Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Permasalahan gizi pada anak merupakan masalah ganda yaitu masih

ditemukannya masalah gizi kurang dan ditambah dengan ditemukannya

masalah kelebihan zat gizi seperti energi, lemak dan garam. Asupan gizi

anak – anak Sekolah Dasar di beberapa wilayah Indonesia sangat

memprihatinkan. Hal ini terungkap dengan hasil penelitian terhadap 440

siswa SD berusia 7 – 9 tahun di Jakarta dan Solo. Penelitian terhadap 220

anak di 5 SD di Jakarta menunjukkan asupan kalori anak – anak umumnya

di bawah 100% dari kebutuhan mereka sebanyak 94,5% anak mengonsumsi

kalori dibawah angka kecukupan gizi yang dianjurkan yaitu di bawah 1800

kkal. Jika dilihat dari status kesehatan 40% anak yang diteliti sering

menderita infeksi tenggorokan, sebanyak 54% memiliki BB yang kurang,

dan sebanyak 7,3% anak terindikasi menderita gizi buruk. Hasil penelitian

ini juga menunjukkan bahwa anak – anak tersebut jarang sarapan pagi di

rumah, mereka mengandalk an jajan di Sekolah yang kondisi keamanan dan

kesehatannya belum terjamin untuk kebutuhan gizi dan energi selama

beraktivitas, Pola makan dengan melewatkan sarapan rawan berisiko

terhadap penurunan kadar gula darah, bahkan dalam jangka waktu yang

relatif panjang dapat menyebabkan penyakit infeksi disertai kurang gizi

(Sulistyoningsih, Hariyani 2011). Secara umum di Indonesia terdapat dua

masalah utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro, kurang gizi

1
makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein atau

disebut dengan kekurangan asupan energi.

Dari data yang terdapat pada SDKI tahun 2012, status Gizi kurang

dan buruk Balita dan Anak di Indonesia adalah 17,9%. Hal ini menunjukkan

bahwa adanya penurunan dari tahun 2010 yang presentasenya mencapai

21,4%. Sedangkan di Provinsi Jawa Timur sendiri, khususnya menurut

Dinkes Kota Surabaya status Gizi kurang pada balita dan anak tahun 2012

adalah sebesar 23%. Angka tersebut masih terbilang tinggi walaupun tahun

2010 mengalami penurunan dari 24,2%.

Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, 2010, 2013, status gizi Balita dan

anak menurut indikator BB/U secara Nasional Prevalansi Berat – Kurang

pada tahun 2013 adalah 19,6 %, terdiri dari 5,7% Gizi Buruk dan 13,9%

Gizi Kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalansi Nasional 2007

(18,4 %) dan tahun 2010 (17,9%) terlihat meningkat. Perubahan terutaman

pada prevalansi gizi buruk yaitu 5, 4 % tahun 2007, 4,9% pada tahun 2010,

dan 5,7% pada tahun 2013. Sedangkan prevalensi Gizi Kurang naik sebesar

0,9% dari 2007 dan 2013. Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu

15,5% maka prevalensi Gizi Buruk kurang secara Nasional harus diturunkan

sebesar 4,1% dalam periode 2013 – 2015. (Bappenas 2012). Diantara 33

Provinsi di Indonesia, 18 provinsi memiliki prevalensi Gizi Buruk kurang di

atas angka prevalensi Nasional yaitu berkisar antara 21,2 % s/d 33,1%.

Urutan ke 19 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai yang terendah

2
yaiatu NTT, Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Barat, Aceh, Gorontalo, NTB, Sulawesi Selatan, Maluku Utara,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Riau, Sumatera

Utara, Papua, Sumatera Barat, dan Jambi. Atas dasar sasaran MDG 2015,

terdapat 3 provinsi yang memiliki prevalensi Gizi Buruk kurang sudah

mencapai sasaran yaitu : Bali, DKI Jakarta, Bangka Belitung. Masalah

kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi Gizi Buruk Kurang

antara 20,0% – 29,0% dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30%

(WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara Nasional prevalensi gizi buruk

kurang pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah gizi berat

kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masayarakat

prevalensi tinggi. Di antara 33 provinsi, terdapat 3 provinsi termasuk

kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat, dan

Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, 2010, 2013, status gizi Balita dan

anak menurut indikator TB/U menyajikan prevalensi pendek (Stunting)

menurut provinsi dan nasional. Prevalensi pendek secara nasional tahun

2013 adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan di bandingkan tahun

2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2% terdiri

dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Pada tahun 2013 prevalensi

sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8% tahun 2007 dan 18,5%

tahun 2010.prevalensi pendek meningkat dari 18,0% pada tahun 2007

menjadi 19,2% pada tahun 2013.terdapat 20 provinsi di atas, prevalensi

3
nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu :

NTT, Sulawesi Barat, NTB, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Lampung,

Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Aceh, Kalimantan Tengah, Maluku

Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, Bengkulu,

Sumatera Barat, Gorontalo, Kalimantan Barat, dan Jambi. Masalah

kesehatan masyarakat di anggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30-

39% dan serius bila prevalensi pendek ≥40% (WHO 2010). Sebanyak 14

provinsi termasuk kategori berat,dan sebanyak 15 provinsi termasuk

kategori serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah : Papua, Maluku, Sulawesi

Selatan, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Aceh,

Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung, Kalimantan selatan, Papua

Barat, NTB, Sulawesi Barat, Dan NTT.

Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, 2010, 2013, status gizi Balita dan

anak menurut indikator BB/TB menyajikan prevalensi kurus menurut

provinsi dan nasional. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang

harus dirawat dalam manajemen gizi adalah keadaan sangat kurus yaitu

anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD. Prevalensi sangat kurus secara nasional

tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3%, terdapat penurunan

dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2 %). Demikian pula

halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 % juga menunjukan adanya

penurunan 7,3 % (tahun 2010) dan 7,4 % (tahun 2007). Secara keseluruhan

prevalensi anak balita kurus dan sanngat kurus menurun 13,6 % pada tahun

2007 menjadi 12,1 % pada tahun 2013. Terdapat 17 provinsi dimana

4
prevalensi kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari prevalensi

tertinggi sampai terendah, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau,

NTT, Papua Barat, Sumatra Utara, Bengkulu, Papua , Banten, Jambi,

Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, dan Maluku

Utara. Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia

adalah 11,9 %, yangb menunjukan terjadi penurunan 14,0 % pada tahun

2010. Terdapat 12 provinsi memiliki masalah anak gemuk diatas angka

nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu:

Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Papua, Riau, Bangka Belitung,

Jambi, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, dan

Jawa Tengah. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila

prevalensi kurus antara 10,0-14,0 %, dan dianggap kritis bila ≥15,0 %

(WHO 2010). Pada tahun 2013 secara nasional prevalensi kurus pada anak

balita 12,1 % ,yang artinya masalah kurus di Indonesia masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat

16 provinsi yang masuk kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori

kritis, yaitu Kalimantan barat, Maluku, Aceh dan Riau.

Berdasarkan baku Antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5 – 15

tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Z-Score TB/U dan IMT/U.

Secara Nasional prevalensi pendek pada anak umur 5 – 12 tahun adalah 30.7

% (12,3% sangat pendek dan 18.4% pendek). Prevalensi sangat pendek

terendah di Yogyakarta (14,9%) dan tertinggi di Papua (34,5%). Prevalensi

pendek anak umur 5 – 12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013 sebanyak

5
15 Provinsi dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi nasional

yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Sumatera selatan, Jambi, NTB, Gorontallo

Bengkulu, Maluku, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat,

NTT, Lampung dan Papua (Riskesdas 2007, 2010, 2013).

Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan NTT, gizi buruk masih

menjadi persoalan utama Dinas Kesehatan di daerah itu. Setelah anak

menjalani pengobatan di Rumah Sakit dan dipulangkan ke keluarga, anak

kembali menderita gizi buruk karena asupan gizi yang diberikan orang tua

tidak memadai, orang tua tidak mampu menyediakan makanan bergizi bagi

anak-anak, hingga kemudian berdampak pada timbulnya kembali gizi

buruk. Selain Alor, angka gizi buruk di Kabupaten Belu juga masih tinggi,

yakni berjumlah 1.549 orang. Di Kabupaten Kupang tercatat 1.115 orang,

Sumba Barat 536 orang, Timor Tengah Selatan 422 orang, dan Flores Timur

402 orang. Jumlah balita penderita gizi buruk terendah terdapat di

Kabupaten Sikka dan Ngada masing-masing 34 orang, dan Kota Kupang 35

orang pada tahun 2012. 

Pola makan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan kebiasan

makan seseorang. Secara umum, faktor – faktor yang mempengaruhi pola

makan antara lain : faktor ekonomi keluarga, faktor sosial budaya, agama,

pendidikan, lingkungan (Sulistyoningsih, H 2011). Keadaan kesehatan gizi

tergantung dari tingkat konsumsi, tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas

hidangan, kualitas hidangan menunjukkan semua zat gizi yang diperlukan

tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap

6
yang lain (Sediaoetama, 1996). Perilaku dan kebiasan orang tua dalam hal

makanan akan mempengaruhi sikap suka dan tidak suka seorang anak

terhadap makanan. Orangtua bertanggung jawab terhadap masalah makanan

di rumah, jenis – jenis makanan yang tersedia dan kapan makanan tersebut

disajikan sebab pola makan yang seimbang yaitu sesuai kebutuhan disertai

pemilihan bahan makanan yang tepat akan melahirkan status gizi yang baik.

Masa usia Sekolah merupakan periode perubahan dinamis dan

kematangan seiring dengan peningkatan keterlibatan anak dalam aktivitas,

misalnya permainan kartu dan papan bertingkat yang rumit, kerajianan

tangan, musik dan seni, kegiatan olah raga (misalnya berenang), Video

game (Tingkatkan pemantauan orang tua terhadap isi permainan untuk

menghindari pajanan terhadap perilaku kekerasan dan seksual yang tidak

dikehendaki), biasanya menghabiskan banyak energi dan waktu oleh karena

itu anak membutuhkan kalori yang cukup untuk mempertahankan

keseimbangan tubuhnya. Pada usia 6 – 12 tahun ( anak usia sekolah )

banyak hal yang mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Pengalaman –

pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut kalau terlambat tiba di

sekolah, menyebabkan anak – anak sering menyimpang dari kebiasaan

makan pagi. Soekirman (2000) mengatakan bahwa kebiasaan jajan

merupakan salah satu yang menyebabkan konsumsi makanan baik energi,

protein mereka rendah. Karena dalam usia ini anak – anak ini gemar sekali

jajan, terkadang mereka sengaja menolak makan pagi dan sebagai gantinya

mereka jajan. Pada anak usia sekolah kekurangan gizi akan mengakibatkan

7
anak menjadi lemah, cepat lelah dan sakit - sakitan sehingga anak seringkali

absen serta mengalami kesulitan mengikuti dan memahami pelajaran di

Sekolah dan akan mempengaruhi prestasi belajar. Selama usia Sekolah, rata

– rata pertumbuhan tiap tahun seorang anak adalah berkisar 3 – 3,5 kg untuk

Berat Badan dan sekitar 6 cm untuk ketinggian (Berhman, 2004 dalam

Sulistyoningsih, H 2011). Menurut Potter & Perry asupan makanan yang

direkomendasikan untuk anak yaitu dua porsi dari kelompok susu, 60 – 90 g

kelompok makanan daging, empat porsi atau lebih dari kelompok buah dan

sayuran (dengan sumber vitamin C sehari dan sumber vitamin A setiap hari

yang lain), tiga hingga empat porsi dari seluruh padi – padian dan roti yang

diperkaya gizinya dengan sereal, dan hingga dua sendok teh margarin atau

mentega.

Oleh karena itu Upaya perbaikian gizi anak sekolah dengan

melibatkan perhatian penuh dari orang tua dalam menerapkan pola makan

yang teratur di rumah di samping upaya perbaikan gizi yang lain yaitu

melalui Program Pemberian Makanan Tambahan pada Anak Sekolah (PMT-

AS) dan memantau pertumbuhan balita dengan menggunakan KMS AS.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin meneliti tentang

Hubungan antara Pola Makan dengan Status Gizi pada Siswa kelas III di

Sekolah Dasar Negeri 2 Oebobo – Kota Kupang.

8
1.2. Rumusan masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

Apakah terdapat hubungan antara pola makan dengan status Gizi pada

siswa/I Sekolah Dasar

Tujuan Penelitian

1.2.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui Hubungan antara pola

makan dengan status gizi pada siswa/I Sekolah Dasar

1.2.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :

1) Mengidentifikasi pola makan (frekuensi, dan waktu makan,

jenis makanan). Mengidentifikasi status gizi siswa/I Sekolah

2) DasarMenganalisis hubungan antara pola makan dengan status

gizi siswa/I Sekolah Dasar

1.3. Manfaat Penelitian

1.3.1. Manfaat ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

yang obyektif dan akurat mengenai manfaat pola makan yang

teratur dan asupan gizi yang mendukung pertumbuhan pada anak

di sekolah Dasar

1.4.2. Manfaat Praktis

9
Diharapkan dapat membuktikan manfaat dari pola makan terhadap status

gizi siswa/I Sekolah Dasar

1) Diharapkan dapat menjadi landasan bagi penelitian

selanjutnya.

2) Diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan

mengenai hubungan antara pola makan dengan status gizi siswa/I Sekolah

Dasa

10
BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1. Konsep pola makan

2.1.1. Pengertian pola makan

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan

gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang

dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk

suatu kelompok masyarakat tertentu (Sri Karjati, 1985:73 dalam

Sulistyoningsih, H 2011).

Pengertian pola makan menurut Sri Handajani (1996:23

dalam buku pengarang Sulistyiningsih Hariyani 2011) adalah

tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam memenuhi

kebutuhan akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pilihan

makanan.

Menurut Suhardjo (1989:251 dalam Sulistyoningsih, H. 2011)

pola makan diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang

untuk memilih makanan dan mengonsumsinya sebagai reaksi

terhadap pengaruh – pengaruh fisiologis, psikologis, budaya, dan

sosial. Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan

jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu seperti

mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu

kesembuhan penyakit (Depkes RI, 2009).

11
2.1.2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Pola Makan

Pola makan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan kebiasaan

makan seseorang secara umum faktor yang mempengaruhi

terbentuknya pola makan adalah faktor ekonomi, sosial, budaya,

agama, pendidikan, dan lingkungan.

1. Faktor ekonomi

Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi

konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga.

Membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik,

sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan

menurunnya daya beli secara kualitas maupun kuantitas.

Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat,

pengaruh promosi melalui iklan, serta kemudahan informasi,

dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan timbulnya

kebutuhan psikogenik baru dikalangan masyarakat ekonomi

menengah ke atas. Tingginya pendapatan dengan tidak

diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan

seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya

sehari – hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih di

dasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi.

Kecenderungan untuk mengonsumsi makanan impor,

terutama jenis siap santap (fast food) seperti ayam goreng, pizza,

hamburger dan lain – lain telah meningkat tajam terutama di

12
kalangan generasi muda dan kelompok masyarakat ekonomi

menengah ke atas.

2. Faktor sosial budaya

Pantangan dalam mengonsumsi jenis makanan tertentu dapat

dipengaruhi oleh faktor budaya/kepercayaan. Pantangan yang

didasari oleh kepercayaan pada umumnya mengandung

perlambangan atau nasihat yang dianggap baik maupun tidak

baik yang lambat laun akan menjadi kebiasaan atau adat.

Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup

besar untuk mempengaruhi seseorang dalam memilih dan

mengolah pangan yang akan dikonsumsi.

Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa

yang akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan

penyajiannya, serta untuk siapa, dan dalam kondisi bagaimana

pangan tersebut dikonsumsi. Kebudayaan juga menentukan

kapan seseorang boleh dan tidak boleh mengonsumsi suatu

makanan, meskipun tidak semua hal yang tabu masuk akal dan

baik dari sisi kesehatan. Tidak sedikit hal yang ditabukan

merupakan hal yang baik jika ditinjau dari kesehatan, salah satu

contohnya adalah anak balita tabu mengonsumsi ikan laut

karena dikhawatirkan akan menyebabkan kecacingan, padahal

dari sisi kesehatan berlaku sebaliknya, mengonsumsi ikan sangat

baik bagi balita karena memiliki kandungan protein yang sangat

13
dibutuhkan untuk pertumbuhan. Terdapat 3 kelompok anggota

masyarakat yang biasanya memiliki pantangan terhadap

makanan tertentu yaitu balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

3. Agama

Pantangan yang didasari Agama, khususnya Islam disebut

haram dan individu yang melanggar hukumnya dosa. Adanya

pantangan terhadap makanan atau minuman tertentu dari sisi

Agama dikarenakan makanan/minuman tersebut membahayakan

jasmani dan rohani bagi yang mengonsumsinya. Konsep halal

dan haram sangat mempengaruhi pemilihan bahan makanan

yang akan dikonsumsi. Perayaan hari besar Agama juga

mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang disajikan. Bagi

Agama Kristen, telur merupakan bahan makanan yang selalu

ada pada saat Perayaan Paskah, bagi umat Islam, ketupat adalah

bahan makanan pokok yang selalu tersedia pada saat hari raya

Lebaran

4. Pendidikan

Pendidikan dalam hal ini dikaitkan dengan pengetahuan, akan

berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan

pemenuhan kebutuhan gizi. Salah satu contoh, prinsip yang

dimiliki oleh orang dengan tingkat pendidikan rendah biasanya

14
adalah ‘yang penting menyenangkan’, sehingga porsi bahan

makanan karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan

kelompok bahan makanan lain. Sebaliknya, kelompok orang

dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih

bahan makanan sumber protein dan akan berusaha

menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain.

5. Lingkungan

Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap

pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang dimaksud dapat

berupa lingkungan keluarga, Sekolah, serta adanya promosi

melalui media elektronik maupun cetak. Kebiasaan makan

dalam keluarga sangat berpengaruh besar terhadap pola makan

seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan terbentuk dari

kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga.

Lingkungan sekolah, termasuk di dalamnya para guru,

teman sebaya, dan keberadaan tempat jajan sangat

mempengaruhi terbentuknya pola makan, khususnya bagi siswa

Sekolah Dasar. Anak – anak yang mendapatkan informasi yang

tepat tentang makanan sehat dari para gurunya dan didukung

oleh tersedianya kantin atau tempat jajan yang menjual makanan

yang sehat akan membentuk pola makan yang baik pada anak.

Sekolah di luar negeri menerapkan kegiatan makan siang

bersama di Sekolah. Hal ini akan membentuk pola makan

15
teratur, memenuhi kebutuhan biologis pencernaan dengan

mengonsumsi makanan bergizi, tidak hanya asal kenyang

dengan jajanan.

Keberadaan iklan/promosi makanan ataupun minuman

melalui media elektronik maupun cetak sangat besar

pengaruhnya dalam membentuk pola makan. Tidak sedikit

orang tertarik untuk mengonsumsi atau membeli jenis makanan

tertentu setelah mel ohat promosinya melalui iklan televisi.

2.1.3. Perilaku Makan Balita dan Anak Usia Sekolah

Perilaku dan kebiasaan orang tua dalam hal makanan yang

dipengaruhi oleh faktor budaya akan mempengaruhi sikap suka dan

tidak suka seorang anak terhadap makanan. Orang tua bertanggung

jawab terhadap masalah makan di rumah, jenis – jenis makanan apa

yang tersedia dan kapan makanan tersebut disajikan juga harus

memberikan petunjuk mengenai hal – hal penting kepada anak –

anak sehingga anak mampu menentukan makanan yang sehat disaat

mereka jauh dari rumah.

Satu keluarga sebaiknya berusaha untuk makan bersama. Makan

bersama dalam satu keluarga dapat dijadikan sebagai salah satu

wadah untuk menjalin komunikasi antar anggota keluarga, ketika di

waktu lain masing – masing disibukkan oleh aktivitas di luar. Sebuah

studi yang dilakukan terhadap sekelompok anak usia 9 – 14 tahun

menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara kegiatan makan

16
malam bersama dalam keluarga dengan kualitas diet anak secara

menyeluruh. Persentasi jumlah anak yang makan malam bersama

keluarga menurun dengan bertambahnya umur anak dengan

persentase tertinggi pada kelompok anak umur 9 tahun. Anak yang

biasa makan bersama keluarga mempunyai asupan energi, serat,

kalsium, folat, zat besi dan vitamin – vitamin B6, B12, C, dan E

yang lebih tinggi. Anak – anak ini juga mengonsumsi buah dan sayur

– sayuran lebih banyak, dan saat mereka tidak di rumah lebih sedikit

makan makanan yang di goreng serta minum soft drinks lebih

sedikit.

Pola makan anak juga dipengaruhi oleh media massa dan

lingkungan (guru, teman sebaya). Anak – anak ingin mencoba

makanan – makanan yang diiklankan di media televisi. Pengaruh

teman sebaya juga menjadi lebih besar karena anak usia sekolah

lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya

dibandingkan dengan keluarganya. Peningkatan pengaruh teman

sebaya berdampak terhadap perilaku perihal pola dan jenis makanan

pilihan mereka. Anak secara tiba – tiba meminta satu jenis makanan

baru atau menolak makanan mereka terdahulu, akibat rekomendasi

dari teman – teman sebayanya. Pengaruh guru juga besar terhadap

sikap seorang anak terhadap jenis dan pola makan.

17
2.1.4. Porsi makanan per hari untuk anak dan remaja berdasarkan

Food Guide Pyramid

1. Roti, sereal, nasi, dan kelompok pasta : 1 iris roti, 1 ounce sereal

siap santap, ½ cangkir sereal masak, nasi, atau pasta.

2. Kelompok sayuran : 1 cangkir sayuran berdaun mentah, ½

cangkir sayuran lain, dimasak atau mentah, ¾ cangkir jus

sayuran

3. Kelompok buah : 1 apel sedang, pisang atau jeruk, ½ cangkir

buah dirajang, dimasak atau kalengan, ¾ cangkir buah jus

4. Susu, yougurt dan kelompok keju : 1 cangkir susu atau yougurt,

1 ½ ounce keju alami, 2 ounce keju proses.

5. Daging, unggas, ikan, kedelai kering, telur dan kelompok

kacang – kacangan : 2-3 ounce daging tanpa lemak, unggas, atau

ikan yang dimasak, ½ cangkir kedelai kering dimasak, 1 telur,

atau 2 sendok malan selai kacang sama dengan 1 ounce daging

tanpa lemak.

(Wong D : Wong and Whaley’s Clinical nanual of pediatrik nursing,

ed 4. Hak cipta, Mosby, St Louis).

Contoh menu untuk anak usia sekolah berdasarkan Food Guide

Pyramid :

1. Sarapan : 2 wafel ukuran 10 cm, 2 sdk makan sirup, ½

cangkir jus jeruk.

18
2. Makan siang : ½ cangkir stick wortel mentah, ¾ cangkir

jus apel.

3. Kudapan : 1 cangkir yougurt beku atau 1 cangkir sereal tidak

manis dengan susu rendah lemak.

4. Makan malam : 1 iris roti, ½ cangkir brokoli, 1 pisang, 1

cangkir susu rendah lemak.

5. Kudapan : 2 cangkir berondong jagung, ½ cangkir jus anggur.

Porsi Total : Roti, sereal, nasi, pasta : 6 – 7

Sayuran :3

Buah :3–4

Susu, yougurt, keju : 2

Daging, unggas, ikan: 2

2.2. Konsep Status Gizi

2.2.1. Pengertian Status Gizi

Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikondisikan

secara normal oleh suatu organisme melalui proses digesti, absorbsi,

transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat – zat

yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,

pertumbuhan dan fungsi normal dari organ – organ, serta

menghasilkan energi. Sedangkan ilmu gizi di definisikan sebagai

suatu cabang ilmu yang mempelajari zat – zat pangan yang

bermanfaat bagi kesehatan dan proses yang terjadi pada pangan sejak

di konsumsi, dicerna, diserap sampai dimanfaatkan tubuh serta

19
dampaknya terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan

hidup manusia serta faktor yang mempengaruhinya (Proverawati, A

dan Wati, E. K 2011).

Keadaan Gizi adalah keadaan akibat keseimbangan antara

konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat – zat tersebut,

atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler

tubuh.

Status gizi (Nutrition Status) adalah ekspresi dari keadaan

keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Contoh : gondok

endemik merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan

pengeluaran yodium dalam tubuh (Erna, K. W. 2011).

Gizi salah, malnutrisi (Malnutrition) merupakan keadaan

patologis akibat kekurarangan atau kelebihan secara relative maupun

absolut satu atau lebih zat gizi. Ada empat bentuk malnutrisi :

1. Under Nutrition yaitu kekurangan konsumsi pangan secara

relative atau absolute untuk periode tertentu.

2. Specific Defisiency yaitu kekurangan zat gizi tertentu, misalnya

kekurangan vitmin A, yodium, Fe, dan lain – lain

3. Over Nutrition yaitu kelebihan konsumsi pangan untuk periode

tertentu

4. Imbalance yaitu karena disproporsi zat gizi, misalnya kolesterol

terjadi karena tidak seimbangnya LDL (Low Densiyi

20
Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein), dan VLDL

(Very Low Density Lipoprotein).

2.2.2. Gizi Seimbang Bagi Balita dan Anak Usia Sekolah Dasar

1. Prinsip gizi

Balita atau di kenal juga dengan anak prasekolah adalah anak

yang berusia antara 1 – 5 tahun, sedangkan usia sekolah adalah

anak yang berusia 6 – 12 tahun. Selama usia sekolah,

pertumbuhan tetap terjadi walau tidak dengan kecepatan

pertumbuhan sehebat yang terjadi sebelumnya pada masa bayi

dan pada masa remaja nantinya. Rata – rata pertumbuhan tiap

tahun seorang anak pada usia sekolah adalah berkisar 3 – 5 kg

untuk berat dan sekitar 6 cm untuk ketinggian (behrman, 2004).

Ketika memasuki periode pertumbuhan yang lebih lambat,

masukan dan napsu makan seorang anak juga akan berkurang

dan membutuhkan respon dan perhatian dari orang tua.

2. Kebutuhan zat gizi balita dan anak usia sekolah

Kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan

cukup untuk memelihara kesehatan pada umumnya. Secara gairs

besar, kebutuhan gizi ditentukan oleh usia, jenis kelamin,

aktivitas, berat badan, dan tingi badan. Antara asupan zat gizi

dan pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga diperoleh

status gizi yang baik (Atikah & Erna 2011).

21
Kebutuhan masing – masing zat gizi untuk kelompok

balita dan anak dapat di lihat dari Angka Kecukupan Gizi yang

Dianjurkan. Selain zat esensial, kebutuhan cairan harus di

perhatikan karena penting untuk mencegah dehidrasi selama

bergerak dan berolahraga (sulistyoningsih, H 2011).

Di antara anak usia 2 sampai 11 tahun, rata – rata asupan

vitamin dan mineral melebihi RDA ( Recommended Daily

Allowance / Anjuran Kebutuhan Sehari) yaitu kebutuhan

minimal sehari agar seseorang tidak menjadi sakit, pada kondisi

yang umum dianggap normal (Prof. DR. Achmad Sediaoetama,

M.Sc 2008). RDA adalah tingkat asupan nutrien esensial yang

dipertimbangkan, dalam penilaian komite dan dasar

pengetahuan ilmiah, untuk mencukupi pemenuhan kebutuhan

nutrisi orang sehat.

Tabel 2. Kebutuhan nutrisi anak terhadap protein, vitamin A, zat


besi dan zink (Paath, E. F, dkk 2004)
usia (thn) protein vitamin A zat besi Zink
  (g) (µgRE) (mg) (mg)
lahir -0,5 bln 13 375 6 5
0,5 - 1,0 14 375 10 5
1- 3 thn 16 400 10 10
4 - 6 thn 24 500 10 10
7 - 10 thn 28 700 10 10
anak laki – laki        
11- 14 thn 45 1000 12 15
15 - 18 thn 59 1000 12 15
anak
perempuan        
11 - 14 thn 46 800 15 12
15 - 18 thn 44 800 15 12
RE, Retino Equivalen

22
(Food and Nutritional Board, National Academy of Science – National
Research Council. 11989, Recommended Daily Dietary Allowances).

Anak makan rata – rata lima sampai tujuh kali sehari. Di

antara anak usia 6 – 11 tahun, kudapan memberikan 20% dari

total asupan kalori dan 19% dari total asupan lemak dan lemak

jenuh. Kudapan adalah cara terbaik untuk memberikan protein,

kalori, dan nutrisi esensial pada anak yang tidak dapat makan

banyak pada jam makan, tetapi kudapan harus diberikan

sediktnya 90 menit sebelum makan untuk menghindari

pengaruhnya terhadap napsu makan (Paath, E. F, dkk 2004).

3. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)

Menurut Hariyani Sulistyoningsih (2011) menu adalah

rangkaian beberapa macam hidangan atau masakan yang

disajikan untuk seseorang atau sekelompok orang untuk setiap

kali makan, yaitu hidangan pagi, siang dan malam. Menu

seimbang adalah menu yang terdiri dari beraneka ragam

makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai sehingga

memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan dan

perbaikan sel – sel tubuh dan proses kehidupan serta

pertumbuhan dan perkembangan.

Tahun 1992 di selenggarakan kongres gizi internasional di

Roma yang membahas tentang pentingnya gizi seimbng sebagai

upaya untuk menghasilkan kualitas SDM yang handal.

Departemen Kesehatan RI (2005) mengeluarkan pedoman

23
praktis untuk mengatur makanan sehari – hari dengan gizi

seimbang dan tertuang dalam 9 pesan dasar sebagai berikut :

1. Konsumsi makanan yang beraneka ragam

Tidak ada satu jenis makanan pun yang mengandung semua

jenis zat gizi, yang mampu membuat seseorang untuk hidup

sehat, tumbuh kembang dan produktif. Hal ini

menyebabkan setiap orang perlu mengonsumsi aneka ragam

makanan kecuali bayi umur 0 – 6 bulan yang cukup

mengonsumsi ASI.

Makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang

mengandung unsur – unsur zat gizi yang diperlukan tubuh

baik kualitas maupun kuantitasnya.

2. Konsumsi makanan untuk memenuhi kecukupan energi

Konsumsi energi yang melebihi kecukupan dapat

mengakibatkan kenaikan Berat Badan. Energi yang berlebih

di simpan sebagai cadangan di dalam tubuh berbentuk

lemak atau jaringan lain. Apabila keadaan ini berlanjut akan

menyebabkan kegemukan, yang biasanya disertai berbagai

gangguan kesehatan seperti tekanan darah tinggi, penyakit

jantung, penyakit kencing manis dan lain – lain.

Sebaliknya apabila konsumsi energi kurang, maka

cadangan energi dalam tubuh yang berada dalam jaringan

otot/lemak akan digunakan untuk menutupi kekurangan

24
tersebut. Apabila hal ini berlanjut maka dapat menurunkan

produktivitas kerja, prestasi belajar dan kreativitas.

Konsumsi gula sebaiknya dibatasi sampai 5% dari

jumlah kecukupan energi atau sekitar 3 – 4 sendok makan

tiap hari.

3. Makanlah makanan sumber karbohidrat, setengah dari

kebutuhan energi

Karbohidrat memilki fungsi utama sebagai penyedia energi

bagi tubuh, oleh karena itu mengonsumsi karbohidrat

setengah dari kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh tubuh

dan sisanya di penuhi oleh protein, lemak, vitamin, mineral

dan air.

4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari

kebutuhan energi. Konsumsi lemak dan minyak dalam

makanan sehari – hari sebanyak 15 – 25 % dari kebutuhan

energi. Selain berpotensi tinggi kalori, lemak juga relatif

lama berada dalam sistem pencernaan dibandingkan dengan

protein dan karbohidrat, sehingga lemak menimbulkan rasa

kenyang yang lebih lama.

Kelebihan mengonsumsi lemak hewani yang

berlebihan dapat menyebabkan penyempitan pembuluh

darah arteri dan penyakit jantung koroner. Resiko penyakit

jantung koroner akan menurun dengan membiasakan

25
mengonsumsi ikan karena lemak ikan mengandung asam

lemak omega 3, asam lemak omega 3 berperan mencegah

terjadinya penyumbatan lemak pada dinding pembuluh dari.

5. Gunakan garam beryodium

Peraturan yang tertuang dalam keppres no.69 tahun 1994

mengharuskan semua garam yang beredar di Indonesia

mengandung yodium. Kebijaksanaan ini berkaitan erat

dengan masih tingginya kejadian gangguan kesehatan

akibat kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia. GAKY

(Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) merupakan

masalah gizi yang serius karena dapat menyebabkan

penyakit gondok dan kretin. Kekurangan unsur yodium

dalam makanan sehari – hari dapat pula menurunkan tingkat

kecerdasan seseorang.

6. Makan makanan sumber zat besi (Fe)

Zat besi adalah salah satu unsur penting dalam proses

pembentukan sel darah merah. Zat besi secara alamiah

diperoleh dari makanan seperti bahan pangan hewani,

kacang – kacangan dan sayuran berwarna hijau tua.

Kesulitan utama untuk memenuhi kebutuhan zat besi

adalah rendahnya tingkat penyerapan zat besi dalam tubuh,

terutama sumber zat besi dari nabati yang hanya diserap 1 –

2. Tingkat penyerapan zat besi yang berasal dari hewani

26
lebih tinggi dibandingkan zat besi yang berasal dari pangan

nabati (non heme) yaitu mencapai 10 – 20 %.

7. Biasakan makan pagi

Makan pagi dapat memelihara ketahanan fisik,

mempertahankan daya tahan saat bekerja, meningkatkan

produktivitas kerja, meningkatkan konsentrasi dan

memudahkan penyerapan informasi. Kebiasaan makan pagi

juga membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan

gizinya sehari – hari. Jenis hidangan untuk makan pagi

dapat dipilih dan di susun sesuai dengan keadaan. Namun

akan lebih baik bila terdiri dari makanan sumber zat tenaga,

sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur. Seseorang

yang tidak makan pagi memiliki resiko menderita gangguan

kesehatan berupa menurunnya kadar gula dengan tanda –

tanda antara lain : keluar keringat dingin, kesadaran

menurun bahkan pingsan.

8. Minum air bersih yang aman dan cukup jumlahnya

Cairan yang dikonsumsi seseorang terutama air minum

hendaknya tidak kurang dari 2 liter atau setara dengan

delapan gelas air minum.

9. Makan makanan yang aman bagi kesehatan

Selain harus sehat, makanan yang dikonsumsi juga harus

aman bagi kesehatan.

27
4. Cara Penentuan Status Gizi

Menurut Atikah & Erna (2011) penilaian status gizi di bagi

menjadi dua yaitu secara tidak langsung dan secara langsung,

penilaian status gizi secara langsung terbagi atas empat yaitu

antropometri, klinis, biokimia, biofisik. Sedangkan secara tidak

langsung terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi makanan,

statistik vital, faktor ekolgi. Dalam penelitian ini, untuk

menentukan status gizi digunakan indeks antropometri.

Antropometri berasal dari kata antropos dan metros.

Antropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi

antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri sangat

umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai

ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan

ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi

jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status

gizi adalah Berat Badan menurut Umur, Tinggi Badan menurut

Umur dan Berat Badan menurut Tinggi Badan. Dari masing-

masing indeks Antropometri tersebut mempunyai beberapa

kebaikan dan kelemahan yang dikutip dari Hartini (1983),

seperti yang terlihat pada tabel 4.

28
Tabel 4. Kelebihan dan kelemahan indeks antropometri

Indeks Kebaikan Kelemahan

a. Baik untuk mengukur status gizi Umur sulit ditaksir


akut atau kronis
BB/U b. BB dapat berfluktuatisi
c. Sangat sensitif terhadap perubahan-
perubahan kecil

a. Baik untuk menilai gizi masa a. Pengukuran relatif sulit


lampau dilakukan karena anak
b. Ukuran panjang dapat dibuat berdiri tegak, sehingga
TB/U
sendiri, murah dan mudah dibawa diperlukan 2 orang
c. Tinggi badan tidak cepat naik untuk melakukannya.
bahkan tidak mungkin turun b. Ketepatan umur sulit

a. Tidak memerlukan data umur a. Pengukuran relative


b. Dapat membedakan proporsi badan lebih lama
BB/TB
(normal,gemuk, kurus) b. Membutuhkan 2 orang
c. Membutuhkan 2 macam alat ukur untuk melakukannya

a. Indikator yang baik untuk menilai a. Hanya dapat


KEP berat mengidentifikasi anak
b. Alat ukur murah,sangat ringan dengan KEP berat
dapat dibuat sendiri atau dapat b. Sulit menentukan
LL/U
diberi kode warna untuk ambang batas
menentukan tingkat keadaan gizi,
sehingga dapat digunakan oleh
orang yang tak dapat baca tulis.

Sedangkan menurut Soekirman (2001) :

a. Indikator BB/U

Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah atau lebih tinggi

setelah dibandingkan dengan standar WHO. Apabila BB/U

normal digolongkan pada status gizi baik. BB/U rendah

dapat berarti berstatus gizi kurang atau buruk. BB/U tinggi

dapat digolongkan berstatus gizi lebih.

1) Kelebihan

29
a) Dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh

masyarakat umum

b) Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam

jangka waktu pendek

c) Dan dapat mendeteksi kegemukan

2) Kelemahan

a) Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat

oedema

b) Data umur yang akurat sering sulit diperoleh

c) Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian

anak yang tidak dilepas dan anak bergerak

d) Masalah sosial budaya setempat yang

mempengaruhi orang tua untuk tidak menimbang

anaknya karena dianggap seperti barang dagangan

b. Indikator TB/U

Mereka yang diukur dengan indicator TB/U dapat

dinyatakan TB-nya normal, kurang dan tinggi menurut

standar WHO. Bagi yang TB/U kurang menurut WHO

dikategorikan stunted yang diterjemahkan “sebagai pendek

tak sesuai umurnya”. Tingkat keparahannya dapat

digolongkan menjadi ringan, sedang dan berat. Hasil

pengukuran menggambarkan status gizi masa lampau.

Seseorang yang tergolong pendek tak sesuai umur

30
kemungkinan keadaan gizi masa lalu tidak baik. Berbeda

dengan berat badan rendah yang diukur dengan BB/U yang

mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada

anak maupun dewasa. Indikator TB/U menggambarkan

status gizi masa lampau :

1) Kelebihan

a) Dapat memeberikan gambaran riwayat gizi masa

lampau

b) Dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi

penduduk

2) Kelemahan

a) Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang

badan pada kelompok usia balita

b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini

c) Memerlukan data umur yang akurat yang sering

sulit diperoleh di negara – negara berkembang

d) Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala

ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas non

profesional

c. Indikator BB/TB

Pengukuran antropometri terbaik adalah menggunakan

indikator BB/TB. Ukuran ini dapat menggambarkan status

gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya

31
mereka yang BB/TB kurang, dikategorikan sebagai kurus

atau wasted. Indikator BB/TB ini diperkenalkan oleh Jellife

pada tahun 1996 dan merupakan indikator yang baik untuk

menilai status gizi saat ini, terutama bila data umur yang

akurat sulit diperoleh. Oleh karena itu indikator BB/TB

merupakan indikator independent terhadap umur.

1) Kelebihan

a) Independent terhadap umur dan ras

b) Dapat menilai status “kurus” dan “gemuk” dan

keadaan marasmus atau KEP berat lain.

2) Kelemahan

a) Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian

anak tidak dilepas atau bergerak terus.

b) Masalah sosial budaya setempat yang

mempengaruhi orang tua untuk tidak menimbangkan

anaknya karena dianggap seperti barang dagangan.

c) Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang

atau tinggi badan anak pada kelompok balita.

d) Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala

ukur terutama bila dilakukan oleh petugas non

professional.

e) Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak

tersebut pendek normal atau panjang.

32
Diantara bermacam-macam indeks antropometri, BB/U

merupakan indikator yang paling umum digunakan sejak

1972 dan dianjurkan juga mengunakan TB/U dan BB/TB

untuk membedakan apakah kekurangan gizi terjadi kronis

atau akut. Keadaan gizi kronis atau akut mengandung arti

terjadi keadaan yang dihubungkan dengan masa lalu dan

waktu sekarang. Pada keadaan kurang gizi kronis BB/U dan

TB/U rendah tetapi BB/TB normal. Kondisi ini sering disebut

dengan stuting, pada 1978. WHO lebih menganjurkan

penggunaan BB/TB, karena menghilangkan faktor umur yang

menurut pengalaman sulit didapat secara benar, khususnya di

daerah terpencil dimana terdapat masalah pencatatan

kelahiran. lndeks BB/TB juga menggambarkan keadaan

kurang gizi akut waktu sekarang, walaupun tidak dapat

menggambarkan keadaan gizi waktu lampau. Menurut

PERSAGI (2004) klasifikasi status gizi anak yang disepakati

dalam pertemuan pakar gizi di Cipanas, Jawa Barat, Januari

2000 yaitu :

1. Indeks berat badan menurut umur (BB/U)

a. Gizi lebih > 2SD

b. Gizi baik >-2SD sampai +2 SD

c. Gizi kurang > -3 SD sampai < 2SD

d. Gizi buruk < -3 SD

33
2. Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)

a. Pendek <-2 SD

b. Normal >-2SD

3. Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

a. Gemuk >2 SD

b. Normal >-2SD sampai + 2 SD

c. Kurus > -3 SD sampai < - 2 SD

d. Kurus sekali <-3 SD

2.3. Kerangka Teori

Pola makan Kebutuhan gizi


seimbang

Status gizi

Prestasi belajar
meningkat

Gambar 1. Kerangka Teori penelitian Hubungan antara Pola Makan


dengan Status Gizi pada Anak Sekolah Dasar
Kerangka Konsep

Faktor – faktor yang mempengaruhi pola makan


anak :
34
1. Faktor ekonomi
2. Faktor sosial budaya
3. Faktor agama
Gambar 2. Kerangka Konsep Hubungan antara Pola Makan dengan Status Gizi
anak

Keterangan :

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

2.4. Hipotesis

Hipotesa dalam penelitian ini adalah hipotesa alternatif (H 1) yaitu ada

Hubungan antara Pola Makan dengan Status Gizi pada Siswa

35
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Dalam hal ini metode penelitian yang digunakan adalah metode analitik

dengan pendekatan cross sectional yaitu melakukan observasi data variabel

independen dan dependen hanya satu kali, pada satu saat dan tidak ada

follow up (Nursalam, 2008).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Sekolah Dasar X

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan

diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi penelitian ini adalah

siswa/siswa Sekolah Dasar X

3.3.2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti, dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan Sugiono (2007) apabila

sampel kurang dari 100 maka semua subjek diambil untuk diteliti.

36
3.4. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel independen dalam penelitian ini adalah Pola Makan dan Variabel

dependen adalah Status Gizi.

37
Variabel Defenisi Parameter Instrumen Skala Kategori
Operasional

Independen Kegiatan yang - Pola makan yang seimbang dan teratur Lembar Ordinal Baik (3) : jika
Pola Makan dilakukan oleh melahirkan status gizi yang baik (tidak Kuesioner 76-100%
anak secara lebih maupun kurang) Cukup (2) :
berulang kali untuk -Frekuensi makan 3 kali + kudapan 2 x/hari jika 56-75%
memenuhi -Waktu makan teratur (makan pagi, siang, Kurang (1) :
kebutuhan akan kudapan, makan malam, kudapan). <56%
makan dalam -Jenis makanan bervariasi setiap hari : Roti,
jumlah dan waktu nasi, sayur, buah, daging, telur
tertentu serta jenis ( disesuaikan dengan Menu makan yang
makanan yang dianjurkan
bervariasi.

Dependen keadaan kesehatan Indeks antropometri yang digunakan Timbangan Ordinal Baik (3) : ≥ -
Status Gizi anak sekolah dasar dalam menilai status gizi adalah Berat injak dan 2 SD s/d + 2
yang diketahui dari Badan menurut Umur (BB/U) dan Berat Microtoice, SD
data berat badan Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) checklist Kurang (2) :
yang diukur dengan berdasar Z score standar baku WHO ≤ - 3 SD s/d <
timbangan injak NCHS karena dapat menggambarkan - 2 SD.
dan tinggi badan status gizi saat ini dengan lebih sensitif. Buruk (1) : <
dengan mikrotoice. - 3 SD.

38
39

3.5. Alat Penelitian / Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang dipakai adalah :

1. Lembar kuesioner untuk menegetahui pola makan anak Sekolah Dasar

2. Timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg untuk mengukur berat badan

anak. Sekolah Dasar

3. Mikrotoice dengan ketelitian 0.1 cm untuk mengukur tinggi badan anak

Sekolah Dasar

4. Lembar observasi untuk menilai pola makan anak Sekolah Dasar

3.6. Cara Pengumpulan Data

Langkah pelaksanaan penelitian

Untuk kelancaran pelaksanaan penelitian maka disusun langkah-langkah

pelaksanaan penelitian sebagai pedoman dilapangan, yaitu :

1. Tahap persiapan

a. Melakukan koordinasi dan mengurus surat ijin penelitian di

Universitas Citra Bangsan Kupang untuk melakukan penelitian di

Sekolah Dasar

b. Melakukan kunjungan awal ke lokasi penelitian untuk melaporkan

rencana penelitian dan menjelaskan tujuan serta teknis

pelaksanaannya sekaligus mengumpulkan data sekunder sebagai

informasi awal penelitian pada instansi yang bersangkutan.

c. Menyiapkan alat dan bahan penelitian yang meliputi timbangan,

mikrotois dan form untuk pengumpulan data dan alat tulis serta

peneraan alat.

39
40

2. Tahap pelaksanaan

a. Melaksanakan pengukuran tinggi badan murid untuk penentuan

status gizi dengan menggunakan mikrotoise dengan ketelitian 0,1 cm

yang dilaksanakan oleh peneliti sendiri.

b. Melaksanakan pengukuran berat badan murid untuk penentuan status

gizi dengan menggunakan timbangan injak dengan tingkat ketelitian

0,1 kg yang dilaksanakan oleh peneliti sendiri.

c. Setelah data BB/U dan TB/U terkumpul, data di sajikan dalam Z-

Skor (Standar Deviasi Unit), dikatakan Gizi Baik (3) : ≥ - 2 SD s/d +

2 SD, Kurang (2) : ≤ - 3 SD s/d < - 2 SD, Buruk (1) : < - 3 SD.

d. Melaksanakan pengumpulan data pola makan dengan membagikan

lembar Kuesioner Pola Makan untuk di isi oleh anak Sekolah Dasar

kelas III yang menjadi sampel dalam penelitian. Kuisioner yang

telah diisi dikumpulkan kepada peneliti saat itu juga, untuk

selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data, peneliti juga

melakukan observasi untuk mengetahui pola makan anak.

3.7. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah kegiatan lanjutan setelah pengumpulan data

dilaksanakan. Setelah dilakukan pengukuran BB/U dan BB/TB dengan

40
41

Timbangan Injak dan Mikrotoice dengan ketelitian 0,1 kg, selanjutnya

dilakukan pengolahan data melalui tahap editing (memeriksa), koding

(proses pemberian identitas), dan tabulasi.

1. Editing yaitu peneliti memeriksa data yang telah terisi oleh responden

apakah sudah terisi semua atau belum. Untuk kuisioner yang belum

terisi semua atau tidak lengkap maka peneliti mengambil responden

baru.

2. Koding yaitu memberikan nomor urut responden, memberikan kode

pada jawaban responden dan kode pengkategorian pada masing –

masing jawaban. Hal ini dilakukan untuk mempermudah analisa data.

Kode yang diberikan terhadap jawaban-jawaban responden atas

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner penelitian ini

digolongkan berdasarkan pola makan. Pola makan tersebut dibedakan

menjadi 3, yaitu baik, cukup, kurang. Masing-masing kategori diberi

kode seperti berikut ini : baik, kode 3; cukup, kode 2; kurang, kode 1.

Pola makan tersebut diperoleh melalui jawaban responden tentang

jumlah(frekuensi), waktu dan jenis makan responden/hari (jawaban

pertanyaan, masing – masing jawaban diberi kode sesuai dengan

kategori).

3. Tabulasi yaitu menghitung responden dan dijumlah berapa anak yang

pola makannya baik, cukup dan Kurang serta Status gizi baik, kurang

dan buruk dan di masukkan dalam tabel.

3.8. Teknik Analisis

41
42

3.8.1. Analisis univariat

Dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Analisis ini

menghasilkan distribusi dan persentasi dari tiap variabel yang diteliti.

3.8.2. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel (independen dan

dependen) yang diduga memiliki korelasi, dengan menggunakan uji

statistik melalui uji korelasi Spearman Rho dengan tingkat

signifikansi α (0,05). Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya

hubungan antara variabel independen dan dependen.

Rumus Spearman Rank :

6 ∑ b i2
ρ= 1− n( n2−1)

3.9. Etika Penelitian

Dengan cara mengajukan permohonan izin kepada institusi tempat

penelitian maka peneliti tetap memperhatikan masalah etik yang meliputi:

1. Informed consent

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang memenuhi

kriteria inklusi untuk diteliti. Kepada responden dijelaskan tentang

maksud, tujuan dan dampak penelitian. Bila Responden menolak maka

peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-

hak responden.

2. Anonymity

42
43

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan

nama responden dalam penyajian hasil penelitian, tetapi lembar tersebut

diberi nama inisial.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi dan identitas dari responden dijamin oleh

peneliti dan hanya melaporkan data tersebut sebagai hasil penelitian.

43
44

DAFTAR PUSTAKA

Dinkes NTT. 2011. Profil Kesehatan NTT ( Prevalensi masalah Gizi Buruk dan
Gizi Kurang). NTT : Dinas Kesehatan

Notoatmodjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Edisi 2 Jakarta : Salemba Medika

Paath, Erna F,. Rumdasih Yuyum, dan Heryati. 2004. Gizi dalam Kesehatan
Reproduksi. Jakarta : EGC

Prof. Dr. Sediaoetama Achmad Djaeni. 2008. Ilmu Gizi. Jilid I. Jakarta : Dian
Rakyat

Proverawati Atikah dan Wati, Erna Kusuma. 2011. Ilmu Gizi untuk Keperawatan
dan Gizi Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika

Wong and Whaley. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4.


Jakarta : EGC

Sulistyoningsih Hariyani. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta :
Graha Ilmu

44

Anda mungkin juga menyukai