan otot - otot yang terkait. Rongga pleura
berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat terisi oleh darah ataupun
udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru termasuk paru - paru
dan jalan nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio,
laserasi, hematoma dan pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta /
pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara
normal toraks bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmoner
dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh.

6
Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi
keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (Bruner & Suddart, 2011)
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada beberapa
faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera, cedera lain
yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang mendasari. Pasien - pasien
trauma toraks cenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi
respirasinya dan secara sekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung.
Pengobatan dari trauma Toraks bertujuan untuk mengembalikan fungsi
kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan perdarahan dan mencegah sepsis
(Bruner & Suddart, 2011).
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai
berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma.
Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta simpel.
Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel
dengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio pulmonum.
Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma
langsung pada jantung (Bruner & Suddart, 2011)
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler. Gangguan
sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung
kerusakan anatominya. Gangguan faal respirasi dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu
penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan
pembuluh darah (Bruner & Suddart, 2011).

D. Manifestasi Klinis
Gejala yang sering dilihat pada trauma torak adalah (Hudak dan Gallo, 2011):
1. Nyeri dada, bertambah pada saat inspirasi
2. Sesak nafas

7
3. Klien menahan dadanya dan bernafas pedek.
4. Pembengkakan local dan krepitasi pada saat palpasi
5. Dyspnea, takypnea
6. Takikardi
7. Hypotensi
8. Gelisah dan agitasi
9. Sianotik dengan tanda trauma torak atau jejas pada dadanya.
Lebih dari 90 % trauma toraks tidak memerlukan tindakan pembedahan
berupa torakotomi, akan tetapi tindakan penyelamatan dini dan tindakan
elementer perlu dilakukan dan diketahui oleh setiap petugas yang menerima atau
jaga di unit gawat darurat. Tindakan penyelamatan dini ini sangat penting artinya
untuk prognosis pasien dengan trauma toraks. Tindakan elementer ini adalah :
1. Membebaskan dan menjamin kelancaran jalan nafas.
2. Memasang infus dan resusitasi cairan.
3. Mengurangi dan menghilangkan nyeri.
4. Memantau keasadaran pasien.
5. Melakukan pembuatan x-ray dada kalau perlu dua arah. (Hudak dan Gallo,
2011)
Trauma torak yang memerlukan tindakan dan atau pembedahan gawat/
segera adalah yang menunjukkan :
1. Obstruksi jalan nafas
2. Hemotorak massif
3. Tamponade pericardium / jantung
4. Tension pneumotorak
5. Flail chest
6. Pneumotorak terbuka
7. Kebocoran bronkus dan trakeobronkial. (Hudak dan Gallo, 2011)

E. Komplikasi

8
Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,
pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum
20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan
menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade
terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang
sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Hudak dan Gallo, 2011)
Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yang
paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks,
perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit,
subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma
ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang
cenderung sedikit (Hudak dan Gallo, 2011)
Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun
tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks.
Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding
dada. Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada
saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. Pasien akan berusaha
mencegah daerah yang terkena untuk bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal
ini meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia (Nugroho, dkk, 2015)
Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang
berdekatan patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah
kostokondral. Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu
lintas menjadi penyebab yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan
berdasarkan pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan Toraks (Milisavljevic,
et al., 2012)
Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering
kali disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus
dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium
(dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan

9
dari pemeriksaan fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic,
et al., 2012).
Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang
paling umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma
tumpul pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan
parenkim, edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi
pada sebagian paru. Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner
apabila pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto
toraks, dan CT scan toraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru
membutuhkan ventilasi mekanik (Milisavljevic, et al., 2012).
Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks
sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis.
Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan
Pneumotoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan
terbentuknya emfisema subkutis. Pneumotoraks pada trauma tumpul toraks
terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba - tiba menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat menyebabkan ruptur
alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis ke
mediastinum menyebabkan Pneumotoraks atau emfisema mediastinum. Selain
itu Pneumotoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan tekanan
tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan peningkatan
tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau bronchial tree tempat dimana
bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi.
Gejala yang paling umum pada Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh
dispneu (Milisavljevic, et al., 2012).
Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat
masuk ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru,
atau mediastinum. Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul, 37%

10
kasus berhubungan dengan pneumotoraks (hemopneumotoraks) bahkan dapat
terjadi hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012). Terjadinya hemotoraks yang
massive dengan drainage sekitar 1000 mililiter ataupun 100 mililiter per jam
lebih daari 4 jam pada kasus akut mengindikasikan untuk dilakukan thoracotomy
emergency karena sangat beresiko mengancam nyawa bahkan kematian (Cingi,
et al., 2012).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi : Foto Thorax (AP)
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien
dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan
hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks
dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto toraks. (Nugroho, dkk, 2015)
2. Gas Darah Arteri (GDA) dan Ph
Gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien-
pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah
dipakai untuk menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigen
dalam darah, serta kadar karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan analisa
gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan ASTRUP, yaitu suatu
pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri. Lokasi
pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis.
(Nugroho, dkk, 2015)
3. CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul toraks,
seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro
sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari
pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks
foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelum dilakukan Aortografi.
(Nugroho, dkk, 2015)

11
4. Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan
diagnosa adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium,
cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung
ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini
bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya meliputi 90% dan
spesifitasnya hampir 96%. (Nugroho, dkk, 2015)
5. EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi akibat
trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma. Adanya
abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi,
tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinan adanya kontusi
jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan elektrolit,
hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung.
(Nugroho, dkk, 2015)
6. Angiografi
Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya
cedera aorta pada trauma tumpul toraks. (Nugroho, dkk, 2015)
7. Hemoglobin
Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen jaringan tubuh.
(Nugroho, dkk, 2015)

G. Penatalaksanaan
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien
trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of
cervical spine, B: Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability
assessment, dan E: Exposure without causing hypothermia. Pemeriksaan
primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus dilakukan.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang

12
mengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan napas, tension
Pneumotoraks, pneuomotoraks terbuka yang masif, hemotoraks masif,
tamponade perikardial, dan flail chest yang besar. Begitu kondisi - kondisi yang
mengancam nyawa sudah ditangani, maka pemeriksaan sekunder dari kepala
hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary chest survey harus
dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi berikut:
kontusio pulmonum, kontusi miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma
traumatik, disrupsi trakeobronkial, dan disrupsi esofageal.
Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi
utama untuk intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intravena merupakan
terapi utama dalam menangani syok hemorhagik. Manajemen nyeri yang efektif
merupakan salah satu hal yang sangat penting pada pasien trauma toraks.
Ventilator harus digunakan pada pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan
takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator juga diindikasikan pada
pasien dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan flail
chest yang disertai dengan gangguan hemodinamik (Patriani, 2012)
Pasien dengan tanda klinis tension Pneumotoraks harus segera menjalani
dekompresi dengan torakosentesis jarum dilanjutkan dengan torakostomi tube.
Foto toraks harus dihindari pada pasien - pasien ini karena diagnosis dapat
ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x - ray hanya akan menunda
pelaksanaan tindakan medis yang harus segera dilakukan. Luka menghisap pada
dada harus segera dioklusi untuk mencegah berkembangnya tension
Pneumotoraks terbuka. Tindakan lainnya seperti torakostomi tube, torakotomi,
dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (Patriani, 2012).

H. Pencegahan
Pencegah trauma thorax yang efektif adalah dengan cara menghindari
faktor penyebabnya, seperti menghindari terjadinya trauma yang biasanya
banyak dialami pada kasus kecelakaan dan trauma yang terjadi berupa trauma

13
tumpul serta menghindari kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari
cavum thorax yang biasanya disebabkan oleh benda tajam ataupun benda
tumpul yang menyebabkan keadaan gawat thorax akut (Patriani, 2012) .

BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Primary survey
Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan menyiapkan metode
perawatan individu yang mengalami multiple secara konsisten dan menjaga
tim agar tetap berfokus pada prioritas keperawatan. Masalah-masalah yang
mengancam nyawa terkait jalan nafas, sirkulasi, dan status kesadaran pasien
diidentifikasi, di evaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit
sejak datang di unit gawat darurat. (Patriani, 2012) Komponen primary
survey menurut Patriani (2012) :
a. Airway
Penilaian jalan nafas merupakan langkah pertama pada penanganan
pasien trauma. Penilaian jalan nafas dilakukan bersamaan dengan
menstabilkan leher. Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan tetap
mempertahankan leher dengan menggunakan servical collar dan
meletakkan pasien pada spine board.

14
Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara
melalui pita suara. Jika tidak ada suara buka jalan nafas pasien dengan
menggunakan chin lift atau maneuver modified jaw thrust. Periksa
orofaring, jalan nafas mungkin terhalang sebagian atau sepenuhnya oleh
cairan (darah,saliva,muntahan) atau serpihan kecil seperti gigi, makanan
atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan (suction, reposisi)
dan kemudian evaluasi kepatenan jalan nafas.
Alat-alat untuk mempertahankan jalan nafas seperti nasofaring,
orofaring, LMA, pipa trakea, combitube atau cricothyotomy mungkin
dibutuhkan untuk membuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas.

b. Breathing
Untuk menilai pernafasan perhatikan proses respirasi sontan dan
catat kecepatan, kedalaman serta usaha untuk melakukannya, periksa dada
untuk mengetahui penggunaan otot bantu nafas dan gerakan naik turunnya
dinding dada secara simetris saat respirasi.
Cedera tertentu misalnya luka terbuka, flail chest dapat dilihat
dengan mudah. Lakukan auslkultasi suara pernafasan bila didapatkan
adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan bahwa pasien yang
tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada dalam kondisi hipoksia
sampai terbukti sebaliknya.
c. Circulation
Penilaiaan primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup
evaluasi adanya perdarahan, denyut nadi dan perfusi.
1) Perdarahan
Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang massif dan tekan
langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan daerah yang

15
mengalami perdarahan sampai diatas etinggian jantung. Kehilangan
darah dalam jumlah bear dapat terjadi didalam tubuh.
2) Denyut nadi
Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada atau tidaknya nadi, kualitas,
laju dan ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara
langsung setelah terjadi trauma. Raba denyut nadi karotis. Sirkulasi di
evaluasi melalui auskultasi apical. Cari suara denguban jantung yang
menandakan adanya penyumbatan pericardial. Mulai dari tindakan
pertolongan dasar sampai dengan lanjut untuk pasien yang tidak teraba
denyut nadinya.
3) Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah,
pucat, sianosis atau bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok
hipovolemik. Cek warna, suhu kulit, adanya keringat dan crt. Waktu
crt adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak, tetapi
kegunaannya berkurang seiring dengan usia pasien dan menurunnya
kondisi kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda syok terjadi
belum tentu akurat dan tergantung pada pengkajian. Selain kulit tanda-
tanda hipoperfusi juga Nampak pada organ lain, misalnya oliguria,
perubahan tingkat esadaran, takikardi dan distritmia. Selain itu perlu
diperhatikan juga adanya penggelembungan atau pengempisan
pembuluh darah di leher yang tidak normal. Mengembalikan volume
sirkulasi darah mrupakan tindakan yang penting untuk dilakukan
dengan segera.
Berikan 1-2 liter cairan isotonic kristaloid solution (0,9% normal salin
atau ringer laktat). Ada anak-anak pemberian berdasarkan berat badan
yaitu 20 ml per kg bb. Dalam pemberian caran perlu diperhatikan
repon pasien dan setiap 1 ml darah yang hilang dibutuhkan 3 ml cairan
kristaloid.

16
d. Disability
Tigkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan mnemonic AVPU. Sebagai
tambahan, cek kondisi pupil, ukuran, kesamaan dan reaksi terhadap
cahaya. Pada saat survey primer, penilaian neurologis hanya dilakukan
secara singkat. Pasien yang memiliki resiko hipoglikemia, misalkan pasien
dengan dm. harus di cek kadar gula dalam darahnya. Apabila didpat
kondisi hipoglikemi berat maka bias diberikan dextrose 3%. Adanya
penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan pengkajian lebih lanjut pada
survey sekunder. GCS dapat dihitung segera setelah pemeriksaan survey
sekunder. Mnemonic AVPU meliputi : aware (sadar), verbal (berespons
terhadap suara),pain (berespon terhadap rangsang nyeri), unresponsive
(tidak berespon).
e. Exposure and environment
1) Exposure
Lepas semua pakaian klien secara cepat untuk memeriksa cedea,
perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi klien secara
umum, catat kondisi tubuh atau adanya zat bau kimia seperti alcohol,
bahan bakar atau urine.
2) Environmental control
Klien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia penting karena ada
kaitannya dengan vaso kontriksi pembuluh darah dan koagulopati.
Pertahankan atau kembalikan suhu normal tubuh dengan
mengeringkan klien dan gunakan lampu pemanas, selimut, pelindung
kepala, system penghangat udara, dan berikan cairan.
2. Secondary survey
Pada survey ini dilakukan pemeriksaan lengkap head to toe. Apabila
ditemukan masalah maka tidak akan dilakukan tindakan dengan segera, akan
dicatat dan diprioritaskan untuk tindakan selanjutnya. Pada secondary survey
ini dilakukan tindakan sebagai berikut :

17
a. Full set of vital signs, five intervensions and facilication of family
presence
Pemeriksaan tanda-tanda vital adalah hal dasar untuk menentukan
tindakan selanjutnya. 5 intervensi meliputi :
1) Pemasangan monitor jantung
2) Pasang nasogastrik tube
3) Pasang foley kateter
4) Pemeriksaan laboratorium
5) Pasang oksimetri
Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan kesempatan untuk
bersama klien walaupun klien dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan
kesepakatan emergency nurses association, keluarga diberikan kesempatan
untuk bersama dengan pasien selama proses invasive dan resusitasi. Pihak
medis harus mempunyai standar prosedur tentang bagaimana cara
menenangkan, mendukung dan memberikan informasi pada anggota
keluarga

b. Give comfort measures


Korban trauma sering mengalami masalah terkait dengan kondisi fisik dan
psikologisnya. Metode farmakologis dna non farmakologis banyak
digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan kecemasan. Dokter dan
perawat yang terlibat dalam tim trauma harus bias mengenali keluhan dan
melaukan intervensi bila dibutuhkan.
c. History and head to toe examination
1) History
Jika klien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada pasien unuk
mendapa informasi tentang riwayat kesehatan klien, anggota keluarga
juga bias menjadi sumber informasi. Informasi penting tentang

18
bagaimana proses terjadinya trauma harus diperoleh dari klien atau
keluarganya untuk mempermudah dalam menentukan tindakan
selanjutnya.
2) Head
Pada kepala dilakukan inspeksi secara sitematis, palpasi tengkorak
untuk mendapatkan fragmen tulang yang tertekanm hematoma,
laserasi dan nyeri. Ekimosis di belakang telinga atau didaerah
periorbital adalah indikasi adanya fraktur tengkorak bacilar.
3) Face
Inspeksi wajah degan seksama. Perhatikan apakah ada cairan keluar
dari telinga, hidung, mata dan mulut. Cairan jenih yang keluar dari
hidung dan telinga diasumsikan sebagai cairan serebrospinal.
4) Neck
Inspeksi leher klien dan pastikan bahwa pada saat pengkajian leher
klien tidak bergerak. lakukan inspeksi dan palpasi terhadap adanya
luka, jejas ekimosis, distensi pembuluh darah leher, udara dibawah
kulit dan dviasi trakea.

5) Chest
Inspeksi dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan, perubahan
bentuk, traua penetrasi atau luka lain, lakukan auskultasi jantung dan
paru. Palpasi dada untuk mengetahui adanya perubahan bentuk, udara
dibawah kulit dan area lebam/jejas.
6) Abdomen
Inspeksi perut untuk mengetahui adanya memar, massa, pulsasi atau
obyek yang menancap. Perhatikan adanya pengeluaran isi perut,
auskultasi suara perut di 4 kuadran dan secara lembut palpasi dinding
perut untuk memeriksa adanya kekakuan, nyeri, rebound pain.

19
7) Pelvis
Periksa panggul untuk mengetahui adanya perdarahan, lebam, jejas,
perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada laki-laki periksa adanya
priapism, sedangkan pada wanita periksa adanya pendarahan. Inspeksi
daerah perineum terhadap adanya darah, feses atau adanya darah dan
untuk mengetahui posisi prostat.
8) Ekstremitas
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan bentu,
dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka lain. Periksa
sensorik, motorik dan kondisi neurovascular pada masing-masing
ekstremitas. Lakukan palpasi untuk mengetahui adanya jejas, lebam,
krepitasi dan ketidaknormalan suhu.
d. Inspect the posterior surfaces
Dengan tetap mempertahankan kondisi tulang belakang dalam kondisi
netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini membutuhkan beberapa
orang anggota tim. Pemimpin tim menilai keadaan posterior klien dengan
mecari tanda-tanda jejas, lebam, perubahan warna atau luka terbuka.
Palpasi tulang belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk,
pergeseran atau nyeri. Pemeriksaan rectal dapat dilakukan pada tahap ini
apabila belum dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan pada saat
kesempatan ini juga dapat digunakan untuk mengambil baju klien yang
berada dibawah tubuh klien. Apabila pada pemeriksaan tulang belakang
tidak ditemukan adanya kelainan atau ganggguan dank lien dapat
terlentang makan backboard dapat diambil.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma.
2. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
masukan.

20
3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya
masukan makanan dan cairan.
4. Ansietas berhubungan dengan penyakit yang dideritanya.
5. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekpirasi paru
(T.Heather, 2017)
C. Rencana Keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


1 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan a. Beri posisi yang nyaman
dengan adanya keperawatan selama 8 jam dan menyenangkan pasien
trauma. diharapkan nyeri pasien b. Kaji adanya penyebab
teratasi yang dibuktikan nyeri, seberapa kuatnya
dengan indikator : nyeri, minta pasien untuk
a. Pasien mengatakan menetapkan pada skala
“nyeri berkurang”, skala nyeri
(0-2). c. Observasi tanda-tanda
b. Wajah klien tampak vital
rileks d. Anjurkan istirahat yang
c. TTV dalam batas normal cukup
e. Kolaborasi dengan dokter
tentang pemberian
analgesik
2 Resiko perubahan Setelah dilakukan tindakan a. Anjurkan klien makan
nutrisi kurang dari keperawatan selama 8 jam porsi kecil tapi sering.
kebutuhan tubuh diharapkan kebutuhan b. Kaji tanda-tanda kurang
berhubungan dengan nutrisi dapat terpenuhi yang nutrisi (Turgor kulit,
penurunan masukan. dibuktikan dengan kelopak mata, mukosa
indikator: mulut).
a. Pasien mengatakan c. Kaji pola makan pasien.
sudah ada nafsu makan, d. Jelaskan pada pasien

21
turgor kulit elastis tentang pentingnya
b. Pasien mampu penemuan nutrisi untuk
menghabiskan 1 porsi penymbuhan pasien
makanan, mukosa mulut e. Auskultasi bising usus,
lembab, kelopak mata evaluasi adanya distensi
merah abdomen.
f. Kolaborasi dengan tim
medis tentang pemberian
nutrisi parentral.
3 Resiko tinggi Setelah dilakukan tindakan a. Kaji turgor kulit,
kekurangan volume keperawatan selama 8 jam kelembaban membran
cairan tubuh diharapkan kebutuhan mukosa (bibir, lidah)
berhubungan dengan cairan tubuh pasien b. Kaji perubahan TTV,
tidak adekuatnya terpenuhi yang dibuktikan Contoh : peningkatan
masukan makanan dan dengan indikator: suhu/ demam memanjang,
cairan. a. Berat badan pasien takikardi, hipotensi
delam batas normal. ortostatik.
b. Pasien mengatakan c. Catat laporan
mulut saya tidak kering mual/muntah
lagi. d. Pantau masukan dan
c. Turgor kuli pasien haluaran, catat, warna,
elastis, mukasa mulut karakter urine, hitung
lembab. keseimbangan cairan
waspadai kehilangan yang
tak tampak, ukur berat
sesuai indikasi
e. Kolaborasi dengan dokter
tentang pemberian cairan
infus

22
4 Ansietas atau Setelah dilakukan tindakan a. Kaji perasaan tak berdaya/
ketakutan keperawatan selama 8 jam tidak ada harapan
berhubungan dengan diharapkan pasien tidak b. Dorong pasien untuk
penyakit yang mengalami kecemasan yang mengekspresikan marah
dideritanya dibuktikan dengan dan mengakui bila
indikator: dinyatakan
a. Pasien tampak tenang c. Gunakan pendekatan
b. Pasien tidak cemas lagi psikotherapy interpersonal
5 Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan a. Monitor kecepatan/
efektif berhubungan keperawatan selama 8 jam kedalam pernafasan.
dengan penurunan diharapkan pola nafas b. Ausklutasi bunyi nafas,
ekpirasi paru pasien teratasi yang selidiki adanya sianosis
dibuktikan dengan c. Tinggikan kepala tempat
indikator: tidur 30 derajat
a. Pasien tidak sesak d. Observasi TTV
b. TTV dalam batas normal e. Kolaborasi pemberian
terapi oksigen

BAB III

23
PENGKAJIAN KEGAWATDARURATAN

Ruangan : IGD Bedah


Tanggal : 7 Oktober 2020
Jam : 14.00 Wita

Identitas pasien
No. Rekam Medis : 240598
Nama : Tn “R”
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tgl/ Umur : 26 Oktober 1969
Alamat : Jl.Perintis Kemerdekaan KM 13
Diagnosa : Trauma Toraks
Nama keluarga yang bisa dihubungi : Ny “A”
Transportasi waktu datang : Kendaraan Penolong
Alasan masuk : Tn.R masuk Rumah Sakit dengan keluhan
mengalami kecelakaan mobil. Dari pengkajian pasien mengalami penurunan
kesadaran. Penolong mengatakan dada korban membentur stir mobil, setelah
kecelakaan pasien muntah darah dan kemudian pasien tidak sadar. Keaadaan pasien
saat di IGD pasien mengalami penurunan kesadaran, napas cepat dan dangkal,
auskultasi suara napas ronchi, dan pasien ngorok. Terdapat bengkak dan jejas di dada
sebelah kiri. Hasil pemeriksaan GCS 8(E2V2M4) kesadaran sopor, hasil pemeriksaan
TTV, TD : 120/80 mmHg, nadi : 110x/menit, RR : 35x/menit, suhu : 37,3 oc, akral
teraba dingin, tampak sianosis, penggunaan otot-otot pernapasan, dan napas cuping
hidung.

24
PRIMARY SURVEY
A. Airway
Pengkajian jalan napas
 Bebas  Tersumbat
Trachea di tengah :  Ya  Tidak
Resusitasi : Tidak dilakukan resusitasi
Re-evaluasi : Tidak dilakukan
Masalah Keperawatan : Bersihan jalan napas tidak efektif

25
Tujuan Intervensi Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi

Setelah dilakukan Observasi : Jam 14.00 Jam 18.00


tindakan keperawatan
Monitor pola napas Memonitor pola napas S:
selama 6 jam,
Monitor bunyi napas pasien
diharapkan bersihan Penolong mengatakan
Hasil : Frekuensi napas
jalan napas efektif Terapi : pasien muntah darah
pasien 35x/menit, pasien
yang dibuktikan dan menggumpal
Pertahankan kepatenan jalan bernapas dangkal
dengan kriteria hasil : dimulutnya
napas Memonitor bunyi napas
Pola napas dari Lakukan penghisapan lendir pasien O:
menurun menjadi kurang dari 15 detik Hasil : Suara napas ronchi
suara napas
cukup membaik Mempertahankan
ronchi(ngorok)
kepatenan jalan napas
Terdapat lendir dan
Hasil : Pasien diberikan
gumpalan darah di
posisi chin-lift
mulut pasien
Melakukan
Frekuensi napas
penghisapan lendir
35x/menit
kurang dari 15 detik
Hasil : Telah dilakukan
penghisapan lendir A: Masalah belum teratasi

26
menggunakan suction P: Lanjutkan intervensi

Monitor pola napas


Monitor bunyi napas
Pertahankan kepatenan
jalan napas
Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik

27
B. Breathing
Fungsi pernapasan
Dada simetris :  Ya  Tidak
Sesak nafas :  Ya  Tidak
Respirasi 35 x / mnt
Krepitasi :  Ya  Tidak
Suara nafas :
Suara nafas pasien ronchi, pasien bernapas menggunakan otot-otot
pernapasan, pasien melakukan pernapasan cuping hidung
Saturasi O2 : 85%
Assesment :-
Resusitasi :-
Re-evaluasi :-
Masalah Keperawatan : Pola napas tidak efektif

28
Tujuan Intervensi Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi

Setelah dilakukan Observasi : Jam 14.10 Jam 18.10


tindakan keperawatan
Monitor pola napas Memonitor pola napas S:
selama 6 jam,
Auskultasi bunyi napas pasien
diharapkan pola napas Keluarga pasien
Hasil : Frekuensi napas
efektif yang Terapeutik : mengatakan pasien
pasien 35x/menit, pasien
dibuktikan dengan masih sesak
Berikan oksigen bernapas dengan
kriteria hasil :
menggunakan cuping O:
Penggunaan otot hidung dan otot-otot bantu
Pasien bernapas
bantu dari pernapasan
menggunakan cuping
meningkat menjadi Mengauskultasi bunyi
hidung dan otot-otot
menurun napas pasien
pernapasan
Pernapasan cuping Hasil : Bunyi napas pasien
Frekuensi napas
hidung dari ronchi
30x/menit
meningkat menjadi Memberikan Oksigen
Pola napas pasien
menurun NRM 12 lpm
takipnea
Frekuensi napas dari Hasil : RR : 35x/menit,
memburuk menjadi Sp02 : 89% A : Masalah belum teratasi
cukup membaik

29
P : Lanjutkan intervensi

Monitor pola napas


Auskultasi bunyi
napas
Berikan oksigen

30
C. Circulation
Keadaan sirkulasi
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 110x / mnt
Nadi teraba kuat,regular
Suhu Axilla : 37,3 oC
Temperatur Kulit :  Hangat  Panas Dingin
Gambaran Kulit :  Normal  Kering
 Lembah/basah
Pengisian Kapiler : >3 detik
Assesment :
Resusitasi :-
Re-evaluasi :-
Masalah Keperawatan : Gangguan pertukaran gas

31
Tujuan Intervensi Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi

Setelah dilakukan Observasi Jam 14.15 Jam 18.15


tindakan keperawatan
Monitor pola napas Memonitor pola napas S:
selama 6 jam,
Monitor adanya produksi Hasil : pola napas pasien
diharapkan pertukaran Keluarga mengatakan
sputum takipnea dengan frekuensi
gas membaik yang kesadaran pasien sudah
Monitor saturasi oksigen 35x/menit
dibuktikan dengan mulai meningkat
Monitor kecepatan aliran Memonitor adanya
kriteria hasil :
oksigen produksi sputum O:
Bunyi napas Hasil : Adanya produksi
Terapeutik Sesak pasien tampak
tambahan dari lendir dari mulut pasien
berkurang
meningkat menjadi Bersihkan sekret pada Memonitor saturasi
Napas cepat dan
menurun mulut, hidung dan trakea oksigen :
dangkal dengan
Warna kulit dari Pertahankan kepatenan Hasil : SpO2 pasien 89%
frekuensi napas
memburuk menjadi jalan napas Memonitor kecepatan
28x/menit
cukup membaik aliran oksigen
SpO2 90%
Hasil : Pasien diberikan
terapi oksigen NRM 10
lpm
A : Masalah belum teratasi
Membersihkan sekret

32
pada mulut, hidung, P : Lanjutkan intervensi
dan trakea
Monitor pola napas
Hasil : Sekret dikeluarkan
Monitor saturasi
dari mulut pasien dengan
oksigen
suction
Monitor kecepatan
Mempertahankan
aliran oksigen
kepatenan jalan napas
Hasil : Jalan napas
dipertahankan dengan
teknik chin-lift

33
D. Disability
Penilaian fungsi neurologis
Kesadaran Sopor dengan GCS 8 (E2V2M4)
Masalah Keperawatan : Gangguan perfusi jaringan

E. Exposure
Penilaian Hipothermia/hiperthermia

Tidak ada peningkatan dan penurunan suhu, suhu: 37,3 oC

Terdapat bengkak dan jejas di bagian dada sebelah kiri, akral teraba dingin,
tampak sianosis

Masalah Keperawatan : -

Intervensi / Implementasi : -

Evaluasi : -

34
Tujuan Intervensi Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi

Setelah dilakukan Observasi Jam 14.25 Jam 18.25


tindakan keperawatan
Periksa sirkulasi Memeriksa sirkulasi S :
selama 6 jam,
perifer perifer
diharapkan perfusi Keluarga mengatakan
Monitor panas, Hasil : CRT >2, warna
perifer efektif yang kesadaran pasien sudah mulai
kemerahan, kulit pasien tampak pucat
dibuktikan dengan meningkat
ataunyeri dan Memonitor panas,
kriteria hasil :
bengkak pada kemerahan, atau nyeri O :
Warna kulit pucat ekstremitas dan bengkak pada
Kesadaran pasien mulai
dari meningkat Monitor perubahan ekstremitas
meningkat
menjadi menurun kulit Hasil : Tidak ada nyeri
Terdapat bengkak dan jejas di
Pengisian kapiler pada ekstremitas , tampak
dada sebelah kiri
dari memburuk adanya bengkak pada
Pemeriksaan GCS 12
menjadi membaik bagian dada sebelah kiri
(E3V3M6) kesadaran
Akral dari pasien, akral pasien
komposmentis
memburuk menjadi dingin
Tampak sianosis, dan pucat
membaik Memonitor perubahan
Akral teraba dingin
kulit
SPo2 90% , CRT >1 detik
Hasil : Kulit pasien

35
sianosis Pemeriksaan ttv :
TD :120/80 mmHg
N : 90x/m, P : 28x/m,
S : 36,7oc

A : Masalah belum teratasi

P : Lanjutkan intervensi

Periksa sirkulasi perifer


Monitor panas,
kemerahan, atau nyeri dan
bengkak pada ekstremitas
Monitor perubahan kulit

36
PENILAIAN NYERI :
Nyeri : Tidak  Ya, lokasi di dada sebelah kiri Skala : -
Jenis :  Akut Kronik
Masalah keperawatan : Nyeri akut

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

P : Provokatif (penyebab)
Nyeri timbul pada saat mengubah posisi
Q : Quality (kualitas)
-
R : Radiation (paparan)
Nyeri menetap
S : Severity (tingkat keparahan)
-
T : Timing (Waktu)
Nyeri dirasakan hilang timbul

37
Tujuan Intervensi Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi

Setelah dilakukan Observasi Jam 14.35 Jam 18.35


tindakan
Identifikasi Mengidentifikasi S:
keperawatan selama
kerakteristik nyeri kerakteristik nyeri
6 jam, diharapkan Keluarga pasien
Identifikasi skala Hasil : Kesadaran pasien
nyeri pasien mengatakan pasien
nyeri menurun namun pasien
berkurang yang sudah bisa
Monitor TTV tampak meringis jika
dibuktikan dengan menenangkan nyeri
sebelum dan posisinya diubah
kriteria hasil : yang dialaminya
sesudah pemberian Mengidentifikasi skala
Meringis dari analgesik nyeri O:
menigkat Hasil : -
Terapeutik Tampak ada bengkak dan
menjadi Memonitor TTV sebelum
jejas di dada pasien
berkurang Fasilitasi istirahat dan sesudah pemberian
Pasien tampak meringis
Frekuensi nadi dan tidur analgesik
Pengkajian PQRST
dari memburuk Hasil :
Kolaborasi Region : Tampak ada
menjadi TD : 120/80 mmHg
bengkak dan jejas didada
membaik Kolaborasi N : 100x/menit
pasien sebelah kiri
pemberian P : 30x/menit
analgetik S : 36,7o c A : Masalah belum teratasi

38
Memfasilitasi istirahat dan P : Lanjutkan intervensi
tidur
Identifikasi
Hasil : Pasien tampak tidur
kerakteristik nyeri
dengan nyenyak
Identifikasi skala nyeri
Berkolaborasi dalam
Monitor TTV sebelum
pemberian analgetik
dan sesudah pemberian
Hasil : Pasien diberikan obat
analgesik
analgesik ketorolac
Fasilitasi istirahat dan
tidur
Kolaborasi pemberian
analgetik

39
TRAUMA SCORE
A. Frekuensi Pernafasan
 10 – 25 4
 25 – 35 3
 > 35 2
 < 10 1
0 0
B. Usaha bernafas
 Normal 1
 Dangkal 0

C. Tekanan darah
 > 89 mmHg 4
 70 – 89 mmHg 3
 50 – 69 mmHg 2
 1 – 49 mmHg 1
0 0

D. Pengisian kapiler
 < 2 dtk 2
 > 2 dtk 1
 Tidak ada 0

E. Glasgow Coma Score (GCS)


 14 – 15 5
 11 – 13 4
 8 – 10 3
5–7 2
3–4 1

TOTAL TRAUMA SCORE ( A + B + C + D + E) = 11


40
Pengkajian Sekunder/ Survey Sekunder

RIWAYAT KESEHATAN
S :Sign/symptoms (tanda dan gejala)
Pasien mengalami kecelakaan mobil, dada pasien membentur stir, terdapat bengkak
bengkak dan adanya jejas di bagian dada sebelah kiri
A : Allergies (alergi)
Tidak ada riwayat alergi obat maupun makanan
M : Medications (pengobatan)
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya
P : Past medical history (riwayat penyakit)
Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya
L : Last oral intake (makanan yang dikonsumsi terakhir, sebelum sakit)
Pasien makan seperti biasa , nasi , sayur , dan lauk pauk
E : Event prior to the illnesss or injury (kejadian sebelum injuri/sakit)
Awalnya pasien pulang dari kantor dan dalam perjalanan pulang ke rumah tiba-tiba
pasien mengalami kecelakaaan mobil

RIWAYAT DAN MEKANISME TRAUMA (Dikembangkan menurut OPQRST)


O : Onset (seberapa cepat efek dari suatu interaksi terjadi)
Nyeri timbul kadang-kadang
P : Provokatif (penyebab)
Nyeri timbul saat pasien mengubah posisi
Q : Quality (kualitas)
-
R : Radiation (paparan)
Nyeri menetap
S : Severity ( tingkat keparahan)
-
T : Timing (waktu)
Nyeri dirasakan hilang timbul

41
TANDA-TANDA VITAL
Frekunsi Nadi : 110x/menit
Frekuensi Napas : 35x/menit
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu tubuh : 37,3oc

PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)


a. Kepala
Kulit kepala : Tidak ada luka , tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, bentuk simetris
Telinga : Tidak ada nyeri tekan
Hidung : Adanya pernapasan cuping hidung, bentuk simetris
Mulut dan gigi : Bentuk simetris, sianosis, serta keluarnya darah segar dan lendir
Wajah : Tidak ada lebam disekitar wajah

b. Leher
Tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid dan tidak ada nyeri tekan

c. Dada/ thoraks
Paru-paru : Tidak dikaji
Inspeksi : Bentuk tidak simetris, terdapat jejas dan bengkak, pergerakan dinding dada
tidak simetris, terdapat otot bantu pernapasan.
Palpasi : Terdapat nyeri tekan dan ada pemengkakan
Perkusi :-
Auskultasi : Bunyi napas ronchi, suara ngorok, frekuensi napas 35x/menit
Jantung : Tidak dikaji

d. Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris , tidak ada jejas
Auskultasi : Bising usus normal 12x/menit
Palpasi : Tidak ada nyeri
Perkusi :-

42
e. Pelvis : Tidak dikaji
f. Perineum dan rektum : Tidak dikaji
g. Genitalia : Tidak dikaji

h. Ekstremitas
Status sirkulasi : Akral dingin dan pucat
Keadaan injury : Akibat kecelakaan, pasien sulit mengangkat tangn dan sulit untuk
berdiri/duduk karena penurunan kesadaran

i. Neurologis :
Fungsi sensorik : Tidak terganggu
Fungsi motorik : Tidak terganggu

HASIL LABORATORIUM
RM : 240598

Nama : Tn. R

Tgl Lahir : 26-10-1969

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujikan Satuan

HEMATOLOGI

Hematologi Rutin
9.00 4.00 – 10.00 103/ul
WBC
3.55 4.00 – 6.00 106/ul
RBC
14.4 12.0 – 16.0 gr/dl
HGB
45 37.0 – 48.0 %
HCT
97 80.0 – 97.0 fL
MCV
32 26.5 – 33.5 pg
MCH
33 31.5 – 35.0 gr/dl
MCHC
235 150 – 400 103/ul

43
PLT 12.9 10.0 – 15.0

RDW-CV 11.6 10.0 – 18.0 fL

PDW 10.8 6.50 – 11.0 fL

MPV 0.00 0.15 – 0.50 %

PCT 65.8 52.0 – 75.0 %

NEUT 22.9 20.0 – 40.0 %

LYMPH 7.5 2.00 – 8.00 103/ul

MONO 2.3 1.00 – 3.00 103/ul

EO 0.4 0.00 – 0.10 103/ul

BASO (L <10, P <20) mm

LED I

LED Jam II

Koagulasi 10.4 10 – 14 detik

PT 1.00 – detik

INR 26.8 22.0 – 30.0 detik

APTT

KIMIA DARAH

Glukosa 112 140 mg/dl

GDS

Fungsi Ginjal 48 10 – 50 mg/dl

Ureum 1.10 L (<1.3),P(<1.1) mg/dl

Kreatinin

Fungsi Hati 32 <38 U/L

44
SGOT 28 <41 U/L

SGPT

KIMIA DARAH

Elektrolit 139 136 – 145 mmol/l

Natrium 4.4 3.5 – 5.1 mmol/l

Kalium 103 97 – 111 mmol/l

Klorida

HASIL PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Klinis : Trauma tumpul toraks
Kesan : Haematoraks dextra disertai atelectasis kompresi pulmo sinistra

PENGOBATAN
Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
Ceftriaxone 1gr/12jam/IV
Ranitidine 50mg/12 jam/IV

ANALISA DATA :

NO DATA MASALAH

KEPERAWATAN

1. DS : Bersihan jalan napas tidak


efektif
Penolong mengatakan pasien muntah darah dan
menggumpal di mulutnya

DO :

suara napas ronchi (ngorok)


Terdapat lendir dan gumpalan darah di mulut
pasien
45
Frekuensi napas 35x/menit

2. DS : Pola napas tidak efektif

Penolong mengatakan dada korban membentur stir


mobil sebelum mengalami penurunan kesadaran
Penolong mengatakan pasien bernapas cepat
(sesak)

DO :

Pasien bernapas menggunakan cuping hidung dan


otot-otot pernapasan
Frekuensi napas 35x/menit
Pola napas pasien takipnea

3. DS : Gangguan pertukaran gas

Penolong mengatakan bahwa pasien sebelum tak


sadarkan diri mengalami muntah darah

DO :

Terdapat gumpalan darah di area mulut dan


menggangu proses ventilasi
Pasien tampak sesak
Nadi pasien takikardia
Napas cepat dan dangkal dengan frekuensi napas
35x/menit
Pemeriksaan AGD : Saturasi 85%

4 DS : Perfusi perifer tidak efektif

Penolong mengatakan bahwa pasien mengalami


kecelakaan bermobil dengan posisi dada
membentur stir mobil kemudian mengalami
penurunan kesadaran

DO :

Pasien mengalami penurunan kesadaran


Terdapat bengkak dan jejas di dada sebelah kiri
Pemeriksaan GCS 8 kesadaran sopor
Tampak sianosis, dan pucat
Akral teraba dingin
SPo2 85%
CRT > 3 detik
Pemeriksaan ttv :
TD :120/80 mmHg
46
N : 110x/m
P : 35x/m
S : 37,3oc

5. DS : Nyeri Akut

Penolong mengatakan ada bengkak dan jejas di


bagian dada pasien
Penolong mengatakan dada pasien membentur stir

DO :

Tampak ada bengkak dan jejas di dada pasien


Pasien tampak meringis
Pasien bersikap protektif (waspada dan posisi
menghindari nyeri)
Frekuensi nadi meningkat
Pengkajian PQRST
Region : Tampak ada bengkak dan jejas didada
pasien sebelah kiri.

DIAGNOSA
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan napas
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan terjadi sumbatan dan suplai oksigen turun
dalam jaringan
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

47
PERENCANAAN

N DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI


O RASIONAL
KEPERAWATAN

1 Bersihan jalan napas Setelah dilakukan Observasi : Jam 14.00


tidak efektif tindakan
berhubungan dengan keperawatan selama Monitor pola napas Memonitor pola
benda asing dalam 6 jam, diharapkan Monitor bunyi napas napas pasien
jalan napas bersihan jalan napas Hasil : Frekuensi
Terapi : napas pasien
efektif yang
dibuktikan dengan Pertahankan kepatenan jalan 35x/menit, pasien
kriteria hasil : napas bernapas dangkal
Lakukan penghisapan lendir Memonitor bunyi
Pola napas dari kurang dari 15 detik napas pasien
menurun Hasil : Suara napas
menjadi cukup ronchi
membaik Mempertahankan
kepatenan jalan
napas
Hasil : Pasien
diberikan posisi chin-
lift
Melakukan
penghisapan lendir

48
kurang dari 15
detik
Hasil : Telah
dilakukan penghisapan
lendir menggunakan
suction

2. Pola napas tidak Setelah dilakukan Observasi : Jam 14.10


efektif berhubungan tindakan
dengan hambatan keperawatan selama Monitor pola napas Memonitor pola
upaya napas 6 jam, diharapkan Auskultasi bunyi napas napas pasien
pola napas efektif Hasil : Frekuensi
Terapeutik : napas pasien
yang dibuktikan
dengan kriteria hasil Berikan oksigen 35x/menit, pasien
: bernapas dengan
menggunakan cuping
Penggunaan otot hidung dan otot-otot
bantu dari bantu pernapasa
meningkat Mengauskultasi
menjadi bunyi napas pasien
menurun Hasil : Bunyi napas
Pernapasan cuping pasien ronchi
hidung dari Memberikan
meningkat Oksigen NRM 12
menjadi lpm
menurun Hasil : RR : 35x/menit,

49
Frekuensi napas Sp02 : 89%
dari memburuk
menjadi cukup
membaik

3. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Observasi Jam 14.15


gas berhubungan tindakan
dengan keperawatan selama Monitor pola napas Memonitor pola
ketidakseimbangan 6 jam, diharapkan Monitor adanya produksi napas
ventilasi dan perfusi pertukaran gas sputum Hasil : pola napas
membaik yang Monitor saturasi oksigen pasien takipnea dengan
dibuktikan dengan Monitor kecepatan aliran frekuensi 35x/menit
kriteria hasil : oksigen Memonitor adanya
produksi sputum
Bunyi napas Terapeutik Hasil : Adanya
tambahan dari Bersihkan sekret pada produksi lendir dari
meningkat mulut, hidung dan trakea mulut pasien
menjadi Pertahankan kepatenan Memonitor saturasi
menurun jalan napas oksigen :
Warna kulit dari Hasil : SpO2 pasien
memburuk 89%
menjadi cukup Memonitor
membaik kecepatan aliran
oksigen
Hasil : Pasien
diberikan terapi

50
oksigen NRM 10 lpm
Membersihkan
sekret pada mulut,
hidung, dan trakea
Hasil : Sekret
dikeluarkan dari mulut
pasien dengan suction
Mempertahankan
kepatenan jalan
napas
Hasil : Jalan napas
dipertahankan dengan
teknik chin-lift

4. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan Observasi Jam 14.25


efektif berhubungan tindakan
dengan terjadi keperawatan selama Periksa sirkulasi perifer Memeriksa
sumbatan dan suplai 6 jam, diharapkan Monitor panas, sirkulasi perifer
oksigen turun dalam perfusi perifer kemerahan, ataunyeri dan Hasil : CRT >2, warna
jaringan efektif yang bengkak pada ekstremitas kulit pasien tampak
dibuktikan dengan Monitor perubahan kulit pucat
kriteria hasil : Memonitor panas,
kemerahan, atau
Warna kulit nyeri dan bengkak
pucat dari pada ekstremitas
meningkat Hasil : Tidak ada nyeri

51
menjadi pada ekstremitas ,
menurun tampak adanya
Pengisian kapiler bengkak pada bagian
dari memburuk dada sebelah kiri
menjadi pasien, akral pasien
membaik dingin
Akral dari Memonitor
memburuk perubahan kulit
menjadi Hasil : Kulit pasien
membaik sianosis

5. Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi Jam 14.35


berhubungan dengan tindakan
agen pencedera fisik keperawatan selama Identifikasi kerakteristik Mengidentifikasi
6 jam, diharapkan nyeri kerakteristik nyeri
nyeri pasien Identifikasi skala nyeri Hasil : Kesadaran
berkurang yang Monitor TTV sebelum pasien menurun
dibuktikan dengan dan sesudah pemberian namun pasien tampak
kriteria hasil : analgesik meringis jika posisinya
diubah
Meringis dari Terapeutik Mengidentifikasi
menigkat Fasilitasi istirahat dan skala nyeri
menjadi tidur Hasil : -

52
berkurang Kolaborasi Memonitor TTV
Frekuensi nadi sebelum dan
dari memburuk Kolaborasi pemberian sesudah pemberian
menjadi analgetik analgesik
membaik Hasil :
TD : 120/80 mmHg
N : 100x/menit
P : 30x/menit
S : 36,7o c
Memfasilitasi
istirahat dan tidur
Hasil : Pasien tampak
tidur dengan nyenyak
Berkolaborasi
dalam pemberian
analgetik
Hasil : Pasien
diberikan obat
analgesik ketorolac

53
EVALUASI
N DIAGNOSA KEP. EVALUASI PARA
O F

1. Bersihan jalan napas Jam 18.00


tidak efektif
berhubungan dengan S:
benda asing dalam Penolong
jalan napas mengatakan
pasien muntah
darah dan
menggumpal
dimulutnya

O:

Suara napas
ronchi(ngorok)
Terdapat lendir
dan gumpalan
darah di mulut
pasien
Frekuensi napas
35x/menit

A: Masalah belum
teratasi

P: Lanjutkan intervensi

Monitor pola
napas
Monitor bunyi
napas
Pertahankan
kepatenan jalan
napas

54
Lakukan
penghisapan
lendir kurang
dari 15 detik

2. Pola napas tidak Jam 18.10


efektif berhubungan
dengan hambatan S:
upaya napas Keluarga pasien
mengatakan
pasien masih
sesak

O:

Pasien bernapas
menggunakan
cuping hidung
dan otot-otot
pernapasan
Frekuensi napas
30x/menit
Pola napas
pasien takipnea

A : Masalah belum
teratasi

P : Lanjutkan intervensi

Monitor pola
napas
Auskultasi bunyi
napas
Berikan oksigen

3. Gangguan pertukaran Jam 18.15


gas berhubungan
dengan S:
ketidakseimbangan Keluarga
ventilasi dan perfusi mengatakan
kesadaran pasien

55
sudah mulai
meningkat

O:

Sesak pasien
tampak
berkurang
Napas cepat dan
dangkal dengan
frekuensi napas
28x/menit
SpO2 90%

A : Masalah belum
teratasi

P : Lanjutkan intervensi

Monitor pola
napas
Monitor saturasi
oksigen
Monitor
kecepatan aliran
oksigen

4. Perfusi perifer tidak Jam 18.25


efektif berhubungan
dengan terjadi S:
sumbatan dan suplai Keluarga
oksigen turun dalam mengatakan
jaringan kesadaran pasien
sudah mulai
meningkat

56
O:

Kesadaran
pasien mulai
meningkat
Terdapat
bengkak dan
jejas di dada
sebelah kiri
Pemeriksaan
GCS 12
(E3V3M6)
kesadaran
komposmentis
Tampak sianosis,
dan pucat
Akral teraba
dingin
SPo2 90% , CRT
>1 detik
Pemeriksaan ttv :
TD :120/80 mmHg
N : 90x/m, P :
28x/m, S : 36,7oc

A : Masalah belum
teratasi

P : Lanjutkan intervensi

Periksa sirkulasi
perifer
Monitor panas,
kemerahan, atau
nyeri dan
bengkak pada
ekstremitas
Monitor
perubahan kulit

5. Nyeri akut Jam 18.35


berhubungan dengan

57
agen pencedera fisik S:

Keluarga pasien
mengatakan
pasien sudah
bisa
menenangkan
nyeri yang
dialaminya

O:

Tampak ada
bengkak dan
jejas di dada
pasien
Pasien tampak
meringis
Pengkajian
PQRST
Region : Tampak
ada bengkak dan
jejas didada pasien
sebelah kiri

A : Masalah belum
teratasi

P : Lanjutkan intervensi

Identifikasi
kerakteristik
nyeri
Identifikasi skala
nyeri
Monitor TTV
sebelum dan
sesudah
pemberian
analgesik
Fasilitasi
istirahat dan

58
tidur
Kolaborasi
pemberian
analgetik

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta : ECG
Cingi C, Muluk NB, Cobanoglu B, Catli T. Nasobronchial interaction. World J
Clin cases. 2012; 3(6):499-503
Heather Herdman.T. 2017. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-
2017 Edisi 10. Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Hudak dan Gallo. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi
- VIII Jakarta: EGC
Jin. G & Bierma. T.J. (2010). Guided-Inquiry Learning In Environment
Health.National Environment Health Association.Vol.7 No.6
Mattox, E.A.(2013). Strategies for improving patient safety: Linking ask type to
error type. Critical care nurse. Vol.32/No.1
Milosavljevic, N. and Petrovic, A., 2012, ST Segment Change Detection by
Means of Wavelet, Proceeding of 8 th Seminar on Neural Network
Application in Electrical Engineering, NEUREL-2006, University of
Belgrade, Serbia
Nugroho, T. Putri, B.T, & Kirana, D.P. (2015). Teori asuhan keperawatana gawat
darurat. Padang : Medical book
Nurjannah Intansari. 2015. Nursing Outcome Classification (NOC) Pengukuran
Outcome Kesehatan Edisi 5. Elsevier : Jakarta
Nurjannah Intansari. 2015. Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi 6.
Elsevier : Jakarta
Patriani. (2012). Asuhan Keperawatan pada pasien trauma dada. http://asuhan-
keperawatan-patriani.pdf.com/2008/07/askep-trauma-dada.html. Diakses
pada tanggal 13 September 2019

59
60

Anda mungkin juga menyukai