Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kanker Nasofaring

2.1.1 Definisi

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa yang

berasal dari epitel nasofaring. Tumor ini dapat muncul pada berbagai area di

nasofaring namun lebih banyak ditemukan berasal dari fossa Rosenmuller, yang

merupakan daerah transisional, di mana epitel kolumnar berubah menjadi epitel

skuamosa. Kasus KNF pertama kali dilaporkan oleh Regaud dan Schmincke pada

tahun 1921 (Probst, 2006).

2.1.2 Epidemiologi

KNF berada dalam kedudukan empat besar di antara keganasan lain bersama

dengan kanker serviks, kanker payudara dan kanker kulit. Berbagai studi

epidemiologi mengenai etiologi dan kebiasaan yang mendasari timbulnya KNF

selama empat dekade terakhir menemukan beberapa hal penting. Kanker

nasofaring dinilai memiliki karakteristik epidemiologis yang unik, termasuk

dalam hal area endemis, ras, dan agregasi familial. Insiden KNF relatif tinggi pada

penduduk lokal di area Cina Selatan, Asia Tenggara, bangsa Eskimo, serta

penduduk Afrika Utara dan Timur Tengah. Insiden KNF tertinggi ditemukan di

provinsi Guangdong Cina, dengan insiden pada laki-laki sebanyak 20 hingga 50

per 100.000 penduduk. Berdasarkan data dari International Agency for Research

on Cancer (IARC), terdapat sebanyak kurang lebih 80.000 kasus KNF baru yang

7
8

terdiagnosa pada 2002, di mana 50,000 kasus di antaranya kemudian meninggal

dan 40% di antaranya adalah ras Cina. KNF ditemukan lebih sering pada pria

dibandingkan wanita, dengan rasio 2-3:1. Penyakit ini ditemukan terutama pada

usia produktif, yakni 30 hingga 60 tahun, dengan usia terbanyak pada 40 hingga

50 tahun (Ma, 2010).

Di Indonesia angka kejadian KNF hampir merata di setiap daerah.

Prevalensi KNF di Indonesia mencapai 4,7 per 100.000 penduduk pertahun

dengan prevalensi tertinggi pada dekade 4-5 dengan rasio antara laki-laki dan

perempuan yaitu 2-3:1 (Murtiono, 2013). Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari

100 kasus baru dalam setahun dan di RS Hasan Sadikin Bandung ditemukan

sekitar 60 kasus baru per tahunnya (Wahyono, 2010).

2.1.3 Anatomi dan histologi nasofaring

Nasofaring merupakan rongga berbentuk trapezoid. Dinding anterior

nasofaring adalah daerah sempit yang merupakan batas koana posterior. Batas

inferior nasofaring adalah palatum molle. Bagian superior dan dinding posterior

dibentuk oleh permukaan yang melandai, dibatasi oleh basis sphenoid, basis

oksiput dan vertebra servikal I dan II. Dinding lateral nasofaring merupakan fasia

faringobasiler dan muskulus konstriktor faring superior. Pada kedua dinding

lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan tulang rawan

di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Tuba Eustachius membelah

dinding lateral, masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di fasia

faringobasiler di daerah posterosuperior, tepat di atas batas superior muskulus


9

konstriktor faring superior yang disebut fossa Rosenmuller. Fossa Rosenmuller

merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring yang merupakan tempat asal

munculnya sebagian besar KNF. Fossa Rosenmuller mempunyai hubungan

anatomi dengan struktur-struktur penting di sekitarnya, sehingga berperan dalam

kejadian dan prognosis KNF. Letak fossa Rosenmuller dan sifat KNF yang invasif

menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya sehingga

timbul berbagai macam gambaran klinis (Wei, 2006).

Pembuluh darah arteri utama yang menyuplai daerah nasofaring adalah

arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens dan

cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari

arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada

dibawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di

daerahsuperior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Zeng,

2010; Wei, 2006; Chan, 2009). Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus

faringeal yang terdapat di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus

terdiri dari serabut sensoris nasofaring memiliki pleksus submukosa limfatik yang

luas. Terdapat kelompok nodul pada daerah retrofaringeal, yang ada diantara

dinding posteriornasofaring, fasia faringobasiler, dan fasia prevertebra. Daerah

yang paling banyak terdapat pembuluh limfatik adalah daerah tuba Eustachius.

Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar

retrofaringeal atau kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai

kelenjar spinal danjugularis interna. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya

sangat dekat dengan nervus kranialis yakni nervus IX, X, XI, dan XII. Metastasis
10

ke kelenjar limfatik ini terjadi pada hingga 75% pasien KNF. Nasofaring dilapisi

epitel kolumnar berlapis semu saat lahir dan setelah 10 tahun pertama kehidupan

epitel ini berubah secara bertahap menjadi predominan epitel skuamosa berlapis

yang tidak berkeratinisasi kecuali pada beberapa tempat. Permukaan nasofaring

tidak rata, berbentuk seperti lipatan atau kripta karena dibawah epitel terdapat

banyak jaringan limfoid. Dinding lateral dan depan nasofaring dilapisi epitel

transisional yang merupakan peralihan antara epitel skuamosa berlapis dan epitel

kolumnar bersilia yang berlapis. Dari sudut embriologi, tempat peralihan dari dua

macam epitel cenderung merupakan area munculnya suatu karsinoma (Wei, 2006;

Chan, 2009).

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring (Wei, 2006).


11

2.1.4 Diagnosis karsinoma nasofaring

Diagnosis pada KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis yang terarah,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala pada pasien KNF

dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yakni gejala di nasofaring, gejala

pada telinga, gejala pada mata, gejala pada saraf serta pada lokasi metastasis atau

gejala di daerah leher. Gejala di nasofaring bisa berupa epistaksis ringan atau

sumbatan hidung. Gejala pada telinga dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di

telinga. Gejala pada mata berupa pandangan kabur atau diplopia. Terdapat dua

jenis sindrom nervus kranialis akibat penjalaran tumor, yakni retroparotid

syndrome disebut juga sindrom Jackson, melibatkan nervus kranialis IX, X, XI,

XII bila penjalaran melalui foramen jugulare, dan petrosphenoid syndrome

dengan gangguan pada nervus kranialis IV, V, VI dan terkadang nervus kranialis

II melalui foramen laserum. Metastasis ke kelenjar getah bening leher

menimbulkan keluhan benjolan pada area tersebut. Setiap gejala tersebut

dipandang memiliki nilai dalam mendiagnosis KNF, sebagaimana dirumuskan

dalam Digby Score. Bila total skornya lebih atau sama dengan 50, dapat dicurigai

adanya KNF. Standar baku emas dalam mendiagnosis KNF adalah pemeriksaan

histopatologi berdasarkan biopsi nasofaring, pemeriksaan ini juga penting dalam

menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan

prognosis KNF (Wei, 2006; Chan, 2009; Luo, 2009).

Untuk pemeriksaan penunjang, CT Scan dan MRI dengan penggunaan

kontras merupakan pilihan. Pemeriksaan MRI akan memperlihatkan adanya

perluasan intrakranial dengan lebih detail, sedangkan bila terdapat erosi tulang,
12

pemeriksaan CT scan dapat memberikan informasi yang lebih baik. Gambaran CT

scan pada KNF dapat memberikan informasi mengenai lokasi asal tumor tersebut.

Pemeriksaan MRI pada KNF akan memberikan gambaran massa homogen dengan

peningkatan intensitas yang moderate, baik pada tumor induk maupun pada

metastasis kelenjar getah bening leher (Wei, 2006; Chan, 2009).

2.1.5 Klasifikasi karsinoma nasofaring

World Health Organization (WHO) membagi KNF menjadi 3 tipe

berdasarkan klasifikasi histologi, yakni: WHO tipe I (keratinizing squamous cell

carcinoma) yang muncul pada sekitar 25% dari semua kasus KNF di Amerika

Utara, tapi hanya 1% di daerah endemik, dengan prognosis paling buruk; WHO

tipe II (non-keratinizing squamous cell carcinoma), dengan jumlah kasus paling

sedikit; dan WHO tipe III (undifferentiated carcinoma) yang terbentuk dari sel-sel

dengan berbagai variasi morfologi dan merupakan tipe histologis KNF terbanyak.

Tipe histologis KNF WHO tipe II dan WHO tipe III memiliki kecenderungan

untuk metastasis lebih tinggi daripada WHO tipe I. Di sisi lain, WHO tipe II dan

WHO tipe III memiliki derajat radiosensitivitas lebih tinggi sehingga mempunyai

prognosis yang lebih baik (Guo 2006; Gu 2012). Stadium pada KNF telah

dirumuskan dalam berbagai sistem klasifikasi. Pada tabel 2 dipaparkan sistem

klasifikasi TNM staging menurut AJCC (American Joint Committee on Cancer).

Stadium I dan II digolongkan sebagai stadium dini, sedangkan stadium III dan IV

digolongkan sebagai stadium lanjut (Chan, 2012).


13

Tabel 2.1 Stadium KNF berdasarkan AJCC edisi 7 tahun 2010 (Chan, 2012)

Tumor Primer (T)


TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan atau
rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
T2 Tumor dengan perluasan ke parafaringeal
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf kranial,
hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/masticator
space
KGB regional (N)
NX KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa supraklavikula
N2 Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi terbesar di atas
fossa supraklavikula
N3 Metastasis di KGB, ukuran > 6 cm
N3a Ukuran > 6 cm
N3b Perluasan ke fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M)
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Tabel 2.2 Pengelompokkan Stadium berdasarkan AJCC (Chan, 2012)

Tis T1 T2 T3 T4

N0 0 I II III IVA

N1 II II III IVA

M0 N2 III III III IVA

N3 IVB IVB IVB IVB

M1 IVC IVC IVC IVC

2.1.6 Penatalaksanaan karsinoma nasofaring

Pilihan dari penatalaksanaan KNF adalah radioterapi dan kemoterapi.


14

Untuk KNF dengan stadium I dilakukan radioterapi saja, dan KNF stadium II,

III, IV dilakukan kombinasi radioterapi dan kemoterapi (Lee, 2003). Radioterapi

adalah metode pengobatan penyakit keganasan dengan menggunakan sinar peng-

ion yang bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan

memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu

berat. KNF bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi

terpenting. Jumlah radiasi untuk keberhasilan melakukan radioterapi adalah 5000

sampai 7000 cGy (Bailey, 2006).

Radiasi yang digunakan untuk pengobatan kanker terdiri dari gelombang

elektromagnetik/foton (sinar-X dan sinar λ) dan partikel (alfa, proton dan

neutron). Radiasi partikel pada umumnya menyebabkan ionisasi jaringan

biologi secara langsung. Hal ini disebabkan energi kinetik partikel dapat

langsung merusak struktur atom jaringan biologi yang dilewatinya, dan

mengakibatkan kerusakan kimia dan biologi molekular. Lain halnya dengan

radiasi partikel, radiasi elektromagnetik mengionisasi secara tidak langsung

dengan cara membentuk elektron sekunder terlebih dahulu untuk mengakibatkan

kerusakan jaringan (Hasan, 2013).

Radiasi pada jaringan biologik dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase fisika,

kimia dan biologi. Radiasi pengion foton yang mengenai jaringan biologi,

pada awalnya menyebabkan fase fisika dengan metode ionisasi dan eksitasi.

Selanjutnya, terjadi fase kimia dengan terbentuknya radikal bebas. Radikal

bebas yang terbentuk mengakibatkan kerusakan biologi dengan cara merusak

DNA. Kerusakan DNA yang tidak bisa diperbaiki akan menyebabkan kematian

sel (Hasan, 2013).


15

Ionisasi dan eksitasi akan menyebabkan kerusakan DNA baik langsung

maupun tidak langsung. Kerusakan DNA secara langsung jika radiasi pengion

langsung mengenai DNA. Sepertiga kerusakan biologi akibat sinar x dan λ

disebabkan oleh efek langsung, dan efek langsung ini lebih dominan pada

radiasi linear energy transfer (LET) tinggi. Kerusakan DNA secara tidak

langsung melalui pembentukan radikal bebas (atom dengan elektron tidak

berpasangan) dan mempunyai efek sangat merusak terhadap DNA (Hasan,

2013).

Kerusakan DNA bisa berupa terputusnya rantai tunggal DNA atau single

strand breaks (SSB), terputusnya rantai ganda DNA atau double strand breaks

(DSB), crosslink DNA, serta kehilangan basa DNA. Beberapa kerusakan

DNA masih dapat diperbaiki, tetapi dapat juga mengalami kegagalan,

sehingga terjadilah kematian sel. Kerusakan DNA melalui mekanisme double

strand breaks adalah yang paling penting, sebab terjadi pemisahan rantai DNA

sehingga sulit diperbaiki. Sel yang gagal diperbaiki tidak langsung mengalami

kematian, tetapi mengalami beberapa pembelahan sel atau mitosis terlebih

dahulu (Hasan, 2013).

Kerusakan DNA akibat radiasi terjadi terutama pada area fokus

pengelompokan ionisasi yang berjarak beberapa nanometer dari DNA.

Diperkirakan terjadi ionisasi pada sel per Gy dosis radiasi terserap; yang

menyebabkan seribu sampai tiga ribu crosslink DNA atau crosslink protein

DNA, seribu kerusakan struktur DNA, 500-1000 SSB dan 25 sampai 50 DSB.

Mayoritas ionisasi tidak menyebabkan kerusakan DNA, dan hampir semua lesi

pada DNA dapat diperbaiki melalui jalur perbaikan DNA. Kegagalan perbaikan
16

atau kesalahan perbaikan DNA pada DSB dapat mematikan (letal) atau

menyebabkan mutasi (Hasan, 2013).

Respon kerusakan DNA akibat radiasi sangat kompleks, tidak hanya

melalui satu jalur tetapi melibatkan banyak jalur yang saling berhubungan

untuk mengontrol efek radiasi pada sel. Sistem kontrol ini dibagi dalam dua

kelompok, yaitu sistem sensor dan sistem efektor. Sistem sensor adalah

sekelompok protein yang bertugas mensurvei genom saat terjadi kerusakan dan

mengirimkan sinyal kerusakan tersebut ke protein-protein lain untuk aktivasi

jalur efektor. Jalur efektor akan menentukan hasil akhir dari kerusakan DNA,

yang dapat berupa kematian sel, perbaikan DNA, atau kerusakan checkpoint

yaitu hambatan sementara atau permanen dari progresivitas sel dalam siklus sel

(Hasan, 2013).

Ketika DNA sel dirusak oleh radiasi, siklus sel akan dihentikan oleh

protein p-53. Kemudian, dimulailah proses perbaikan DNA, lalu sel kembali ke

dalam siklus sel, sehingga proliferasi bisa berlanjut. Jika DNA tidak dapat

diperbaiki, sel akan mengalami kematian (apoptosis). Pada dosis radiasi yang

tinggi, protein yang digunakan dalam mekanisme perbaikan DNA juga ikut

dirusak, sehingga perbaikan sel tidak mungkin dilakukan. Sel akan

kehilangan kemampuannya untuk membelah diri, lalu mengalami kematian

(Hasan, 2013).

Radiosensitivitas sel berbeda-beda, bergantung pada fasenya dalam siklus

sel. Pada umumnya, sel yang berada pada fase S adalah yang paling

radioresisten, G2/M yang paling radiosensitif, dan di tengahnya adalah fase

G1. Kepadatan kromatin dan kurangnya kemampuan untuk memperbaiki


17

(jumlah enzim untuk repair DNA yang kurang) dapat menjelaskan tingginya

radiosensitivitas pada G2/M (Hasan, 2013).

Terdapat tiga cara utama pemberian radioterapi yaitu radiasi eksterna,

radiasi interna/brakhiterapi, intravena. Setelah diberikan radiasi, maka akan

dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari

pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan

kriteria WHO yang terdiri dari: complete response yaitu menghilangnya seluruh

kelenjar getah bening yang besar, partial response yaitu pengecilan kelenjar

getah bening sampai 50% atau lebih, no change yaitu ukuran kelenjar getah

bening yang menetap, progressive disease yaitu ukuran kelenjar getah bening

membesar 25% atau lebih (Bailey, 2006).

Pilihan terapi lain pada KNF adalah kemoterapi merupakan golongan obat

-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh

sel kanker. Obat-obat antikanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal

(active single agent), tetapi pada umumnya berupa kombinasi karena dapat

meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Beberapa regimen

kemoterapi yang digunakan antara lain cisplatin, 5-fluorouracil, methotrexate,

paclitaxel dan docetaxel. (Bailey, 2006)

Cisplatin merupakan obat utama dan paling sering dipakai pada terapi

kanker kepala dan leher. Cisplatin biasanya diberikan dalam waktu 2-6 jam

dengan dosis 60-120mg/m2 yang diberikan setiap 3-4 minggu. Biasanya terjadi

efek toksik pada renal, termasuk terjadinya azotemia moderat, kebocoran

elektrolit, khususnya magnesium dan potassium. Efek samping lainnya adalah

mual, muntah, neurutoksik perifer, ototoksik, dan mielosupresi yang terjadi


18

setelah diberikan beberapa kali kemoterapi. Telah dikembangkan analog obat ini,

mengingat efek sampingnya yaitu nefrotoksik dan neurotoksik dengan tujuan

mempertahankan efek antitumornya dan mengurangi efek sampingnya. Analog

obat ini adalah carboplatin yang mempunyai efek neurotoksik dan nefrotoksik

yang lebih kecil, namun aktifitas antitumornya sedikit lebih kecil dibandingkan

cisplatin. Carboplatin saat ini banyak digunakan, khusunya untuk tujuan paliatif,

dimana efek sampingnya yang minimal dan waktu perawatan lebih singkat

(Bailey, 2006).

Mekanisme kerja 5-fluorouracil adalah menghambat enzim thymidylate

sinthase dan konversi uridin menjadi timidin. Sel akan kekurangan timidin dan

tidak dapat mensintesa DNA. Banyak obat-obatan lain yang dapat berinteraksi

dengan 5-fluorouracil dan meninbulkan efek yang lebih baik. Efek sampingnya

antara lain mielosupresi, mukositis, diare, dermatitis, dan kardia toksik.

Penggunaan intravena secara tunggal mempunyai efek yang terbatas (Bailey,

2006).

Methotrexate merupakan antimetabolit yang mempengaruhi metabolisme

folat intraseluler dengan cara berikatan dengan enzim dihidrofolat reduktase

yang akan menghambat konversi asam folat menjadi tetrahidrolat. Hasilnya

adalah pengurangan jumlah folat dalam sel dan menghambat sintesis DNA. Obat

ini aktif hanya selama siklus sel fase S. Hal ini secara selektif akan menyebabkan

perubahan jaringan menjadi lebih cepat. Untuk pemberian tunggal methotrexate

biasanya diberikan dalam dosis mingguan 40-50mg/m2. Efek sampingnya

berupa mielosupresi, mual, muntah, fibrosis hepar, mukositis dan diare. Efek

pada renal terjadi pada pemberian dosis yang lebih tinggi (Bailey, 2006).
19

Paclitaxel dan docetaxel merupakan obat yang paling efektif melawan

kanker kepala dan leher. Golongan obat ini dapat menstabilkan polimerisasi

tubulin dan menghambat pemisahan sel. Docetaxel mempunyai aktivitas yang

hampir sama dengan paclitaxel. Kedua obat ini dianggap sebagai lini pertama

pengobatan kanker kepala leher stadium lanjut. Secara lokal dimana

vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima

kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Karsinoma sel skuamosa biasanya

sangat sensitif terhadap kemoterapi ini (Bailey, 2006).

Pemberian kemoterapi dapat dibagi menjadi 3 yaitu kemoterapi adjuvan,

neoadjuvan dan konkuren. Kemoterapi adjuvan adalah pemberian kemoterapi

diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi. Tujuannya untuk mengatasi

kemungkinan metastase jauh dan meningkatkan kontrol lokal. Indikasi

pemberian terapi adjuvan yaitu kanker masih ada, dimana hasil biopsi masih

positif, kemungkinan besar kanker masih ada meskipun tidak ada bukti secara

makroskopis, pada tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya

risiko kekambuhan dan metastase jauh) (Bailey, 2006; Ma, 2010).

Kemoterapi neoadjuvan yang dimaksud adalah pemberian sitostatika lebih

awal kemudian dilanjutkan pemberian radiasi. Tujuan dari terapi ini adalah

untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah tumor mengecil akan

lebih mudah ditangani dengan radiasi. Kemoterapi jenis ini telah banyak

digunakan dalam penatalaksanaan kanker kepala dan leher, karena penggunaan

kemoterapi ini diduga pada awal perjalan penyakit adalah untuk menurunkan

beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor yang resisten.

Vaskularisasi yang intak sehingga perjalanan ke daerah tumor lebih baik (Ma,
20

2010; Seiwert, 2008). Kemoterapi konkuren adalah kemoterapi yang diberikan

bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis kemoterapi yang diberikan lebih

rendah, biasanya sebagai radiosensitizer (Ma, 2010).

Radiation Therapy Oncology Group menyatakan toksisitas akut pasca

radioterapi terjadi dalam 90 hari setelah radioterapi. Epitel permukaan

umumnya sembuh dalam waktu 20-40 hari setelah penyelesaian terapi.

Dengan ditemukannya radiasi yang lebih agresif dan kemoradiasi maka efek

akut dapat memanjang hingga di atas 90 hari. Sel akan mengalami pemulihan

setelah paparan radioterapi hilang tetapi pada masa ini keluhan akan masih

dirasakan oleh pasien (Pierre, 2007).

Tindakan operasi pada pasien KNF berupa diseksi leher radikal dan

nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan bila masih terdapat sisa kelenjar pasca

radiasi atau adanya kekambuhan pada kelenjar sedangkan tumor primer sudah

dinyatakan bersih. Nasofaringektomi merupakan suatu prosedur operasi paliatif

yang dilakukan pada kasus kekambuhan atau adanya residu pada nasofaring

yang tidak berhasil diterapi dengan modalitas terapi lain (Ma, 2010).

2.1.7 Prognosis karsinoma nasofaring

Prognosis pada pasien kanker sangat bergantung pada agresivitas tumor,

karakteristik pasien dan intervensi terapi. Prognosis pada kasus KNF berhubungan

dengan usia lebih dari 40 tahun, invasi lokal tumor, keterlibatan kelenjar getah

bening regional, stadium yang lebih lanjut, adanya kelumpuhan saraf otak dan

adanya metastasis jauh, yang tercermin pada stadium KNF berdasarkan TNM

staging. Angka harapan hidup bervariasi pada setiap stadium. Pada stadium I dan
21

II angka harapan hidup 5 tahun adalah 70-80%, pada stadium III sebesar 40-50%,

dan pada stadium IV sebesar 20-40%. KNF tipe undifferentiated memiliki

prognosis yang lebih baik karena tingkat radiosensitivitasnya, sedangkan tipe I

KNF memiliki prognosis yang lebih buruk disebabkan rendahnya

radiosensitivitasnya (Ma, 2010).

Metaanalisis pada 6 uji coba acak dengan 1.528 pasien KNF stadium lanjut

menunjukkan bahwa pemberian radiokemoterapi meningkatkan angka bebas

penyakit sebesar 37% dalam 2 tahun, 40% dalam 3 tahun dan 34% dalam 5 tahun.

Pemberian radiokemoterapi juga meningkatkan angka kelangsungan hidup sebesar

20% dalam 2 tahun (Eng C, 2003).

2.2 Kualitas hidup

Kualitas hidup adalah sebuah konsep luas yang mencerminkan

pengalaman seseorang di seluruh aspek sosial, psikologis, fisik dan ekonomi

dari kehidupan sehari-hari. Kualitas hidup menurut WHO adalah persepsi

seseorang terhadap keadaan pribadinya yang meliputi kesehatan diri, keadaan

psikologis, kebebasan beraktifitas, hubungan sosial dan keadaan lingkungannya

(Fallowfield, 2002).

Kualitas hidup juga dapat diartikan sebagai persepsi pasien mengenai efek

penyakit dan pengaruh hal tersebut terhadap fungsi sehari-harinya (Fang dkk.,

2010). Kualitas hidup merupakan pemikiran pasien mengenai kesehatan,

kebahagiaan dan kesejahteraan (well-being) berdasarkan kepuasan atau

ketidakpuasannya terhadap suatu bagian penting dalam kehidupannya


22

(Weymuller, 2003). Kualitas hidup bersifat subjektif, dilaporkan sendiri oleh

pasien, multidimensi dan bisa berubah seiring waktu (Morton, 2008).

Pengukuran kualitas hidup telah berkembang selama dua puluh tahun

terakhir dan kini telah menjadi metodologi tertentu dengan teori yang

terstruktur formal yaitu dengan menggunakan skor kualitas hidup. Skor kualitas

hidup telah semakin diakui sebagai ukuran hasil yang penting baik dalam

penelitian, pelayanan kesehatan dan evaluasi pengobatan. Penilaian kualitas

hidup secara luas digunakan dalam uji klinis dan dalam pengamatan studi tentang

kesehatan dan penyakit. Hal ini sering digunakan dalam mengevaluasi

intervensi dan efek samping pengobatan serta dampak penyakit dan proses

biologis lainnya dari waktu ke waktu (Murtiono, 2013).

Alat ukur kualitas hidup seharusnya bersifat multidimensional yang

menyinggung aspek fisik, sosial dan emosional, simpel, mudah dimengerti dan

dijawab oleh semua pasien serta harus divalidasi (Michael M, 1998).

Kepentingan terbesar dari penatalaksanaan terhadap tumor ganas adalah

meningkatkan kualitas hidup pasien yang diharapkan berlangsung selama

mungkin. Dengan semaksimal mungkin menghindari dan mencegah efek

samping dan komplikasi dari tindakan pengobatan akan menjadi sebagian

usaha dalam mempertahankan kualitas hidup yang optimal dari pasien.

Keberhasilan dari suatu terapi selain ditentukan oleh keadaan klinis pasien

yang membaik, juga ditentukan dari bagaimana modalitas terapi tersebut dapat

memperbaiki atau setidaknya mempertahankan kualitas hidup pasien

(Fallowfield, 2002).
23

Kualitas hidup juga dapat digunakan sebagai suatu indikator

terhadap prognosis suatu penyakit. Seorang pasien yang memulai suatu

modalitas pengobatan dengan optimisme yang baik tentu akan memiliki

harapan yang lebih baik dibandingkan dengan seorang pasien yang memulai

pengobatan dengan kualitas hidup dan optimisme yang buruk (De Graeff A,

2001)

2.3 European Organization For Research And Treatment Of Cancer Head

and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQH&N 35)

Salah satu alat ukur yang banyak digunakan untuk menilai kualitas hidup

pasien kanker kepala leher secara spesifik adalah European Organization For

Research And Treatment Of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life

Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35). Alat ukur tersebut merupakan kuesioner

yang secara spesifik diperuntukkan bagi pasien kanker kepala leher yang terdiri

dari 7 skala gejala meliputi nyeri, menelan, masalah indera, masalah bicara,

masalah makan, interaksi sosial dan seksualitas, serta 6 kuesioner tunggal yang

menilai masalah gigi, masalah membuka mulut lebar, mulut kering, ludah kental,

batuk dan perasaan sakit (Rahmaeni, 2015).

Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa EORTC

QLQ- H&N35 mempunyai kemampuan untuk menilai perbedaan status tampilan,

modalitas terapi, lokasi penyakit dan stadium kanker. EORTC QLQ-H&N35

mempunyai validasi yang baik dan lebih sensitif dalam mendeteksi perbedaan

gejala-gejala penyakit pada stadium dini sampai lanjut dibanding dengan


24

kuisioner kualitas hidup yang lain (Aaronson N.K, 1993; Bjordal K. dkk., 1994;

Chaukhar D.A, dkk., 2005).

Kuesioner EORTC QLQ-H&N35 telah diadaptasi ke bahasa Indonesia serta

telah diuji validitas dan realibilitasnya dalam mengukur kualitas hidup pasien

kanker kepala leher (Rahmaeni, 2015).

Penelitian Kurniawati (2012) menunjukkan adanya kesesuaian antara hasil

pengukuran skor Karnofsky Performance Scale dengan EORTC QLQ-H&N35

dalam menilai kualitas hidup pasien KNF. Dimana semakin tinggi skor Karnofsky

dan semakin rendah skor EORTC QLQ-H&N35 maka kualitas hidup pasien KNF

semakin baik.

Anda mungkin juga menyukai