Anda di halaman 1dari 41

General Anestesi Pada Konka Hipertrofi

Laporan Kasus

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Khairun Nisa, S.Ked


140611059

Preseptor :
dr. Dicky Noviar, Sp.An

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulispanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “General Anestesi Pada Konka Hipertrofi”
sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di
bagian Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
dr.Dicky Noviar, Sp.An sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya
memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di bagian/SMF Ilmu
Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak.

Lhokseumawe, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
2.2 Anamnesis
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.5 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
2.6 Rencana Pembedahan
2.7 Rencana Anestesi
2.8 Laporan Anestesi
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Konka Hipertrofi
3.2 General Anestesi
3.3 Intubasi Endotrakeal Tube
BAB 4 PEMBAHASAN
BAB 5 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi berasal dari bahasa Yunani, an- yang berarti “tanpa” dan aisthēsi,
yaitu sensasi, secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh.1 Terdapat beberapa tipe anestesi, yaitu anestesi umum, regional,
dan lokal. Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot.2
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum dideskripsikan secara
klasik sebagai empat keadaan, yaitu hypnosis (biasa diartikan tidur dan hilangnya
kesadaran), amnesia, analgesia, dan relaksasi otot. Anestesi umum juga termasuk
mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama
prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan
pemulihan. Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Endotrakea Tube
(ETT) dan Laringeal Mask Airway (LMA).2,3
Bedah atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan
cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan dilakukan tindakan
perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Operasi
merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh. Pembedahan
merupakan suatu tindakan yang dilakukan di ruang operasi rumah sakit dengan
prosedur yang sudah ditetapkan.
Konka hipertrofi adalah terjadi suatu pembesaran mukosa hidung pada
konka. Konka hipertrofi dapat terjadi secara unilateral atau bilateral. Secara
epidemiologi 20% populasi dengan obstruksi hidung kronik disebabkan oleh
hipertrofi konka pada suatu penelitian di Eropa. Penatalaksanaan hipertrofi konka
dapat dilakukan dengan medikamentosa dan pembedahan.12

1
2

Teknik pembedahan reduksi konka secara garis besar terbagi atas 2


kelompok yaitu turbinoplasty dan turbinectomy. Turbinoplasty adalah teknik
reduksi konka yang mempertahankan agar mukosa hidung tetap utuh, sedangkan
turbinectomy adalah teknik reduksi konka yang memotong bagian konka yang
mengalami pembesaran.13
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. I
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 45.54.11
Alamat : Ds. Maddi, Kec. Nibong
Pekerjaan : Tidak bekerja
Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Bedah
Tgl Masuk Rumah sakit : 06 November 2019
Tanggal Operasi : 07 November 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Hidung tersumbat
Keluhan tambahan
Hidung berair, bersin-bersin
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli THT RSU Cut Meutia dengan keluhan hidung
tersumbat bagian kanan, sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan ini sudah sering timbul
sejak 3 tahun yang lalu terutama setelah terpapar debu. Biasanya hidung
tersumbat disertai hidung berair dan bersin-bersin. Sejak 2 bulan yang lalu
keluhan hidung tersumbat menetap.

3
4

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi(debu, udara dingin), riwayat asma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Riwayat pribadi dan kebiasaan
Tidak ada
Riwayat sosial ekonomi
Pasien menggunakan BPJS
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis / E4M6V5
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Frekuansi Nadi : 86x/menit
Frekuensi Napas : 22x/menit
Suhu : 36,7°C
Status Generalis

Kepala Normosefali, edema (-), scar (-) rambut tidak mudah dicabut
Mata Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga Normotia (+/+)
Hidung Bentuk normal, hiperemi(+), deviasi septum (+)
Mulut Bibir edema (-), sianosis (-)
Tenggorokan Pembesaran tonsil (-/-)
Leher Pembesaran KGB (-), trakea ditengah tidak deviasi.
Paru
Inspeksi: Pergerakan dan bentuk dada simetris kanan dan
kiri, jejas (-), scar (-)
Palpasi : stem fremitus (+/+) kanan = kiri
Perkusi: sonor (+/+)
Thoraks Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: Redup, batas jantung normal
Auskultasi: BJI>BII regular
5

Inspeksi : soepel, distensi(-)


Palpasi : Nyeri tekan(-)
Abdomen
Perkusi : Tympani.
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas atas: edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas
Ekstremitas bawah: edema (-/-) sianosis (-/-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tanggal 07 November 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.6 g/dL 12-16
Eritrosit 3 3.8-5.8
4.39 jt/mm
3
Leukosit 9.28 rb/mm 4-11
Hematokrit 37.0 % 37-47
MCV 84.4 fl 79-99
MCH 28.6 pg 27-32
MCHC 33.9 g% 33-37
RDW-CV 11.9 % 11,5-14,5
3
Trombosit 349 rb/mm 150-450
HEMOSTASIS
Masa Pendarahan/BT 2’ menit 1-3
Masa Pembekuan/CT 8’menit 9-15

2.5 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA


Status fisik ASA 1
2.6 Rencana Pembedahan
Turbinectomy
2.7 Rencana Anestesi
General Anestesi – Intubasi Endotracheal Tube
2.8 Laporan Anestesi
PRA ANESTESI
Persiapan pasien
Di ruang Bedah
4

Pasien dikonsultasikan ke dr. Fachrurrazi, Sp.An, pada tanggal 06 November


2019 untuk persetujuan dilakukan tindakan operasi.
6

Setelah mendapatkan persetujuan, pasien disiapkan untuk tindakan turbinectomy.


Diberikan juga informasi kepada keluarga pasien, antara lain:
 Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga pasien
tindakan medis akan apa yang akan dilakukan kepada pasien, bagaimana
pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya, risiko tindakan yang akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan
dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien
tidak akan mengajukan tuntutan.
Persiapan operasi yang dianjurkan kepada pasien adalah:
 Pasien tidak diperbolehkan makan dan minum terlebih dahulu.
 Rencana post-op pasien adalah pasien di rawat di ruangan.

Di Ruang Persiapan
 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan dan sudah
terpasang infus RL.
Persiapan alat anestesi :
ETT Connector Orotracheal airway
Monitor Sphygmomanometer Pulse Oxymetri
Suction Guedel Balon pernafasan
Stetoskop Laringoskop Sungkupmuka
Mesin Anestesi Gel Spuit
Infus set+abocath Kasa steril
Persiapan obat-obatan anestesi
a. Analgetik : Fentanyl, Ketorolac
b. Hipnotik Sedatif : Propofol
c. Muscle relaxan : Atracurium
d. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2
e. Obat emergency : Sulfas atropine
f. Obat reserve : Sulfas atropine
g. Obat tambahan lainnya :Ondansetron,Neostigmin
7

Rencana terapi cairan intraoperatif


Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
2 cc/ kgBB/ jam = 2 cc/ 45 kg/ jam 90 cc / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi ringan, maka kebutuhan cairannya adalah:
8 ml x kgBB 8 ml x 45 kg  360 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 8 x 90 ml  720 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (90 + 360 + 360) ml = 810ml
Jam kedua  M + O + ⅟4P  (90 + 360 + 180) ml = 630 ml
Jam ketiga  M + O + ⅟4P  (90 + 360 + 180) ml = 630 ml

INTRA ANESTESI
07 November 2019 pukul 09.50 WIB
1. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian
dilakukan pemasangan manset dan oksimeter.
2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di awal
atau penilaian pra induksi (Pukul 09.40 WIB) :
Kesadaran: Compos Mentis, TD= 110/70 mmHg, nadi= 86 x/menit, saturasi
O2: 99%.
3. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.
4. Posisikan pasien dalam kondisi normal. Pada pasien berikan bantal setebal
dibawah kepala (air sniffing position).
5. Posisi kepala pasien netral, pandangan tegak lurus keatas.
6. Buka mulut pasien, masukkan laringoskop yang sudah siap dengan cara
pegang gagang dengan tangan kiri, masukkan bilah kedalam mulut secara
miring dan serong kearah mukosa pipi kanan.
7. Masukkan hati-hati hingga ujung bilah mendekati pangkal lidah, geser pelan-
pelan arahkan bilah kebagian tengah lidah, sehingga lidah bagian depan dan
8

tengah berada diatas bilah. Dorong pelan-pelan dan hati-hati lebih kedalam
hingga ujung bilah tepat dipangkal lidah. Keseluruhan lidah sudah diatas
bilah.
Angkat gagang dan bilah kearah depan (jangan diungkit) sehingga seluruh
lidah epiglotis terangkat dan daerah rima glotidis terlihat jelas, serta terihat
pita suara.
8. Ambil pipa ET (arah lengkungan ke depan), arahkan ujung pipa ET menuju
rima glotidis. Pada saat pita suara terbuka, masukkan pipa hingga seluruh cuff
masuk tepat dibawah pita suara.
9. Hubungkan dengan mesin nafas atau mesin anestesi. Berikan oksigen dan
lakukan penilaian apakah pipa ET sudah tepat kedudukannya. Amati
pengembangan dada, apakah simetris dan mengembang besar, serta dengarkan
suara nafas apakah sama antara paru kanan dan paru kiri. Bila terlalu dalam,
tarik pelan-pelan.
10. Setelah semuanya tepat, pasang pipa orofaring, lakukan fiksasi pipa ET
dengan plester dengan kuat.
11. Dipasang selang O2 dengan menggunakan O2 sebanyak 3 liter/menit
12. Pukul 10.10 tindakan anestesi telah selesai
Pukul 10.00 WIB
 Tindakan anestesi dimulai
 Injeksi Fentanyl 2cc, Propofol 10 cc, dan Atracurium 27 mg
 TD : 110/70mmHg, HR : 86x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
9

Pukul 10.05 WIB

 Pemasangan intubasi endotracheal tube

Pukul 10.10 WIB


 Tindakan anestesi selesai dilakukan
 TD : 112/80mmHg, HR : 88x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 98%

Pukul 10.15 WIB


 Tindakan dimulai
 TD : 100/76mmHg, HR : 90x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 10.20 WIB

 Injeksi ondancentron 4 mg (1 amp)


 Injeksi ketorolac 30mg (1 amp)

Pukul 10.25 WIB

 Injeksi Atrophine Sulfas 0,25 mg (1 amp)+ Neostigmin 1 mg (2 amp)


 TD : 110/70mmHg, HR : 86x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
 Pembedahan selesai
 Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
 Pasien dibangunkan
 Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
 Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang
pemulihan atau recovery room (RR).
10

POST OPERATIF
Pukul 10.30 WIB
Pasien masuk ke ruang pemulihan. Dilakukan penilaian terhadap tingkat
kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
86x/menit, respirasi 20 x/menit dan saturasi O2100%. Kemudian pasien di bawa
ke ruangan.

INSTRUKSI POST OP
- IVFD RL 20gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj. Ondancentron 4mg/8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam
- Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam
- Diet M II
Laporan Anestesi
 Ahli Anestesiologi : dr. Fachrurrazi, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Indra Zachraeni, Sp.THT-KL
 Operator : dr. Indra Zachraeni, Sp.THT-KL
 Diagnosis prabedah : Konka Hipertrofi
 Jenis Operasi : Turbinectomy
 Jenis Anestesi : General anastesi – Intubasi Endotracheal Tube
 Lama Operasi : 15 menit
 Lama Anestesi : 25 menit
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Konka Hipertrofi


3.1.1 Definisi
Hipertrofi konka merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali tahun
1800 yang diartikan sebagai pembesaran konka inferior dan istilah ini masih
dipakai sampai sekarang. Hipertrofi adalah pembesaran dari organ atau jaringan
karena ukuran selnya yang meningkat. 12 Sebaliknya hiperplasia adalah
pembesaran yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah sel. Hiperplasia dan
hipertrofi lapisan mukosa dan tulang dari konka inferior merupakan dua faktor
yang dapat menerangkan terjadinya pembesaran konka inferior.6 Secara
epidemiologi 20% populasi dengan obstruksi hidung kronik disebabkan oleh
hipertrofi konka pada suatu penelitian di Eropa.12

3.1.2 Etiologi
Penyebab hipertrofi konka adalah rhinitis alergi dan non alergi (vasomotor
rhinitis) dan kompensasi dari septum deviasi kontralateral. Konka hipertrofi juga
dapat menyebabkan sumbatan pada hidung.

3.1.3 Patofisiologi
Konka hipertrofi merupakan suatu istilah yang menunjukkan adanya
perubahan mukosa hidung pada konka inferior. Penyebabnya adalah peradangan
kronik yang disebabkan oleh infeksi bakteri primet atau sekunder. Penyebab non
bakteri seperti sebagai lanjutan dari rhinitis alergi, rhinitis vasomotor dan
kompensasi septum deviasi kontralateral juga dapat menyebabkan konka
hipertrofi inferior. Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit peradangan yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sudah tersensitasi alergen
sebelumnya dan dimediasi oleh suatu mediator kimia ketika terjadi infeksi
berulang dengan alergen tersebut.12,13
Tahap sensitisasi terjadilah kontak pertama antara tubuh dengan alergen.
Alergen yang terinspirasi bersama dengan udara pernapasan akan terdeposit di

11
12

permukaan mukosa hidung kemudian akan di fagosit oleh makrofag atau


monosit yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen atau antigen presenting cell
(APC).13
Mukosa yang tersensitisasi tersebut apabila terpapar kembali oleh alergen
yang sama, maka kedua rantai IgE tersebut akan mengikat alergen spesifik dan
menyebabkan terjadinya degranulasi sel basofil dan mastosit. Hal ini
mengakibatkan mediator kimia yang sudah terbentuk preformed mediator seperti
histamin menjadi terlepas, histamin yang terlepas akan merangsang mukosa pada
dinding lateral hidung (konka) dan terjadi pengeluaran inter cellular adhesion
molecule disebut sebagai hipertrofi.13

3.1.4 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa konka hipertrofi diperlukan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Haruslah cermat dalam
melakukan anamnesis untuk dapat mengetahui apakah ada riwayat sumbatan
hidung sebelumnya sebagai akibat konka hipertofi dan untuk mengetahui keluhan
lainnya. Penilaian derajat keluhan pada konka hipertrofi dapat dinilai dengan
Visual Analog Scale (VAS). Selanjutnya melakukan pemeriksaan fisik dengan
cara rinoskopi anterior dan posterior. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior kita
dapat menilai ukuran pembesaran konka dengan melihat septum nasi dan dinding
lateral hidung. Untuk memperluas jangkauan penglihatan, kita dapat memberikan
obat vasokonstriktor lokal.13
Pada pemeriksaan rinoskopi posterior berguna untuk melihat batas
pemisah antara konka kanan dan kiri serta ujung posterior konka media dan konka
inferior. Hipertrofi konka inferior menjadi 3 yaitu, A) konka inferior mencapai
garis yang terbentuk antara middle nasal fosa dengan lateral hidung, B)
pembesaran konka inferior melewati sebagian dari kavum nasi, C) pembesaran
konka inferior telah mencpai septum.13
Pemeriksaan penunjang pada pasien konka hipertrofi dapat dilakukan
dengan pemeriksaan radiologi, rinomanometri, dan pemeriksaan peak nasal
inspiratory flow (PNIF). Selain itu pemeriksaan tomografi computer juga dapat
13

dilakukan. Tomografi computer akan memberikan informasi mengenai


ukuran komponen mukosa dan komponen tulang dari konka. Biopsi konka dapat
dilakukan pada pasien hipertrofi konka. Pada biopsy akan terlihat lebih banyak
epitel kolumnar pseudo-stratified. Hal ini menguatkan pemikiran bahwa
hiperplasia seluler juga terjadi pada hipertrofi konka.13

3.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertrofi konka dapat berupa terapi medikamentosa dan
pembedahan.12
1. Medikamentosa
Pada kasus akut dimana pembesaran konka terjadi karena pengisian dari
sinus venosus sehingga pembesaran konka dapat dikecilkan dengan pemberian
dekongestan topikal.12,13 Terapi medikamentosa meliputi pemberian antihistamin,
dekongestan, kortikosteroid, sel mast stabilizer dan imunoterapi. Dekongestan
baik sistemik maupun lokal efektif dalam pengobatan sumbatan hidung karena
hipertrofi konka. Pemakaian sistemik oral dekongestan menimbulkan efek
samping seperti palpitasi dan susah tidur. Pemakaian dekongestan topikal jangka
lama menyebabkan rinitis medikamentosa (rebound nasal congestion).
Kortikosteroid efektif digunakan untuk sumbatan hidung, tetapi mempunyai efek
samping hidung mudah berdarah, mukosa hidung kering dan krusta.
Kortikosteroid mengurangi hiperresponsif saluran nafas dan menekan respon
inflamasi.12
2. Pembedahan
Pada kasus kronik telah terbentuk jaringan ikat yang disebabkan oleh
inflamasi kronik yang tidak respon lagi dengan medikamentosa setelah 2 bulan
pengobatan, tindakan bedah dapat dilakukan. Teknik pembedahan reduksi konka
secara garis besar terbagi atas 2 kelompok yaitu turbinoplasty dan turbinectomy.
Turbinoplasty adalah teknik reduksi konka yang mempertahankan agar mukosa
hidung tetap utuh, sedangkan turbinectomy adalah teknik reduksi konka yang
memotong bagian konka yang mengalami pembesaran. 13 Tujuan utama
dilakukannya tindakan operatif ini yaitu untuk menghilangkan sumbatan hidung
14

dan mempertahankan fungsi fisiologis hidung. Teknik pembedahan yang


ideal memang tidak ada, setiap teknik memiliki keunggulan dan kelemahan seperti
adanya komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. Komplikasi jangka
panjang yang mungkin terjadi yaitu perdarahan dan rhinitis atopi.13

3.2 General Anestesi


3.2.1 Definisi anestesi umum
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.2
3.2.2 Teori anestesi umum
Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum, diantaranya
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid
Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya
berhubungan langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut
di dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat
inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas
Effect). Potensi analgesia gas – gas yang lembab dan menguap terbalik
terhadap tekanan gas – gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia.
Jadi tergantung dari konsentrasi molekul – molekul bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat
Micro-crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap
interaksi molekul – molekul obatnya dengan molekul – molekul di otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan
interaksi dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu
membran).3
3.2.3 Tujuan anestesi umum
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan
stabilisasi otonom.2,3
15

3.2.4 Keuntungan dan kerugian anestesi umum


Keuntungan dari penggunaan anestesi ini adalah dapat mencegah
terjadinya kesadaran intraoperasi; efek relaksasi otot yang tepat dalam jangka
waktu yang lama; memungkinkan untuk pengontrolan jalan, sistem, dan sirkulasi
penapasan; dapat digunakan pada kasus pasien hipersensitif terhadap zat anestesi
lokal; dapat diberikan tanpa mengubah posisi supinasi pasien; dapat disesuaikan
secara mudah apabila waktu operasi perlu diperpanjang; dan dapat diberikan
secara cepat dan reversibel. Anestesi umum juga memiliki kerugian, yaitu
membutuhkan perawatan yang lebih rumit; membutuhkan persiapan pasien pra
operasi; dapat menyebabkan fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi
aktif; berhubungan dengan beberapa komplikasi seperti mual muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan terlambatnya pengembalian fungsi
mental normal; serta berhubungan dengan hipertermia maligna, kondisi otot yang
jarang dan bersifat keturunan apabila terpapar oleh anestesi umum dapat
menyebabkan peningkatan suhu tubuh akut dan berpotensi letal, hiperkarbia,
asidosis metabolik dan hiperkalemia.2

3.2.5 Syarat, kontraindikasi dan komplikasi anestesi umum


Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang
cukup untuk tindakan operasi
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus, cepat dan tidak menimbulkan
ESO yang berlangsung lama
16

Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis


derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM
tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA. Tergantung pada efek farmakologi pada
organ yang mengalami kelainan. Pada pasien dengan gangguan hepar, harus
dihindarkan pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan
gangguan jantung, obat – obatan yang mendepresi miokard atau menurunkan
aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.
Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang diekskresikan melalui
ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru,
sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula
darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes
basedow karena dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah Sedangkan
komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan anestesi telah
dilakukan dengan sebaik – baiknya.
Komplikasi dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien
sendiri. Komplikasi dapat timbul pada waktu pembedahan ataupun setelah
pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan sistolik
kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi
peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena
jantung bekerja keras dengan kebutuhan – kebutuhan miokard yang meningkat
yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi
kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar ,
hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.2

3.2.6 Penilaian anestesi


1. Anamnesis
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
17

khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas
pasca bedah, sehingga dapat dirancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.2
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka  mulut, lidah relative besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Penyulit
pada saat intubasi dapat dilihat pada tampakan faring pada saat mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal. Menurut Mallampati dibagi menjadi 4
gradasi: 2
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

1. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 40 tahun ada anjuran EKG dan
foto thoraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya
yang harus dikeluarkan dan mamfaat minimal uji-uji semacam ini.2,5
2. Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan tidak
perlu harus dihindari. 2
3. Klasifikasi Status Anestesia
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseoran
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping
anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.8
18

ASA I Pasien sehat Sehat, tidak merokok, tidak


mengkonsumsi atau mengkonsumsi
alkohol secara minimal
ASA II Pasien dengan gangguan Gangguan sistemik ringan tanpa
sistemik ringan Batasan aktifitas fungsional.
Contohnya: perokok, peminum alcohol
social, wanita hamil, obesitas, well
controlled DM/Hipertensi
ASA III Pasien dengan gangguan Gangguan sistemik berat, dengan
sistemik berat keterbatasan fungsional. Satu/>
penyakit moderat/ sedang hingga berat.
Contohnya: DM tidak terkontrol atau
hipertensi, PPOK, obesitas, hepatitis
aktif, dll
ASA IV Pasien dengan penyakit Contohnya termasuk: (<3bulan) MI,
sistemik berat yang iskemia jantung yang sedang
mengancam jiwa berlangsung atau disfungsi katup berat,
kehidupan setiap saat. penurunan berat fraksi ejeksi,sepsis,
DIC, ESRD yang tidak menjalani
dialisiss secara teratur
ASA V Pasien sakit berat yang Kemungkinan tidak bertahan hidup >24
kemungkinan tidak jam tanpa tindakan operasi,
selamat tanpa operasi kemungkinan meninggal dalam waktu
dekat (kegagalan multiorgan, sepsis
dengan hemodinamik tidak stabil,
hipotermia, koagulopati tida terkontrol
ASA VI Pasien dengan brain dead
yang organnya akan
diambil untuk
didonorkan

4. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesia.Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas diperbolehkan 1 jam
sebelum induksi anesthesia.11
17
19

3.2.7 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan; Memperlancar induksi anestesi;
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus; Meminimalkan jumlah obat
anestetik; Mengurangi mual muntah pasca bedah; Menciptakan amnesia;
Mengurangi isi cairan lambung; dan Mengurangi refleks yang membahayakan.9,10
 Obat Golongan Antikholinergik
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat
menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis. Obat golongan
antikholinergik yang digunakan dalam praktik anesthesia adalah preparat Alkaloid
Belladona, yang turunannya adalah Sulfas atropine, Skopolamin.3
 Obat Golongan Sedatif/Trankuilizer
Obat golongan sedatif adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan
menimbulkan rasa kantuk.Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk
memberikan suasana nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan
takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan lingkunganny.Untuk
keperluan ini, obat golongan sedatif/trankuilizer yang sering digunakan adalah:
1. Derivate fenothiazin
2. Derivate benzodiazepine
3. Derivate butirofenon
4. Derivate barbiturate
5. Antihistamin
 Golongan Analgetik Narkotik atau Opioid
Berdasarkan struktur kimia, anelgetik narkotik atau opioid dibedakan menjadi
3 kelompok:
1. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein
2. Derivat semisintetik: diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon,
hidrokodon dan oksikodon.
3. Derivat sintetik
 Fenilpiperidine : petidin, fentanil,sulfafentanil dan alfentanil
20

 Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklazosin


 Morfinans : lavorvanol
 Propionanilides : metadon
 Tramadol

3.2.8 Induksi anestesi


Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, intramuscular atau rektal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai
induksi anestesia selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih
cepat dan lebih baik. 6
1. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, pelahan-lahan, lembut dan terkendali.
Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus
diawasi dan selau diberikan oksigen. Induksi ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.7
 Teknik Anestesi
Teknik anestesia merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan
obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut
digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. induksi
anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan
dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.
 Jenis Obat Anestesi
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat
anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti,
Tiopenton, Diazepam , Degidrobenzperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
21

Berikut ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai obat – obat anestesi intravena
tersebut.
 Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Obat ini dikemas
dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1 % (1 ml=10 mg).
 Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang
memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin juga sering menebabkan
terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang
mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
 Opioid
Opioid telah digunakkan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan
tahun. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids.Morphine, meperidine,
fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil merupakan golongan opioid yang
sering digunakan dalam general anestesi. Efek utamanya adalah analgetik.
 Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang
tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan
bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut
air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.
2. Induksi Inhalasi
Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen pembiusan umum
pertama yang diterima secara universal. Etil klorida, etilen, dan siklopropan
kemudian menyusul, dengan zat yang terakhir cukup digemari pada saat itu
karena induksinya yang singkat dan pemulihannya yang cepat tanpa disertai
22

delirium. Sayang sekali sebagian besar agen-agen anestetik yang telah disebutkan
tadi telah ditarik dari pasaran. 2,6
 Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat
dari udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan
dengan zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan
dalam bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen
anestetik inhalasi lain.
 Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga
bersifat tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan
berbentuk cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan
pengawet timol berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi
dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling
murah, dan karena keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia.
 Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur
kimia yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan
enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman
anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta
peningkatan frekuensi denyut jantung.
 Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya
saja atom klorin pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga
23

kelarutan desfluran lebih rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih
rendah sehingga memberikan induksi dan pemulihan yang lebih cepat
dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan, pasien sudah respons
terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah
singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan
batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi.
Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi
17 kali lebih poten dibanding N2O.

 Obat Pelumpuh Otot


Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan
pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas
intubasi. Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif,
takikurare). 1,2
o Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti
relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin)
dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh
kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja
pseudokolinesterase.
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar
dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini
sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang
mencapai neuromuscular junction. Duration of actionakan memanjang pada dosis
24

besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada
kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa
orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan
blokade yang memanjang.
o Pelumpuh otot non depolarisasi
a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja
pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi
pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selamg
waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena
pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15
mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
b. Atracurium
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di
dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang.
c. Vekuronium
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan
lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna.
d. Rocuronium
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya
adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.
o Pemilihan Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh otot ideal:Nondepolarisasi, Onset cepat, Duration
of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan
obat tertentu, Tidak menginduksi pengeluaran histamine, Potensi, dan Sifat tidak
25

berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi
farmakologi.1,2

3.2.9 Teknik anestesi umum


a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
 Keadaan umum baik (ASA I – II)
 Lambung harus kosong
Prosedur :
 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
 Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang)efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non
opioid, dll
 Induksi
 Pemeliharaan
b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal.
Indikasi: operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan
kepala)
Prosedur:
 Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
 Intubasi setelah induksi dan suksinil
 Pemeliharaan
Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
26

3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong
kepala sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi
sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok)
atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas
(alat resusitasi )
c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar-benar tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit.
Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan
kemudian kita akhiri efek anestesinya.
 Teknik sama dengan diatas
 Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
 Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya

3.2.10 Skor pemulihan pasca anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian
terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke
ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
A. Aldrete Score
Nilai Warna
 Merah muda, 2
 Pucat, 1
 Sianosis, 0
27

Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
 Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran  
 Sadar, siaga dan orientasi, 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
 Tidak berespons, 0
Aktivitas  
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
 Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

B. Steward Score (anak-anak)


Pergerakan
 Gerak bertujuan 2
 Gerak tak bertujuan 1
 Tidak bergerak 0
Pernafasan
 Batuk, menangis 2
 Pertahankan jalan nafas 1
 Perlu bantuan 0
Kesadaran
 Menangis 2
 Bereaksi terhadap rangsangan 1
28

 Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

3.3 Intubasi Endotrakeal Tube


3.3.1 Definisi
Intubasi trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam
trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief, 2007).
Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi,
yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan
yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.2
3.3.2 Ukuran ETT
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang
mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan
nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung
distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian
tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa
dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada
orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar
8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007). Untuk intubasi oral
panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. 2
Pada anak-anak dipakai rumus:2
 Diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)
 Rumus lain: (umur + 2)/2
 Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm
lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat
diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
29

3.3.3 Indikasi intubasi trakhea


Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut (Latief, 2007): 2
1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. 2
3.3.4 Kotraindikasi ETT
Ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan pada
saat dilakukan intubasi, antara lain: 2
a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher,
atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d. Benda asing
e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
f. Obesitas
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek,
gigi moncong.

3.3.5 Pemasangan intubasi endotrakheal


Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut: 2
a. Persiapan Alat (STATICS)
b. Pelaksanaan
1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
30

4) Periksa balon pipa/cuff ETT


5) Pasang macintosh blade yang sesuai
6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis, dorong
blade sampai pangkal epiglottis.
12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan kanan
14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan nafas
kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak terdengar
16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

3.3.6 Komplikasi intubasi


Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang biasa
terjadi adalah:
a. Saat Intubasi
1) Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon
dilaring.
2) Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
31

3) Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra


okuler, laringospasme
4) Kebocoran balon.

b. Saat ETT di tempatkan


1) Malposisi (kesalahan letak)
2) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung.
3) Kelainan fungsi : Sumbatan ETT

c. Setelah ekstubasi
1) Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea),
sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
2) Laringospasme.
BAB 4
PEMBAHASAN

Status pasien termasuk ASA I tanpa penyakit sistemik. Pada pasien ini
dipilih untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal
napas terkendali dengan pertimbangan keuntungan yang didapat dari tindakan
anestesia tersebut. Keuntungan dari tindakan ini antara lain:
 Jalan nafas yang aman dan terjamin karena terpasang ETT
 Pasien akan merasa lebih nyaman karena dalam keadaan tertidur, serta
terhindar dari trauma terhadap operasi.
 Kondisi pasien lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan operasi.
 Waktu pulih sadar lebih cepat dengan kondisi nafas spontan.
Akan tetapi, alasan yang paling utama dipilihnya teknik anestesi ini ialah karena
jenis operasi yang hendak dilakukan antara lain turbinectomy yang dilakukan di
area kepala dengan anestesi umum sehingga dapat mempengaruhi airway, oleh
karena itu diperlukan adanya intubasi endotrakeal tube agar airway pasien tetap
clear selama operasi..2,4,5
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas
pasca bedah, sehingga dapat dirancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Sebelum pasien masuk ke OK, ada beberapa hal yang harus diperiksa antara lain:
Surat persetujuan operasi yang merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan
sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien tidak akan
mengajukan tuntutan.Pasien mengaku puasa dipuasakan untuk memastikan bahwa
lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.2 Bila ada gigi palsu sebaiknya dilepaskan. Memakai
pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.

32
33

Pasien masuk ke OK 2 dilakukan premedikasi fentanyl 50 mcg.


Premedikasi adalah tindakan awal anesthesia dengan memberikan obat-obatan
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik,
sedasi/trankuilizer, dan analegetik. Dengan tujuan meredakan kecemasan dan
ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
bronkus, mengurangi rasa mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi reflex yang membahayakan.9
Anti emetic yang digunakan adalah ondancentron 4 mg/2 ml untuk
mencegah muntah, jika terjadi muntah akan menyebabkan aspirasi sehingga
menganggu pernapasan. Jadi lebih baik muntah dicegah sebelum timbul.
Analgetik post op Ketorolac 30 mg/ml.
Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan
ke bangsal. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar
dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya. 2
BAB 5
KESIMPULAN

Sebelum melakukan pembedahan elektif, pasien harus disiapkan supaya


berada dalam keaadaan bugar. Pasien tergolong ASA 1 berdasarkan status fisik..
Pada operasi ini, digunakan anastesi umum dengan pemasangan ETT nafas
terkendali supaya memastikan bahwa jalan nafas yang selalu berada dalam
kondisi terbuka dan mendapatkan ventilasi yang adekuat selama operasi, serta
mencegah terjadinya aspirasi atau regurgitasi yang dapat menjadi penyulit semasa
operasi. Teknik anestesi ini dapat juga digunakan untuk operasi dengan durasi
yang lama dan pada kondisi-kondisi yang sulit untuk mempertahankan jalan nafas
bebas dengan sungkup muka.
Sejak tindakan pembedahan pertama hingga terakhir telah tercapai trias
anestesia dengan pemberian obat-obatan anestesi seperti : fentanyl sebagai
analgesik, atracurium sebagai relaksan, propofol sebagai induksi, dan isofluran
sebagai obat anestesi inhalasi dan juga sebagai maintanance anastesia bekerja
dengan baik.
Setelah operasi selesai, pasien segera dipindahkan ke ruang recovery
room. Pasien segera diperiksa nilai kesadarannya, tekanan darah, respiratory rate,
heart rate dan keadaan umum. Hasil tindakan anestesi yang baik didapatkan
dengan persiapan yang baik dan tepat dengan dimulainya praanestesi,
premedikasi, pemilihan teknik anestesi, pemilihan obat-obatan anestesi serta
melakukan pengawasan tanda-tanda vital selama operasi dan tindakan pasca
operasi.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Robinson, DH., Toledo, AH., 2012. Historical development of modern


anesthesia. J Invest Surg. 25 (3): 141-9.
2. Latief, A.S., Petunjuk Praktis Anesthesiologi Edisi Kedua, Bagian
Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta. 2007
3. Laurance, L. Brunton., 2006. Goodman, Gilman’sThe Pharmacological
Basic of Therapeutics eleventh edition. McGraw-Hill Companies. Boston. Pp: 33-
47
4. Olutoyin, OA., George. 2014. Anesthesia for ear, nose, and throat (ENT)
surgery Chapter 17: Anesthesia Care of Pediatric Patient. Pp 469-470
5. Donlon, JV., 2000. Anesthesia for eye, ear, nose, and throat surgery. In:
Miller RD, ed. Anesthesia 5th edition. New York: Churchill Livingston. Pp: 2173-
98.
6. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Indeks. 2010.
7. Hirvonen EA, Niskanen LK, Niskanen MM. Thyroid storm prior to
induction of anaesthesia. Anaesthesia. 2014 Oct. 59(10):1020-2.
8. ASA, 2014. ASA Classification, (Diakses pada tanggal 04 Sepetembar
2019) diakses dari https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-
status-classification-system
9. Pratiwi, Komang. 2009. Premedikasi Sebelum Pembedahan. (Diakses pada
tanggal 04 September 2019) diakses dari http://www.balipost.com
10. Jaffe, R. A., Schmiesing, C., & Golianu, B.Anesthesiologist's manual of
surgical procedures(5th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2013.
11. Miller’s Anesthesia. Ronald D Milller, International Edition, Volume 2.
2010. p(2364-66).

12. Bestari, Hidayatul, 2012. Penatalaksanaan Hipertrofi Konka. Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas /RSUP. Dr. M Djamil Padang.

13. Repository unimus. ac.id. Konka Hipertrofi.

14. Fikri M, 2019. Derajat Sumbatan Hidung Pada Septum Deviasi dan Konka
Hipertrofi. [Skripsi] FK Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan.

15. Husni T, Amallia P, 2012. Faktor Predisposisi Terjadinya Rhinosinusitis


Kronik di Poli THT-KL RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, Vol 12(III)

35

Anda mungkin juga menyukai