PDF Lapkas Peritonitis Final PDF
PDF Lapkas Peritonitis Final PDF
PERITONITIS
Disusun oleh:
Jessica 150100105
Adelia Ginting 150100110
Purnama Paulina Siregar 150100157
Sherin Agustina Hasibuan 150100160
Pradeepa A/P Govindan 150100201
Pembimbing:
dr. Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD
Pembimbing:
dr. Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD
Jessica 150100105
Adelia Ginting 150100110
Purnama Paulina Siregar 150100157
Sherin Agustina Hasibuan 150100160
Pradeepa A/P Govindan 150100201
Puji dan ayukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
penyertaannya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Peritonitis”
ini dengan baik. Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter
Departemen Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr. Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan
pikiran untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik-baiknya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu
dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan laporan kasus ini di
kemudian hari. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Di lapangan, selain abses intra-abdominal, peritonitis cukup banyak ditakuti karena berisiko
tinggi terjadinya syok septik dan kegagalan organ (Doron & Snydman, 2017). Peritonitis yang
tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi yang mengancam
nyawa, misalnya trombosis vena mesenterika, respiratory distress syndrome, kegagalan multi-
organ hingga kematian (Rangel, Townsend, Karki, & Moss, 2018). Prognosis terhadap peritonitis
umumnya bergantung pada penyebab infeksi, penyakit komorbid, dan respon oleh pasien terhadap
proses inflamatorik. Adapun dengan adanya penanganan modern saat ini, mortality rate pada kasus
peritonitis mencapai hingga 10% (Rangel, Townsend, Karki, & Moss, 2018; Williams, O’Connel,
& McCaskie, 2018).
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1
2
1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman
penulis serta pembaca, khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan mengenal teori tentang
peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 PERITONITIS
2.2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik pada selaput
organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ
perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari
akut abdomen (Japanesa, Zahari, & Rusjdi, 2016).
3
4
2.2.2 Klasifikasi
a. Peritonitis Primer
Peritonitis primer, sering juga dikenal sebagai spontaneous bacterial peritonitis, umumnya
tidak berhubungan langsung dengan abnormalitas atau gangguan intraabdomen. Jenis
peritonitis ini kebanyakan terjadi pada orang dewasa dengan sirosis hepatis, pasien dengan
penyakit kolagen vaskular, ataupun anak-anak dengan glomerulonpati tertentu, dan hampir
selalu monomikrobial. Patogen penyebab yang khas biasanya adalah basil gram negatif
enterik seperti E. coli atau Klebsiella spp. (Wyers & Matthews, 2016; Wagner, Chen, Barie,
& Hiatt, 2017).
b. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder, disebut juga surgical peritonitis, merupakan jenis peritonitis yang
paling sering terjadi. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang
berasal dari traktus gastrointestinal, ataupun biasanya berhubungan dengan abnormalitas
atau gangguan intraabdomen (Japanesa, Zahari, & Rusjdi, 2016; Wagner, Chen, Barie, &
Hiatt, 2017). Peritonitis sekunder terjadi akibat adanya proses inflamasi pada rongga
peritoneal yang dapat disebabkan oleh inflamasi, perforasi, ataupun gangren dari struktur
intraabdomen dan retroperitoneal. Perforasi akibat ulkus peptikum, apendisitis, diverticulitis,
kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca operasi merupakan beberapa penyebab
tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-bakterial lainnya termasuk bocornya darah
ke dalam rongga peritoneal akibat robekan pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau
aneurisma (Wyers & Matthews, 2016). Pada analisis mikrobiologis dari cairan peritoneum
purulen pasien dengan peritonitis sekunder umumnya dijumpai B. fragilis dan E. coli. B.
fragilis merupakan anaerob obligat yang paling sering diisolasi, sementara E. coli merupakan
organisme fakultatif yang paling sering diisolasi. Sementara, Enterococcus spp., Candida
spp., Clostridium spp., dan Pseudomonas aeruginosa jarang dijumpai pada hasil isolasi
(Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017).
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier dapat dijelaskan sebagai tahap lanjutan dari peritonitis, ketika gejala klinis
peritonitis dan tanda-tanda sistemik sepsis menetap bahkan setelah mendapat pengobatan
untuk peritonitis primer atau sekunder (Levison & Bush, 2015). Peritonitis tersier sering
5
Berdasarkan luas infeksinya peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis lokalisata dan
peritonitis generalisata. Peritonitis sekunder generalisata adalah salah satu kegawatdaruratan
bedah yang paling umum (Doklestić, et al., 2014).
2.2.3 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat
mengakibatkan obstuksi usus (Fauci, et al., 2008).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci, et al.,
2008).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi
disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis
atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga
abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci, et al., 2008).
7
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi
yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise
yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot
karena toksemia (Fauci, et al., 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung
dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim
pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri
di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang
merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis
bakterial (Fauci, et al., 2008).
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis
atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan
peritonitis baik lokalisata maupun generalisata (Fauci, et al., 2008).
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
8
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala
akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci, et al., 2008).
a. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan adanya nyeri abdomen yang dapat bersifat
akut atau terjadi tiba-tiba karena adanya viskus yang berlubang atau lebih berbahaya karena
granulomatosa atau bahan kimia, dan beberapa gejala yang dapat dijumpai pada peritonitis
seperti demam, anoreksia, nausea, dan lain-lain.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan,
suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan
tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan. Pada saat
melakukan inspeksi, pemeriksa mengamati ada tidaknya jaringan parut bekas operasi
9
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau
gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan
ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended (Wagner, Chen, Barie, & Hiatt,
2017).
Bagian anterior dari peritoneum parietal adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu
dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai
pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan
rigiditas muskular menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum
parietale (nyeri somatik). Rigiditas yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan
pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan. Nyeri
ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas
juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness.
Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen
hipertimpani karena adanya udara bebas tadi (Wagner, Chen, Barie, & Hiatt, 2017).
Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien
dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini
disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak
bergerak (ileus paralitik). Sementara pada peritonitis lokal, bising usus dapat terdengar
normal. Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan
colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis (Wagner, Chen,
Barie, & Hiatt, 2017).
c. Pemeriksaan Penunjang
Kegunaan utama pencitraan pada pasien dengan dugaan peritonitis adalah untuk membantu
menentukan penyebab primer atau sekunder dan perlunya laparotomi yang mendesak.
Pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis
peritonitis adalah dengan radiologis (X-Ray), USG, dan CT Scan (Rangel, Townsend, Karki,
& Moss, 2018).
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat dilakukan dengan posisi supine, upright, dan left
lateral decubitus. Radiografi abdomen polos dapat menunjukkan bukti ileus paralitik, dan
10
udara bebas di bawah diafragma pada pandangan tegak menegaskan adanya viskus perforasi.
CT scan lebih sensitif, 70 hingga 100%, daripada radiografi polos untuk mendeteksi udara
bebas dan juga dapat menunjukkan penyebab yang mendasarinya. Pada pasien muda, radang
usus buntu dan ulkus duodenum berlubang adalah penyebab umum. Pada pasien yang lebih
tua, divertikula perforasi dan kanker ebih sering terjadi. Pada wanita muda, kehamilan tuba
dan abses tubo-ovarium yang pecah harus dipertimbangkan (Kuemmerle, 2020).
Dalam banyak kasus, riwayat medis pasien, hasil pemeriksaan klinis, temuan laboratrium,
dan hasil radiografi polos abdomen atau dada cukup untuk menunjukkan perlunya
pembedahan segera, dan pemeriksaan ultrasonografi tidak diindikasikan dalam pasien-pasien
ini. Namun, dalam kasus lain, ketika diagnosis klinis tidak pasti dan pengobatan tidak jelas,
ultrasonografi dapat mengidentifikasi penyebab yang tepat yang mendasari nyeri perut akut
yang memerlukan pembedahan. Temuan ultrasonografi yang paling umum adalah ascites,
dilatasi loop usus kecil dengan ketebalan dinding, pneumoperitoneum, ketebalan antrum atau
dinding duodeal, apendisitis perforata dengan akumulasi eksudat perifokal, dan
pembentukan abses (Kuemmerle, 2020).
Pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai leukositosis dengan pergeseran ke kiri pada hitung
jenis (shift to the left). Hiperkapnia dijumpai sebagai akibat dari hiperventilasi. Pada
peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100
ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per
kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat (Rangel, Townsend, Karki, &
Moss, 2018).
2.2.6 Tatalaksana
Pada sebagian besar kasus peritonitis, terutama peritonitis sekunder, resusitasi cairan dan
terapi antibiotik diikuti dengan intervensi bedah seperti laparotomi atau laparoskopi yang
mendesak (urgent) merupakan tatalaksana utama (Wyers & Matthews, 2016).
a. Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dilakukan secara agresif untuk menangani penurunan volume intravaskuler
sekunder akibat perpindahan cairan keluar dari ruang vaskular. Resusitasi cairan (bolus
11
30mL/kg) disertai oleh pemantauan parameter fisiologis secara berkala, termasuk tekanan
darah, denyut jantung, tekanan vena sentral (central venous pressure/ CVP), saturasi oksigen
vena campuran, dan keluaran urin (urine output). Hematokrit, leukosit, elektrolit, glukosa,
kreatinin, dan gas darah juga perlu dipantau. Hipovolemia, hipotensi, asidosis metabolik,
hipoksia, dan hemokonsentrasi akibat hilangnya plasma ke dalam rongga peritoneum dapat
terjadi pada kondisi ini. Terapi vasopresor harus dimulai hanya setelah resusitasi volume
yang memadai gagal untuk memperbaiki hipotensi dan hipoperfusi (Wyers & Matthews,
2016).
b. Terapi Antibiotik
Peritonitis primer ditatalaksana menggunakan antibiotik yang ditujukan pada patogen
infeksi, tanpa adanya intervensi bedah (Wyers & Matthews, 2016). Peritonitis primer
biasanya bersifat monomikroba. Adanya berbagai bakteri campuran pada pemeriksaan cairan
asites pasien suspek peritonitis mengarahkan pada dilakukannya tindakan laparotomi untuk
melokalisasi perforasi yang merupakan kemungkinan sumber infeksi intraabdominal. Terapi
antibiotik dengan cakupan spektrum luas, seperti Cefotaxime, harus dimulai segera, dengan
perubahan selanjutnya tergantung pada pengujian sensitivitas. Terapi umumnya dilanjutkan
selama 10-14 hari (Maqbool, Wen, & Liacouras, 2020).
Pada pasien asites dugaan peritonitis dengan kultur negatif (culture-negative neurocytic
ascites) – yang merupakan varian dari peritonitis primer dengan hitung leukosit >500/mm 3
cairan asites, hasil kultur negatif, tidak ditemukannya sumber infeksi intraabdomen, dan
tidak ada riwayat terapi antibiotik – maka diterapi sesuai dengan peritonitis primer (Maqbool,
Wen, & Liacouras, 2020).
Pada peritonitis sekunder, terapi antibiotik diberikan sebelum, selama, dan setelah intervensi
bedah. Jenis bakteri yang menyebabkan peritonitis sekunder bergantung pada flora normal
di saluran gastrointestinal, yang pada keadaan ini merupakan sumber infeksi maupun sepsis.
Adapun pedoman terbaru untuk pengelolaan infeksi intraabdominal yang rumit (complicated
intra-abdominal infections) merekomendasikan terapi antimikroba yang lebih luas untuk
infeksi yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired infections) daripada infeksi yang
didapat dari masyarakat (community-acquired infections). Pada peritonitis yang community-
acquired, umumnya ditemukan basil Gram negatif yang rentan, bakteri anaerob, dan
12
Kegagalan terapi pada peritonitis sekunder setelah pemberian antibiotik yang tepat atau
terjadinya peritonitis kembali (rekurensi) dapat digolongkan dalam peritonitis tersier. Infeksi
nosokomial yang terjadi pada pasien setelah perawatan jangka panjang/ lama di rumah sakit
berisiko infeksi oleh Pseudomonas yang multiresisten, Enterobacter, Enterococcus,
Staphylococcus, dan Candida spp.. Terjadinya multiple organ dysfunction syndrome
(MODS) setelah operasi awal mendorong pencarian kontrol sumber infeksi yang tidak
adekuat dan abses, yang melibatkan pemeriksaan CT ulang, drainase abses perkutan ataupun
operatif, serta kultur pengumpulan cairan persisten, sebagai tambahan di luar terapi antibiotik
(Wyers & Matthews, 2016).
c. Intervensi Bedah
Kebocoran isi usus (leakage of gut contents) maupun abses yang besar tidak dapat disterilkan
hanya dengan terapi antibiotik tanpa adanya drainase. Intervensi bedah untuk pengendalian
sumber peritonitis harus segera dilakukan setelah pasien diresusitasi cairan, stabil secara
hemodinamik dan antiobiotik telah diberikan. Laparotomi merupakan gold standard untuk
diagnosis pasti dan juga terapi andalan dalam peritonitis sekunder (surgical). Adapun
literatur terbaru menegaskan peningkatan jumlah prosedur laparoskopi yang berhasil pada
beberapa kasus peritonitis. Baik laparoskopi maupun laparotomi, tujuan dilakukannya
intervensi bedah adalah untuk mengendalikan sumber, dekontaminasi peritoneum, dan
pencegahan infeksi berulang (Wyers & Matthews, 2016).
Pada beberapa kasus juga dapat dilakukan tindakan bedah re-eksplorasi. Adapun beberapa
indikasi dilakukan re-eksplorasi (Wyers & Matthews, 2016) adalah sebagai berikut :
1) kontrol lemah terhadap sumber infeksi;
2) penilaian ulang viabilitas usus;
3) drainase yang tidak memadai atau buruk;
4) ketidakstabilan hemodinamik;
13
5) nekrosis pankreas yang terinfeksi atau peritonitis fekal difus pada operasi awal;
6) penilaian ulang anastomosis yang lemah atau renggang; dan
7) perkembangan hipertensi intraabdomen (sindrom kompartemen abdominal). Sindrom
kompartemen abdominal terjadi ketika penutupan abdomen, baik pada tingkat fasia atau
kulit, menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal hingga menganggu fungsi
pernapasan, hati, dan ginjal.
2.2.7 Komplikasi
Peritonitis yang disebabkan oleh infeksi memiliki beberapa komplikasi yang dapat
mengancam jiwa. Beberapa di antaranya adalah mesenteric vein thrombosis, adult respiratory
distress syndrome (ARDS), kegagalan organ multipel, hingga kematian. Komplikasi-komplikasi
yang berat umumnya berkaitan dengan peritonitis sekunder. Beberapa komplikasi lainnya
termasuk prolonged ileus, abses intraabdominal, fistula enterik, dan adhesi inflamatorik (Rangel,
Townsend, Karki, & Moss, 2018).
Peritonitis rekuren atau peritonitis tersier merupakan istilah yang digunakan pada kondisi
yang terjadi setelah terapi peritonitis sekunder yang berlangsung lama. Pasien dengan kondisi ini
tetap mengalami gejala meskipun telah menerima terapi antibiotik yang sesuai dan cairan
peritoneum menunjukkan inflamasi yang persisten. Kegagalan organ multipel dan outcome yang
14
buruk sering kali diasosiasikan dengan peritonitis tersier. Mekanisme yang menyebabkan
terjadinya inflamasi peritoneum secara terus – menerus, belum diketahui dengan baik. Beberapa
peneliti mengajukan kemungkinan adanya disfungsi regulasi imun dan pemberian nutrisi yang
tidak adekuat sebagai faktor yang berkontribusi (Cherry, et al., 2019).
Pembentukan fistula enterokutaneus merupakan salah satu komplikasi yang ditakutkan pada
inflamasi peritoneum dan bowel injury. Lebih dari 80% fistula yang terbentuk terjadi pada saat
post operatif. Fistula yang terjadi secara primer dari infeksi biasanya jarang terjadi. Adanya fistula
dapat menjadi sumber infeksi yang tidak terdeteksi untuk sepsis. Fistula dapat menjadi tempat
terjadinya abses pada sepanjang kanal fistula atau terbentuk secara interal dan menghubungkan
dua struktur intraabdomen (Wagner, et al., 2017).
BAB III
Nama : Tn.A
RM : 0015277
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 31 tahun
Alamat : Tanjung Sari, Tersono
Pekerjaan : Wiraswasta
3.2 AUTOANAMNESIS
STATUS PRESENS
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80
HR : 102 x/menit
RR : 22 x/menit
Temperatur : 37,9oC
15
16
STATUS GENERALISATA
Kepala
Wajah : dalam batas normal
Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-), mata cekung (-/-),sklera ikterik (-/-)
Telinga, hidung, mulut : dalam batas normal
Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Sp = vesikuler, St = tidak dijumpai
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas atas jantung ICS II LMCS
Batas kiri jantung ICS IV 1 cm LMCS
Batas kanan jantung ICS IV LPSD
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reg, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan (+) seluruh lapangan abdomen terutama daerah
McBurney
Perkusi : Hipertimpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik
Leukosit : 36.100/mm3
Eritrosit : 5,65 juta/mm3
GDS : 99 mg/dL
Clotting time : 4 menit
Bleeding time : 2 menit
HbsAg : Negatif
Ureum : 24 mg/dl
Creatinin : 1,1 mg/dl
SGOT : 13 gr/dl
SGPT : 24 gr/dl
Pemeriksaan EKG : kesan sinus takikardi
3.5 DIAGNOSIS
Diffuse peritonitis ec. apendisitis perforasi
3.8 RENCANA
− Laparotomi Eksplorasi
BAB IV
KESIMPULAN
Peritonitis merupakan peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik pada
peritoneum. Peritonitis diklasifikasikan atas 3 kelompok yaitu peritonitis primer, sekunder dan
tersier. Sementara itu, berdasarkan luas infeksinya, peritonitis terbagi menjadi peritonitis lokalisata
dan generalisata. Diagnosis peritonitis dapat ditegakkan melalui serangkaian pemeriksaan, mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik (terutama abdomen), dan pemeriksaan penunjang, baik hasil
laboratorium maupun pencitraan/imaging. Adapun tatalaksana utama peritonitis adalah dengan
resusitasi cairan dan terapi antibiotik, dapat diikuti dengan intervensi bedah seperti laparotomi atau
laparoskopi. Peritonitis yang tidak ditangani dengan baik atau lambat penanganannya dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, baik lokal maupun sistemik. Prognosis terhadap peritonitis
umumnya bergantung pada penyebab infeksi, penyakit komorbid, dan respon oleh pasien terhadap
proses inflamatorik.
18
DAFTAR PUSTAKA
Cherry, J., Demmler-Harrison, G., Kaplan, S., Steinbach, W., & Hotez, P. (2019). Feigin and
Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Disease (8th ed.). Philadelphia: Elsevier.
Doherty, G. (2006). Current Surgical Diagnosis & Treatment. United States of America (USA):
The McGraw-Hill.
Doklestić, S., Bajec, D., Djukić, R., Bumbaširević, V. D., Detanac, S., Bracanović, M., et al.
(2014). Secondary Peritonitis Evaluation of 204 Cases and Literature Review. J Med Life,
7(2), 132-138.
Doron, S., & Snydman, D. (2017). Peritonitis and Intra-Abdominal Abscess. In S. McKean, J.
Ross, D. Dressler, & D. Scheure, Principles and Practice of Hospital Medicine. United
States of America (USA): McGraw-Hill Education.
Fauci, et al. (2008). Harrison’s Principal Of Internal Medicine. United States of America: The
McGraw-Hill.
Japanesa, A., Zahari, A., & Rusjdi, S. (2016). Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis Akut di
Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1), 209-213.
Kalra, A., Wehrle, C., & Tuma, F. (2020). Anatomy, Abdomen and Pelvis, Peritoneum. Retrieved
July 14, 2020, from StatsPearl [Internet]:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534788/
Levison, M., & Bush, L. (2015). Peritonitis and Intraperitoneal Abcesses. In J. Bennett, R. Dolin,
& M. Blaser (Eds.), Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious
Disease (8th ed., pp. 935-947). Philadelphia: Elsevier.
Maqbool, A., Wen, J., & Liacouras, C. (2020). Peritonitis. In R. Kliegman, J. StGeme, N. Blum,
S. Shah, R. Tasker, & K. Wilson, Nelson Textbook of Pediatrics (21st ed., pp. 2147-2148).
Philadelphia: Elsevier.
Ordoñez, C., & Puyana, J. (2006). Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. The
Surgical clinics of North America, 86(6), 1323-1349.
Rangel, S., Townsend, S., Karki, M., & Moss, L. (2018). Peritonitis. In S. Long, C. Prober, & M.
Fischer (Eds.), Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease (5th ed., pp. 423-
428). Philadelphia: Elsevier.
19
20
Wagner, J., Chen, D., Barie, P., & Hiatt, J. (2017). Peritonitis and Intraabdominal Infection.
Textbook of Critical Care. (7th ed.). Philadelphia: Elsevier.
Williams, N., O’Connel, P., & McCaskie, A. (2018). Bailey & Love’s Short Practice of Surgery
(27th ed.). London: Taylor & Francis Group.
Wyers, S., & Matthews, J. (2016). Surgical Peritonitis and Other Diseases of the Peritoneum,
Mesentery, Omentum, and Diaphragm. In M. Feldman, L. Friedman, L. Brandt, M.
Feldman, L. Friedman, & L. Brandt (Eds.), Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal and
Liver Disease (10th ed., Vol. I, pp. 636-648). United States of America (USA): Saunders.