I. PENDAHULUAN
gizi masyarakat. Daging asal ruminansia besar paling banyak disumbangkan oleh
sapi potong, diikuti kerbau dan sapi perah (sapi jantan dan betina afkir),
meningkatnya jumlah produksi daging ternak besar di pasar pada tahun 2009;
453.602 kg, 2011; 572.292 kg dan survei terahir 2013; 648.650 kg.
terus menerus meningkat dari tahun ke tahun dan timbulnya keinginan sebagian
besar peternak sapi untuk menjual sapi-sapinya dengan harga yang lebih pantas.
Perkembangan usaha sapi potong juga tidak lepas dari upaya pemerintah yang
telah mendukung. Kondisi ini dapat menjadi motivasi bagi para peternak untuk
peternak tradisioanal dengan kepemilikan ternak yang rendah. Salah satu ciri dari
ternak pada saat membutuhkan uang, dalam kasus pemasaran yang demikian
biasanya peternak berposisi price taker bukan price macker. Pemasaran atau
Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya lembaga pemasaran. Saluran
2
ternak di dalam penjualan ternak sapi potong. Oleh karena itu dirasa perlu adanya
yang dihasilkan oleh produsen agar dapat sampai kepada konsumen (Sumitra,
2013). Bagi peternak sapi distribusi pemasaran mempunyai peran yang penting
untuk memastikan ternak yang dihasilkan oleh peternak sampai kepada konsumen
secara efisien.
Usaha peternakan memiliki dua sektor utama yaitu sektur hulu dan hillir,
dimana suatu produk (sapi) akan berkualitas baik apabila dalam sektor hulu
umum berada di wilayah pedesaan. Perpindahan ternak sapi dari peternak sampai
dan curah hujan antara 1.000-3.100 mm/th. Tanah yang subur menyebabkan
sebagian besar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Kondisi ini banyak
dimanfaatkan oleh para petani untuk memelihara sapi potong karena mudahnya
Ngadirejo setiap Legi. Hasil survei 2013 sapi masuk 4.300 ekor dan terjual 2.800
masuk 7.080 dan terjual 4.980 ekor, adapun peternak yang menjual ternaknya di
Adapun yang menjual di pasar hewan Kecamatan Ngadirejo sebagian besar dari
dipengaruhi jarak distribusi yang tentu saja akan menambah biaya transportasi dan
jumlah sapi potong 27.242 ekor dengan jumlah pemilik 17.164 orang. Sebagian
promosi banyak dipengaruhi distributor oleh karena itu perlu adanya strategi
4
Terkait dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis
Kabupaten Temanggung”.
1.2.1 Bagaimana rantai pemasaran dan lembaga pemasaran ternak sapi potong di
Kabupaten Temannggung
1.2.1 Berapakah margin pemasaran dan profit margin setiap lembaga pemasaran
1.3.1 Menggambarkan jalur rantai pemasaran ternak sapi dan lembagaannya yang
1.4.1 Sebagai masukan dalam pemasaran ternak sapi kususnya bagi peternak di
Kabupaten Temanggung.
Kabupaten Temanggung
5
Sapi potong adalah sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena
daging dan cukup baik. Sapi-sapi inilah yang umumnya dijadikan sebagai sapi
bakalan yang dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh
pertambahan berat badan yang ideal untuk dipotong. Pemilihan bakalan yang baik
menjadi langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan usaha. Salah satu
tolak ukur penampilan produksi sapi potong adalah pertambahan berat badan
Ternak sapi, khususnya sapi potong, merupakan salah satu sumber daya
penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya di
berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, dan
Saluran pemasaran adalah saluran atau jalur yang digunakan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk memudahkan pemilihan suatu produk itu
bergerak dari produsen sampai berada di tangan konsumen. Jalur pemasaran yang
berat untuk membayar dengan harga yang tinggi. Sedangkan bagi peternak,
6
perolehan pendapatan menjadi lebih rendah karena harga penjualan yang diterima
Usaha pemasaran atau tataniaga sapi potong lebih banyak di kuasai oleh
terbentuk mulai dari tingkat peternak, blantik, pedagang pengumpul, jagal sampai
sebagai saluran atau jalur yang digunakan baik secara langsung maupun tidak
atau perantara ini menentukan satu saluran pemasaran. Secara formal, mereka
adalah perangkat jalur yang diikuti produk atau jasa setelah produksi (Kotler dan
Keller, 2007).
badan yang bertugas melaksanakan fungsi pemasaran itu sendiri untuk memenuhi
secara alami. Biasanya pola ini banyak dilakukan oleh peternak yang ingin
konsumen, pedagang besar atau pasar-pasar yang telah ada. Salah satu pola
tersebut yaitu :
Hewan – Eksportir/konsumen.
1. Jarak antara produsen ke konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan
2. Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus
jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, hal ini tidak
lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung
diproses lebih lanjut pada tingkat saluran pemasaran yang berbeda dan melalui
Erikson,1992).
konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu
memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu (time utility), tempat (place
(Kamaludddin, 2008).
agen dan perantara, makelar (broker, selling broker, dan buying broker).
importir.
terdiri dari:
seperti pengangkutan.
pemasaran yang khusus. Pola pemasaran yang terbentuk selama pergerakan arus
yang diperdagangkan
ternak potong berbeda besarnya. Perbedaan ini disebabkan oleh kegiatan yang
Perbedaan harga yang diterima petani dengan pedagang perantara ini merupakan
pemasaran, maka dapat diketahui apakah ada kesesuaian antara proporsi kerja
yang dilakukan dengan pendapatan yang diperoleh. Ada beberapa faktor yang
produsen ke konsumen.
adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang
dibayar kepada penjual pertama (Hp) dan harga yang dibayarkan oleh pembeli
M = He – Hp
Dimana =
M = Margin Pemasaran (Tataniaga)
Hp = Harga yang dibayar kepada Penjualan pertama (Rp/Ekor) He =
Harga yang dibayar kepada Pembelian terakhir (Rp/ Ekor)
Mt = M1 + M2……… + Mn
Dimana =
Mt = Margin Saluran Pemasaran
M1 = Margin Pemasaran Lembaga Pemasaran ke-1
M2 = Margin Pemasaran Lembaga Pemasaran ke-2
Mn = Margin Penasaran Lembaga Pemasaran ke-n
masing-masing tidak sama. Pendeknya jarak antara produsen dan konsumen dapat
bentuk ataupun perubahan volume atau mutu maka biaya pengolahan tidak ada.
Semakin panjang jarak semakin banyak perantara yang terlibat dalam distribusi,
maka biaya distribusi semakin tinggi (Daniel, 2002). Menurut Soekartawi (2002),
Biaya pemasaran meliputi biaya angkut, biaya pengeringan, biaya retribusi, dan
lain-lain. Besarnya biaya pemasaran ini berbeda satu sama lain disebabkan karena:
1. Macam komoditi
2. Lokasi pemasaran
penerimaan total dan biaya-biaya. Biaya ini dalam banyak kenyataan, dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (seperti sewa tanah, pembelian alat)
dan biaya tidak tetap (seperti biaya transportasi, upah tenaga kerja).Keuntungan
margin adalah keuntungan yang bersifat kotor. Dari segi bisnis, keuntungan ini
bersifat semu karena ada unsur-unsur biaya yang tidak diperhitungkan yaitu biaya
cara memperbaiki pelaksanan dari fungsi tataniaga secara efektif dan efisien. Pada
13
pokoknya laba dapat diperoleh dari seluruh penghasilan dikurangi dengan seluruh
biaya. Laba bersih yang dapat dicapai menjadi ukuran sukses bagi sebuah
hasil penjualan dikurangi dengan harga pokok barang yang dijual dan biaya-biaya
lainnya. Untuk mencapai laba yang besar, maka manajemen dapat melakukan
jual sedemikian rupa sesuai laba yang dikehendaki dan meningkatkan volume
1. Melakukan efisiensi dari segi teknis : dari segala skala usaha dan
dalam model analisisnya adalah variable harga. Oleh karena itu ada dua hal
tramspormasi antara input dan output, serta perbandingan antara harga input
1993).
14
output dan unsur input. Apabila hasil perbandingan ini lebih besar dari pada 1
output dan input hasilnya kurang dari 1 (satu) maka dikatakan kurang
Perusahaan yang efisien apabila nilai output lebih besar dari nilai inputnya.
Sebaliknya perusahan tidak efisien jika outpu bernilai lebih kecil dari nilai
pemasaran, yaitu :
1. Keuntungan pemasaran
4. Kompetensi pasar.
yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta
yang umumnya dicapai dengan salah salah satu dari empat cara berikut :
peningkatan masukan.
penuruna masukan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa ada dua dimensi yang berbeda dari
keduanya masih aktif sebagai pasar hewan. Sapi yang dipilih sapi yang siap
potong sesuai kebutuhan jagal temanggung Responden pada penelitian ini terbagi
akhir dan atau jagal. Pemilihan responden pedagang akan dipilih secara purposive
pedagang akan dipilih yang memiliki minimal 5 tahun pengalaman di pasar hewan
dengan asumsi responden sudah cukup menguasai budaya pasar hewan. Pada
penelitian ini akan dipilih 5 orang pedagang di masing masing pasar hewan.
metode snowball sampling yaitu penelusuran saluran pemasaran sapi potong yang
c. Margin pemasaran.
e. Harga jual sapi potong adalah harga yang diterima peternak dari
lembaga pemasaran dan yang di hitung dalam satuan rupiah per ekor.
f. Harga beli sapi potong adalah harga yang dibayarkan oleh masing-
didirikan dan dikelola oleh blantik, pedagang pengepul dan jagal yang
ekor.
a. Analisis Deskriptif
“Mi=Prj-Pfj-1”
Dimana:
Mi = Margin pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaaran.
Prj = Harga yang diterima oleh lembag pemasaran yang lebih akhir.
Pfj-1 = Harga yang diterima oleh lembaga sebelumnya.
“Klp=Mi-Bp-Bt”
Dimana:
Klp = Keuntungan pada setiap lembaga pemasaran.
Mi = Margin pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaran.
Bp = Biaya pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaran.
Bt = Biaya transaksi (biaya negosiasi dan lainnya)
hewan, blantik dan jagal untuk mengetahui kondisi lapangan tempat penelitian
kuisioner kepada responden. Data sekunder yang diperoleh dari instansi yang
terkait.
20
Kegiatan yang dilakukan pada tahap analisis data yang telah didapatkan
pada tahap pengumpulan data dan selanjutnya data dianalisis dengan rumus.
Hasil penelitian yang telah dilakukan mulai dari awal persiapan sampai
dan curah hujan antara 1.000-3.100 mm/th. Tanah yang subur menyebabkan
sebagian besar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Kondisi ini banyak
dimanfaatkan oleh para petani untuk memelihara sapi potong karena mudahnya
Ngadirejo setiap Legi. Hasil survei 2013 sapi masuk 4.300 ekor dan terjual 2.800
masuk 7.080 dan terjual 4.980 ekor, adapun peternak yang menjual ternaknya di
Adapun yang menjual di pasar hewan Kecamatan Ngadirejo sebagian besar dari
dipengaruhi jarak distribusi yang tentu saja akan menambah biaya transportasi dan
sapi potong 27.242 ekor dengan jumlah pemilik 17.164 orang. Sebagian besar
promosi banyak dipengaruhi distributor oleh karena itu perlu adanya strategi
responden yang dimaksud adalah peternak, tukang tenguk, belantik dan penjagal.
Identitas responden dapat dilhat dari Jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,
perkerjaan lama rusaha menjual ternak sapi potong. Untuk lebih jelasnya dapat
dengan persentase 69% dan wanita sebanyak 2 orang dengan persentase 11%.
Berdasarkan data tersebut di ketahui bahwa pelaku pemasaran ternak sapi potong
23
di Kabupaten temanggung didominasi oleh pria dan sebagian kecil ditingkat jagal
1).peternak pria 20 orang, 2).Tukang tenguk : pria 6 orang, 3). Belantik pria 5
dikelompokkan dalam dua peranan besar yaitu peran tradisi dan peran transisi.
Peranan tradisi atau peran domestik mencakup peran laki-laki sebagai suami,
kepala keluarga. Sementara peran transisi meliputi laki-laki sebagai tenaga kerja
yang bekerja diluar rumah yang berperan dalam mencari nafkah untuk memenuhi
mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu pengola rumah tangga. Sementara
itu peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota
berkembang lebih luas lagi. Perempuan saat ini tidak saja berkegiatan di dalam
Franciska, 2000).
4.2.2 Umur
adalah faktor umur. Umur tentunya akan berdampak pada kemampuan fisik
seseorang dalam bertindak dan berusaha. Orang yang memiliki umur tua
dengan mereka yang masih berumur muda. Menurut badan pusat statistik (BPS),
24
melakukan usaha budi daya ternak sapi potong seluruhnya dilakukan oleh
berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa sebagian umur responden
berada pada usia produktif dan hal ini tentunya sangat berdampak positif dalam
(umur produktif) umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu makin tingi dan
lebih tinggi tentunya juga akan memiliki kemampuan dalam menerima atau
Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tingkat SMA atau sederajat. Jumlah
sebanyak orang (61%) dan yang terendah adalah tingkat pendidikan 0 – 3 tahun 1
orang (3,7%). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pendidikan
responden masih sangat rendah. Untuk itu perlu diadakan penyuluhan peternakan
meningkat. Hal ini sesuai pendapat Soekartawi (1993) yang menyatakan bahwa
4.2.4 Pekerjaan
kategori yaitu : Pelaku pasar, wiraswasta, dan pegawai negri sipil (PNS).
demikin dapat diketahui bahwa usaha peternakan yang dilakukan oleh responden
memiliki tingkat pendapatan yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan hidup
responden tersebut.
responden berdasarkan lama menjual ternak sapi potong dapat dilihat pada
Tabel 4.5.
Pada tabel 4.5. Terlihat bahwa lama menjual ternak sapi potong pada
tahun 1 orang (3%). Secara umum responden telah memiliki pengalaman yang
responden mampu mengatasi masalah yang terjadi. Hali ini sesuai pendapat
masih dikuasai oleh belantik dan pedagang perantara. Hal ini disebabkan oleh
pengetahuan peternak dalam proses pemasaran ternak sapi potong serta lebih
penjualan ternak sapi potong oleh peternak melalui penjualan dari peternak ke
didominasi oleh rantai tersebut, hal ini disebabbkan karena tidak adanya
dan Semarang yang memiliki permintaan lebih tinggi dibandingkan kota lain.
28
pemasaran yang terlibat dalam menyalurkan ternak sapi potong dari peternak
adalah tukanng tenguk, belantik, dan penjagal. Pola saluran pemasaran ternak sapi
beberapa hal, diantaranya : harga jual, harga beli, biaya transportasi, sumber
badan yang bertugas melaksanakan fungsi pemasaran itu sendiri atau memenuhi
(Suarda,2009)
pelaku pemasaran yaitu Peternak dan penjagal. Dimana saluran pemasaran ini di
mulai dari peternak langsung kepada pejagal Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
Pola pemasaran tersebut sangat jarang terjadi mengingat jagal lebih sering
membeli ternak di pasar kepada belantik dikarenakan jagal lebih leluasa dalam
yang tentu memerlukan waktu serta biaya yang lebih banyak. Hal ini sesuai
pendapat Rasyaf (1996) yang menyatakan bahwa jalur tidak langsung yaitu
modern, pasar tradisional dan pedagang pengecer. Jumlah pelaku pemasaran yang
terlibat pada saluran pemsaran ini yaitu sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2 orang
peternak dan 1 orang jagal dengan persentase 8%. Jumlah ternak sapi potong yang
lapangan (PPL) yang berasal dari Dinas atau instansi resmi pemerintahan, tetapi
bahwa peranan seorang penyuluh tida terlalu signifikan, artinya peternak dalam
juga tidak berusaha untuk mendatangi penyuluh untuk konsultasi ataupun mencari
dengan penyuluh yang masih rendah dapat dipengaruhi dari berbagai kendala,
kondisi yang rill dilapangan terlihat bahwa kendala penghambat kinerja PPL,
terbatasnya tenaga penyuluh serta akses jalan yang sulit ditempuh untuk menuju
yang belum merata di setiap desa. Kendala lain dilapangan yakni kurang
tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana merupakan
faktor penunjang yang sangat penting dalam meningkatkan kinerja PPL karena
penghubung.
diintroduksikan kepada petani agar petani mau menerapkan teknologi tersebut dan
sekolah (nonformal) untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar
mereka tahu, mau, mampu, dan berswadaya mengatasi masalahnya secara baik.
oleh responden dalam Satuan Ternak (ST). Usaha ternak kambing sangat
menghasilkan pupuk kandang yang merupakan hasil sampingan bagi peternak dari
jumlah 60 100.0
Sumber : Data Primer Diolah, 2017
rata 6 sampai 10 ekor atau masih berskala sedang. Hal ini sesuai pendapat Rasali
dkk, (2013) yang menyatakan bahwa lebih dari 90% berupa peternakan rakyat
yang memiliki ciri sebagai berikut: 1) skala usaha relatif kecil, berkisar antara 1-5
penghasil pupuk kandang dan tabungan yang memberikan rasa aman pada musim
paceklik. Besar atau kecil jumlah kepemilikan ternak yang dimiliki oleh peternak
antara lain adalah pakan dan lahan, sedangkan faktor utama dalam menentukan
baik yang tergabung dalam kelompok peternak maupun yang mandiri selalu masih
kemarau. Jenis bahan pakan yang diberikan sehari-hari beragam mulai dari jenis
rumput, jenis ramban, dan jenis tanaman leguminosa. Pemberian silase bahan
silase hampir semua jenis pakan sumber serat bisa diolah dan dimanfaatkan
sebagai pakan ternak sehingga ketersediaan pakan sumber serat bisa dioptimalkan.
pemanfaatan hijauan pakan yang ada di lokasi usaha terutama bahan pakan yang
bertekstur keras dan susah dicerna baik yang berasal dari limbah pertanian,
terutama tenaga untuk mencari hijauan pakan hingga 40% dan memberikan
peluang bagi peternak untuk memelihara ternak dalam jumlah yang lebih besar
jumlah ternak, maka skala usaha juga semakin besar. Jika peternak dapat
menggunakan pakan berkualitas dengan harga yang lebih murah, maka usaha
peternakan dapat memberikan keuntungan yang lebih baik. Tingginya biaya pakan
34
sering menjadi kendala bagi peternak dalam memenuhi kebutuhan nutrisi ternak
teknologi yang sesuai dengan kebutuhan peternak dengan harga yang murah
untuk mencapai tujuan efektifitas, efisiensi serta produktivitas yang tinggi. Jumlah
Faktor eksternak peternak yaitu sifat atau suasana dari luar yang
berdasarkan perencanaan yang baik dan sesuai dengan teknis budidaya yang di
usahakannya. Faktor eksternal yang dikaji dalam penelitian ini adalah dukungan
faktor yang harus diperhatikan dan perlu mendapat prioritas berkaitan dengan
petugas yang melakukan pembinaan dan penyampai pesan atau materi dan
berhubungan langsung dengan petani. Hasil survey dan wawancara dari sebagian
Dukungan Kelembagaan
Reng Interval Skor Jumlah (orang) Persentase %
Rendah 9-21 0 0%
Sedang 22-33 60 100%
Tinggi 34-45 0 0%
Jumlah 60 100
Sumber : Data Primer Diolah, 2017
maupun sesama petani terbina dan berlangsung secara alami akan banyak manfaat
tenaga penyuluh yang bertugas memberikan akses informasi dan teknologi yang
peternak dalam menjalankan usahanya. Pada hakekatnya tugas dan fungsi dinas
kesehatan hewan, bantuan teknik. Dengan kata lain dukungan kelembagaan akan
mempunyai acuan agar dapat bekerja dengan baik dan mencapai sasaran (Charina,
2015)*.
peternak sehingga menjadi tindakan atau perilaku. Perilaku dalam hal ini adalah
sering kali diartikan sebagai suatu proses mentalitas pada diri seseorang atau
mengukuhkannya.
dan keuntungan yang relatif (Tarukallo dkk. 2014)*. Peternak sasaran mengambil
jawaban yang menggambarkan urutan atau tahap adopsi, semakin tinggi nilai
tahap adopsi artinya tingkat efektivitas penyuluhan tinggi, sebaliknya apabila nilai
tahap adopsi rendah maka tingkat efektivitas penyuluhan rendah, kergaan tahap
Tingkat adopsi yang tinggi dapat dikatakan bahwa peternak sudah melalui
beberapa tahap dalam proses adopsi hingga menerapkan, tingkat adopsi rendah
terjadi dengan kemungkinan bahwa yang dilakukan peternak hanya sampai tahap
sadar ataupun minat, menurut Nuhoni dan Hendrian (2007)* bahwa hal tersebut
sudah dikatakan bahwa peternak sudah mengadopsi tetapi belum pada tahap yang
teknologi. Tahap adopsi dari hasil penelitian disajikan dalam tabel 12, yang
Suatu teknologi baru tidak akan berguna tanpa adanya adopsi. Pernyataan
tersebut terlihat pada tabel 12 di atas, yaitu tidak seluruhnya peternak menerapkan
apa yang sudah mereka coba. Wahyudi dkk, (2010)* menyatakan bahwa
yang berasal dari dalam diri peternak dan dari luar diri peternak, serta faktor
proses adopsi inovasi itu sendiri merupakan proses yang diupayakan secara sadar
Adopsi teknologi akan lebih cepat pada saat kegiatan memberikan hasil
yang nyata. Tekhnologi yang mereka perlukan adalah yang mudah dilakukan,
biaya murah dan mampu memberi manfaat yang menguntungkan (Rostini dkk.
baik jumlah maupun kualitas, oleh karena itu masih sangat perlu untuk
40
Korelasi
No Variabel X (Karakteristik Variabel Y (Tingkat Keterangan
Internal) Adopsi)
1. -0.071 Tidak ada korelasi,
Umur
berlawanan arah
2. Jumlah Kepemilikan Ternak 0,404** Korelasi nyata
3. Tingkat Pendidikan 0,446** Korelasi nyata
4. Frekuensi interaksi dengan 0.106 Tidak ada korelasi,
PPL searah
Sumber : Data Primer Diolah, 2017
antara umur peternak dengan tingkat adopsi dalam pembuatan silase. Pernyataan
hubungan yang tidak searah dengan tingkat adopsi, artinya ada kecenderungan
semakin tinggi umur peternak maka tingkat adopsi akan menurun. Kecenderungan
ini dapat diterangkan oleh informasi pelengkap yang menyatakan bahwa sebagian
besar peternak tingkat usianya sedang hingga tua, dan peternak yang berusia tua
cenderung akan lebih sulit dalam menjalankan adopsi inovasi, pernyataan tersebut
juga disampaikan oleh Muttakin dkk (2014)* bahwa usia merupakan salah satu
indikator dalam menentukan produktif atau tidaknya seseorang, cara berfikir, dan
berumur muda bekerja lebih kuat, lebih dinamis dan tanggap terhadap lingkungan
yang berumur lebih tua. Berdasarkan umur peternak sebagian besar berada pada
umur produktif, tetapi peternak tidak serius dalam mengelola usaha peternakan
kambing, selain itu, peternak lebih terfokus pada usaha pokoknya (usaha tani).
orang lain tentang suatu inovasi teknologi dengan mencoba serangkain tindakan
yang beragam. Penelitian yang dilakukan oleh Yasintha dkk, (2014)* mempunyai
hasil yang sependapat bahwa umur memiliki hubungan yang negatif dengan
semakin tanggap terhadap inovasi baru sehingga semakin tinggi peluang petani
untuk mengadopsi teknologi, sedangkan yang lebih tua pada umumnya bertahan
pada sistem yang lama yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat.
antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat adopsi dalam pembuatan silase.
Pernyataan tersebut ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs = 0,404) artinya
semakin banyak ternak yang dimiliki maka tingkat adopsi juga akan semakin
pendapatan yang diperoleh oleh peternak hal ini berkaitan dengan jenis usaha
yang dijalankan oleh peternak apakah termasuk usaha pokok atau usaha
sampingan. Semakin banyak ternak yang dimiliki maka peternak harus berupaya
kunci keberhasilan usahanya harus mampu menyerap informasi yang ada. Kondisi
umumnya dilakukan dengan sistem cut and carry (potong dan angkut) untuk
diberikan. Pakan basal yang diberikan umumnya berupa rumput lokal yang
dikumpulkan disekitar kebun, tegalan, rawa dan hutan. Ketersediaan rumput lokal
di lapangan relatif berfluktuasi tergantung curah hujan. Pada saat musim kemarau
panjang umumnya lahan menjadi kering dan hanya rumput-rumput tertentu yang
limbah pertanian berupa jerami kacang-kacangan dan jerami jagung sudah mulai
sehingga pemanfaatannya masih terbatas (Adrial dan Saleh, 2013)*. hijauan yang
pada musim paceklik. Rostini dkk (2015)* menyatakan bahwa usaha pemanfaatan
hijauan sangat diperlukan untuk bisa menjamin ketersediaan pakan ternak. Usaha
pengawetan hijauan pakan yang bisa dilakukan salah satunya adalah pembuatan
peternak.
Pernyataan tersebut ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs = 0,446) artinya
semakin tinggi pendidikan peternak maka tingkat adopsi teknologi juga semakin
yang tinggi akan mempengaruhi pola pikir yang lebih rasional dan mudah untuk
kantor desa, maka segala informasi atau materi penyuluhan tidak sepenuhnya
diaplikasikan di lapangan.
Pola pikir peternak dengan pendidikan yang lebih tinggi jauh lebih matang
serta mampu berfikir secara rasional. Warnaen dkk (2013)* menyatakan bahwa
mempengaruhi produktivitas kerja serta koneksi sosial yang lebih baik. Pendapat
lain yang diungkapkan oleh Stiglitz dkk, (2011) bahwa masyarakat yang lebih
pengangguran yang lebih sedikit, koneksi sosial yang lebih banyak, dan
keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan sipil dan politik. Pendukung lain
bidang pertanian (dalam hal ini beternak kambing) cenderung lambat diterima dan
dalam berusaha. Pendidikan berpengaruh pada cara berfikir peternak yang akan
pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang berpendidikan tinggi
akan lebih baik cara berfikirnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih
rasional dalam mengelola usahataninya (Gustiani dan Karsidi, 2015)*, hal ini
nyata antara frekuensi interaksi dengan penyuluh dengan tingkat adopsi dalam
(rs = 0.106).
dengan penyuluh maka tingkat adopsinya semakin tinggi. Adanya peran penyuluh
kesempatan untuk lebih tahu hingga mengadopsi teknologi sangat besar. Artinya
semakin intensif interaksi peternak dengan penyuluh maka akan semakin banyak
pula informasi yang akan para peternak peroleh. Junaedi (2007) menyatakan
bahwa pada tahap adopsi peternak akan mencoba teknologi yang disampaikan
apabila ada peragaan teknologi tersebut, serta adanya bimbingan yang intensif
sampai peternak merasa mampu menerapkannya tanpa perlu didampingi lagi oleh
penyuluh. Sadono (2008)* menyatakan bahwa salah satu tugas penyuluh adalah
46
pertanian, hal ini dapat tercapai apabila intensitas interaksi antara penyuluh
dengan petani ataupun sebaliknya tinggi, nilai penting yang dianut dalam
penyuluh dalam menyampaikan ilmu dan pengetahuan tentang cara beternak yang
tentang cara beternak kambing yang modern maka pengetahuan peternak semakin
pendidikan nonformal atau dengan cara penyuluhan agar peternak rakyat tidak
pakan silase secara lengkap akan mempengaruhi waktu dan tenaga mereka. Secara
rasional memang pembuatan silase akan mempengaruhi waktu dan tenaga tetapi
secara keuntungan jangka panjang maka akan berpengaruh positif terhadap usaha
terhadap keterbatasan pemikiran rasional dan cara pandang peternak ini yang
terkait. Mereka harus menekankan agar petani mampu mengubah cara dan pola
input usahanya.
Pernyataan tersebut ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs= 0,484), artinya
semakin besar dukungan kelembagaan maka tingkat adopsi juga akan semakin
lebih cepat apabila ada sebuah kerjasama yang baik antara peternak dengan
tanpa adanya suatu dukungan baik materi maupun moral dari instansi atau
lembaga yang menaungi para peternak, diakui sudah berfungsi dengan baik.
peternakan dan membantu peternak dalam proses adopsi inovasi teknologi dalam
beternak kambing, hal ini bermakna bahwa semakin baik dukungan kelembagaan
maka akan semakin tinggi tingkat efektivitas penyuluhan, Priyono dkk, (2015)*
oleh banyak faktor yang menyebabkan sulitnya para petani untuk berkembang.
melalui kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh pertugas penyuluh dari Balai
Penyuluhan Pertanian yang ada di daerah. Seperti yang dijelaskan dalam Undang-
serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan
inovasi baru kepada petani tentang bagaimana berusaha tani dengan baik. serta
jika memiliki dampak positif bagi petani, baik manfaat langsung (peningkatan
lembaga lain seperti lembaga agroinput dan lembaga pemasaran (Priyono dkk,
2015)*. Oleh karena itu petani membutuhkan kelembagaan kelompok tani untuk
4.5 Ikhtisar
Korelasi
No Variabel X (Karakteristik Variabel Y (Tingkat Keterangan
Internal) Adopsi)
1. -0.071 Tidak ada korelasi,
Umur
berlawanan arah
2. Jumlah Kepemilikan Ternak 0,404** Korelasi nyata
3. Tingkat Pendidikan 0,446** Korelasi nyata
4. Frekuensi interaksi dengan 0.106 Tidak ada korelasi,
PPL searah
Sumber : Data Primer Diolah, 2017
51
silase, sedangkan umur dan frekuensi interaksi dengan penyuluh tidak ada
0,484** (korelasi nyata), hasil tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat
mengadopsi teknologi.
52
5.1 Kesimpulan
baik, semua peternak sudah dalam tahap adopsi tetapi belum pada tahap
yang sempurna.
4. Variabel yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat adopsi adalah umur
5.2 Saran
yang disampaikan.
53
DAFTAR PUSTAKA
Arlis. 2016. Hubungan Karakteristik Petani dengan Produksi Padi Sawah di Desa
Rambah Tengah Barat Kecamatan Rambah Kabupaten Rokan Hulu.
Universitas Pasir Pengaraian. Rokan Hulu.
Emawati S., Sudiyono ,dan Sari A. I. 2017. Pengaruh Profil Demografis Terhadap
Keberhasilan Pelatihan Pengolahan Pupuk Organik di Kecamatan
Ngadirojo Kabupaten Wonogiri. Jurnal Sains Peternakan. Vol. 15. No. 1.
Faizaty Nur Elisa, Amzul Rifin, Netti T. 2016. Proses Pengambilan Keputusan
Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya Kedelai Jenuh Air (Kasus: Labuhan
Ratu Enam, Lampung Timur). Jurnal AGRARIS. Vol.2 No.2
Far Far, R.A. 2014. Respon Petani terhadap Penerapan Metode Penyuluhan
Pertanian di Kota Ambon Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian.
Vol 10. No. 1. Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon.
Ihyaul U. 2009. Audit Sektor Publik suatu Pengantar. Bumi Aksara. Jakarta.
Murtiyani, Ninik. 2011. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan
Remaja di RW V Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo. Universitas
Airlangga: Surabaya.
Muttakin, Dedi, Ismail U.P. dan Sri Ayu K. 2014. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi
yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit Pola Swadaya di
Desa Kepau Jaya Kabupaten Kampar. Jurnal RAT Vol.3.No.1.
Prabowo A. 2015. Karakteristik dan Peranan Lembaga Petani Pemakai Air dalam
Mendukung Produktivitas Hasil Padi di Kecamatan Toboali Kabupaten
Bangka Selatan. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. Volume
Prabowo A., Susanti A.E., dan Karman J. 2013. Pengaruh Penambahan Bakteri
Asam Laktat terhadap Ph dan Penampilan Fisiksilase Jerami Kacang
Tanah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Priyono , Muhammad Ikhsan Shiddieqy, Didik Widiyantono dan Zulfanita. 2015.
Hubungan Kausal antara Tingkat Penguasaan Teknologi, Dukungan
Kelembagaan, dan Peran Penyuluh terhadap Adopsi Integrasi Ternak-
Tanaman. Jurnal Informatika Pertanian. Vol. 24 No.2.
Saridewi Tri R. dan Amelia N. S. 2010. Hubungan antara Peran Penyuluh dan
Adopsi Teknologi oleh Petani terhadap Peningkatan Produksi Padi di
Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol. 5 No. 1.
STTP. Bogor.
Sedjati H.W. 2010. Pengaruh Tingkat Pendidikan Sekolah terhadap Motivasi
Bekerja pada Sektor Pertanian di Desa Karangnanas, Kecamatan
Sokaraja Kabupaten Banyumas. STISIP Kartika Bangsa. Yogyakarta.
Stiglitz, Joseph E., Sen, Amartya, Fitoussi, Jean Paul. 2011. Mengukur
Kesejahateraan: Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur yang
Tepat untuk Menilai Kemajuan. Marjin Kiri. Jakarta.
Suparta Nyoman. 2013. Penyuluhan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik.
Fakultas Peternakan. Universitas Udayana
Suseno Wahyu Gangsar dan Tetty Wijayanti. 2008. Peranan Prima Tani Terhadap
Pendapatan Petani Padi Sawah (Oryza Sativa l.) di Desa Suliliran Baru
Kecamatan Pasir Belengkong Kabupaten Paser. J–SEP Vol. 2 No. 1
Sutarto. 2008. Hubungan Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Inovasi
Teknologi Komoditas Jagung di Sidoharjo Wonogiri. Jurnal Agritexts No
24.
Tarukallo P. B., Andi A. U., dan Ladaha, 2014. Faktor yang Mempengaruhi
Adopsi Teknologi Biopestisida oleh Petani Sayur di Sendana dan Purangi
Kota Palopo. Jurnal Komunikasi KAREBA. Vol.3, No.2.
Utami L S.. 2015. Hubungan Karakteristik Peternak dengan Skala Usaha Ternak
Kerbau di Desa Sumbang Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Skripsi.
Fapet Unhas. Makasar
Wahyudi Wirawan A., Afriani H, dan Nahri I. 2010. Evaluasi Adopsi Teknologi
Peternakan Ayam Broiler Di Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro
Jambi . Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora. Volume 12,
Nomor 2. Jambi.
Warnaen A., Hafied Cangara,dan Sitti Bulkis. 2013. Faktor-Faktor yang
Menghambat Inovasi pada Komunitas Petani dan Nelayan dalam
59
LAMPIRAN
Lampiran 1.
DAFTAR PERTANYAAN
Desa :
Kecamatan :
Jenis Ternak :
A. IDENTITAS UMUM RESPONDEN
1. Nama responden :
2. Alamat :
3. Umur :
4. Jenis kelamin :
5. Pekerjaan utama :
6. Pekerjaan sampingan :
7. Jumlah kepemilikan ternak :
8. Keikutsertaan kelompok ternak : ya (sejak kapan ...... )/tidak .....
B. TINGKAT PENDIDIKAN
1. ( ) Tidak Sekolah
2. ( ) SD - kelas......................
3. ( ) SMP - kelas......................
4. ( ) SMA - kelas .....................
5. ( ) Universitas D3/S1 jurusan...........................
Karakteristik Peternak
Jawablah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan kondisi Bapak/ibu di lapangan dengan
memberi tanda (X) pada kolom.
4 Dalam melaksanakan
penyuluhan, penyuluh
menggunakan perlengkapan
gambar / alat/ contoh
5 Petugas penyuluh dapat
menjelaskan informasi dan
teknologi peternakan dengan
62
jelas
6 Petugas penyuluh memahami
permasalah dan kebutuhan
peternak
Efektivitas Penyuluhan
N
Pernyataan Ya Tidak
o
A Sadar
Apakah materi yang disampaikan petugas
penyuluh (PPL) dapat dipahami.
B Minat
Apakah Bpk/Ibu berminat untuk membuat
silase.
C Menilai
Apakah Bpk/Ibu pernah menilai seberapa besar
keuntungan yang diperoleh jika Bpk/Ibu
membuat silase untuk pakan ternak, setelah
Bpk/Ibu menerima materi dari petugas
penyuluhan (PPL).
D Mencoba
Setelah petugas penyuluh memberikan materi
tentang pembuatan silase, Apakah Bpk/Ibu
pernah mencoba membuat silase.
E Adopsi
Lampiran 2.
Correlations
Correlations
Frek1 Frek2 Frek3 Frekuensi
interaksi
dengan PPL
Pearson Correlation 1 .816** .816** .921**
Frek1 Sig. (2-tailed) .001 .001 .000
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .816** 1 1.000** .977**
Frek2 Sig. (2-tailed) .001 .000 .000
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .816** 1.000** 1 .977**
Frek3 Sig. (2-tailed) .001 .000 .000
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .921** .977** .977** 1
Frekuensi interaksi
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000
dengan PPL
N 12 12 12 12
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.953 3
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
9.8333 1.788 1.33712 3
65
Correlations
Correlations
Kepemilika Kepemilikan Kepemilikan Jumlah
n1 2 3 Kepemilikan
Ternak
Pearson Correlation 1 .649* .529 .804**
Kepemilikan1 Sig. (2-tailed) .022 .077 .002
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .649* 1 .933** .969**
Kepemilikan2 Sig. (2-tailed) .022 .000 .000
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .529 .933** 1 .911**
Kepemilikan3 Sig. (2-tailed) .077 .000 .000
N 12 12 12 12
Jumlah Pearson Correlation .804** .969** .911** 1
Kepemilikan Sig. (2-tailed) .002 .000 .000
Ternak N 12 12 12 12
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.837 3
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
8.0000 2.364 1.53741 3
Correlations
66
Correlations
DK1 DK2 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8 D
Pearson
1 .522 .561 .496 .692* .563 .746** .522
Correlation
DK1
Sig. (2-tailed) .082 .058 .101 .013 .057 .005 .082
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.522 1 .683* .726** .843** .570 .676* 1.000**
Correlation
DK2
Sig. (2-tailed) .082 .014 .008 .001 .053 .016 .000
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.561 .683* 1 .474 .811** .093 .814** .683*
Correlation
DK3
Sig. (2-tailed) .058 .014 .120 .001 .774 .001 .014
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.496 .726** .474 1 .464 .626* .390 .726**
Correlation
DK4
Sig. (2-tailed) .101 .008 .120 .129 .029 .210 .008
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.692 *
.843** .811** .464 1 .389 .842** .843**
Correlation
DK5
Sig. (2-tailed) .013 .001 .001 .129 .211 .001 .001
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.563 .570 .093 .626* .389 1 .272 .570
Correlation
DK6
Sig. (2-tailed) .057 .053 .774 .029 .211 .393 .053
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.746** .676* .814** .390 .842** .272 1 .676*
Correlation
DK7
Sig. (2-tailed) .005 .016 .001 .210 .001 .393 .016
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.522 1.000** .683* .726** .843** .570 .676* 1
Correlation
DK8
Sig. (2-tailed) .082 .000 .014 .008 .001 .053 .016
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.380 .728** .497 .528 .613 *
.599 *
.492 .728**
Correlation
DK9
Sig. (2-tailed) .223 .007 .100 .078 .034 .039 .104 .007
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.748** .935** .751** .769** .883** .669* .794** .935**
Dukungan Correlation
Kelembagaan Sig. (2-tailed) .005 .000 .005 .003 .000 .017 .002 .000
N 12 12 12 12 12 12 12 12
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability
67
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.923 9
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
30.5000 25.545 5.05425 9
Frequencies
Statistics
Umur Jumlah
Kepemilikan
Ternak
Valid 60 60
N
Missing 0 0
Mean 46.75 4.70
Median 49.00 4.00
Mode 50 4
Std. Deviation 6.578 1.986
Minimum 10 2
Maximum 54 15
Sum 2805 282
Frequencies
Frequency Table
68
Pekerjaan Utama
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Penderes Kelapa 16 26.7 26.7 26.7
Petani 40 66.7 66.7 93.3
Valid
Pegawai 4 6.7 6.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
Tingkat Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
SD 45 75.0 75.0 75.0
SMP 14 23.3 23.3 98.3
Valid
SMA 1 1.7 1.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
Tingkat Adopsi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Rendah 44 73.3 73.3 73.3
Valid Tinggi 16 26.7 26.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
Nonparametric Correlations
Correlations
69
Correlation
1.000 .097 -.194 .161 .1
Coefficient
Umur
Sig. (2-tailed) . .459 .138 .219 .2
N 60 60 60 60
Correlation
Jumlah .097 1.000 .254 .033 .1
Coefficient
Kepemilikan
Sig. (2-tailed) .459 . .050 .801 .2
Ternak
N 60 60 60 60
Correlation
-.194 .254 1.000 .086 .1
Tingkat Coefficient
Pendidikan Sig. (2-tailed) .138 .050 . .512 .1
Spearman' N 60 60 60 60
s rho Correlation
Frekuensi .161 .033 .086 1.000 .0
Coefficient
interaksi
Sig. (2-tailed) .219 .801 .512 . .9
dengan PPL
N 60 60 60 60
Correlation
.137 .149 .197 .003 1.0
Dukungan Coefficient
Kelembagaan Sig. (2-tailed) .297 .257 .131 .982
N 60 60 60 60
Correlation
-.071 .404** .446** .106 .4
Coefficient
Total Adopsi
Sig. (2-tailed) .588 .001 .000 .422 .0
N 60 60 60 60
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).