Anda di halaman 1dari 17

STUDI PEMASARAN TERNAK SAPI PADA KAWASAN PERBATASAN

INDONESIA DAN REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR LESTE (RDTL)


DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
(MARKETING STUDY OF BEEF CATTLE IN INDONESIA AND TIMOR LESTE
DEMOCRATIC REPUBLIC BORDER AREA IN REGENCY OF TIMOR TENGAH UTARA)
Oleh
Romandus Abi, Matheos F. Lalus, Johanes G. Sogen
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Jln. Adisucipto Penfui, Kupang 85001
Email: romandusabi@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian secara survei tentang pemasaran ternak sapi telah dilaksanakan di Kabupaten
Timor Tengah Utara selama enam bulan. Ternak sapi akan dapat tiba ditangan konsumen jika
melalui lembaga perantara. Lembaga perantara (pemasaran) hadir untuk membantu
pemindahan ternak sapi maka akan menimbulkan margin pada setiap lembaga pemasaran;
sesuai banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat akan menyebabkan margin pemasaran
semakin besar, yang pada akhirnya mempengaruhi efisiensi pemasaran ternak sapi di kawasan
perbatasan Indonesia dan RDTL.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola saluran
pemasaran ternak sapi, menganalisis margin pemasaran ternak sapi dan mengkaji saluran
pemasaran manakah yang paling efisien di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode survey. Pengambilan contoh dilakukan melalui
beberapa bertahap (multi stages sampling) yaitu: tahap pertama adalah penentuan kecamatan
dan desa contoh dilakukan secara purposif sebanyak tiga kecamatan contoh, selanjutnya dari
ketiga kecamatan tersebut dipilih lima desa contoh. Tahap ke dua adalah penentuan responden
yang terdiri dari responden peternak dan pedagang. Pemilihan responden peternak dilakukan
secara acak non-proporsional, sedangkan penentuan responden pedagang menggunakan teknik
Snowbal sampling. Analisis data yang digunakan analisis margin pemasaran dan efisiensi
pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga pola saluran pemasaran yakni
1) peternak-konsumen, 2) peternak-pedagang pengumpul-pedagang besar-konsumen dan 3)
peternak-pedagangantar pulau-konsumen. Pada saluran I biaya pemasaran sebesar Rp0 dan
Farmer Share 100%. Pada saluran II biaya pemasaran blantik desa sebesar Rp105.000,
pedagang besar sebesar Rp175.000/ST, keuntungan blantik desa sebesar Rp895.000, pedagang
besar sebesar Rp1.825.000/ST dan Farmer Share 76%. Efisiensi Pemasaran saluran II dan III
disebut efisien dengan nilai EP masing-masing sebesar = 2,24% dan 23,36%.

Kata kunci: peternak, perantara, margin, efisiensi.


ABSTRACT

A survey reseach about marketing of cattle was doing along 6th month at North
Central Timor Regency. cattle will be able to arrive through an intermediary institution.
Intermediary intitutions were present to assist in the transfer of cattle then it will cause margin
for every marketing agency;according to the number of marketing agencies involved will
cause greater marketing margins, wich ultimately affects the efficiency of marketing cattle in
the border areas of Indonesia and RDTL.The aim of the reseach to determine the pattern of
marketing channels for cattle, to analyze the marketing margins of cattle and examin which
marketingg channels are the most eficienct in the border regions of indonesia and rDTL. The
research methods used is survey methods. Sampling has been done through several stages
(multy stages sampling)namely the first stage is the determination of the sample sub-districts
and villages is purposively as many as three sample sub-districts, then five sample villages are
selected. The second stage is determination of respondents consisting of farmer respondents
and trader respondents. The selection of farmer respondents was conducted in a non-
proportional random manner, while the determination of trader repondents used the snobal
sampling technique. Data analysis used is marketing margin and marketing efficiency. The
result of the study indicate that there are three patterns of marketing channels, namely 1)
breeder- consumer 2) breeder-collector-wholesalers-consumer 3) breeder-inter-island traders-
consumer. On the first channel the marketing cost is Rp.0 and farmer share is 100%. On the
second channels the marketing costs for village leader is Rp. 895.000, wholesalers is
Rp175.000/AU, profit for village leader is Rp895.000, wholesalers is Rp1.825.000/AU and
farmer share is 76%. The marketing efficiency of the second and third channels is called
efficient with ME values of 2.24% and 23.36%.

Keywords : breeder, intermediary, margin, efficiency

PENDAHULUAN

Ternak sapi sebagai salah satu ternak penghasil daging dan berperanan penting sebagai
sumber pendapatan, tenaga kerja, sebagai komoditi adat atau status sosial seseorang dalam
masyarakat. Selain sebagai penghasil pupuk organik, produk utama bahan pangan sumber
protein hewani bagi konsumen. Oleh karena itu, ternak sapi sangat berperan dalam memberi
sumbangan atau manfaat bagi peternak maupun masyarakat lainnya (Suryana, 2009).
Populasi ternak sapi di Kabupaten TTU pada tahun 2014 mengalami peningkatan
sebesar 8.508 ekor dan tahun 2015 meningkat sebesar 2.700 ekor (Dinas Peternakan
Kabupaten Timor Tengah Utara 2016). Peningkatan populasi ini disebabakan karena adanya
usaha peternakan yang dilakukan oleh masyarakat. Usaha yang dilakukan masyarakat ini
dipengaruhi oleh permintaan pasar sapi yang semakin hari semakin meningkat. Peningkatan
kebutuhan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kebutuhan pangan masyarakat dan juga
ekspor ke daerah lain.
Jumlah ternak sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) di Kabupaten TTU
pada tahun 2015 adalah sebanyak 1.653 ekor (1,40%). Sedangkan ternak sapi yang dikirim
atau diperdagangkan ke luar daerah Kabupaten TTU pada tahun 2015 adalah sebanyak 10.223
ekor atau sebesar 8,67% (Dinas Peternakan Kabupaten Timor Tengah Utara 2016).. Hal ini
mengindikasikan bahwa ternak sapi masih menjadi komoditas unggulan yang banyak
diperdagangkan. Hal tersebut dapat berdampk positif bagi pengembangan usaha ternak sapi.
Pengembangan usaha ternak sapi di daerah perbatasan dengan RDTL sebagian besar
merupakan peternakan rakyat yang sistem pengembangannya masih bersifat ekstensif
tradisional. Perlu diketahui bahwa setiap usaha yang dijalankan tentu akan berujung pada
pemasaran. Sebab tanpa pemasaran pelaku bisnis akan rugi karena barang hasil produksinya
tidak dapat dijual. Mosher (1968) dalam Widiarti (2010) pemasaran merupakan syarat mutlak
dalam pembangunan pertanian dan peternakan. Tanpa adanya pemasaran hasil-hasil
peternakan, maka usaha peternakan akan bersifat statis dan usaha tersebut hanya akan
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peternak saja.
Sebagian besar peternak di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL menjual ternak
sapinya dalam dua cara yaitu menjual dengan melihat tampilan tubuh ternak bagian luar dan
menjual dengan berdasarkan bobot badan hidup ternak sapi (cara ditimbang). Pemasaran ini
dilakukan oleh peternak melalui pedagang perantara seperti blantik desa dan pedagang
pengumpul kecamatan karena di daerah kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL pemasaran
ternak sapi lebih banyak dikuasai oleh pedagang perantara atau blantik. Biasanya pedagang
pengumpul atau blantik ini akan mendatangi para peternak, selanjutnya para pedagang
pengumpul tersebut akan menjual ternak sapi yang telah dibeli kepada pedagang lokal lainnya,
RPH maupun luar daerah.
Keberadaan blantik di sisi lain sangat membantu petani dalam memasarkan ternaknya
dan memudahkan petani mendapatkan uang tunai bila peternak membutuhkan. Pemasaran
ternak sapi menggunakan jalur pemasaran, sehingga produk peternakan tersebut dapat sampai
di tangan konsumen. Jalur pemasaran yang relatif panjang menyebabkan kerugian baik bagi
peternak maupun konsumen, karena konsumennya terbebani dengan beban biaya pemasaran
yang berat untuk membayar dengan harga yang tinggi. Sedangkan bagi peternak, perolehan
pendapatan menjadi lebih rendah karena harga penjualan yang diterima jauh lebih rendah.
Peran pedagang dan blantik yang masih besar dalam jual beli ternak menyebabkan harga yang
diterima peternak menjadi kecil, karena peternak tidak memiliki posisi tawar (Ningsih et al.,
2017).
Lembaga pemasaran hadir untuk membantu pemindahan ternak sapi maka akan
menimbulkan margin pada setiap lembaga pemasaran; sesuai banyaknya lembaga pemasaran
yang terlibat akan menyebabkan margin pemasaran semakin besar, yang pada akhirnya
mempengaruhi efisiensi pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi margin pemasaran sapi yaitu biaya, tingkat
persaingan antara pedagang, jalur atau rantai pemasaran, kondisi wilayah dan banyaknya
perantara (lembaga) yang terlibat dalam menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke
konsumen. Adapun yang menjadi masalah adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana pola saluran
pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL?, 2) Berapa besar margin
pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL? Dan 3) Saluran pemasaran
manakah yang paling efisien di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL?
Tujuan
1. Mengetahui pola saluran pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan Indonesia dan
RDTL.
2. Menganalisis margin pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL.
3. Mengkaji saluran pemasaran manakah yang paling efisien di kawasan perbatasan
Indonesia dan RDTL.

METODE PENELITIAN
Metode Pengambilan Contoh
Metode pengambilan contoh dilakukan melalui beberapa tahap (Multi Stage Sampling).
Tahap pertama adalah penentuan tiga kecamatan contoh dari 24 kecamatan di Kabupaten TTU
secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan, kecamatan–kecamatan tersebut
berbatasan langsung dengan RDTL. Tiga kecamatan contoh yakni Kecamatan Mutis,
Kecamatan Miomaffo Barat dan Kecamatan Bikomi Utara. Selanjutnya dari ketiga Kecamatan
tersebut dipilih lima desa contoh dengan pertimbangan yang sama, masing-masing sebagai
berikut: Desa Naekake A, Naekake B, Tasinifu, Manusasi dan Napan. Pemilihan responden
peternak dilakukan secara acak non-proporsional, di mana setiap desa contoh dipilih 18
responden sehingga secara keseluruhan terdapat 90 responden peternak representatif.
Sedangkan penetuan responden pedagang perantara dengan menggunakan teknik snow-ball
sampling (Nazir, 2014; Silalahi, 2010).

Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan responden yaitu
petani peternak sapi dan pedagang di Kecamatan Mutis, Kecamatan Miomaffo Barat dan
Kecamatan Bikomi Utara. Sedangkan jenis data sekunder yang diambil meliputi: dokumentasi
dan data diperoleh melalui buku statistik dan berbagai sumber dari instansi yang terkait
dengan penelitian ini.

Metode Pengambilan Data


Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a) Observasi
yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap lokasi
penelitian dan aktivitas masyarakat sehari-hari; b) Wawancara yaitu pengumpulan data yang
dilakukan melalui wawancara langsung dengan peternak dan pedagang. Untuk memudahkan
dalam proses wawancara digunkan kuisioner atau daftar pertanyaan yang disusun sesuai
kebutuhan penelitian; c) Dokumentasi yaitu cara pengumpulan data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen yang ada dan diperoleh dari peternak dan pedagang.

Metode Analisis Data


Data dianalisis menggunakan analisis deskripsi kualitatif, analisis margin pemasaran,
dilakukan dengan menghitung besarnya biaya, keuntungan dan margin pemasaran pada tiap
lembaga pemasaran dalam saluran pemasaran yang digunakan serta analisis efisiensi
pemasaran (Anindita dan Baladina, 2017; Sudyiono, 2014).
a. Biaya Pemasaran
BP = BP1 + BP2 + BP3 + ... + BPn
Keterangan:
BP = Biaya pemasaran ternak sapi
BP1, BP2, BPn = Biaya pemasaran tiap lembaga pemasaran ternak sapi
b. Keuntungan Pemasaran
KP = KP1 + KP2 +KP3 + ...+KPn
Keterangan:
KP= Keuntungan pemasaran ternak sapi secara total
KP1, KP2, KPn = Keuntungan pemasaran ternak sapi tiap lembaga pemasaran.

c. Margin Pemasaran
MP = Pr – Pf
Keterangan:
MP = Margin pemasaran ternak sapi
Pr = Harga ternak sapi ditingkat pedagang
Pf = Harga ternak sapi ditingkat peternak

d. Efisiensi pemasaran,
TB Keteranga:
EP= x 100%
TNP EP = Efisiensi Pemasaran
TB = Total biaya pemasaran
TNP = Total Nilai Produk
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Saluran Pemasaran Sapi di Kabupaten TTU


Hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa usaha ternak sapi di Kabupaten TTU
masih bersifat ekstensif tradisional dan belum adanya penerapan teknologi perternakan yang
modern. Usaha ternak sapi di lokasi penelitian cenderung hanya sebagai usaha sambilan di
samping usaha tani tanaman pangan dan usaha sambilan lain yakni memelihara ternak skala kecil
seperti ayam kampung, babi dan kambing. Sistem usaha yang masih ekstensif tradisional yang
demikian mengakibatkan produksi ternak belum optimal. Usaha ternak sapi yang mana
merupakan usaha sambilan dan merupakan usaha tambahan untuk kebutuhan ekonomi keluarga.
Kondisi ini menyebabkan rendahnya dorongan bagi peternak dalam meningkatkan produksi
berskala besar ke arah yang berorientasi pasar. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Sunarto et al. (2016) bahwa, pemeliharaan sapi di Indonesia dilakukan secara ekstensif. Hadi et
al. (2002) menyatakan bahwa salah satu ciri dari usaha peternakan rakyat adalah orientasinya
belum sepenuhnya bersifat bisnis dan biasanya dilakukan sebagai usaha sambilan.
Akhir dari kegiatan peternakan adalah memasarkan hasil kepada konsumen. Agar hasil
ternaknya sampai ke tangan konsumen maka harus dilibatkan lembaga pemasaran secara aktif.
Lembaga-lembaga pemasaran membentuk suatu jaringan, mata rantainya terbentuk mulai dari
tingkat peternak, blantik, pedagang pengumpul, jagal sampai konsumen. Masing-masing lembaga
pemasaran mempunyai peran dan fungsi tersendiri dalam proses pemasaran (Heryadi, 2011).
Lembaga pemasaran yang dimaksud adalah kegiatan dan fungsi-fungsi pemasaran yang
dilakukan lembaga pemasaran berbeda-beda, tergantung dari kemampuan pembiayaan yang
dimiliki sehingga biaya pemasaran (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing
profit) menjadi berbeda di setiap tingkat lembaga pemasaran. Dari pihak konsumen akan
memberikan jasa berupa margin kepada lembaga pemasaran.
Pemasaran sapi di perbatasan Kabupaten TTU-RDTL sebagian besar harga jualnya masih
dikuasai oleh pedagang perantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang dimiliki
peternak antara lain; kurangnya modal dan rendahnya tingkat pengetahuan peternak dalam proses
pemasaran sapi terutama informasi pasar. Musemwa et al. (2010) menyatakan bahwa informasi

8
pasar yang memadai melalui dukungan layanan teknologi dapat membantu peternak dalam
pemasran ternak sapi. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran langsung transaksi para
pedagang perantara, diketahui bahwa pemasaran sapi di Kabupaten TTU, terdapat beberapa
saluran pemasaran yang melibatkan beberapa pedagang perantara yaitu pedagang pengumpul,
pedagang besar dan pedagang antar pulau. Terdapat tiga macam saluran pemasaran sebagaimana
yang ditunjukkan pada skema saluran pemasaran berikut:

PEDAGANG PEDAGANG
2 PENGUMPUL BESAR

PETERNAK KONSUMEN
1

PEDAGANG
3 ANTAR PULAU

Skema : Saluran Pemasaran Ternak Sapi Di Kabupaten TTU.


Dari skema saluran pemasaran ternak sapi di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Peternak menjual langsung ke konsumen; pada saluran pemasaran ini terjadi dimana
konsumen bertemu langsung dengan Peternak. Tempat transaksi yang terjadi pada saluran
yang pertama ini terjadi di tempat tinggal peternak.
2. Peternak menjual melalui dua tingkat pedagang, yakni melalui pedagang pengumpul dan
selanjutnya ke pedagang besar dan langsung ke konsumen. Saluran pemasaran ini banyak
dilakukan oleh peternak sapi di Kabupaten TTU. Pada saluran ini peternak menjual sapi ke
pedagang pengumpul kemudian pedagang tersebut menjualnya lagi ke pedagang besar yang
kemudian dijual ke konsumen yang membutuhkannya. Tempat transaksi jual beli sapi pada
saluran pemasaran yang kedua ini biasanya terjadi di rumah peternak dan pasar.
3. Peternak menjual langsung ke pedagang antar pulau dan selnjutnya ke konsumen. Saluran
pemasaran ini sapi dibeli dari peternak langsung oleh pedagang antar pulau dan pedagang
antar pulau menjualnya ke konsumen di luar pulau. Tempat transaksi yang terjadi biasanya
berlangsung di rumah peternak dan pasar fisik. Masing-masing kelembagaan ini selalu

9
berusaha menjaga keharmonisan hubungan secara berkelanjutan, di mana pedagang
tingkatan lebih di atas tetap menjaga agar pedagang di bawahnya dapat melakukan kegiatan
pemasaran secara rutin dan menguntungkan.
Ketiga saluran pemasaran sapi yang ada di Kabupaten TTU dapat dilihat bahwa pada
saluran tataniaga kedua dan ketiga memerlukan biaya lebih tinggi dalam proses pemasaran sapi
dari tangan produsen ke konsumen. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa pada
saluran I biaya pemasaran yang dikeluarkan sebesar Rp0 karena tidak ada pedagang perantara
yang terlibat. Pada saluran II biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh blantik sebesar
Rp105.000/ST dan diperoleh keuntungan sebesar Rp895.000/ST. Selanjutnya biaya pemasaran
yang dikeluarkan oleh pedagang besar sebesar Rp175.000/ST dan diperoleh keuntungan sebesar
Rp1.825.000/ST. Besaran biaya pemasaran yang bervariasi tersebut dipengaruhi oleh biaya
transportasi dari kantong produksi ke pasar. Adanya perbedaan saluran pemasaran mempengaruhi
tingkat harga, share keuntungan dan margin pemasaran yang diterima oleh setiap lembaga
pemasaran. Pada saluran III biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang antar pulau sebesar
Rp3.505.000/ST dan diperoleh keuntungan sebesar Rp1.995.000/ST. Hal ini sesuai dengan yang
dilaporkan oleh Widitananto et al. (2012) yang menyatakan bahwa semakin panjang saluran
pemasaran maka biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi.
Pemasaran Sapi di Kabupaten TTU
Untuk mengetahui proses pemasaran sapi di Kabupaten TTU berjalan secara efisien atau
tidak, maka dilakukan perhitungan biaya pemasaran, margin pemasaran, farmer share dan
efisiensi pemasaran dari setiap lembaga pemasaran. Besaran biaya dan margin pemasaran yang
pada setiap saluran pemasaran ternak sapi dipengaruhi oleh masing-masing harga yang berlaku di
tiap peternak dan pelaku pemasaran berdasarkan harga rata-rata dari sejumlah peternak dan
pelaku pemasaran.
Tabel 1. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran I pemasaran ternak sapi di
Kabupaten TTU.
No Mata Rantai Tataniaga Harga (Rp) Share(%)
1 Peternak 9.500.000 100%
2 Konsumen 9.500.000
Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah).
Saluran pemasaran sapi yang pertama seperti pada Tabel 1 terlihat bahwa konsumen
membeli langsung sapi dari peternak sehingga tidak ada biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh
peternak. Harga jual peternak dan harga beli konsumen yang diperoleh merupakan harga

10
kesepakatan antara kedua pihak yang melakukan transaksi pemasaran. Pada saluran I nilai
farmer’s sharenya adalah 100% karena rantai pemasaran tergolong pendek dan tidak melibatkan
lembaga perantara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mariyono et al. (2013) dan Emhar, et
al. (2014) yang menyatakan bahwa semakin pendek saluran pemasaran maka semakin efisien.
Kondisi ini dapat dilihat dari niai efisiensi yang diperoleh yakni sebesar 100%, artinya bahwa
saluran I sangat efisien. Saliem (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi harga yang diterima
produsen, semakin efisien pemasaran tersebut. Selanjutnya ditambahkan oleh Soekartawi (2002)
bahwa untuk mengukur efisiensi pemasaran adalah persentase antara biaya pemasaran dengan
nilai produk yang dipasarkan dan pemasaran tidak akan efisien jika biaya pemasaran semakin
besar dari nilai produk yang dipasarkan atau pemasaran yang efisien jika biaya pemasaran lebih
rendah dari nilai produk yang dipasarkan.
Pada saluran II pemasaran sapi tidak langsung dari peternak ke konsumen namun
melibatkan dua lembaga perantara yakni pedagang pengumpul dan pedagang besar (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran II pemasaran ternak sapi di
Kabupaten TTU.
No Mata Rantai Tataniaga Harga (Rp)/ST Share(%)
1 Peternak 9.500.000 76%
2 Blantik Desa 10. 500.000 84%
Biaya:
a) Kesehatan 15.000 0,12%
b) Retribusi 10.000 0,08%
c) Pakan 80.000 0,64%
Total Biaya 105.000 0,84%
Keuntungan 895.000 7,16%
3 Pedagang Besar 12.500.000 100%
Biaya:
a) Retribusi (Kefa-Kupang) 75.000 0,6%
b) Transportasi 20.000 0,16%
c) Pakan 80.000 0,64%
Total Biaya 175.000 1,4%
Keuntungan 1.825.000 14,6%
4 Konsumen 12.500.000
Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah)
a. Farmer share

11
Nilai Farmer share yang diperoleh pada saluran kedua menurut klasifikasi umum ternak
sapi yang dijual sebesar 76% dari harga yang dibayar oleh pedagang besar. Hal ini
mengindikasikan bahwa peternak di daerah ini sudah menerima harga yang layak, namun share
yang diterima peternak tersebut bukanlah share yang sebenarnya. Sebab masih ada banyak biaya-
biaya yang tidak terhitung pada saat ternak sapi masih berada di tangan peternak sebelum terjadi
kesepakatan harga dengan para pedagang perantara. Dengan demikian saluran pemasaran kedua
ini sudah efisien. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Azzaino (1983) bahwa sistem
pemasaran dikatakan efisien apabila dapat memberikan suatu balas jasa yang seimbang kepada
semua pelaku pemasaran yang terlibat yaitu peternak, pedagang perantara dan konsumen akhir.
Farmer share yang diperoleh pada saluran ini lebih kecil dibandingkan pada saluran I karena
pada saluran II melibatkan peran lembaga pemasaran yang menyalurkan sapi dari produsen ke
konsumen. Kegiatan penyaluran barang ini tentunya akan menimbulkan biaya operasional selama
proses pemasaran sehingga lembaga pemasaran berusaha untuk menekan harga di tingkat
peternak dan meningkatkan harga jual di tingkat konsumen untuk memperoleh keuntungan.
Perbedaan harga inilah yang menyebabkan terjadinya variasi nilai farmer share.

b. Biaya.
Pada saluran ini terdapat biaya pemasaran yakni sebesar Rp105.000/ST yang dikeluarkan bl
antik desa untuk mendistribusikan sapi ke pedagang besar. Sedangkan biaya pemasaran yang
dikeluarkan oleh pedagang besar untuk mendistribusikan sapi ke konsumen sebesar Rp175.000
atau meningkat hingga 1,4% dibandingkan biaya yang dikeluarkan oleh blantik desa.
c. Keuntungan.
Pedagang besar memperoleh keuntungan sebesar Rp1.825.000/ST atau meningkat mencapi
14,6% dibandingkan keuntungan yang diperoleh blantik desa yang memperoleh keuntungan
sebesar Rp895.000/ST atau sebesar 7,16%. Nilai keuntungan ini mengindikasikan bahwa setiap
pendistribusian 1 ekor sapi dari pedagang pengumpul ke konsumen oleh pedagang besar
diperoleh keuntungan sebesar nilai tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya biaya yang
dikeluarkan oleh pedagang besar lebih tinggi dibandingkan blantik, sehingga untuk menutupi
biaya tersebut pedagang menaikan harga jual untuk memperoleh keuntungan. Kondisi tersebut
sesuai dengan yang dilaporkan oleh Rum (2011) bahwa pedagang yang terlibat dalam proses

12
pemasaran memiliki informasi yang cukup mengenai situasi permintaan dan penawaran, sehingga
dua kekuatan inilah yang pada akhirnya berperan dalam proses penentuan harga.
Tabel 5 menunjukkan bahwa pada saluran III pemasaran sapi dari peternak ke konsumen
yang ada di Kabupaten TTU melibatkan satu lembaga perantara yakni pedagang antar pulau yang
membeli sapi dari peternak lalu dijual ke konsumen.

Tabel 3. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran III pemasaran ternak sapi
di Kabupaten TTU.
No Mata Rantai Tataniaga Harga(Rp/ ST) Share(%)
1 Peternak 9.500.000 63,33%
2 Pedagang Antar Pulau 15.000.000 100%
Biaya:
a) Kesehatan 15.000 0,1%
b) Retribusi 10.000 0,06%
c) Pakan 80.000 0,53%
d) Biaya retribusi (Kefa -Wini) 5.000 0,03%
e) Transpor dari penampungan ke 50.000 0,33%
pelabuhan Wini
f) Biaya pakan selama penampungan di 30.000 0,2%
karantina
g) Biaya kesehatan (pengambilan sampel 2.500 0,016%
darah) dan surat ijin
h) Tenaga kerja selama penampungan 50.000 0,33%
sampai antar pulau
i) Biaya beli bambu (250 batang) 5.000 0,03%
j) Biaya kapal 400.000 2,66%
13
k) Pakan selama perjalanan 150.000 1%
l) Karantina luar pulau 7.500 0,05%
m) Biaya penyusutan 600.000 4%
n) Biaya makan dan minum untuk 5 orang 500.000 3,33%
Penjaga
o) Tiket pesawat pedagang 1.600.000 10,66%
Total Biaya 3.505.000 23,36%
Keuntungan 1.995.000 13,3%
Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah).

a. Farmer share.
Pada pada saluran III nilai farmer share sebesar 63,33% dari harga yang dibayar oleh
pedagang antar pulau. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak di daerah ini sudah menerima
harga yang layak. Kondisi ini menunjukkan bahwa saluran III efisien. Mubyarto (1995)
menyatakan bahwa pemasaran dianggap efisien apabila mampu menyampaikan hasil dari
produsen ke konsumen dengan biaya murah. Tinggi rendahnya margin pemasaran dan bagian
yang diterima peternak merupakan indikator dari efisiensi pemasaran. Semakin rendahmargin
pemasaran dan semakin besar bagianyang diterima peternak, maka sistem pemasaran tersebut
dikatakan efisien.
b. Biaya.
Saluran pemasaran ini tergolong pendek, namun biaya pemasaran tinggi yakni mencapai
Rp3.505.000/ST atau sebesar 23,36% dibandingkan saluran II. Kondisi ini dipengaruhi oleh jarak
pasar dan produsen yang jauh sehingga untuk proses pendistribusian ternak membutuhkan biaya
operasional yang lebih besar. Hal ini sesuai pendapat Soekartawi (2002) yang menyatakan bahwa
biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran. Besarnya biaya
pemasaran berbeda satu sama lain disebabkan karena, macam komoditas, lokasi pemasaran, dan
efektivitas pemasaran yang dilakukan. Semakin kecil biaya pemasaran yang dikeluarkan, maka
semakin efektif pemasaran dijalankan.
c. Keuntungan
Keuntungan yang diperoleh pedagang antar pulau pada saluran ini tergolong tinggi
mencapai Rp1.995.000/ST lebih tinggi dibandingkan keuntungan yang diperoleh pada saluran
pemasaran II. Hal tersebut menggambarkan bahwa dengan korbanan biaya sejumlah nilai tersebut
memberikan keuntungan yang besar bagi pedagang tersebut. Pola pemasaran demikian tergolong
menguntungkan untuk dijalani bagi pedagang antar pulau. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh

14
penguasaan informasi pasar yang lebih baik oleh pedagang antar pulau dibandingkan pedagang
pengumpul dan peternak.

Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten TTU


1. Efisiensi Pemasaran (EP) Saluran II
TB
EP = x 100%
TNB

105.000 + 175.000
= x 100%
12.500.000

280.000
= x 100% = 2,24%
12.500.000

Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi pada saluran II diperoleh nilai EP sebesar 2,24%

dan tergolong rendah, sehingga EP saluran II efisien karena nilai EP ≤ 33%. Hal ini berdasarkan

kaidah keputusan efisiensi pemasaran menurut Soekartawi (2002) yang menyatakan bahwa jika

efisiensi pemasaran: a) 0-33% = Efisien; b) 34-67% = Kurang efisien; c) 68-100% = Tidak

efisien. Walaupun saluran II tergolong panjang namun besaran biaya pemasaran yang

dikeluarkan tergolong rendah.

2. Efisiensi Teknis (ET) dan Ekonomis (EE) Saluran III


Total biaya pemasaran ternak sapi
ET = x 100%
Nilai produk yang dipasarkan

3.505.000
= x 100% = 23,36%
15.000.000.

Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi pada saluran III diperoleh nilai EP sebesar 23,36%
tergolong rendah, sehingga secara teknis saluran III efisien karena EP ≤ 33%. Hal ini berdasarkan
kaidah keputusan efisiensi pemasaran menurut Soekartawi (2002) yang menyatakan bahwa jika
efisiensi pemasaran: a) 0-33% = Efisien; b) 34-67% = Kurang efisien; c) 68-100% = Tidak

15
efisien. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan saluran II, walaupun saluran pemasarann tergolong
pendek namun besaran biaya pemasaran yang dikeluarkan tergolong tinggi. Pada saluran III
keuntungan yang diperoleh masing-masing pihak yang terlibat dalam pemasaran tergolong
rendah.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Pola saluran pemasaran
ternak sapi di Kabupaten TTU-RDTL terdiri dari tiga saluran pemasaran yakni pola I: peternak -
konsumen, pola II: peternak – pedagang pengumpul – pedagang besar - konsumen dan pola III:
peternak – pedagang antar pulau – konsumen. 2) Keuntungan pemasaran pada ketiga pola
pemasaran tersebut berbeda antara satu dengan yang lainya. Keuntungan tertinggi terjadi pada
saluran III yang besarnya Rp1.995.000 tetapi farmer sharenya hanya 63,33% dibandingkan
dengan saluran II yang farmer sharenya sebesar 76%. 3) Efisiensi Pemasaran saluran II dan III
disebut efisien dengan nilai EP masing-masing sebesar = 2,24% dan 23,36%.

DAFTAR PUSTAKA
Anindita, R dan Nur Baladina,2017. Pemasaran Produk Pertanian. Penerbit Andi Yogyakarta.

Azzaino, Z. 1983. Pengantar Taternakaga Perternakan: Diktat Kuliah Fakultas Perternakan.


Unila. Bandar Lampung.
Emhar,A., Aji, J.M.M., Agustina, T. 2014. Analisis Rantai Pasokan (Supply Chain) Daging
Sapi Di Kabupaten Jember. Jurnal Berkala Ilmiah Pertanian. 1 (3): 53-61.
Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi
potong di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4): 148-157.
Heryadi, A.Y. 2011. Pola Pemasaran Ternak Potong Di Pulau Madura. J-SEP. 5(2): 38-46
Mariyono, Utami, D.P. dan Zulfanita. 2013. Tataniaga Daging Sapi Di Kabupaten Purworejo.
Jurnal Surya Agritama. 2 (2) : 78-88.
Mosher, A. T. 1968. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Jayaguna, Jakarta.

Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Perternakan. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan


Penerangan Ekonomi dan Sosial,Yogyakarta.

16
Musemwa, L., Mushunje, A., Chimonyo, M., Mapiye, C. 2010. Low Cattle Market Off-Take
Rates In Communal Production Systems of South Africa : Causes and Mitigation
Strategies. J. Sus. Dev. in Africa 12: 209-225.
Nazir, M. 2014. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia Bogor.
Ningsih, U. W., dan B. Hartono. 2017. Analisis Pemasaran Sapi Potong Melalui analisis Margin,
Transmisi Harga, Struktur Pemasaran, Perilaku Pemasaran dan Kinerja Pemasaran.
Jurnal-Jurnal Peternakan. 27 (1): 1-11.
Putri, Y. R., S. I. Santoso, dan W. Roessali. 2014. Farmer Share Dan Efisiensi Saluran Pemasaran
Kacang Hijau(Vigna radiata, L.) Di Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan. J. Agri
Wilasodra. 6 (2): 21-29
Rum, M. 2011. Analisis Margin Pemasaran dan Sensitivitas Cabai Besar di Kabupaten Malang.
Jurnal Agribisnis. 8 (2): 133-141 Desember 2011.
Saliem, H.P. 2004. Analisis Margin Pemasaran: Salah Satu Pendekatan dalam Sistem Distribusi
Pangan. Dalam: prosiding Prospek Usaha dan Pemasaran Beberapa Komoditas
Perternakan. Monograph Series No. 24. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Perternakan, Bogor.
Silalahi, Ulber, 2010. Metode Penelitian Sosial. Penerbit Refika Aditama Bandung.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian Cetakan Ketiga. Universitas Muhammadiyah Malang,
Jawa Timur.
Sunarto, E., Nono, O.H., Lole, U.R., Henuk, Y. L. 2016. Kondisi Ekonomi Rumah Tangga
Peternak Penggemukan Sapi Potong Pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang.
Jurnal Peternakan Indonesia. 18(1): 21-28
Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Pola
Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1) : 29-37
Widiarti, E. 2010. Analisis Margin Pemasaran Jahe di Kabupaten Wonogiri. Skripsi. Fakultas
Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Widitananto, A., Sihombing, G., Sari, A.I. 2012. Analisis Pemasaran Sapi Potong di Kecamatan
Playen Kabupaten Gunung Kidul. Journal Tropical Animal Husbandry. 1(1): 59-66

17

Anda mungkin juga menyukai