Anda di halaman 1dari 13

STUDI PEMASARAN TERNAK SAPI PADA KAWASAN PERBATASAN

INDONESIA DAN REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR LESTE (RDTL)


DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA

(MARKETING STUDY OF BEEF CATTLE IN INDONESIA AND TIMOR LESTE


DEMOCRATIC REPUBLIC BORDER AREA IN REGENCY OF TIMOR TENGAH UTARA)
Oleh

Romandus Abi, Matheos F. Lalus, Johanes G. Sogen


Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Jln. Adisucipto Penfui, Kupang 85001
Email: romandusabi@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian secara survei tentang pemasaran ternak sapi telah dilaksanakan di Kabupaten
Timor Tengah Utara selama enam bulan. Ternak sapi akan tiba di tangan konsumen jika melalui
lembaga perantara. Lembaga perantara hadir untuk membantu memindahkan ternak sapi sehingga
menimbulkan margin pada setiap lembaga pemasaran; banyaknya lembaga pemasaran yang
terlibat akan menyebabkan margin pemasaran semakin besar, yang pada akhirnya mempengaruhi
efisiensi pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pola saluran pemasaran ternak sapi, menganalisis margin pemasaran
ternak sapi dan mengkaji saluran pemasaran manakah yang paling efisien. Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Pengambilan contoh dilakukan
melalui beberapa bertahap (multi stages sampling) yaitu: tahap pertama adalah penentuan
kecamatan dan desa contoh dilakukan secara purposif sebanyak tiga kecamatan contoh,
selanjutnya dari ketiga kecamatan tersebut dipilih lima desa contoh. Tahap kedua adalah
penentuan responden yang terdiri dari responden peternak dan pedagang. Pemilihan responden
peternak dilakukan secara acak non-proporsional, sedangkan penentuan responden pedagang
menggunakan teknik Snowball sampling. Analisis data yang digunakan adalah analisis margin
pemasaran dan efisiensi pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga pola
saluran pemasaran yakni 1) peternak-konsumen, 2) peternak-pedagang pengumpul-pedagang
besar-konsumen, dan 3) peternak-pedagang antar pulau-konsumen. Pada saluran I biaya
pemasaran sebesar Rp0 dan Farmer Share 100%. Pada saluran II biaya pemasaran blantik desa
sebesar Rp105.000, pedagang besar sebesar Rp175.000/ST, keuntungan blantik desa sebesar
Rp895.000, pedagang besar sebesar Rp1.825.000/ST, dan Farmer Share 76%. Efisiensi
Pemasaran saluran II dan III disebut efisien dengan nilai EP masing-masing sebesar = 2,24% dan
23,36%.

Kata kunci: peternak, perantara, margin, efisiensi.

ABSTRACT

A survey reseach about marketing of cattle has been conducted at Regency of Timor
Tengah Utara for six month. Cattle’s will be able to arrive through an intermediary institution.
Intermediary intitutions were present to assist in the transfer of cattle then it will cause margin for
every marketing agency; according to the number of marketing agencies involved will cause
1
greater marketing margins, wich ultimately affects the efficiency of marketing cattle in the border
areas of Indonesia and RDTL. The research objectives are: to identify the marketing beef cattle
channels, margin distribution and marketing efficiency. Sampling is done in multi stage
sampling. The first stage is the determination of the three sub-district and five villages
purposively. The second stage is the selection farmers as respondents by performing non-
proportionally random sampling, while the marketing agencies respondents are chosen based on
snowball sampling technique. Data, then analyzed by applying analysis of margin and marketing
efficiency. The result shows that beef cattle marketing in this border area has three channel is 1)
farmer-consumer, 2) farmer-broker-whole saler-consumer, and 3) farmer-island saler-consumer.
On channel I: margin and marketing cost gained is Rp.0 and farmer share is 100%. On channel II:
marketing cost of broker gained is Rp105.000/AU, whole saler gained is Rp175.000/AU,
marketing profit of broker gained is Rp895.000/AU, whole saler gained is Rp1.825.000/AU and
Farmer Share 76%. On channel III: marketing cost gained is Rp3.505.000/AU, marketing profit
gained is Rp1.995.000/AU and Farmer Share is 63%. The efficiency of marketing chanels II and
III called efficiently with EP value 2,24% and 23,36%.

Keywords : breeder, intermediary, margin, efficiency

PENDAHULUAN
Ternak sapi sebagai salah satu ternak penghasil daging dan berperanan penting sebagai
sumber pendapatan, tenaga kerja, sebagai komoditi adat atau status sosial seseorang dalam
masyarakat. Selain sebagai penghasil pupuk organik, produk utama bahan pangan sumber protein
hewani bagi konsumen. Oleh karena itu, ternak sapi sangat berperan dalam memberi sumbangan
atau manfaat bagi peternak maupun masyarakat lainnya (Suryana, 2009).
Pengembangan usaha ternak sapi di daerah perbatasan dengan Republik Demokratik Timor
Leste (RDTL) sebagian besar merupakan peternakan rakyat yang sistem pengembangannya
masih bersifat ekstensif tradisional. Perlu diketahui bahwa setiap usaha yang dijalankan tentu
akan berujung pada pemasaran. Sebab tanpa pemasaran pelaku bisnis akan rugi karena barang
hasil produksinya tidak dapat dijual. Sumitra et al., (2013) pemasaran merupakan proses kegiatan
produk yang dihasilkan produsen agar dapat berpindah ke tangan konsumen. Tanpa adanya
pemasaran hasil-hasil peternakan, maka usaha peternakan akan bersifat statis dan usaha tersebut
hanya akan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peternak saja.
Sebagian besar peternak di perbatasan Indonesia dan RDTL menjual ternak sapinya dalam
dua cara yaitu menjual dengan melihat tampilan tubuh ternak bagian luar dan menjual dengan
berdasarkan bobot badan hidup ternak sapi (cara ditimbang). Pemasaran ini dilakukan oleh
peternak melalui pedagang perantara seperti blantik desa dan pedagang pengumpul kecamatan

2
karena di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL pemasaran ternak sapi lebih banyak dikuasai
oleh pedagang perantara atau blantik. Biasanya pedagang pengumpul atau blantik ini akan
mendatangi para peternak, selanjutnya para pedagang pengumpul tersebut akan menjual ternak
sapi yang telah dibeli kepada pedagang lokal lainnya, RPH, maupun luar daerah.
Keberadaan blantik di sisi lain sangat membantu petani dalam memasarkan ternaknya dan
memudahkan petani mendapatkan uang tunai bila peternak membutuhkan. Pemasaran ternak sapi
menggunakan jalur pemasaran, sehingga produk peternakan tersebut dapat sampai di tangan
konsumen. Jalur pemasaran yang relatif panjang menyebabkan kerugian baik bagi peternak
maupun konsumen, karena konsumennya terbebani dengan beban biaya pemasaran yang berat
untuk membayar dengan harga yang tinggi. Sedangkan bagi peternak, perolehan pendapatan
menjadi lebih rendah karena harga penjualan yang diterima jauh lebih rendah. Peran pedagang
dan blantik yang masih besar dalam jual beli ternak menyebabkan harga yang diterima peternak
menjadi kecil, karena peternak tidak memiliki posisi tawar (Ningsih et al., 2017).
Lembaga pemasaran hadir untuk membantu pemindahan ternak sapi sehingga
menimbulkan margin pada setiap lembaga pemasaran; sesuai banyaknya lembaga pemasaran
yang terlibat akan menyebabkan margin pemasaran semakin besar, yang pada akhirnya
mempengaruhi efisiensi pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi margin pemasaran sapi yaitu biaya, tingkat persaingan
antara pedagang, jalur atau rantai pemasaran, kondisi wilayah, dan banyaknya perantara
(lembaga) yang terlibat dalam menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Adapun
yang menjadi masalah adalah sebagai berikut : 1) bagaimana pola saluran pemasaran ternak sapi
di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL?, 2) Berapa besar margin pemasaran ternak sapi di
kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL? dan 3) Saluran pemasaran manakah yang paling
efisien di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL?
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola saluran pemasaran ternak sapi di kawasan
perbatasan Indonesia dan RDTL, mengkaji saluran pemasaran manakah yang paling efisien di
kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL, menganalisis margin pemasaran ternak sapi di
kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL.

3
METODE PENELITIAN
Metode Pengambilan Contoh
Metode pengambilan contoh dilakukan melalui beberapa tahap (Multi Stage Sampling).
Tahap pertama adalah penentuan tiga kecamatan contoh dari 24 kecamatan di Kabupaten TTU
secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan kecamatan–kecamatan tersebut
berbatasan langsung dengan RDTL yakni Kecamatan Mutis, Kecamatan Miomaffo Barat, dan
Kecamatan Bikomi Utara. Selanjutnya dari ketiga Kecamatan tersebut dipilih lima desa contoh
dengan pertimbangan yang sama, masing-masing sebagai berikutDesa Naekake A, Naekake B,
Tasinifu, Manusasi, dan Napan. Pemilihan responden peternak dilakukan secara acak non-
proporsional, di mana setiap desa contoh dipilih 18 responden sehingga secara keseluruhan
terdapat 90 responden peternak representatif. Sedangkan penetuan responden pedagang perantara
dengan menggunakan teknik snow-ball sampling (Nazir, 2014; Silalahi, 2010).
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan responden yaitu
petani peternak sapi dan pedagang di Kecamatan Mutis, Kecamatan Miomaffo Barat, dan
Kecamatan Bikomi Utara. Sedangkan data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumentasi
yaitu lporan-laporan instansi terkait atau lembaga-lembaga serta referensi ;ainnya yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) observasi yaitu
pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap lokasi
penelitian dan aktivitas masyarakat sehari-hari; b) wawancara yaitu pengumpulan data yang
dilakukan melalui wawancara langsung dengan peternak dan pedagang menggunakan kuisioner
yang disusun berdasarkan kebutuhan penelitian; c) dokumentasi yaitu cara pengumpulan data
yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
Metode Analisis Data
Data yang terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan analisis
deskripsi kualitatif, analisis margin pemasaran, dilakukan dengan menghitung besarnya biaya,
keuntungan dan margin pemasaran pada tiap lembaga pemasaran dalam saluran pemasaran yang
digunakan, serta analisis efisiensi pemasaran (Anindita et al., 2017.

4
1. Biaya Pemasaran
BP = BP1 + BP2 + BP3 + ... + BPn
Keterangan:
BP = Biaya pemasaran ternak sapi
BP1, BP2, BPn = Biaya pemasaran tiap lembaga pemasaran ternak sapi

2. Keuntungan Pemasaran
KP = KP1 + KP2 +KP3 + ...+KPn
Keterangan:
KP= Keuntungan pemasaran ternak sapi secara total
KP1, KP2, KPn = Keuntungan pemasaran ternak sapi tiap lembaga pemasaran.

3. Margin Pemasaran
MP = Pr – Pf
Keterangan:
MP = Margin pemasaran ternak sapi
Pr = Harga ternak sapi ditingkat pedagang
Pf = Harga ternak sapi ditingkat peternak

4. Efisiensi pemasaran

EP = 100%

Keterangan:
EP = Efisiensi Pemasaran
TB = Total Produk
TNP = Total Nilai Produk

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pola Saluran Pemasaran Sapi di Kabupaten TTU
Hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa usaha ternak sapi di Kabupaten TTU
masih bersifat ekstensif tradisional dan belum adanya penerapan teknologi peternakan yang
modern. Usaha ternak sapi di lokasi penelitian cenderung hanya sebagai usaha sambilan di
samping usaha tani tanaman pangan dan usaha sambilan lain yakni memelihara ternak skala kecil
seperti ayam kampung, babi, dan kambing. Sistem usaha yang masih ekstensif tradisional yang

5
demikian mengakibatkan produksi ternak belum optimal. Usaha ternak sapi yang mana
merupakan usaha sambilan dan merupakan usaha tambahan untuk kebutuhan ekonomi keluarga.
Kondisi ini menyebabkan rendahnya dorongan bagi peternak dalam meningkatkan produksi
berskala besar ke arah yang berorientasi pasar. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Sunarto et al. (2016) bahwa, pemeliharaan sapi di Indonesia dilakukan secara ekstensif. Hadi et
al. (2002) menyatakan bahwa salah satu ciri dari usaha peternakan rakyat adalah orientasinya
belum sepenuhnya bersifat bisnis dan biasanya dilakukan sebagai usaha sambilan.
Akhir dari kegiatan peternakan adalah memasarkan hasil kepada konsumen. Agar hasil
ternaknya sampai ke tangan konsumen maka harus dilibatkan lembaga pemasaran secara aktif.
Lembaga-lembaga pemasaran membentuk suatu jaringan, mata rantainya terbentuk mulai dari
tingkat peternak, blantik, pedagang pengumpul, jagal sampai konsumen. Masing-masing lembaga
pemasaran mempunyai peran dan fungsi tersendiri dalam proses pemasaran (Heryadi, 2011).
Lembaga pemasaran yang dimaksud adalah kegiatan dan fungsi-fungsi pemasaran yang
dilakukan lembaga pemasaran berbeda-beda, tergantung dari kemampuan pembiayaan yang
dimiliki sehingga biaya pemasaran (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing
profit) menjadi berbeda di setiap tingkat lembaga pemasaran. Dari pihak konsumen akan
memberikan jasa berupa margin kepada lembaga pemasaran.
Pemasaran sapi di perbatasan Kabupaten TTU-RDTL sebagian besar harga jualnya masih
dikuasai oleh pedagang perantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang dimiliki
peternak antara lain: kurangnya modal dan rendahnya tingkat pengetahuan peternak dalam proses
pemasaran sapi terutama informasi pasar. Musemwa et al. (2010) menyatakan bahwa informasi
pasar yang memadai melalui dukungan layanan teknologi dapat membantu peternak dalam
pemasran ternak sapi. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran langsung transaksi para
pedagang perantara diketahui bahwa pemasaran sapi di Kabupaten TTU terdapat beberapa
saluran pemasaran yang melibatkan beberapa pedagang perantara yaitu pedagang pengumpul,
pedagang besar, dan pedagang antar pulau. Terdapat tiga macam saluran pemasaran sebagaimana
yang ditunjukkan pada skema saluran pemasaran berikut:

6
PEDAGANG PEDAGANG
PENGUMPUL BESAR

PETERNAK KONSUMEN
1

PEDAGANG ANTAR PULAU


3

Skema : Saluran Pemasaran Ternak Sapi Di Kabupaten TTU

Ketiga saluran pemasaran sapi yang ada di Kabupaten TTU terlihat bahwa pada saluran
tataniaga kedua dan ketiga memerlukan biaya lebih tinggi dalam proses pemasaran sapi dari
tangan produsen ke konsumen. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa pada saluran I
biaya pemasaran yang dikeluarkan sebesar Rp0 karena tidak ada pedagang perantara yang
terlibat. Pada saluran II biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh blantik sebesar Rp105.000/ST
dan diperoleh keuntungan sebesar Rp895.000/ST. Selanjutnya biaya pemasaran yang dikeluarkan
oleh pedagang besar sebesar Rp175.000/ST dan diperoleh keuntungan sebesar Rp1.825.000/ST.
Besaran biaya pemasaran yang bervariasi tersebut dipengaruhi oleh biaya transportasi dari
kantong produksi ke pasar. Adanya perbedaan saluran pemasaran mempengaruhi tingkat harga,
share keuntungan dan margin pemasaran yang diterima oleh setiap lembaga pemasaran. Pada
saluran III biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang antar pulau sebesar Rp3.505.000/ST
dan diperoleh keuntungan sebesar Rp1.995.000/ST. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Widitananto et al. (2012) yang menyatakan bahwa semakin panjang saluran pemasaran maka
biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi.
Pemasaran Sapi di Kabupaten TTU
Untuk mengetahui proses pemasaran sapi di Kabupaten TTU berjalan secara efisien atau
tidak, maka dilakukan perhitungan biaya pemasaran, margin pemasaran, farmer share dan
efisiensi pemasaran dari setiap lembaga pemasaran. Besaran biaya dan margin pemasaran yang
pada setiap saluran pemasaran ternak sapi dipengaruhi oleh masing-masing harga yang berlaku di
7
tiap peternak dan pelaku pemasaran berdasarkan harga rata-rata dari sejumlah peternak dan
pelaku pemasaran.
Tabel 1. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran I pemasaran ternak sapi di
Kabupaten TTU.
No Mata Rantai Tataniaga Harga (Rp) Share(%)
1 Peternak 9.500.000 100%
2 Konsumen 9.500.000
Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah).
Saluran pemasaran sapi yang pertama seperti pada Tabel 1 terlihat bahwa konsumen
membeli langsung sapi dari peternak sehingga tidak ada biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh
peternak. Harga jual peternak dan harga beli konsumen yang diperoleh merupakan harga
kesepakatan antara kedua pihak yang melakukan transaksi pemasaran. Pada saluran I nilai
farmer’s sharenya adalah 100% karena rantai pemasaran tergolong pendek dan tidak melibatkan
lembaga perantara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mariyono et al. (2013) dan Emhar, et
al. (2014) yang menyatakan bahwa semakin pendek saluran pemasaran maka semakin efisien.
Kondisi ini dapat dilihat dari niai efisiensi yang diperoleh yakni sebesar 100%, artinya bahwa
saluran I sangat efisien. Saliem (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi harga yang diterima
produsen, semakin efisien pemasaran tersebut. Selanjutnya ditambahkan oleh Soekartawi (2002)
bahwa untuk mengukur efisiensi pemasaran adalah persentase antara biaya pemasaran dengan
nilai produk yang dipasarkan dan pemasaran tidak akan efisien jika biaya pemasaran semakin
besar dari nilai produk yang dipasarkan atau pemasaran yang efisien jika biaya pemasaran lebih
rendah dari nilai produk yang dipasarkan.
Pada saluran II pemasaran sapi tidak langsung dari peternak ke konsumen namun
melibatkan dua lembaga perantara yakni pedagang pengumpul dan pedagang besar (Tabel 2).
1. Farmer share
Nilai Farmer share yang diperoleh pada saluran kedua menurut klasifikasi umum ternak
sapi yang dijual sebesar 76% dari harga yang dibayar oleh pedagang besar. Hal ini
mengindikasikan bahwa peternak di daerah ini sudah menerima harga yang layak, namun share
yang diterima peternak tersebut bukanlah share yang sebenarnya. Sebab masih ada banyak biaya-
biaya yang tidak terhitung pada saat ternak sapi masih berada di tangan peternak sebelum terjadi
kesepakatan harga dengan para pedagang perantara. Dengan demikian saluran pemasaran kedua
ini sudah efisien. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Azzaino (1983) bahwa sistem
pemasaran dikatakan efisien apabila dapat memberikan suatu balas jasa yang seimbang kepada
8
semua pelaku pemasaran yang terlibat yaitu peternak, pedagang perantara dan konsumen akhir.
Farmer share yang diperoleh pada saluran ini lebih kecil dibandingkan pada saluran I karena
pada saluran II melibatkan peran lembaga pemasaran yang menyalurkan sapi dari produsen ke
konsumen. Kegiatan penyaluran barang ini tentunya akan menimbulkan biaya operasional selama
proses pemasaran sehingga lembaga pemasaran berusaha untuk menekan harga di tingkat
peternak dan meningkatkan harga jual di tingkat konsumen untuk memperoleh keuntungan.
Perbedaan harga inilah yang menyebabkan terjadinya variasi nilai farmer share.
Tabel 2. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran II pemasaran ternak sapi di
Kabupaten TTU

No Mata Rantai Tataniaga Harga (Rp)/ST Share(%)


1 Peternak 9.500.000 76%
2 Blantik Desa 10. 500.000 84%
Biaya:
b) Kesehatan 15.000 0,12%
c) Retribusi 10.000 0,08%
d) Pakan 80.000 0,64%
Total Biaya 105.000 0,84%
Keuntungan 895.000 7,16%
3 Pedagang Besar 12.500.000 100%
Biaya:
a) Retribusi (Kefa-Kupang) 75.000 0,6%
b) Transportasi 20.000 0,16%
c) Pakan 80.000 0,64%
Total Biaya 175.000 1,4%
Keuntungan 1.825.000 14,6%
4 Konsumen 12.500.000
Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah)
2. Biaya
Pada saluran ini terdapat biaya pemasaran yakni sebesar Rp105.000/ST yang dikeluarkan bl
antik desa untuk mendistribusikan sapi ke pedagang besar. Sedangkan biaya pemasaran yang
dikeluarkan oleh pedagang besar untuk mendistribusikan sapi ke konsumen sebesar Rp175.000
atau meningkat hingga 1,4% dibandingkan biaya yang dikeluarkan oleh blantik desa.
3. Keuntungan
Pedagang besar memperoleh keuntungan sebesar Rp1.825.000/ST atau meningkat mencapi
14,6% dibandingkan keuntungan yang diperoleh blantik desa yang memperoleh keuntungan
sebesar Rp895.000/ST atau sebesar 7,16%. Nilai keuntungan ini mengindikasikan bahwa setiap
pendistribusian 1 ekor sapi dari pedagang pengumpul ke konsumen oleh pedagang besar
diperoleh keuntungan sebesar nilai tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya biaya yang

9
dikeluarkan oleh pedagang besar lebih tinggi dibandingkan blantik, sehingga untuk menutupi
biaya tersebut pedagang menaikan harga jual untuk memperoleh keuntungan. Kondisi tersebut
sesuai dengan yang dilaporkan oleh Rum (2011) bahwa pedagang yang terlibat dalam proses
pemasaran memiliki informasi yang cukup mengenai situasi permintaan dan penawaran, sehingga
dua kekuatan inilah yang pada akhirnya berperan dalam proses penentuan harga.
Tabel 3. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran III pemasaran ternak sapi
di Kabupaten TTU

No Mata Rantai Tataniaga Harga(Rp/ ST) Share(%)


1 Peternak 9.500.000 63,33%
2 Pedagang Antar Pulau 15.000.000 100%
Biaya:
a) Kesehatan 15.000 0,1%
b) Retribusi 10.000 0,06%
c) Pakan 80.000 0,53%
d) Biaya retribusi (Kefa -Wini) 5.000 0,03%
e) Transpor dari penampungan ke pelabuhan 50.000 0,33%
Wini
f) Biaya pakan selama penampungan di 30.000 0,2%
karantina
g) Biaya kesehatan (pengambilan sampel 2.500 0,016%
darah) dan surat ijin
h) Tenaga kerja selama penampungan sampai 50.000 0,33%
antar pulau
i) Biaya beli bambu (250 batang) 5.000 0,03%
j) Biaya kapal 400.000 2,66%
k) Pakan selama perjalanan 150.000 1%
l) Karantina luar pulau 7.500 0,05%
m) Biaya penyusutan 600.000 4%
n) Biaya makan dan minum untuk 5 orang 500.000 3,33%
Penjaga
o) Tiket pesawat pedagang 1.600.000 10,66%
Total Biaya
Keuntungan 3.505.000 23,36%
1.995.000 13,3%
Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah)
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada saluran III pemasaran sapi dari peternak ke konsumen
yang ada di Kabupaten TTU melibatkan satu lembaga perantara yakni pedagang antar pulau yang
membeli sapi dari peternak lalu dijual ke konsumen.

1. Farmer share

10
Pada pada saluran III nilai farmer share sebesar 63,33% dari harga yang dibayar oleh
pedagang antar pulau. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak di daerah ini sudah menerima
harga yang layak. Kondisi ini menunjukkan bahwa saluran III efisien. Mubyarto (1995)
menyatakan bahwa pemasaran dianggap efisien apabila mampu menyampaikan hasil dari
produsen ke konsumen dengan biaya murah. Tinggi rendahnya margin pemasaran dan bagian
yang diterima peternak merupakan indikator dari efisiensi pemasaran. Semakin rendahmargin
pemasaran dan semakin besar bagianyang diterima peternak, maka sistem pemasaran tersebut
dikatakan efisien.
2. Biaya
Saluran pemasaran ini tergolong pendek, namun biaya pemasaran tinggi yakni mencapai
Rp3.505.000/ST atau sebesar 23,36% dibandingkan saluran II. Kondisi ini dipengaruhi oleh jarak
pasar dan produsen yang jauh sehingga untuk proses pendistribusian ternak membutuhkan biaya
operasional yang lebih besar. Hal ini sesuai pendapat Soekartawi (2002) yang menyatakan bahwa
biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran. Besarnya biaya
pemasaran berbeda satu sama lain disebabkan karena, macam komoditas, lokasi pemasaran, dan
efektivitas pemasaran yang dilakukan. Semakin kecil biaya pemasaran yang dikeluarkan, maka
semakin efektif pemasaran dijalankan.
3. Keuntungan
Keuntungan yang diperoleh pedagang antar pulau pada saluran ini tergolong tinggi
mencapai Rp1.995.000/ST lebih tinggi dibandingkan keuntungan yang diperoleh pada saluran
pemasaran II. Hal tersebut menggambarkan bahwa dengan korbanan biaya sejumlah nilai tersebut
memberikan keuntungan yang besar bagi pedagang tersebut. Pola pemasaran demikian tergolong
menguntungkan untuk dijalani bagi pedagang antar pulau. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh
penguasaan informasi pasar yang lebih baik oleh pedagang antar pulau dibandingkan pedagang
pengumpul dan peternak.
Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten TTU
1. Efisiensi Pemasaran (EP) Saluran II
Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi pada saluran II diperoleh nilai EP sebesar 2,24%
dan tergolong rendah, sehingga EP saluran II efisien karena nilai EP ≤ 33%. Hal ini berdasarkan
kaidah keputusan efisiensi pemasaran menurut Soekartawi (2002) yang menyatakan bahwa jika
efisiensi pemasaran: a) 0-33% = Efisien; b) 34-67% = Kurang efisien; c) 68-100% = Tidak

11
efisien. Walaupun saluran II tergolong panjang namun besaran biaya pemasaran yang
dikeluarkan tergolong rendah.

2. Efisiensi Teknis (ET) dan Ekonomis (EE) Saluran III


Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi pada saluran III diperoleh nilai EP sebesar 23,36%
tergolong rendah, sehingga secara teknis saluran III efisien karena EP ≤ 33%. Hal ini berdasarkan
kaidah keputusan efisiensi pemasaran menurut Soekartawi (2002) yang menyatakan bahwa jika
efisiensi pemasaran: a) 0-33% = Efisien; b) 34-67% = Kurang efisien; c) 68-100% = Tidak
efisien. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan saluran II, walaupun saluran pemasaran tergolong
pendek namun besaran biaya pemasaran yang dikeluarkan tergolong tinggi. Pada saluran III
keuntungan yang diperoleh masing-masing pihak yang terlibat dalam pemasaran tergolong
rendah.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Pola saluran pemasaran
ternak sapi di Kabupaten TTU-RDTL terdiri dari tiga saluran pemasaran yakni pola I: peternak -
konsumen, pola II: peternak – pedagang pengumpul – pedagang besar – konsumen, dan pola III:
peternak – pedagang antar pulau – konsumen. 2) Keuntungan pemasaran pada ketiga pola
pemasaran tersebut berbeda antara satu dengan yang lainya. Keuntungan tertinggi terjadi pada
saluran III yang besarnya Rp1.995.000 tetapi farmer sharenya hanya 63,33% dibandingkan
dengan saluran II yang farmer sharenya sebesar 76%. 3) Efisiensi Pemasaran saluran II dan III
disebut efisien dengan nilai EP masing-masing sebesar = 2,24% dan 23,36%.

DAFTAR PUSTAKA

Anindita, R dan Nur Baladina, 2017. Pemasaran Produk Pertanian. Penerbit Andi Yogyakarta.

Azzaino, Z. 1983. Pengantar Tataniaga Perternakan: Diktat Kuliah Fakultas Perternakan. Unila.
Bandar Lampung.

Emhar,A., Aji, J.M.M., Agustina, T. 2014. Analisis Rantai Pasokan (Supply Chain) Daging Sapi
Di Kabupaten Jember. Jurnal Berkala Ilmiah Pertanian. 1 (3): 53-61.

Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi
potong di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4): 148-157.
Heryadi, A.Y. 2011. Pola Pemasaran Ternak Potong Di Pulau Madura. Jurnal-SEP. 5(2): 38-46

12
Mariyono, Utami, D.P. dan Zulfanita. 2013. Tataniaga Daging Sapi Di Kabupaten Purworejo.
Jurnal Surya Agritama. 2 (2) : 78-88.

Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Perternakan. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan


Penerangan Ekonomi dan Sosial,Yogyakarta.

Musemwa, L., Mushunje, A., Chimonyo, M., Mapiye, C. 2010. Low Cattle Market Off-Take
Rates In Communal Production Systems of South Africa : Causes and Mitigation Strategies.
Journal. Sus. Dev. in Africa 12: 209-225.

Nazir, M. 2014. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia Bogor.

Ningsih, U. W., dan B. Hartono. 2017. Analisis Pemasaran Sapi Potong Melalui analisis Margin,
Transmisi Harga, Struktur Pemasaran, Perilaku Pemasaran dan Kinerja Pemasaran. Jurnal-
Jurnal Peternakan. 27 (1): 1-11.

Rum, M. 2011. Analisis Margin Pemasaran dan Sensitivitas Cabai Besar di Kabupaten Malang.
Jurnal Agribisnis. 8 (2): 133-141 Desember 2011.

Saliem, H.P. 2004. Analisis Margin Pemasaran: Salah Satu Pendekatan dalam Sistem Distribusi
Pangan. Dalam: prosiding Prospek Usaha dan Pemasaran Beberapa Komoditas Perternakan.
Monograph Series No. 24. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Perternakan,
Bogor.

Silalahi, Ulber, 2010. Metode Penelitian Sosial. Penerbit Refika Aditama Bandung.

Sumitra, J., Kusumastuti, T.A., Widiati, R. 2013. Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kabupaten
Ogan Komering Ilir, Sumatra Utara. Jurnal Peternakan. 37(1): 49-58

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sunarto, E., Nono, O.H., Lole, U.R., Henuk, Y. L. 2016. Kondisi Ekonomi Rumah Tangga
Peternak Penggemukan Sapi Potong Pada Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang. Jurnal
Peternakan Indonesia. 18(1): 21-28.

Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Pola
Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1) : 29-37.

Widiarti, E. 2010. Analisis Margin Pemasaran Jahe di Kabupaten Wonogiri. Skripsi. Fakultas
Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Widitananto, A., Sihombing, G., Sari, A.I. 2012. Analisis Pemasaran Sapi Potong di Kecamatan
Playen Kabupaten Gunung Kidul. Journal Tropical Animal Husbandry. 1(1): 59-66

13

Anda mungkin juga menyukai