Anda di halaman 1dari 69

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permintaan daging sapi akan terus meningkat sejalan dengan

bertambahnya jumlah penduduk, pendapatan, dan tingkat kesadaran pangan dan

gizi masyarakat. Daging asal ruminansia besar paling banyak disumbangkan oleh

sapi potong, diikuti kerbau dan sapi perah (sapi jantan dan betina afkir),

Kabupaten Temanggung mengalami peningkatan kebutuhan daging dengan

meningkatnya jumlah produksi daging ternak besar di pasar pada tahun 2009;

453.602 kg, 2011; 572.292 kg dan survei terahir 2013; 648.650 kg.

Perkembangan usaha sapi potong didorong oleh permintaan daging yang

terus menerus meningkat dari tahun ke tahun dan timbulnya keinginan sebagian

besar peternak sapi untuk menjual sapi-sapinya dengan harga yang lebih pantas.

Perkembangan usaha sapi potong juga tidak lepas dari upaya pemerintah yang

telah mendukung. Kondisi ini dapat menjadi motivasi bagi para peternak untuk

lebih mengembangkan usaha peternakan sapi potong sebagai upaya pemenuhan

permintaan dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Sebagian besar peternak sapi di Kabupaten Temanggung merupakan

peternak tradisioanal dengan kepemilikan ternak yang rendah. Salah satu ciri dari

peternak tradisional adalah ternak difungsikan sebagai tabungan dan menjual

ternak pada saat membutuhkan uang, dalam kasus pemasaran yang demikian

biasanya peternak berposisi price taker bukan price macker. Pemasaran atau

marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen.

Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya lembaga pemasaran. Saluran
2

pemasaran melewati lembaga pemasaran atau badan-badan yang bertugas

melaksanakan fungsi pemasaran itu sendiri untuk memenuhi keinginan konsumen

semaksimal mungkin, sedangkan pihak konsumen akan memberikan imbalan

berupa margin kepada lembaga pemasaran.

Adanya lembaga dan saluran pemasaran yang berpengaruh pada harga

ternak di dalam penjualan ternak sapi potong. Oleh karena itu dirasa perlu adanya

penelitian untuk mengidentifikasi kelembagaan dan margin pemasaran ternak sapi

potong di Kabupaten Temanggung.

Pemasaran pada prinsipnya merupakan proses kegiatan penyaluran produk

yang dihasilkan oleh produsen agar dapat sampai kepada konsumen (Sumitra,

2013). Bagi peternak sapi distribusi pemasaran mempunyai peran yang penting

untuk memastikan ternak yang dihasilkan oleh peternak sampai kepada konsumen

secara efisien.

Usaha peternakan memiliki dua sektor utama yaitu sektur hulu dan hillir,

dimana suatu produk (sapi) akan berkualitas baik apabila dalam sektor hulu

menerapkan tata laksana peternakan secara menyeluruh. Adapun sektor hilir,

diantaranya distribusi pemasaran. Menurut Ilham dan Yusdja (2004), produksi

sapi potong membutuhkan sumberdaya lahan yang memadai sehingga secara

umum berada di wilayah pedesaan. Perpindahan ternak sapi dari peternak sampai

pada konsumen melewati beberapa lembaga pemasaran dan dimana setiap

lembaga tersebut memperoleh keuntungan dari jasanya, tapi menjadikan rantai

pemasaran semakin panjang dan tidak efisien.

Temanggung merupakan daerah agraris yang sebagian pendudknya

bermata pencaharian sebagai petani. Luas lahan pertanian mencapai 60,956 Ha


3

dan curah hujan antara 1.000-3.100 mm/th. Tanah yang subur menyebabkan

sebagian besar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Kondisi ini banyak

dimanfaatkan oleh para petani untuk memelihara sapi potong karena mudahnya

mendapatkan rumput untuk pakan (WRP Kab. Temanggung, 2015).

Pemasaran ternak sapi potong di Kabupaten Temanggung berada di 2

pasar hewan yaitu di Kecamatan Temanggung setiap Kliwon dan Kecamatan

Ngadirejo setiap Legi. Hasil survei 2013 sapi masuk 4.300 ekor dan terjual 2.800

di Pasar Kecamatan Temanggungdan di Pasr Hewan Kecamatan Ngadirejo sapi

masuk 7.080 dan terjual 4.980 ekor, adapun peternak yang menjual ternaknya di

Pasar Kecamatan Temanggung umunya dari Kabupaten Temanggung bagian

tengah selatan dan timur meliputi kecamatan: Temanggung, Tembarak,

Tlogomulyo, Selopampang, Kranggan, Kaloran, Kandangan dan Pringsurat.

Adapun yang menjual di pasar hewan Kecamatan Ngadirejo sebagian besar dari

temanggung bagian tengah, utara dan barat meliputi kecamatan: Temanggung,

Kedu, Kaloran, Jumo, Parakan, Ngadirejo, Wonoboyo, Candiroto, Gemawang,

Tretep dan Bejen. Kecenderungan untuk menjual sapi di pasar tertentu

dipengaruhi jarak distribusi yang tentu saja akan menambah biaya transportasi dan

pengangkutan ternak sapi.

Berdasarkan Kabupaten Temanggung Dalam Angka 2014 tribulan 1

jumlah sapi potong 27.242 ekor dengan jumlah pemilik 17.164 orang. Sebagian

besar peternak sapi di Kabupaten Temanggung merupakan peternak tradisioanal

dengan kepemilikan ternak yang rendah. Peternak sapi di Kabupaten Temanggung

lebih banyak menggunakan jasa blantik/distributor sehingga penentuan harga dan

promosi banyak dipengaruhi distributor oleh karena itu perlu adanya strategi
4

distribusi pemasaran yang lebih efektif sehingga diharapkan mengurangi

panjangnya rantai pemasaran dan peternak meningkatkan pendapatan peternak.

Terkait dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis

Kelembagaan Pemasaran Dan Margin Pemasaran Ternak Sapi Potong Di

Kabupaten Temanggung”.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun rumusan malah dalam penelitian ini adalah :

1.2.1 Bagaimana rantai pemasaran dan lembaga pemasaran ternak sapi potong di

Kabupaten Temannggung

1.2.1 Berapakah margin pemasaran dan profit margin setiap lembaga pemasaran

ternak sapi potong di Kabupaten Temanggung.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1.3.1 Menggambarkan jalur rantai pemasaran ternak sapi dan lembagaannya yang

ada di Kabupaten Temanggung.

1.3.2 Menganalisis margin pemasaran dan profit margin setiap lembaga

pemasaran ternak sapi Kabupaten Temanggung.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1.4.1 Sebagai masukan dalam pemasaran ternak sapi kususnya bagi peternak di

Kabupaten Temanggung.

1.4.2 Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi Dinas Peternakan

Kabupaten Temanggung
5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Potong

Sapi potong adalah sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena

karakteristik yang dimilikinya, seperti tingkat pertumbuhannya cepat dan kualitas

daging dan cukup baik. Sapi-sapi inilah yang umumnya dijadikan sebagai sapi

bakalan yang dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh

pertambahan berat badan yang ideal untuk dipotong. Pemilihan bakalan yang baik

menjadi langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan usaha. Salah satu

tolak ukur penampilan produksi sapi potong adalah pertambahan berat badan

harian (Abidin, 2002).

Ternak sapi, khususnya sapi potong, merupakan salah satu sumber daya

penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya di

dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau sekelompok ternak sapi bisa

menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan

berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, dan

tulang (Sudarmono, 2008).

2.2 Saluran dan Lembaga Pemasaran Sapi Potong

Saluran pemasaran adalah saluran atau jalur yang digunakan baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk memudahkan pemilihan suatu produk itu

bergerak dari produsen sampai berada di tangan konsumen. Jalur pemasaran yang

tidak efisien/relatif panjang menyebabkan kerugian baik bagi peternak maupun

konsumen, karena konsumennya terbebani dengan beban biaya pemasaran yang

berat untuk membayar dengan harga yang tinggi. Sedangkan bagi peternak,
6

perolehan pendapatan menjadi lebih rendah karena harga penjualan yang diterima

jauh lebih rendah (Sukartawi, 1993).

Usaha pemasaran atau tataniaga sapi potong lebih banyak di kuasai oleh

lembaga - lembaga pemasaran yang membentuk suatu jaringan, mata rantainya

terbentuk mulai dari tingkat peternak, blantik, pedagang pengumpul, jagal sampai

konsumen. Masing-masing lembaga pemasaran mempunyai peran dan fungsi

tersendiri dalam proses saluran pemasaran. Saluran pemasaran dapat dikatakan

sebagai saluran atau jalur yang digunakan baik secara langsung maupun tidak

langsung untuk memudahkan pemindahan suatu produk itu bergerak dari

produsen sampai berada di tangan konsumen. (Fanani, 2000).

Kebanyakan produsen tidak menjual barang-barang mereka secara

langsung kepada pengguna ahir; antara mereka ada sekelompok lembaga

pemasaran atau perantara yang melakukan berbagai fungsi. Lembaga pemasaran

atau perantara ini menentukan satu saluran pemasaran. Secara formal, mereka

adalah perangkat jalur yang diikuti produk atau jasa setelah produksi (Kotler dan

Keller, 2007).

Saluran pemasaran adalah penyaluran barang atau jasa dari produsen ke

konsumen akhir. Saluran pemasaran melewati lembaga pemasaran atau badan-

badan yang bertugas melaksanakan fungsi pemasaran itu sendiri untuk memenuhi

keinginan konsumen semaksimal mungkin, sedangkan pihak konsumen akan

memberikan imbalan berupa margin kepada lembaga pemasaran (Suarda, 2009).

Menurut Rahadi dan Hartono (2003) bahwa pola pemasaran berlangsung

secara alami. Biasanya pola ini banyak dilakukan oleh peternak yang ingin

berusaha sendiri memasarkan produknya. Peternak dapat menjual langsung ke


7

konsumen, pedagang besar atau pasar-pasar yang telah ada. Salah satu pola

tersebut yaitu :

1. Pola 1 : Peternak/Produsen – Konsumen

2. Pola 2 : Peternak/Produsen – Pedagang Pengumpul – Konsumen

3. Pola 3 : Peternak/Produsen – Pedagang Pengumpul – Rumah Pemotongan

Hewan – Eksportir/konsumen.

Panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui tergantung dari beberapa

faktor, antara lain :

1. Jarak antara produsen ke konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan

konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh produk.

2. Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus

segera diterima konsumen dan dengan demikian menghendaki saluran

yang pendek dan cepat.

3. Skala produksi. Bila produksi langsung dalam ukuran-ukuran kecil maka

jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, hal ini tidak

menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dalam

keadaan demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan dan demikian

saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.

4. Posisi keungan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya

kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga. Pedagang yang

posisi keuangan (modalnya) kuat akan dapat melakukan fungsi tataniaga

lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya

lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung

memperpendek saluran tataniaga (Hanafiah dan Saefuddin, 1986)


8

Jejak penyaluran barang dari produsen ke konsumen akhir di sebut saluran

pemasaran . jenis dan kerumitan saluran pemasaran berbeda-beda sesuai dengan

komoditinya. Pasar kaki lima merupakan saluran pemasaran yang paling

sederhana, dari produsen langsung ke konsumen. Tetapi, kebanyakan produk

diproses lebih lanjut pada tingkat saluran pemasaran yang berbeda dan melalui

banyak perusahaan sebelum mencapai konsumen akhir (Downey dan

Erikson,1992).

2.3 Lembaga Pemasaran

Lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang

menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen ke

konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu

lainnya. Lembaga pemasaran muncul karena adanya keinginan konsumen untuk

memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu (time utility), tempat (place

utility), dan bentuk (form utility). Lembaga pemasaran bertugas untuk

menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen

semaksimal mungkin. Imbalan yang diterima lembaga pemasaran dari

pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran adalah margin pemasaran (yang terdiri dari

biaya pemasaran dan keuntungan). Bagian balas jasa bagi lembaga

pemasaran adalah keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pemasaran

(Kamaludddin, 2008).

Selanjutnya menyatakan pula bahwa golongan lembaga pemasaran terdiri

atas dua yaitu :

1. Menurut Penguasaannya terhadap Komoditi yang Diperjual Belikan

Menurut penguasaannya terhadap komoditi yang diperjual belikan,


9

lembaga pemasaran dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:

a. Lembaga yang tidak memiliki komoditi, tetapi menguasai komoditi, seperti

agen dan perantara, makelar (broker, selling broker, dan buying broker).

b. Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi yang

dipasarkan, seperti: pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir, dan

importir.

c. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai komoditi

yang dipasarkan, seperti perusahaan-perusahaan yang menyediakan

fasilitas transportasi, auransi pemsaran, dan perusahaan yang

menentukan kualitas produk pertanian (surveyor).

2. Berdasarkan Keterlibatan dalam Proses Pemasaran

Berdasarkan keterlibatan dalam proses pemasaran, lembaga pemasaran

terdiri dari:

a. Pedagang pengumpul, yaitu lembaga pemasaran yang menjual komoditi

yang dibeli dari beberapa tengkulak dari petani. Peranan pedagang

pengumpul adalah mengumpulkan komoditi yang dibeli tengkulak dari

petani-petani, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemasaran

seperti pengangkutan.

b. Pedagang besar, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan fungsi-

fungsi pemasaran maka jumlah komoditi yang ada pada pedagang

pengumpul perlu dikonsentrasikan lagi oleh lembaga pemasaran yang

disebut pedagang besar. Pedagang besar juga melaksanakan fungsi

distribusi komoditi kepada agen dan pedagang penjagal.

c. Agen penjual, bertugas dalam proses distribusi komoditi yang


10

dipasarkan, dengan membeli komoditi dari pedagang besar dalam jumlah

besar dengan harga yang realtif lebih murah.

d. Penjagal (retailers), merupakan lembaga pemasaran yang

berhadapan langsung dengan konsumen. Penjagal merupakan ujung

tombak dari suatu proses produksi yang bersifat komersil. Artinya

kelanjutan proses produksi yang dilakukan oleh produsen dan lemabaga-

lembaga pemasaran sangat tergantung dengan aktivitas penjagal dalam

menjual produk ke konsumen.

Hubungan antar lembaga-lembaga tersebut akan membentuk pola-pola

pemasaran yang khusus. Pola pemasaran yang terbentuk selama pergerakan arus

komoditi pertanian dari petani ke konsumen akhir disebut sistem pemasaran

(Kamaludiin,2008). Fungsi-fungsi pemasaran yang dilaksanakan adalah:

1. Mengkombinasikan beberapa jenis barang tertentu

2. Melaksanakan jasa-jasa eceran untuk barang tersebut

3. Menempatkan diri sebagai sumber barang-barang bagi konsumen

4. Menciptakan keseimbangan antara harga dan kualitas barang

yang diperdagangkan

5. Menyediakan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan konsumen

Melaksanakan tindakan-tindakan dalam persaingan (Kamaluddin, 2008).

2.4 Margin Pemasaran

Harga yang diterima petani dengan pedagang perantara dalam pemasaran

ternak potong berbeda besarnya. Perbedaan ini disebabkan oleh kegiatan yang

dilaksanakan pedagang perantara dalam fungsi pemasaran berbeda dengan petani.


11

Perbedaan harga yang diterima petani dengan pedagang perantara ini merupakan

margin pemasaran (Yusuf dan Nulik, 2008).

Heryadi (2011), menyatakan bahwa dengan diketahuinya margin

pemasaran, maka dapat diketahui apakah ada kesesuaian antara proporsi kerja

yang dilakukan dengan pendapatan yang diperoleh. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi margin pemasaran sapi potong adalah biaya, tingkat persaingan

antara pedagang, jalur/rantai pemasaran, kondisi wilayah dan banyaknya

perantara(lembaga) yang terlibat dalam menyalurkan barang dan jasa dari

produsen ke konsumen.

Menurut Hanafiah dan saefuddin (1986) menyatakan bahwa tataniaga

adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang

dibayar kepada penjual pertama (Hp) dan harga yang dibayarkan oleh pembeli

terakhir (He), yang dituliskan dalam rumus :

1. Marjin tiap lembaga pemasaran

M = He – Hp

Dimana =
M = Margin Pemasaran (Tataniaga)
Hp = Harga yang dibayar kepada Penjualan pertama (Rp/Ekor) He =
Harga yang dibayar kepada Pembelian terakhir (Rp/ Ekor)

2. Margin tiap Saluran pemasaran (Swastha, 1991)

Mt = M1 + M2……… + Mn

Dimana =
Mt = Margin Saluran Pemasaran
M1 = Margin Pemasaran Lembaga Pemasaran ke-1
M2 = Margin Pemasaran Lembaga Pemasaran ke-2
Mn = Margin Penasaran Lembaga Pemasaran ke-n

2.5 Biaya Pemasaran


12

Semua proses dalam distribusi pemasaran, mulai dari penampungan dari

produsen sampai penyaluran barang ke konsumen membutuhkan biaya yang

masing-masing tidak sama. Pendeknya jarak antara produsen dan konsumen dapat

membuat biaya pengangkutan bisa diperkecil. Apabila tidak terjadi perubahan

bentuk ataupun perubahan volume atau mutu maka biaya pengolahan tidak ada.

Semakin panjang jarak semakin banyak perantara yang terlibat dalam distribusi,

maka biaya distribusi semakin tinggi (Daniel, 2002). Menurut Soekartawi (2002),

biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran.

Biaya pemasaran meliputi biaya angkut, biaya pengeringan, biaya retribusi, dan

lain-lain. Besarnya biaya pemasaran ini berbeda satu sama lain disebabkan karena:

1. Macam komoditi

2. Lokasi pemasaran

3. Macam lembaga pemasaran dan efektifitas pemasaran..

2.2.4 Keuntungan Pemasaran

Soekartawi (2001) menyatakan bahwa keuntungan adalah selisih antara

penerimaan total dan biaya-biaya. Biaya ini dalam banyak kenyataan, dapat

diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (seperti sewa tanah, pembelian alat)

dan biaya tidak tetap (seperti biaya transportasi, upah tenaga kerja).Keuntungan

margin adalah keuntungan yang bersifat kotor. Dari segi bisnis, keuntungan ini

bersifat semu karena ada unsur-unsur biaya yang tidak diperhitungkan yaitu biaya

tetap, sehingga besarnya keuntungan margin sama dengan selisih total

output dengan biaya operasional.

Untuk meningkatkan keuntungan adalah dengan tidak lain dengan

cara memperbaiki pelaksanan dari fungsi tataniaga secara efektif dan efisien. Pada
13

pokoknya laba dapat diperoleh dari seluruh penghasilan dikurangi dengan seluruh

biaya. Laba bersih yang dapat dicapai menjadi ukuran sukses bagi sebuah

lembaga pemasaran (Gunawan, 1985).

Angipora (2002) mengemukakan bahwa laba merupakan sisa lebih dari

hasil penjualan dikurangi dengan harga pokok barang yang dijual dan biaya-biaya

lainnya. Untuk mencapai laba yang besar, maka manajemen dapat melakukan

langkah-langkah seperti menekan biaya penjualan yang ada, menentukan harga

jual sedemikian rupa sesuai laba yang dikehendaki dan meningkatkan volume

penjualan sebesar mungkin.

Rasyaf (1996) mengatakan bahwa untuk memperoleh keuntungan atau

pendapatan yang lebih baik, peternakan mempunyai dua jalan yaitu :

1. Melakukan efisiensi dari segi teknis : dari segala skala usaha dan

meningkatkan produksi daging perekor.

2. Melakukan efisiensi dari segi non-teknis : dengan jalan memperkecil biaya

produksi atau menekan biaya sewajarnya.

2.7 Efisiensi Pemasaran

Efisiensi dapat diartikan sebagai upaya penggunaan input sekecil-

kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Bila efisiensi

dimasukkan dalam analisis maka variable baru yang harus dipertimbangkan

dalam model analisisnya adalah variable harga. Oleh karena itu ada dua hal

yang harus diperhatikan sebelum efisiensi dikerjakan yaitu tingkatkan

tramspormasi antara input dan output, serta perbandingan antara harga input

dan harga output sebagai upaya mencapai indicator efisiensi (Soekartawi,

1993).
14

Pandangan lain menyatakan bahwa efisiensi merupakan ukuran dari

produktivitas. Sedang efisiensi sendiri merupakan perbandingan antara unsure

output dan unsur input. Apabila hasil perbandingan ini lebih besar dari pada 1

(satu) maka dapat dikatakan produktif. Sebaliknya bila perbandingan antara

output dan input hasilnya kurang dari 1 (satu) maka dikatakan kurang

produktif. Perusahan yang produktif adalah perusahan yang efisien.

Perusahaan yang efisien apabila nilai output lebih besar dari nilai inputnya.

Sebaliknya perusahan tidak efisien jika outpu bernilai lebih kecil dari nilai

inputnya (Seokartawi, 2002).

Daniel (2002) mengmukakan bahwa efisiensi pemasaran adalah

ukuran dari perbandingan antara keguanaan pemasaran dengan biaya

pemasaran. Beberapa faktor yang dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi

pemasaran, yaitu :

1. Keuntungan pemasaran

2. Harga yang diterima oleh konsumen

3. Tersedianya fasilitas fisik pemasaran

4. Kompetensi pasar.

Lanjut dikatakan suatu sistem pemasaran dianggap efisien apabila

memenuhi 2 syarat yaitu :

1. Mampu menyampaikan hasil-hasil produsen sampai ke konsumen

dengan biaya serendah-rendahnya.

2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga

yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta

dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang.


15

Downey dan Erickson (1992) menyatakan bahwa istilah efisiensi

pemasaran sering digunakan dalam menilai prestasi kerja (performance)

pemasaran. Hal ini mencerminkan consensus bahwa pelaksanaan proses

pemasaran harus berlangsung secara efisien. Teknlogi atau prosedur baru

hamya boleh ditetapkan apabila meningkatkan efisiensi proses pemasaran.

Efisiensi dapat didefisnisikan sebagai peningkatan rasio “keluaran-masukan”

yang umumnya dicapai dengan salah salah satu dari empat cara berikut :

1. Keluaran tetap konstan sedang masukan mengecil.

2. Keluaran meningkat sedang masukan tetap konstan.

3. Keluaran meningkat dalam kadar yang lebih tinggi ketimbang

peningkatan masukan.

4. Keluaran menurun dalam kadar yang lebih rendah ketimbang

penuruna masukan.

Lebih lanjut dikatakan bahwa ada dua dimensi yang berbeda dari

efisiensi pemasaran dapat meningkatkan rasio keluaran-masukan. Yang

pertama disebut efisiensi operasional dan mengukur aktivitas pelaksanaan jasa

pemasaran di dalam perusahaan. Dimensi kedua disebut penetapan harga,

mengukur bagaimana harga pasar mencerminkan biaya produksi dan pemasaran

secara memadai pada seluruh sisitem pemasaran.

III. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


16

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dan

kuanitatif, metode deskriptif yaitu dengan menggambarkan dan mendeskripsikan

tentang, saluran pemasaran sapi potong. Metode kuantiatif yaitu menghitung

margin tiap lembaga pemasaran, besarnya keuntungan dari masing-masing

lembaga pemasaran, dan keuntungan pemasaran dari tiap saluran pemasaran.

3.1.1. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian adalah peternak sapi potong dan lembaga pemasaran

ternak sapi di Kabupaten Temanggung.

3.1.2. Metode Penetapan Sampel

Lokasi penelitian dipilih secara purposive yaitu pasar hewan Ngadirejo

dan Kranggan, Temanggung. Kedua pasar hewan tersebut dipilih dikarenakan

keduanya masih aktif sebagai pasar hewan. Sapi yang dipilih sapi yang siap

potong sesuai kebutuhan jagal temanggung Responden pada penelitian ini terbagi

menjadi minimal 3 elemen yaitu petani (produsen), pedagang, dan konsumen

akhir dan atau jagal. Pemilihan responden pedagang akan dipilih secara purposive

(sengaja) dengan dasar pengalaman pedagang tersebut di pasar hewan. Responden

pedagang akan dipilih yang memiliki minimal 5 tahun pengalaman di pasar hewan

dengan asumsi responden sudah cukup menguasai budaya pasar hewan. Pada

penelitian ini akan dipilih 5 orang pedagang di masing masing pasar hewan.

Penentuan responden untuk Lembaga Pemasaran dengan menggunakan

metode snowball sampling yaitu penelusuran saluran pemasaran sapi potong yang

ada di Kabupaten Temanggung mulai dari produsen sampai konsumen akhir

berdasarkan informasi yang diberikan pedagang di pasar.

3.1.3 Variable Penelitian


17

Variabel yang diamati meliputi:

a. Panjang rantai pemasaran

b. Profit Margin pemasaran

c. Margin pemasaran.

3.1.4. Definisi Operasional

Definisi operasional diukur menurut

a. Peternak sapi potong adalah petani ternak yang mengusahakan

(berternak) sapi potong, kepemilikan bisas pribadi atau orang lain.

b. Tukang “tenguk” adalah pedagang perantara yang menghubungkan

pembeli dan penjual, kegiatannya mengumpulkan keterangan tentang

sumber penawaran dan permintaan.

c. Pedagang Pengumpul adalah pedagang yang kegiatannya membeli

produksi dari produsen secara langsung atau melalui lembaga

pemasaran lain kemudian dikumpulkan dan dijual kepada pedagang lain

d. Konsumen/jagal adalah orang/lembaga yang membeli sapi potong

dalam keadaan hidup untuk dikonsumsi maupun dijual lagi dalam

kondisi yang telah berubah bentuk.

e. Harga jual sapi potong adalah harga yang diterima peternak dari

lembaga pemasaran dan yang di hitung dalam satuan rupiah per ekor.

f. Harga beli sapi potong adalah harga yang dibayarkan oleh masing-

masing lembaga pemasaran dengan satuan rupiah/ekor.

g. Lembaga pemasaran adalah lembaga-lembaga atau badan-badan yang

didirikan dan dikelola oleh blantik, pedagang pengepul dan jagal yang

melakukan aktifitas pemasaran.


18

h. Saluran pemasaran sapi potong adalah rantai pemasaran sapi potong

dari produsen sampai ke jagal.

i. Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga

pemasaran dalam memasarkan sapi potong dengan satuan rupiah per

ekor.

j. Keuntungan lembaga pemasaran adalah selisih antara nilai penjualan

dengan nilai pembelian dengan satuan rupiah per ekor.

k. Marjin pemasaran adalah merupakan jumlah biaya yang dikeluarkan

dan banyaknya jumlah keuntungan yang diterima oleh tiap lembaga

pemasaran terhadap saluran pemasaran sapi potong dengan satuan

rupiah per ekor.

3.3. Metode Analisis

3.3.2 Analisis Data

a. Analisis Deskriptif

Lembaga atau saluran pemasaran ternak sapi potong dilakukan analisis

deskriptif kualitaif dengan melakukan survei di pasar hewan dan wawancara

kepada lembaga-lembaga pemasaran dan peternak sapi potong. Analisis deskriptif

kualitatif diarahkan untuk menggambarkan jalur rantai pemasaran dan

kelembagaannya, sehingga akan diketahui ragam saluran atau rantai pemasaran

sapi di Kabupaten Temanggung.

b. Analisis Margin Pemasaran

Diarahkan untuk mengetahui margin pemasaran pada setiap lembaga

pemasaran dan keuntungan pada setiap kelembagaan pemasaran dengan rumus.

Analisis margin pemasaran (Elieser,2005)


19

“Mi=Prj-Pfj-1”
Dimana:
Mi = Margin pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaaran.
Prj = Harga yang diterima oleh lembag pemasaran yang lebih akhir.
Pfj-1 = Harga yang diterima oleh lembaga sebelumnya.

c. Analisis Keuntungan Pemasaran

Keuntungan setiap lembaga pemasaran dengan rumus:

“Klp=Mi-Bp-Bt”

Dimana:
Klp = Keuntungan pada setiap lembaga pemasaran.
Mi = Margin pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaran.
Bp = Biaya pemasaran pada setiap kelembagaan pemasaran.
Bt = Biaya transaksi (biaya negosiasi dan lainnya)

3.3. Tata Urutan Kerja Penelitian

3.9.1 Tahap Persiapan

Kegiatan pada tahap persiapan meliputi prasurvei mengunjugi pasar

hewan, blantik dan jagal untuk mengetahui kondisi lapangan tempat penelitian

dan pengambilan data yang berhubungan dengan materi penelitian. Tahap

selanjutnya adalah penyusunan proposal usulan penelitian dengan bantuan dosen

pembimbing selaku pengajar tetap Fakultas Peternakan Universitas Jenderal

Soedirman. Proposal penelitian yang telah disetujui oleh dosen pembimbing

selanjutnya akan diseminarkan.

3.9.2 Tahap Pengumpulan Data

Pengambilan data menggunakan metode survei di Kabupaten

Temanggung. Data primer yang diperoleh melalui wawancara dan pengisian

kuisioner kepada responden. Data sekunder yang diperoleh dari instansi yang

terkait.
20

3.9.3 Tahap Analisis Data

Kegiatan yang dilakukan pada tahap analisis data yang telah didapatkan

pada tahap pengumpulan data dan selanjutnya data dianalisis dengan rumus.

3.9.4 Tahap Penyusunan Laporan

Hasil penelitian yang telah dilakukan mulai dari awal persiapan sampai

analisis data, kemudian dibahas dan disimpulkan, selanjutnya dituangkan dalam

bentuk laporan penelitian (skripsi) dengan dibimbing dosen pembimbing.

3.9.5 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tangga 18 Juni 2017 sampai dengan tanggal

4 Juli 2017 bertempat di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah.


21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Geografis

Temanggung merupakan daerah agraris yang sebagian pendudknya

bermata pencaharian sebagai petani. Luas lahan pertanian mencapai 60,956 Ha

dan curah hujan antara 1.000-3.100 mm/th. Tanah yang subur menyebabkan

sebagian besar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Kondisi ini banyak

dimanfaatkan oleh para petani untuk memelihara sapi potong karena mudahnya

mendapatkan rumput untuk pakan (WRP Kab. Temanggung, 2015).

Pemasaran ternak sapi potong di Kabupaten Temanggung berada di 2

pasar hewan yaitu di Kecamatan Temanggung setiap Kliwon dan Kecamatan

Ngadirejo setiap Legi. Hasil survei 2013 sapi masuk 4.300 ekor dan terjual 2.800

di Pasar Kecamatan Temanggungdan di Pasr Hewan Kecamatan Ngadirejo sapi

masuk 7.080 dan terjual 4.980 ekor, adapun peternak yang menjual ternaknya di

Pasar Kecamatan Temanggung umunya dari Kabupaten Temanggung bagian

tengah selatan dan timur meliputi kecamatan: Temanggung, Tembarak,

Tlogomulyo, Selopampang, Kranggan, Kaloran, Kandangan dan Pringsurat.

Adapun yang menjual di pasar hewan Kecamatan Ngadirejo sebagian besar dari

temanggung bagian tengah, utara dan barat meliputi kecamatan: Temanggung,

Kedu, Kaloran, Jumo, Parakan, Ngadirejo, Wonoboyo, Candiroto, Gemawang,

Tretep dan Bejen. Kecenderungan untuk menjual sapi di pasar tertentu

dipengaruhi jarak distribusi yang tentu saja akan menambah biaya transportasi dan

pengangkutan ternak sapi.


22

Berdasarkan Kabupaten Temanggung Dalam Angka 2014 tribulan 1 jumlah

sapi potong 27.242 ekor dengan jumlah pemilik 17.164 orang. Sebagian besar

peternak sapi di Kabupaten Temanggung merupakan peternak tradisioanal dengan

kepemilikan ternak yang rendah. Peternak sapi di Kabupaten Temanggung lebih

banyak menggunakan jasa blantik/distributor sehingga penentuan harga dan

promosi banyak dipengaruhi distributor oleh karena itu perlu adanya strategi

distribusi pemasaran yang lebih efektif sehingga diharapkan mengurangi

panjangnya rantai pemasaran dan peternak meningkatkan pendapatan peternak.

4.2 Identitas Responden

Dalam penelitian ini jumlah responden yang terlibat sebanyak 34 orang,

responden yang dimaksud adalah peternak, tukang tenguk, belantik dan penjagal.

Identitas responden dapat dilhat dari Jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,

perkerjaan lama rusaha menjual ternak sapi potong. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat sebagai berikut :

4.2.1 Jenis Kelamin

Karakteristik Sebaran jenis kelamin responden dalam penelitian ini dapat

di ketahui dalam tabel 4.1.

Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)


Pria 32 89
Wanita 2 11
Jumlah 34 100
Sumber : Data primer yang telah diolah, 2017

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di Kabupaten

Temanggung diperoleh hasil responden pelaku pemasaran pria banyak 32 orang

dengan persentase 69% dan wanita sebanyak 2 orang dengan persentase 11%.

Berdasarkan data tersebut di ketahui bahwa pelaku pemasaran ternak sapi potong
23

di Kabupaten temanggung didominasi oleh pria dan sebagian kecil ditingkat jagal

terdapat wanita. Jumlah tersebut terbagi berdasarkan pelaku pemasaran :

1).peternak pria 20 orang, 2).Tukang tenguk : pria 6 orang, 3). Belantik pria 5

orang, 4).jagal pria 1 orang wanita 2 orang.

Peranan laki-laki maupun perempuan di pedesaan secara umum dapat

dikelompokkan dalam dua peranan besar yaitu peran tradisi dan peran transisi.

Peranan tradisi atau peran domestik mencakup peran laki-laki sebagai suami,

kepala keluarga. Sementara peran transisi meliputi laki-laki sebagai tenaga kerja

yang bekerja diluar rumah yang berperan dalam mencari nafkah untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarganya. Sedangkan peranan tradisi atau peran domestik

mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu pengola rumah tangga. Sementara

itu peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota

masyarakat dan manusia pembangunan. Dalam perkembangannya sekarang

ternyata tugas atau peranan perempuan dalam kehidupan keluarga semakin

berkembang lebih luas lagi. Perempuan saat ini tidak saja berkegiatan di dalam

lingkup keluarga, tetapi banyak di antara bidang-bidang kehidupan di masyarakat

membutuhkan sentuhan kehadiran perempuan dalam penanganannya (Ratna.D.P,

Franciska, 2000).

4.2.2 Umur

Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seseorang

adalah faktor umur. Umur tentunya akan berdampak pada kemampuan fisik

seseorang dalam bertindak dan berusaha. Orang yang memiliki umur tua

tentunya memiliki kemampuan fisik yang cenderung lemah dibandingkan

dengan mereka yang masih berumur muda. Menurut badan pusat statistik (BPS),
24

berdasarkan komposisi penduduk, usia penduduk dikelompokkan menjadi 3

yaitu : Umur penduduk dikelompokkan menjadi 3 yaitu:

Umur 0 – 14 tahun dinamakan usia muda/usia belum produktif.

Umur 15 – 64 tahun dinamakan usia dewasa/usia kerja/usia produktif.

Umur 65 tahun keatas dinamakan usia tua/usia tak produktif/usia jompo.

Adapun komposisi umur responden peternak sapi potong di kabupaten

Temanggung dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Klasifikasi Responden Menurut Kemlompok Umur


No Umur ( Tahun) Jumlah ( Orang) Persentase (%)
1 0-14 0 0
2 15-64 34 100
3 >65 0 0
Jumlah 100
Sumber : Data primer yang telah diolah, 2017
Pada Tabel 4.2 dapat dilhat bahwa sebaran kelompok umur dalam

melakukan usaha budi daya ternak sapi potong seluruhnya dilakukan oleh

peternak yang memiliki umur yang berkisar antara umur 27 - 60 tahun,

berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa sebagian umur responden

berada pada usia produktif dan hal ini tentunya sangat berdampak positif dalam

pengembangan usaha peternakan maupun pemasaran ternak sapi potong yang

digelutinya, Chamidi (2003) menyatakan bahwa semakin muda umur peternak

(umur produktif) umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu makin tingi dan

minat untuk mengadopsi teknologi juga semakin tinggi.

4.2.3 Tingkat Pendidikan

Kemampuan seseorang dalam menjalankan usaha sangat dipengaruhi oleh

kemampuan intelektual. kemampuan intelektual tersebut dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan seseorang. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang


25

lebih tinggi tentunya juga akan memiliki kemampuan dalam menerima atau

menolak suatu inovasi. Berdasarkan hasil penelitian terhadap tingkat pendidikan

yang dimiliki oleh responden dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Klasifikasi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


No Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 0-3 1 3
2 4-6 22 61
3 7-9 2 6
4 10 - 12 9 25
Jumlah 27 100
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2017.
Pendidikan yang dimiliki responden cukup bervariasi, mulai dari tingkat

Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tingkat SMA atau sederajat. Jumlah

respoden terbanyak yaitu responden dengan tingkat pendidikan 4- 6 tahun

sebanyak orang (61%) dan yang terendah adalah tingkat pendidikan 0 – 3 tahun 1

orang (3,7%). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pendidikan

responden masih sangat rendah. Untuk itu perlu diadakan penyuluhan peternakan

khususnya peternakan sapi potong agar pengetahuan dan keterampilannya dapat

meningkat. Hal ini sesuai pendapat Soekartawi (1993) yang menyatakan bahwa

rendahnya pendidikan pekerja merupakan kendala dalam menyerap informasi

baru, khususnya yang berkaitan dengan proses difusi-inovasi teknologi.

4.2.4 Pekerjaan

Karakteristik responden berdasarkan perkerjaan dibagi menjadi beberapa

kategori yaitu : Pelaku pasar, wiraswasta, dan pegawai negri sipil (PNS).

Perkerjaan yang di maksudkan adalah perkerjaan sampingan yang dilakukan oleh

responden atau memang menjadi perkerjaan utama, berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan di peroleh hasil sebagai berikut

Tabel 4.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Perkerjaan


26

Perkerjaan Frekuensi Prosentasi (%)


Pelaku Pemasaran 30 83%
Wiraswasta 3 8%
PNS 1 3%
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2017.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagian

besar responden berkerja sebagai pelaku pemasaran dengan jumlah 30 orang

persentase 83%, wiraswasta 3 orang persentase 8% dan PNS 1 orang persentase

3%. Responden sebagian besar berkerja sebagai pelaku pemasaran. Dengan

demikin dapat diketahui bahwa usaha peternakan yang dilakukan oleh responden

memiliki tingkat pendapatan yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan hidup

responden tersebut.

4.2.5 Lama Usaha

Pengalaman menjual menunjukkan lamanya responden menggeluti

usaha penjualan atau pemasaran ternak sapi potong. Adapun klasifikasi

responden berdasarkan lama menjual ternak sapi potong dapat dilihat pada

Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Klasifikasi Responden Berdasarkan Lama Menjual Ternak Sapi


Potong
No Lama Berusaha (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 5 – 15 17 47%
2 16 – 25 16 44%
3 26 – 35 1 3%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Pada tabel 4.5. Terlihat bahwa lama menjual ternak sapi potong pada

responden di kabupaten Temanggung yaitu 5 sampai dengan 35 tahun. Adapun

responden terbanyak yaitu responden yang memiliki pengalaman menjual antara

5 tahun sampai dengan 15 tahun yaitu sebanyai 17 orang (47%) sedangkan


27

responden yang memliki pengalaman terendah adalah antara 26 tahun sampai 35

tahun 1 orang (3%). Secara umum responden telah memiliki pengalaman yang

cukup dalam mengolah usahanya sehingga dengan pengalaman tersebut,

responden mampu mengatasi masalah yang terjadi. Hali ini sesuai pendapat

Handoko (1999) yang menyatakan bahwa pengalaman merupakan suatu faktor

yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalankan usahanya.

4.3 Saluran Pemasaran

Pemasaran ternak sapi potong Kabupaten temanggung sebagian besar

masih dikuasai oleh belantik dan pedagang perantara. Hal ini disebabkan oleh

berbagai keterbatasan yang dimiliki peternak antara lain; kurang tersedianya

fasilitas guna menghubungi pembeli, kurangnya modal, rendahnya tingkat

pengetahuan peternak dalam proses pemasaran ternak sapi potong serta lebih

efisien baik dari waktu maupun biaya.

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran langsung transaksi

lembaga pemasaran, diketahui bahwa pemasaran ternak sapi potong Kabupaten

Temanggung terdapat beberapa saluran pemasaran yang melibatkan beberapa

lembaga pemasaran, yaitu peternak, tukang tenguk, belantik, dan jagal.

Proses pemasaran ternak sapi potong Kabupaten Temanggung diawali dari

penjualan ternak sapi potong oleh peternak melalui penjualan dari peternak ke

belantik. Jalur pemasaran ternak sapi potong Kabupaten Temanggung ke pasar

didominasi oleh rantai tersebut, hal ini disebabbkan karena tidak adanya

kemampuan peternak membawa langsung ke pengjagal. Hasil produksi ternak

sapi potong dari Kabupaten Temanggung di djual ke kota Temanggung, Jakarta

dan Semarang yang memiliki permintaan lebih tinggi dibandingkan kota lain.
28

Pelaku pemasaran menggunakan saluran pemasaran yang menunjukkan

bagaimana arus komoditi mengalir dari produsen ke penjagal. Para pelaku

pemasaran yang terlibat dalam menyalurkan ternak sapi potong dari peternak

adalah tukanng tenguk, belantik, dan penjagal. Pola saluran pemasaran ternak sapi

potong di Kabupaten Temanggung. Pemilihan saluran pemasaran didasarkan pada

beberapa hal, diantaranya : harga jual, harga beli, biaya transportasi, sumber

pembelian dan tujuan pembeliaan.

Saluran pemasaran adalah penyaluran barang atau jasa dar iprodusen ke

konsumen akhir, dan yang menyelenggarakannya berupa lembaga atau badan-

badan yang bertugas melaksanakan fungsi pemasaran itu sendiri atau memenuhi

keinginan konsumen semaksimal mungkin, sedangkan pihak konsumen akan

memberikan imbalan berupa margin kepada lembaga pemasaran tersebut

(Suarda,2009)

4.3.1 Saluran Pemasaran I

Saluran pemasaran I merupakan saluran pemasaran yang menggunakan dua

pelaku pemasaran yaitu Peternak dan penjagal. Dimana saluran pemasaran ini di

mulai dari peternak langsung kepada pejagal Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada gambar berikut:

Gambar 2. Saluran Pemasaran Ternak Sapi potong Model I

Pola pemasaran tersebut sangat jarang terjadi mengingat jagal lebih sering

membeli ternak di pasar kepada belantik dikarenakan jagal lebih leluasa dalam

memilih ternak yang akan di belinya di bandingkan dengan mendatangi peternak


29

yang tentu memerlukan waktu serta biaya yang lebih banyak. Hal ini sesuai

pendapat Rasyaf (1996) yang menyatakan bahwa jalur tidak langsung yaitu

saluran pemasaran melalui lembaga-lembaga pemasaran seperti belantik, pasar

modern, pasar tradisional dan pedagang pengecer. Jumlah pelaku pemasaran yang

terlibat pada saluran pemsaran ini yaitu sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2 orang

peternak dan 1 orang jagal dengan persentase 8%. Jumlah ternak sapi potong yang

di perdagangkan pada saluran pemasaran ini yaitu sebanyak 4 ekor .

4.2.4 Keragaan Frekuensi Interaksi dengan Penyuluh

Deskripsi penyuluh dalam penelitian ini tidak hanya penyuluh pertanian

lapangan (PPL) yang berasal dari Dinas atau instansi resmi pemerintahan, tetapi

juga seorang penyuluh yang berkesempatan memberikan masukan-masukan

terhadap kemajuan usaha peternakan. Tingkat frekuensi interaksi peternak

kambing dengan penyuluh di Kecamatan Sumbang dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Keragaan Interaksi dengan Penyuluh Beserta Jumlah dan Persentasinya

Frekuensi Interaksi dengan Penyuluh


Reng Interval Skor Frekuensi Persentase %
Rendah 3-7 3 5%
Sedang 8-11 57 95%
Tinggi 12-15 0 0%
Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Tingkat frekuensi interaksi dengan penyuluh pada tabel 9 sebagian besar

adalah kategori sedang, sebanyak 57 orang (95%). Jumlah tersebut menunjukan

bahwa peranan seorang penyuluh tida terlalu signifikan, artinya peternak dalam

berinteraksi dengan penyuluh tidak dilakukan secara intensif. Kondisi tersebut

terjadi karena penyuluh jarang mendatangi peternak ataupun sebaliknya peternak

juga tidak berusaha untuk mendatangi penyuluh untuk konsultasi ataupun mencari

informasi seputar perkembangan peternakan kambing.


30

Astuti dan Leonard (2015)* menyatakan bahwa tingkat frekuensi interaksi

dengan penyuluh yang masih rendah dapat dipengaruhi dari berbagai kendala,

kondisi yang rill dilapangan terlihat bahwa kendala penghambat kinerja PPL,

yaitu masih kurangnya dukungan maksimal dari pemerintah daerah seperti

terbatasnya tenaga penyuluh serta akses jalan yang sulit ditempuh untuk menuju

lokasi ditambah lagi masih sulitnya komunikasi dikarenakan jaringan komunikasi

yang belum merata di setiap desa. Kendala lain dilapangan yakni kurang

tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana merupakan

faktor penunjang yang sangat penting dalam meningkatkan kinerja PPL karena

berpengaruh langsung terhadap semangat PPL dalam menyelesaikan pekerjaannya

Tabel 10. Keragaan Indikator Tingkat Frekuensi Interaksi dengan Penyuluh

Frekuensi Interaksi dengan Penyuluh


Indikator Tingkat Jawaban Jumlah (orang) Persentase %
Intensitas Interaksi dengan Rendah (1-2) 3 5%
penyuluh Sedang (3) 57 95%
Tinggi (4-5) 0 0
Manfaat berinteraksi dengan Rendah (1-2) 0 0
penyuluh untuk peningkatan Sedang (3) 10 16,67
pengetahuan Tinggi (4-5) 50 83,33
Manfaat berinteraksi dengan Rendah (1-2) 0 0
penyuluh terhadap usaha Sedang (3) 26 43,33
peternakan secara umum Tinggi (4-5) 34 56,67
Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Berdasarkan pernyataan-pernyataan dari beberapa responden, disebutkan

bahwa penyuluh hanya mendatangi para peternak setiap 1 bulan sekali.

Dilaporkan juga oleh Mangkuprawira (2010)* menjelaskan bahwa penyuluh

pertanian sangat dibutuhkan dalam pengembangan masyarakat karena mempunyai


31

fungsi sebagai analis masalah, pembimbing kelompok, pelatih, inovator, dan

penghubung.

Teknologi pertanian yang lebih baik terus dikembangkan dan

diintroduksikan kepada petani agar petani mau menerapkan teknologi tersebut dan

produksi meningkat. Kegiatan menyebarkan informasi/teknologi pertanian

tersebut, dikenal dengan penyuluhan pertanian (agricultural extension).

Penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai suatu sistem pendidikan di luar

sekolah (nonformal) untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar

mereka tahu, mau, mampu, dan berswadaya mengatasi masalahnya secara baik.

Penyuluhan pertanian mempunyai peran untuk membantu petani agar dapat

menolong dirinya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya secara baik

dan memuaskan sehingga meningkat derajat kehidupannya. Dengan demikian

nilai penting yang dianut dalam penyuluhan adalah pemberdayaan sehingga

terbentuk kemandirian petani Sadono (2008)*.

4.2.5 Keragaan Jumlah Kepemilikan Ternak

Jumlah kepemilikan ternak merupakan banyaknya ternak yang dipelihara

oleh responden dalam Satuan Ternak (ST). Usaha ternak kambing sangat

menguntungkan untuk dijalankan, selain penghasil daging ternak kambing juga

menghasilkan pupuk kandang yang merupakan hasil sampingan bagi peternak dari

usaha pemeliharaan kambing. Jumlah kepemilikan ternak pada 60 responden

dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Jumlah Kepemilikan Ternak dan Persentasinya

No Jumlah ternak Jumlah (orang) Persentase %


1. 1-5 43 71,67
2. 6-10 16 26,67
3. > 10 1 1,66
32

jumlah 60 100.0
Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan ternak kambing rata-

rata 6 sampai 10 ekor atau masih berskala sedang. Hal ini sesuai pendapat Rasali

dkk, (2013) yang menyatakan bahwa lebih dari 90% berupa peternakan rakyat

yang memiliki ciri sebagai berikut: 1) skala usaha relatif kecil, berkisar antara 1-5

ekor, 2) merupakan usaha rumah tangga, 3) pemeliharaan bersifat tradisional, 4)

ternak sering digunakan sebagai sumber tenaga kerja,dan 5) ternak sebagai

penghasil pupuk kandang dan tabungan yang memberikan rasa aman pada musim

paceklik. Besar atau kecil jumlah kepemilikan ternak yang dimiliki oleh peternak

sangatlah membantu dalam meningkatkan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan.

Tantangan terbesar dalam semua sistem produksi ternak diberbagai daerah

antara lain adalah pakan dan lahan, sedangkan faktor utama dalam menentukan

produktivitas ternak adalah terjaminnya ketersediaan hijauan pakan. Meskipun

pemeliharaan kambing merupakan usaha sampingan tetapi diharapkan dapat

membantu meningkatkan pendapatan usaha ternak kambing sehingga

kesejahteraan petani meningkat (Zulfanita. 2011)*. Peternakan kambing rakyat

baik yang tergabung dalam kelompok peternak maupun yang mandiri selalu masih

kesulitan dalam memeuhi kebutuhan hijauan pakan ternak khususnya saat

kemarau. Jenis bahan pakan yang diberikan sehari-hari beragam mulai dari jenis

rumput, jenis ramban, dan jenis tanaman leguminosa. Pemberian silase bahan

dasar rumput dimaksudkan untuk mempertahankan ketersediaan bahan pakan saat

kemarau sehingga dapat mempertahankan produktivitas kambing khususnya

pertumbuhan dan perkembangbiakan (Hidayati dkk, 2013)*


33

Pengolahan dan pengawetan pakan dilakukan untuk optimalisasi

pemanfaatan potensi pakan lokal dan limbah pertanian/perkebunan serta

menjamin ketersediaan pakan secara terus menerus. Melalui penerapan teknologi

silase hampir semua jenis pakan sumber serat bisa diolah dan dimanfaatkan

sebagai pakan ternak sehingga ketersediaan pakan sumber serat bisa dioptimalkan.

Penerapan inovasi teknologi secara keseluruhan telah mampu mengefisienkan

pemanfaatan hijauan pakan yang ada di lokasi usaha terutama bahan pakan yang

bertekstur keras dan susah dicerna baik yang berasal dari limbah pertanian,

Melalui penerapan teknologi ini mampu menghemat penggunaan tenaga kerja

terutama tenaga untuk mencari hijauan pakan hingga 40% dan memberikan

peluang bagi peternak untuk memelihara ternak dalam jumlah yang lebih besar

(Adrial dan Saleh, 2013)*.

Tabel 12. Keragaan Indikator Jumlah Kepemilikan Ternak dan Persentasinya

Indikator Tingkat Jawaban Jumlah (orang) Persentase %


Jumlah ternak yang dimiliki Rendah (1-5) 43 71,67
Sedang (6-10) 16 26,67
Tinggi (>10) 1 1,66

Banyaknya ternak Rendah (1-2) 10 16,67


mempengaruhi kinerja Sedang (3) 18
32 30
peternak Tinggi (4-5) 53,33
Manfaat banyaknya ternak Rendah (1-2) 12 20
terhadap adopsi teknologi Sedang (3) 20 33,33
Tinggi (4-5) 28 46,67

Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Jumlah ternak yang dipelihara menentukan skala usaha, semakin banyak

jumlah ternak, maka skala usaha juga semakin besar. Jika peternak dapat

menggunakan pakan berkualitas dengan harga yang lebih murah, maka usaha

peternakan dapat memberikan keuntungan yang lebih baik. Tingginya biaya pakan
34

sering menjadi kendala bagi peternak dalam memenuhi kebutuhan nutrisi ternak

yang dipelihara, berdasarkan hal tersebut, maka perlu upaya menyediakan

teknologi yang sesuai dengan kebutuhan peternak dengan harga yang murah

melalui pemanfaatan potensi pakan lokal. Teknologi secara umum diartikan

sebagai cara-cara melakukan proses kegiatan yang memberikan hasil atau

mempermudah pekerjaan manusia. Teknologi adalah salah satu sarana utama

untuk mencapai tujuan efektifitas, efisiensi serta produktivitas yang tinggi. Jumlah

kepemilikan ternak yang semakin banyak akan menjadikan peternak berminat

menggunakan teknologi untuk mempermudah usahanya (Putra dkk, 2016).

4.2.6 Keragaan Faktor Eksternal Peternak Kambing di Kecamatan Sumbang

Faktor eksternak peternak yaitu sifat atau suasana dari luar yang

mempengaruhi seseorang untuk berhubungan dengan aspek keseharian dan

lingkungan. Perubahan-perubahan yang dialami peternak sangat ditentukan oleh

pengaruh di sekililingnya sehingga perlu memperhatikan berbagai pertimbangan

yang diberikan oleh lingkungan sosialnya. Karakteristik dan kompetensi usahatani

merupakan gambaran kemampuan petani dalam mengelola usahataninya

berdasarkan perencanaan yang baik dan sesuai dengan teknis budidaya yang di

usahakannya. Faktor eksternal yang dikaji dalam penelitian ini adalah dukungan

kelembagaan. Faktor eksternal tersebut dijabarkan berdasarkan hasil survey dan

dipaparkan sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.

Keragaan Dukungan Kelembagaan

Adanya berbagai permasalahan sosial, kelembagaan merupakan salah satu

faktor yang harus diperhatikan dan perlu mendapat prioritas berkaitan dengan

upaya meningkatkan usaha tani. Kelembagaan yang mendukung proses


35

transformasi teknologi yaitu peran penyuluh di mana penyuluh pertanian adalah

petugas yang melakukan pembinaan dan penyampai pesan atau materi dan

berhubungan langsung dengan petani. Hasil survey dan wawancara dari sebagian

besar responden menunjukan bahwa dukungan kelembagaan sudah baik.

Keberadaan lembaga terkait sangat membantu peternak di lokasi penelitian

khususnya dalam akses informasi. Lembaga atau instansi terkait sangat

mendukung proses transformasi teknologi, sebaliknya kurangnya aspek

kelembagaan akan menyebabkan tingkat penerapan teknologi rendah. Dukungan

kelembagaan dari 60 responden dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 13. Keragaan Dukungan Kelembagaan dan Persentasinya

Dukungan Kelembagaan
Reng Interval Skor Jumlah (orang) Persentase %
Rendah 9-21 0 0%
Sedang 22-33 60 100%
Tinggi 34-45 0 0%
Jumlah 60 100
Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Dukungan kelembagaan terhadap para peternak dilokasi penelitian

termasuk dalam kategori sedang. Tabel 10 diatas menunjukan bahwa 100%

responden menyatakan tingkat dukungan kelembagaan pada interval sedang.

Prabowo (2015)* menyatakan peran kelembagaan dalam usahatani merupakan

faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas usaha maupun

produktifitas petani karena adanya kelembagaan komunikasi dengan pemerintah,

maupun sesama petani terbina dan berlangsung secara alami akan banyak manfaat

yang akan diperoleh apabila dilakukan secara kelompok atau teroganisir.

Tabel 14. Keragaan Indikator Dukungan Kelembagaan dan Persentasinya

Indikator Tingkat Jawaban Jumlah (orang) Persentase %


36

Dukungan lembaga terkait Rendah (1-5) 0 0


Sedang (6-10) 60 100
Tinggi (>10) 0 0
Respon peternak terhadap Rendah (1-2) 0 0
lembaga terkait Sedang (3) 37 61,67
Tinggi (4-5) 23 38,33
Manfaat dari lembaga terkait Rendah (1-2) 10 16,67
terhadap usaha peternakan Sedang (3) 30 50
Tinggi (4-5) 20 33,33

Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Data diatas menunjukan bahwa pemerintah melalui lembaga terkait sudah

memberikan perhatian dan dukungan terhadap para peternak dengan memberikan

tenaga penyuluh yang bertugas memberikan akses informasi dan teknologi yang

dibutuhkan oleh peternak dengan tujuan untuk membantu atau mempermudah

peternak dalam menjalankan usahanya. Pada hakekatnya tugas dan fungsi dinas

perikanan, kelautan, dan peternakan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah

dalam memberikan kemudahan kepada para petani dalam pengaksesan sumber

ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi pelayanan pertanian, pelayanan

kesehatan hewan, bantuan teknik. Dengan kata lain dukungan kelembagaan akan

membantu peternak untuk menuju kemandirian (Pebrianti dkk 2012)*

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan SDM

pertanian, terutama SDM petani, adalah melalui kegiatan penyuluhan pertanian.

Melalui kegiatan penyuluhan pertanian, masyatakat pertanian dibekali dengan

ilmu, pengetahuan, keterampilan, paket-paket teknologi baru di bidang pertanian

dengan sapta usahanya. Diantaranya penanaman nilai-nilai atau prinsip-prinsip

agribisnis, mengkreasikan SDM dengan prinsip inovasi dan mau menerapkan

informasi anjuran yang diberikan oleh penuluh dalam tujuannya meningkatkan

tingkat keberasilan usaha petani. Dalam melaksanakan tugasnya, PPL harus


37

mempunyai acuan agar dapat bekerja dengan baik dan mencapai sasaran (Charina,

2015)*.

4.2.7 Keragaan Efektivitas Penyuluhan Peternak Kambing di Kecamatan


Sumbang

Efektivitas penyuluhan menggambarkan keadaan dimana seseorang

individu menerapkan teknologi baru atau teknologi yang dianjurkan. Proses

keluarnya ide (inovasi) sampai diterima dan dilaksanakan masyarakat maupun

peternak sehingga menjadi tindakan atau perilaku. Perilaku dalam hal ini adalah

perpaduan antara pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan

(psikomotorik). Menurut Dayana dan Flora (2011)* Adopsi di dalam penyuluhan

sering kali diartikan sebagai suatu proses mentalitas pada diri seseorang atau

individu, dari mulai seseorang tersebut menerima ide-ide baru sampai

memutuskan menerima atau menolak ide-ide tersebut. Keputusan inovasi

merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai

mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian

mengukuhkannya.

Tabel 15. Keragaan Tingkat Adopsi dan Persentasinya

Tingkat Adopsi Jumlah (orang) Persentase %


Rendah 44 73,3%
Sedang 0 0%
Tinggi 16 26,7%
Jumlah 60 100
Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Faktor faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi

teknologi adalah manfaat langsung dari teknologi berupa kesesuaian teknologi

dan keuntungan yang relatif (Tarukallo dkk. 2014)*. Peternak sasaran mengambil

keputusan setelah melalui beberapa tahapan dalam proses adopsi. Beberapa


38

tahapan yang harus dilalui meliputi : 1) tahap sadar (awarness), 2) minat

(interest), 3) menilai (evaluation), 4) mencoba (trial) dan 5) adopsi (adoption).

Proses tersebut dituangkan dalam bentuk pertanyaan atau kuisioner dengan

jawaban yang menggambarkan urutan atau tahap adopsi, semakin tinggi nilai

tahap adopsi artinya tingkat efektivitas penyuluhan tinggi, sebaliknya apabila nilai

tahap adopsi rendah maka tingkat efektivitas penyuluhan rendah, kergaan tahap

adopsi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 16. Keragaan Indikator Tahap adopsi dan Persentasinya

Tahap Adopsi Tingkat Jawaban Jumlah (orang) Persentase %

Sadar Rendah (1-5) 0 0


Sedang (6-10) 0 0
Tinggi (>10) 60 100
Minat Rendah (1-2) 34 56,67
Sedang (3) 10 16,67
Tinggi (4-5) 16 26,66
Menilai Rendah (1-2) 44 73,33
Sedang (3) 0 0
Tinggi (4-5) 16 26,67
Mencoba Rendah (1-2) 44 73,33
Sedang (3) 16 26,67
Tinggi (4-5) 0 0
Adopsi Rendah (1-2) 60 100
Sedang (3) 0 0
Tinggi (4-5) 0 0
Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Tingkat adopsi yang tinggi dapat dikatakan bahwa peternak sudah melalui

beberapa tahap dalam proses adopsi hingga menerapkan, tingkat adopsi rendah

terjadi dengan kemungkinan bahwa yang dilakukan peternak hanya sampai tahap

sadar ataupun minat, menurut Nuhoni dan Hendrian (2007)* bahwa hal tersebut

sudah dikatakan bahwa peternak sudah mengadopsi tetapi belum pada tahap yang

sempurna dalam mengadopsi teknologi karena belum sepenuhnya percaya pada


39

teknologi. Tahap adopsi dari hasil penelitian disajikan dalam tabel 12, yang

menunjukan bahwa materi penyuluhan dalam pembuatan silase belum sepenuhnya

diterapkan oleh peternak.

Suatu teknologi baru tidak akan berguna tanpa adanya adopsi. Pernyataan

tersebut terlihat pada tabel 12 di atas, yaitu tidak seluruhnya peternak menerapkan

apa yang sudah mereka coba. Wahyudi dkk, (2010)* menyatakan bahwa

kemampuan peternak dalam mengadopsi teknologi sangat dipengaruhi oleh faktor

yang berasal dari dalam diri peternak dan dari luar diri peternak, serta faktor

kelembagaan. Perbedaan antara faktor yang membentuk penerimaan ini akan

menyebabkan terjadinya perbedaan adopsi teknologi.

Proses adopsi inovasi juga dapat didekati dengan pemahaman bahwa

proses adopsi inovasi itu sendiri merupakan proses yang diupayakan secara sadar

demi tercapainya tujuan pembangunan. Pembangunan pedesaan di Indonesia

menginginkan agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses

pembangunan. Studi adopsi teknologi penting untuk memahami faktor-faktor

yang berhubungan dengan penerapan teknologi pertanian. Pelatihan-pelatihan

teknologi pertanian yang berkelanjutan, harus sering dilakukan untuk

memberdayakan petani atas penggunaan teknologi pertanian yang benar dan

ramah lingkungan (Kuntariningsih dan Joko, 2014)*

Adopsi teknologi akan lebih cepat pada saat kegiatan memberikan hasil

yang nyata. Tekhnologi yang mereka perlukan adalah yang mudah dilakukan,

biaya murah dan mampu memberi manfaat yang menguntungkan (Rostini dkk.

2015)*. Dengan mengadopsi teknologi diharapkan produksi dapat ditingkatkan

baik jumlah maupun kualitas, oleh karena itu masih sangat perlu untuk
40

ditingkatkan lagi pengetahuan dan keterampilan para peternak dengan

memberikan pemahaman dan praktek tentang teknologi pakan sehingga mereka

mampu mengoptimalkan produksi.

4.3 Analisis Hubungan Antara Karakteristik Internal Peternak Kambing


dengan Efektivitas Penyuluhan dalam Pembuatan Silase

Hubungan karakteristik internal peternak kambing dengan efektivitas

penyuluhan di Kecamatan Sumbang disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 17. Hubungan Karakteristik Internal Peternak Kambing dengan Efektivitas


Penyuluhan dalam Pembuatan Silase

Korelasi
No Variabel X (Karakteristik Variabel Y (Tingkat Keterangan
Internal) Adopsi)
1. -0.071 Tidak ada korelasi,
Umur
berlawanan arah
2. Jumlah Kepemilikan Ternak 0,404** Korelasi nyata
3. Tingkat Pendidikan 0,446** Korelasi nyata
4. Frekuensi interaksi dengan 0.106 Tidak ada korelasi,
PPL searah
Sumber : Data Primer Diolah, 2017

Berdasar tabel 17 di atas menunjukan bahwa karakteristik internal

peternak yang berhubungan dengan tingkat adopsi adalah jumlah kepemilikan

ternak dan tingkat pendidikan.

4.3.1 Hubungan Antara Umur Peternak dengan Tingkat Adopsi

Hasil analisis rank spearman menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan

antara umur peternak dengan tingkat adopsi dalam pembuatan silase. Pernyataan

tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (rs = -0,071). Perhitungan

analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 2.


41

Nilai rs negatif menunjukan bahwa variabel umur peternak mempunyai

hubungan yang tidak searah dengan tingkat adopsi, artinya ada kecenderungan

semakin tinggi umur peternak maka tingkat adopsi akan menurun. Kecenderungan

ini dapat diterangkan oleh informasi pelengkap yang menyatakan bahwa sebagian

besar peternak tingkat usianya sedang hingga tua, dan peternak yang berusia tua

cenderung akan lebih sulit dalam menjalankan adopsi inovasi, pernyataan tersebut

juga disampaikan oleh Muttakin dkk (2014)* bahwa usia merupakan salah satu

indikator dalam menentukan produktif atau tidaknya seseorang, cara berfikir, dan

kemampuan fisik dalam menjalankan usahatani, pada umumnya petani yang

berumur muda bekerja lebih kuat, lebih dinamis dan tanggap terhadap lingkungan

sekitar terutama yang berhubungan dengan usahataninya dibandingkan dengan

yang berumur lebih tua. Berdasarkan umur peternak sebagian besar berada pada

umur produktif, tetapi peternak tidak serius dalam mengelola usaha peternakan

kambing, selain itu, peternak lebih terfokus pada usaha pokoknya (usaha tani).

Petani banyak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman

orang lain tentang suatu inovasi teknologi dengan mencoba serangkain tindakan

yang beragam. Penelitian yang dilakukan oleh Yasintha dkk, (2014)* mempunyai

hasil yang sependapat bahwa umur memiliki hubungan yang negatif dengan

peluang responden mengadopsi teknologi, semakin muda umur responden,

semakin tanggap terhadap inovasi baru sehingga semakin tinggi peluang petani

untuk mengadopsi teknologi, sedangkan yang lebih tua pada umumnya bertahan

pada sistem yang lama yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat.

4.3.2 Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak dengan Tingkat Adopsi


42

Hasil analisis rank spearman menunjukan bahwa terdapat hubungan nyata

antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat adopsi dalam pembuatan silase.

Pernyataan tersebut ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs = 0,404) artinya

semakin banyak ternak yang dimiliki maka tingkat adopsi juga akan semakin

tinggi. Perhitungan analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 2.

Besar kecilnya skala usaha yang dimiliki oleh peternak mempengaruhi

pendapatan yang diperoleh oleh peternak hal ini berkaitan dengan jenis usaha

yang dijalankan oleh peternak apakah termasuk usaha pokok atau usaha

sampingan. Semakin banyak ternak yang dimiliki maka peternak harus berupaya

merubah cara berpikirnya dan menumbuhkan karakteristiknya dengan memiliki

sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan usaha peternakan. Peternak sebagai

kunci keberhasilan usahanya harus mampu menyerap informasi yang ada. Kondisi

tersebut yang menjadi alasan beberapa responden melakukan adopsi teknologi

yang baru untuk menjadikan usaha peternakannya lebih berkembang.

Manajemen pemberian pakan di wilayah Kecamatan Sumbang pada

umumnya dilakukan dengan sistem cut and carry (potong dan angkut) untuk

pakan dasar, sedangkan pakan tambahan berupa konsentrat masih jarang

diberikan. Pakan basal yang diberikan umumnya berupa rumput lokal yang

dikumpulkan disekitar kebun, tegalan, rawa dan hutan. Ketersediaan rumput lokal

di lapangan relatif berfluktuasi tergantung curah hujan. Pada saat musim kemarau

panjang umumnya lahan menjadi kering dan hanya rumput-rumput tertentu yang

masih tersedia di lapangan sehingga ketersediaan rumput terbatas. Pemanfaatan

limbah pertanian berupa jerami kacang-kacangan dan jerami jagung sudah mulai

dilakukan, namun masih belum dilakukan proses pengolahan dan pengawetan


43

sehingga pemanfaatannya masih terbatas (Adrial dan Saleh, 2013)*. hijauan yang

dibuat silase dapat disimpan sebagai pakan awetan, khususnya untuk

memanfaatkan kelimpahan sumber pakan pada musim penghujan, pemberian

silase dengan bahan dasar rumput dimaksudkan untuk mempertahankan

ketersediaan bahan pakan saat kemarau (Hidayati A, 2013)*.

Jumlah kepemilikan ternak yang semakin banyak akan membuat peternak

berfikir untuk menerapkan teknologi pengolahan dan pengawetan pakan untuk

menjamin ketersediaan hijauan pakan secara terus menerus terutama persiapan

pada musim paceklik. Rostini dkk (2015)* menyatakan bahwa usaha pemanfaatan

hijauan sangat diperlukan untuk bisa menjamin ketersediaan pakan ternak. Usaha

pengawetan hijauan pakan yang bisa dilakukan salah satunya adalah pembuatan

silase. Pembuatan silase bertujuan untuk dapat mencukupi kebutuhan pakan

ternak sepanjang musim dengan kualitas yang baik, dengan diterapkanya

pemberian silase maka akan memberi manfaat yang menguntungkan bagi

peternak.

4.3.3 Hubungan Antara Pendidikan Peternak dengan Tingkat Adopsi

Hasil analisis rank spearman menunjukan bahwa terdapat hubungan nyata

antara pendidikan peternak dengan tingkat adopsi dalam pembuatan silase.

Pernyataan tersebut ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs = 0,446) artinya

semakin tinggi pendidikan peternak maka tingkat adopsi teknologi juga semakin

tinggi. Perhitungan analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 2. Responden

dengan pendidikan yang paling tinggi adalah SLTA/Sederajat dengan pendidikan

yang tinggi akan mempengaruhi pola pikir yang lebih rasional dan mudah untuk

menangkap hal-hal baru, namun demikian karena aplikasi di lapangan tidak


44

optimal dan lebih berkonsentrasi terhadap pekerjaan utama yaitu pegawai di

kantor desa, maka segala informasi atau materi penyuluhan tidak sepenuhnya

diaplikasikan di lapangan.

Pola pikir peternak dengan pendidikan yang lebih tinggi jauh lebih matang

serta mampu berfikir secara rasional. Warnaen dkk (2013)* menyatakan bahwa

pendidikan menjadi penting dalam kualitas hidup dikarenakan dapat

mempengaruhi produktivitas kerja serta koneksi sosial yang lebih baik. Pendapat

lain yang diungkapkan oleh Stiglitz dkk, (2011) bahwa masyarakat yang lebih

terdidik pada umumnya memiliki status kesejahteraan yang lebih baik,

pengangguran yang lebih sedikit, koneksi sosial yang lebih banyak, dan

keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan sipil dan politik. Pendukung lain

yang menguatkan hasil penelitian ini adalah pendidikan formal maupun

nonformal besar pengaruhnya terhadap penyerapan gagasan dan daya tangkap

terhadap hal-hal baru yang diterima (Murtiyani, 2011).

Rendahnya tingkat pendidikan peternak tersebut akan menyebabkan

peternak kurang bijaksana dalam mengambil keputusan dan menjadi faktor

penghambat kelancaran kegiatan adopsi pertanian, sehingga inovasi baru di

bidang pertanian (dalam hal ini beternak kambing) cenderung lambat diterima dan

perubahan lambat terjadi pada akhirnya akan menentukan keefisienan peternak

dalam berusaha. Pendidikan berpengaruh pada cara berfikir peternak yang akan

melaksanakan kegiatan usaha ternaknya. Peternak yang lebih lama mendapatkan

pendidikan formalnya lebih besar kemungkinan akan lebih mudah menerima

inovasi serta perubahan dalam hal beternak kambing khususnya di lokasi

penelitian (Lestari dkk, 2009).*


45

Tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir dan daya

penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam

pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang berpendidikan tinggi

akan lebih baik cara berfikirnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih

rasional dalam mengelola usahataninya (Gustiani dan Karsidi, 2015)*, hal ini

berhubungan dengan tingkat keterbatasan rasionalitas dan cara pandang petani

terhadap suatu metode atau inovasi. Keterbatasan pemikiran rasionalitas

menyebabkan petani semakin berhati-hati dalam menerima atau menerapkan

metode-metode baru dalam usahatani yang dijalaninya.

4.3.4 Hubungan Antara Frekuensi Interaksi dengan Penyuluh dengan


Tingkat Adopsi

Hasil analisis rank spearman menunjukan bahwa terdapat hubungan tidak

nyata antara frekuensi interaksi dengan penyuluh dengan tingkat adopsi dalam

pembuatan silase. Pernyataan tersebut ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi

(rs = 0.106).

Nilai rs positif menunjukan bahwa semakin banyak frekuensi interaksi

dengan penyuluh maka tingkat adopsinya semakin tinggi. Adanya peran penyuluh

akan membantu peternak untuk mendapatkan informasi baru, dengan demikian

kesempatan untuk lebih tahu hingga mengadopsi teknologi sangat besar. Artinya

semakin intensif interaksi peternak dengan penyuluh maka akan semakin banyak

pula informasi yang akan para peternak peroleh. Junaedi (2007) menyatakan

bahwa pada tahap adopsi peternak akan mencoba teknologi yang disampaikan

apabila ada peragaan teknologi tersebut, serta adanya bimbingan yang intensif

sampai peternak merasa mampu menerapkannya tanpa perlu didampingi lagi oleh

penyuluh. Sadono (2008)* menyatakan bahwa salah satu tugas penyuluh adalah
46

memberikan bimbingan dan memecahkan masalah petani atau kelompok tani

dalam pengambilan keputusan guna menjalin kemitraan usaha di bidang

pertanian, hal ini dapat tercapai apabila intensitas interaksi antara penyuluh

dengan petani ataupun sebaliknya tinggi, nilai penting yang dianut dalam

penyuluhan adalah pemberdayaan sehingga terbentuk kemandirian petani.

Peternak dalam mengembangkan usahanya membutuhkan seorang

penyuluh dalam menyampaikan ilmu dan pengetahuan tentang cara beternak yang

modern. Semakin sering seorang penyuluh berkunjung kepada peternak atau

sebaliknya peternak berkunjung kepada penyuluh dalam memberikan pengetahuan

tentang cara beternak kambing yang modern maka pengetahuan peternak semakin

baik (Rintjap, 2015)*. Keterampilan dan pengetahuan peternak dengan tingkat

pendidikan yang relatif rendah perlu ditingkatkan dengan cara memberikan

pendidikan nonformal atau dengan cara penyuluhan agar peternak rakyat tidak

ketinggalan dengan perkembangan jaman dan teknologi khususnya dalam

pengembangan usaha peternakan (Emawati dkk, 2017)*.

Pendapat sebagian besar peternak bahwa dengan menerapkan teknologi

pakan silase secara lengkap akan mempengaruhi waktu dan tenaga mereka. Secara

rasional memang pembuatan silase akan mempengaruhi waktu dan tenaga tetapi

secara keuntungan jangka panjang maka akan berpengaruh positif terhadap usaha

yang mereka jalankan. Khairudin dkk, (2015)* berpendapat bahwa perubahan

terhadap keterbatasan pemikiran rasional dan cara pandang peternak ini yang

seharusnya menjadi pusat perhatian petugas penyuluh dan aparatur pemerintah

terkait. Mereka harus menekankan agar petani mampu mengubah cara dan pola

berfikirnya sehingga akan lebih menerima metode dan inovasi-inovasi baru


47

dibidang pertanian yang dapat berdampak positif bukan hanya meningkatkan

input usahanya.

4.4 Analisis Hubungan antara Karakteristik Eksternal Peternak Kambing


dengan Efektivitas Penyuluhan dalam Pembuatan Silase

Hasil perhitungan “Hubungan Karakteristik Eksternal Peternak Kambing

dengan Efektivitas Penyuluhan dalam Pembuatan Silase di Kecamatan Sumbang”

yaitu menunjukan nilai korelasi sebesar 0,484 (korelasi nyata).

Hubungan Antara Dukungan Kelembagaan dengan Tingkat Adopsi

Hasil analisis korelasi rank spearman menunjukan bahwa terdapat

hubungan yang nyata antara dukungan kelembagaan dengan tingkat adopsi.

Pernyataan tersebut ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi (rs= 0,484), artinya

semakin besar dukungan kelembagaan maka tingkat adopsi juga akan semakin

tinggi. Perhitungan analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 2.

Proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peternak akan

lebih cepat apabila ada sebuah kerjasama yang baik antara peternak dengan

lembaga-lembaga terkait. Kinerja peternak tidak akan berlangsung sempurna

tanpa adanya suatu dukungan baik materi maupun moral dari instansi atau

lembaga. Hasil survey membuktikan bahwa kinerja instansi resmi sebagai

lembaga yang menaungi para peternak, diakui sudah berfungsi dengan baik.

Adanya dukungan tersebut sacara umum mampu memperbaiki keadaan

peternakan dan membantu peternak dalam proses adopsi inovasi teknologi dalam

beternak kambing, hal ini bermakna bahwa semakin baik dukungan kelembagaan

maka akan semakin tinggi tingkat efektivitas penyuluhan, Priyono dkk, (2015)*

menyatakan bahwa transfer teknologi melalui peran lembaga terkait akan

mempermudah proses adopsi dan penerapan teknologi oleh petani. Lembaga


48

memiliki peran penting dalam proses penyebarluasan teknologi. Meningkatnya

adopsi teknologi dengan dukungan kelembagaan dan penyuluh pertanian akan

mendorong peningkatan kesejahteraan petani dan pertumbuhan ekonomi daerah.

Kelembagaan yang mendukung proses transformasi teknologi yaitu

peran/kinerja penyuluh di mana penyuluh pertanian adalah petugas yang

melakukan pembinaan dan penyampai pesan atau materi dan berhubungan

langsung dengan petani. Anwas (2011)* menyatakan bahwa kompetensi penyuluh

pertanian adalah kemampuan yang dilandasi oleh pengetahuan, ketrampilan, dan

didukung oleh sikap yang dituntut dalam melaksanakan tugasnya dalam

memberdayakan petani. Pembangunan pertanian di Indonesia masih terkendala

oleh banyak faktor yang menyebabkan sulitnya para petani untuk berkembang.

Salah satu upaya dalam meningkatkan produktivitas pertanian dapat dilakukan

melalui kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh pertugas penyuluh dari Balai

Penyuluhan Pertanian yang ada di daerah. Seperti yang dijelaskan dalam Undang-

undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan

dan Kehutanan (SP3K) bahwa penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang

selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama

serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan

mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,

permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan

produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta

meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Mengingat

pertanian merupakan tulang punggung perekonomian nasional dan umumnya juga

merupakan tulang punggung ekonomi sebagian besar daerah di Indonesia, maka


49

masing-masing daerah harus memperhatikan urusan pertanian seperti

meningkatkan kualitas penyuluh pertanian.

Lembaga penyuluhan pertanian mempunyai peran strategis untuk

pembangunan pertanian di Indonesia karena mempunyai tugas dan fungsi untuk

menyelenggarakan pendidikan non-formal bagi petani/nelayan serta mendampingi

petani, mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tentang usahatani, mendidik

petani agar mampu memberdayakan semua potensinya, menyebarkan inovasi-

inovasi baru kepada petani tentang bagaimana berusaha tani dengan baik. serta

memiliki peran yang penting dalam mendukung strategi dari kementerian

pertanian dalam mensukseskan pembangunan pertanian (Widya dkk, 2016)*.

Kinerja pengembangan suatu teknologi dikatakan baik jika teknologi yang

didiseminasikan langsung diadopsi petani. Suatu teknologi akan diadopsi petani

jika memiliki dampak positif bagi petani, baik manfaat langsung (peningkatan

produktivitas dan pendapatan) maupun manfaat tidak langsung (penguasaan

teknologi, informasi dan organisasi kelompok). Kelompok tani merupakan

organisasi yang dapat memperkuat posisi petani dalam berhubungan dengan

lembaga lain seperti lembaga agroinput dan lembaga pemasaran (Priyono dkk,

2015)*. Oleh karena itu petani membutuhkan kelembagaan kelompok tani untuk

mempermudah mengadopsi teknologi.

4.5 Ikhtisar

Hasil penelitian dengan judul Hubungan Antara Karakteristik Internal dan

Faktor Eksternal Peternak Kambing dengan Efektivitas Penyuluhan dalam

Pembuatan Silase di Kecamatan Sumbang, disajikan dalam tabel 18.

Tabel 18. Keragaan karakteristik Internal Peternak dan Hubunganya dengan


Efektivitas penyuluhan dalam Pembuatan Silase.
50

Korelasi
No Variabel X (Karakteristik Variabel Y (Tingkat Keterangan
Internal) Adopsi)
1. -0.071 Tidak ada korelasi,
Umur
berlawanan arah
2. Jumlah Kepemilikan Ternak 0,404** Korelasi nyata
3. Tingkat Pendidikan 0,446** Korelasi nyata
4. Frekuensi interaksi dengan 0.106 Tidak ada korelasi,
PPL searah
Sumber : Data Primer Diolah, 2017
51

Tabel 18 menunjukan bahwa jumlah kepemilikan ternak dan tingkat

pendidikan memiliki hubungan dengan efektivitas penyuluhan dalam pembuatan

silase, sedangkan umur dan frekuensi interaksi dengan penyuluh tidak ada

hubunganya dengan efektivitas penyuluhan dalam pembuatan silase, selanjutnya

pada korelasi faktor eksternal peternak (dukungan kelembagaan) mempunyai

hubungan dengan efektivitas penyuluhan dalam pembuatan silase dengan nilai

0,484** (korelasi nyata), hasil tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat

karakteristik tersebut maka semakin tinggi pula kemampuan peternak dalam

mengadopsi teknologi.
52

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1 Tingkat adopsi teknologi usaha peternak kambing termasuk dalam kategori

baik, semua peternak sudah dalam tahap adopsi tetapi belum pada tahap

yang sempurna.

2 Tingkat karakteristik internal peternak termasuk dalam kategori sedang

terhadap efektivitas penyuluhan.

3. Variabel yang memiliki hubungan dengan tingkat adopsi adalah jumlah

kepemilikan ternak, tingkat pendidikan dan dukungan kelembagaan.

4. Variabel yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat adopsi adalah umur

dan frekuensi interaksi dengan penyuluh.

5.2 Saran

1 Penyuluh harus lebih sering melakukan penyuluhan supaya peternak

lebih sering mendapat ilmu untuk mengembangkan usahanya, serta

melakukan evaluasi kepada peternak dan mengadakan pertemuan

koordinasi secara berkala.

2 Dalam memberikan penyuluhan kepada peternak, akan lebih baik

apabila penyuluh memberikan contoh atau praktek langsung sesuai materi

yang disampaikan.
53

DAFTAR PUSTAKA

Adrial dan Saleh Mokhtar. 2013. Penerapan Teknologi Pengolahan dan


Pengawetan Hijauan Pakan di Lokasi Model Pengembangan Pertanian
Perdesaan melalui Inovasi (m-p3mi) di Desa Kanamit Barat Kabupaten
Pulang Pisau. Buletin Inovasi Teknologi Pertanian. Edisi 1,Vol. 1.
Afrizal, Rudy Sutrisna, dan Muhtarudin. 2014. Potensi Hijauan Sebagai Pakan
Ruminansia Di Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur.
UNILA. Lampung.
Akdon. 2008. Aplikasi Statistika dan Metode Penelitian untuk Administrasi dan
Manajemen (cetakan kedua). Dewa Ruchi. Bandung.

Alam A. 2014. Motivasi Peternak Terhadap Aktivitas Budidaya Ternak Sapi


Potong Di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Jurnal Agromedia. Vol. 32
No. 2 Undip. Semarang.

Alfian Y., F. I. Hermansyah, E. Handayanta, Lutojo, dan W. P. S. Suprayogi.


2012. Analisis Daya Tampung Ternak Ruminansia pada Musim Kemarau
di Daerah Pertanian Lahan Kering Kecamatan Semin Kabupaten
Gunungkidul. Jurnal Tropical Animal Husbandry Vol. 1. No 1.

Amron & T. Imran. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap


Produktivitas Tenaga Kerja pada Outlet Telekomunikasi Seluler Kota
Makasar. Jurnal .Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nobel Indonesia. Makasar.

Anantanyu. S. 2011. Kelembagaan Petani: Peran Dan Strategi Pengembangan


Kapasitasnya. Jurnal SEPA. Vol. 7. No. 2. UNS. Solo.

Anwas OM. (2011). Kompetensi Penyuluhan Pertanian dalam Memberdayakan


Petani. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi. Vol 12, No.1. IPB

Arlis. 2016. Hubungan Karakteristik Petani dengan Produksi Padi Sawah di Desa
Rambah Tengah Barat Kecamatan Rambah Kabupaten Rokan Hulu.
Universitas Pasir Pengaraian. Rokan Hulu.

Arifin Z., Cepriadi, dan D. Muardi. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Motivasi Petani dalam Meningkatkan Produksi Padi di
Desa Bungaraya Kecamatan Bungaraya Kabupaten Siak. Jom Faperta.
Vol. 2 No. 2. Riau.

Astuti, Angggraini dan Leonard. 2015. Peran Kemampuan Komunikasi


Matematika Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa. Jurnal Formatif
2(2)
54

Bambang Winarso, 2009. Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi


Kesejahteraan Petani: Prospek dan Kendala Pengembangan Agribisnis 
Ternak  Kambing/Domba di Indonesia. Bogor.
BPS Kab Banyumas. 2013. Banyumas dalam angka. BPS. Banyumas.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh. 2015. Pengawetan Hijauan dengan
cara Silase untuk Pakan Ternak Ruminansia. Aceh.
Charina. A. 2015. Kajian Kinerja Penyuluhan Pertanian di Kecamatan
Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Social Economic of
Agriculture,Volume 4, Nomor 1. Unpad. Bandung.
Damayanti 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi, Pendapatan dan
Kesempatan Kerja pada Usaha Tani Padi Sawah di Daerah Irigasi Parigi
Moutong. Jurnal SEPA. Vol. 9. No.2. Universitas Tadulako.
Dayana dan Flora K. Sinurat. 2011. Komunikasi Penyuluhan dan Adopsi Inovasi.
Jurnal Ilmu Sosial-Fakultas Isipol Uma. Volume 4. Nomor 2.
Delni R. 2008. Hubungan Karakteristik Peternak Terhadap Efektivitas
Penyuluhan Pengembangan Peternakan Sapi Potong. Skripsi. IPB. Bogor.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Sistem Pendidikan Indonesia. Jakarta.

Direktorat Pakan Ternak, 2011. Pedoman Umum Pengembangan Lumbung Pakan


Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Jakarta.

Dudung R. H. 2007. Ilmu dan aplikasi pendidikan. PT Imperial Bhakti Utama.


Bandung.

Emawati S., Sudiyono ,dan Sari A. I. 2017. Pengaruh Profil Demografis Terhadap
Keberhasilan Pelatihan Pengolahan Pupuk Organik di Kecamatan
Ngadirojo Kabupaten Wonogiri. Jurnal Sains Peternakan. Vol. 15. No. 1.

Faizaty Nur Elisa, Amzul Rifin, Netti T. 2016. Proses Pengambilan Keputusan
Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya Kedelai Jenuh Air (Kasus: Labuhan
Ratu Enam, Lampung Timur). Jurnal AGRARIS. Vol.2 No.2
Far Far, R.A. 2014. Respon Petani terhadap Penerapan Metode Penyuluhan
Pertanian di Kota Ambon Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian.
Vol 10. No. 1. Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon.

Ghozali, I. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi


Keempat. Universitas Diponegoro. Semarang.
55

Gustiani E. dan Karsidi Permadi. 2015. Tingkat Adopsi Peternak Terhadap


Teknologi Pengolahan Tongkol Jagung Pakan Ternak Di Majalengka.
Jurnal Agros. Vol. 17 No.1.

Hidayati A., T. Budiwijono dan W. Prihanta. 2013. Penerapan Teknologi Silase


untuk Mempertahankan Produksi Susu Kambing kepada Kelompok
Peternak di Dataran Tinggi . Jurnal DEDIKASI. Volume 10.

Ihyaul U. 2009. Audit Sektor Publik suatu Pengantar. Bumi Aksara. Jakarta.

Indraningsih, K. S. 2011. Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam


Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal Agro Ekonomi. Vol.
29. No. 1. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Jafri J, Rudi Febriamansyah, Rahmat Syahni, dan Asmawi. 2015. Interaksi
Partisipatif antara Penyuluh Pertanian dan Kelompok Tani Menuju
Kemandirian Petani. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 33 Nomor 2.
Janti Suhar. 2014. Analisis Validitas dan Reliabilitas dengan Skala Likert
terhadap Pengembangan Si/Ti dalam Penentuan Pengambilan Keputusan
Penerapan Strategic Planning pada Industri Garmen. Prosiding Seminar
Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) ISSN: 1979-911X
Junaedi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi,Difusi dan Inovasi (Teknologi) dalam
Penyuluhan Pertanian. Sukoharjo.
Karmila. 2013. Faktor-faktor yang Menentukan Pengambilan Keputusan
Peternak Dalam Memulai Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur Di
Kecamatan Bissappu Kabupaten Bantaeng. Fakultas Peternakan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.

Khairudin ,Fadila Marga S. dan Dedi Supriyatdi. 2015. Analisis Faktor-faktor


Adopsi Metode PsPSP pada Penanggulangan Hama Penggerek Buah
Kakao (PBK) di Pekon Kuripan. Jurnal Agro Industri Perkebunan.
Volume 3 No. 1

Kuntariningsih A. dan Joko Mariyono. 2014. Adopsi Teknologi Pertanian untuk


Pembangunan Pedesaan: Sebuah Kajian Sosiologis. Jurnal Agriekonomika.
Vol. 3, No. 2
Lestari W. , Syafril Hadi dan Nahri Idris. 2009. Tingkat Adopsi Inovasi Peternak
dalam Beternak Ayam Broiler di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batang
Hari. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. Vol. XII. No.1.

Makatita J. 2013. Hubungan Antara Karakteristik Peternak dengan Skala Usaha


pada Usaha Peternakan Kambing di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku
Tengah. Jurnal Agrinimal, Vol. 3, No. 2
Malta. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kemandirian Petani dalam
56

Pengambilan Keputusan untuk Keberlanjutan Usahatani. Jurnal


Sosiohumaniora. Volume 18 No. 2. FMIPA. UT. Bogor.
Mangkuprawira, S. 2010. Strategi peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas
sumber daya manusia pendamping pembangunan pertanian. Forum
Penelitian Agro Ekonomi Vol. 28 No. 1.
Matondang Z. 2009. Validitas dan Reliabilitas Suatu Instrumen Penelitian. Jurnal
TABULARASA. Vol.6 No.1. UNIMED. Medan
Megawangi R. 2007. Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan. Indonesia
Heritage Foundation. Jakarta

Meksy V. G. Timbulus, Mex L. Sondakh dan Grace A.J.Rumagit. 2016. Persepsi


Petani terhadap Peran Penyuluh Pertanian di Desa Rasi Kecamatan
Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Agri-Sosioekonomi. Vol.
12. No. 2A. UNSRAT. Manado.
Mugiawati, R. E., Suwarno, N. Hidayat. 2013. Kadar Air dan Ph Silase Rumput
Gajah Pada Hari Ke-21 dengan Penambahan Jenis Additive dan Bakteri
Asam Laktat. Jurnal Ilmiah Peternakan. Vol. 1 No. 1. Fakultas Peternakan.
Unsoed.
Mukhtar Muhammad. 2014. Produksi dan Daya Dukung Lahan Hijauan Pakan
Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Utara. Jurnal Ilmiah Agrosains
Tropis. Vol. 7. No. 3.

Murtiyani, Ninik. 2011. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan
Remaja di RW V Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo. Universitas
Airlangga: Surabaya.

Muttakin, Dedi, Ismail U.P. dan Sri Ayu K. 2014. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi
yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit Pola Swadaya di
Desa Kepau Jaya Kabupaten Kampar. Jurnal RAT Vol.3.No.1.

Nuhoni Nalurita dan Hendrian. 2007. Analisis Komparasi Antara Pengguna


Sistem Registrasi Web-Based Dan Nonweb-Based Dalam Penerimaan
Inovasi Teknologi Informasi. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume
3, Nomor 1.
Pebrianti R., Lukman H., dan Syamsir R. 2012. Peran Pemerintah Daerah Dalam
Penyuluhan Pemeliharaan Ayam Broiler Di Desa Tanrara Kecamatan
Bontonompo Selatan Kabupaten Gowa. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.
11. No. 1. Universitas Muhammadiyah Makassar.

Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat.


Fokus Media. Bandung.
57

Prabowo A. 2015. Karakteristik dan Peranan Lembaga Petani Pemakai Air dalam
Mendukung Produktivitas Hasil Padi di Kecamatan Toboali Kabupaten
Bangka Selatan. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. Volume

Prabowo A., Susanti A.E., dan Karman J. 2013. Pengaruh Penambahan Bakteri
Asam Laktat terhadap Ph dan Penampilan Fisiksilase Jerami Kacang
Tanah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Priyono , Muhammad Ikhsan Shiddieqy, Didik Widiyantono dan Zulfanita. 2015.
Hubungan Kausal antara Tingkat Penguasaan Teknologi, Dukungan
Kelembagaan, dan Peran Penyuluh terhadap Adopsi Integrasi Ternak-
Tanaman. Jurnal Informatika Pertanian. Vol. 24 No.2.

Purwaningsih, N. 2007. Hubungan Kemampuan Adopsi Inovasi dengan Sikap


Kewirausahaan Anggota Kelompok Tani Ternak Sapi Perah di Kabupaten
Banyumas. Skripsi. Fapet Unsoed. Purwokerto.
Putra, Fierzha Anugrah, Lilis Nurlina dan Syahirul Alim. 2016. Hubungan Antara
Jumlah Kepemilikan Ternak Dengan Tingkat Penerapan Teknologi Pakan
Hijauan Secara Fisik Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat. Unpad.
Bandung.
Putri A. D. dan Nyoman D. S. 2013. Pengaruh Umur, Pendidikan, Pekerjaan
Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Miskin di Desa Bebandem. E-Jurnal
EP Unud. Vol. 2. No 4. Unud. Denpasar
Rachmat, H. 2014. Persepsi dan Adopsi Teknologi. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.
Rasali, H., Matondang dan S.Rusdiana. 2013. Langkah-Langkah Strategis dalam
Mencapai Swasembada Daging Sapi/Kerbau 2014. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan Depertemen Pertanian. Bogor.
Rintjap Anneke k. 2015. Efektivitas Komunikasi dalam Penerimaan Informasi
pada Kelompok Peternak Sapi Potong di Kecamatan Remboken,
Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Jurnal Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon. Volume 1, Nomor 7
Rostini Tintin dan Achmad J. 2015. Pemanfaatan Hijauan Rawa sebagai Pakan
Ternak pada Kelompok Ternak Banua Raya. Jurnal Al-Ikhlas. Volume 1
Nomor 1. Universitas Islam Kalimantan.
Rukka H. dan A. Wahab. 2013. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Petani dalam Pelaksanaan Kegiatan P2BN di Kecamatan Barru, Kabupaten
Barru. Jurnal Agrisistem. Vol. 9 No. 1. STPP Gowa. Gowa

Saad, U.. 2012. Pengaruh Intensitas Penyuluhan dan Karakteristik Teknologi


Budidaya Sapi Potong terhadap Jenis Adopsi Inovasi oleh Peternak di Desa
58

Simpursia Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo. Skripsi. Universitas


Hasanuddin. Makassar.

Sadono D. 2008. Pemberdayaan Petani Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di


Indonesia. Jurnal Penyuluhan. Vol. 4. No. 1. IPB. Bogor.

Saridewi Tri R. dan Amelia N. S. 2010. Hubungan antara Peran Penyuluh dan
Adopsi Teknologi oleh Petani terhadap Peningkatan Produksi Padi di
Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol. 5 No. 1.
STTP. Bogor.
Sedjati H.W. 2010. Pengaruh Tingkat Pendidikan Sekolah terhadap Motivasi
Bekerja pada Sektor Pertanian di Desa Karangnanas, Kecamatan
Sokaraja Kabupaten Banyumas. STISIP Kartika Bangsa. Yogyakarta.

Stiglitz, Joseph E., Sen, Amartya, Fitoussi, Jean Paul. 2011. Mengukur
Kesejahateraan: Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur yang
Tepat untuk Menilai Kemajuan. Marjin Kiri. Jakarta.
Suparta Nyoman. 2013. Penyuluhan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik.
Fakultas Peternakan. Universitas Udayana
Suseno Wahyu Gangsar dan Tetty Wijayanti. 2008. Peranan Prima Tani Terhadap
Pendapatan Petani Padi Sawah (Oryza Sativa l.) di Desa Suliliran Baru
Kecamatan Pasir Belengkong Kabupaten Paser. J–SEP Vol. 2 No. 1
Sutarto. 2008. Hubungan Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Inovasi
Teknologi Komoditas Jagung di Sidoharjo Wonogiri. Jurnal Agritexts No
24.

Tarukallo P. B., Andi A. U., dan Ladaha, 2014. Faktor yang Mempengaruhi
Adopsi Teknologi Biopestisida oleh Petani Sayur di Sendana dan Purangi
Kota Palopo. Jurnal Komunikasi KAREBA. Vol.3, No.2.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,


Perikanan, dan Kehutanan.

Utami L S.. 2015. Hubungan Karakteristik Peternak dengan Skala Usaha Ternak
Kerbau di Desa Sumbang Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Skripsi.
Fapet Unhas. Makasar
Wahyudi Wirawan A., Afriani H, dan Nahri I. 2010. Evaluasi Adopsi Teknologi
Peternakan Ayam Broiler Di Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro
Jambi . Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora. Volume 12,
Nomor 2. Jambi.
Warnaen A., Hafied Cangara,dan Sitti Bulkis. 2013. Faktor-Faktor yang
Menghambat Inovasi pada Komunitas Petani dan Nelayan dalam
59

Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Takalar. Jurnal


Komunikasi KAREBA. Vol. 2, No. 3
Welson M. W., Benu O. dan Suzana L. 2016. Adopsi Petani terhadap Inovasi
Tanaman Padi Sawah Organik di Desa Molompar Kecamatan Tombatu
Timur, Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Agri SosioEkonomi. Vol 12.
No. 2. UNSRAT. Manado
Widarti A. dan Sukaesih. 2015. Keragaman jenis pakan ternak dan
ketersediaannya di wilayah sekitar Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON. Volume 1, Nomor 7.
Widya Dwi P. P., Rosnita, Roza Yulida. 2016. Analisis Kelembagaan Penyuluhan
Pertanian di Kabupaten Kampar. Jurnal Ilmiah Pertanian. Vol.13 No. 1
Widyastuti Y. 2008. Fermentasi Silase Dan Manfaat Probiotik Silase bagi
Ruminansia. Media Peternakan. Vol. 31. No. 3 Hlm 225-232. Bogor.
Winarso B. 2010. Prospek dan kendala pengembangan agribisnis ternak kambing
dan domba di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional. Peningakatan Daya
Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Penyunting: Kedi
Suradisastra, Pancar Simatupang dan Budiman Hutabarat. Pusat Analisis
Soasial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementrian Pertanian, hlm. 246-
264.
Yasintha L. K., Wagiman F. X., Sunarru S. H., dan Siwi Indarti. 2014. Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Infus Asap di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, NTT. Indonesia. Jurnal KAWISTARA. Vol. 4. No.
2.
Zulfanita. 2011. Kajian Analisis Usaha Ternak Kambing di Desa Lubangsampang
Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo. Jurnal MEDIAGRO. Volume 7.
No. 2.
60

LAMPIRAN
Lampiran 1.
DAFTAR PERTANYAAN

Hubungan Antara Karakteristik Internal dan Faktor Eksternal Peternak


Kambing Dengan Efektivitas Penyuluhan Dalam Pembuatan Silase di
Kecamatan Sumbang

Desa :
Kecamatan :
Jenis Ternak :
A. IDENTITAS UMUM RESPONDEN
1. Nama responden :
2. Alamat :
3. Umur :
4. Jenis kelamin :
5. Pekerjaan utama :
6. Pekerjaan sampingan :
7. Jumlah kepemilikan ternak :
8. Keikutsertaan kelompok ternak : ya (sejak kapan ...... )/tidak .....
B. TINGKAT PENDIDIKAN
1. ( ) Tidak Sekolah
2. ( ) SD - kelas......................
3. ( ) SMP - kelas......................
4. ( ) SMA - kelas .....................
5. ( ) Universitas D3/S1 jurusan...........................

Karakteristik Peternak

Jawablah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan kondisi Bapak/ibu di lapangan dengan
memberi tanda (X) pada kolom.

N Sangat setuju cukup kurang Sangat


o Pertanyaan setuju setuju tidak
setuju
A Frekuensi interaksi dengan
penyuluh (PPL)
1 Anda rutin mendapat
bimbingan dari penyuluh
peternakan lapangan (PPL).
2 Informasi/teknologi baru
tentang budidaya ternak
61

kambing sering anda dapatkan


dari PPL khususnya tentang
pembuatan silase.
3 PPL sangat membantu dalam
meningkatkan pengetahuan
tentang budidaya ternak
kambing dan pembuatan silase.
B Jumlah kepemilikan ternak
1 Semakin banyak ternak yang
dimiliki, maka anda semakin
giat untuk menerapkan
teknologi yang masuk
khususnya dalam pembuatan
silase.
2 Semakin banyak ternak yang
anda miliki, menyebabkan anda
tidak fokus dalam
membudidayakannya, termasuk
dalam pembuatan silase.
3 Sedikit banyaknya jumlah
ternak yang dimiliki,
mempengaruhi pendapatan
yang akan diperoleh.
C Dukungan kelembagaan
1 Lokasi dan kondisi kantor
penyuluh lapangan mudah di
jangkau oleh peternak.
2 Petugas penyuluhan mudah
dihubungi/didatangi oleh
peternak
3 Informasi yang diberikan mudah
dipahami oleh peternak

4 Dalam melaksanakan
penyuluhan, penyuluh
menggunakan perlengkapan
gambar / alat/ contoh
5 Petugas penyuluh dapat
menjelaskan informasi dan
teknologi peternakan dengan
62

jelas
6 Petugas penyuluh memahami
permasalah dan kebutuhan
peternak

7 Petugas penyuluh mempunyai


pengetahuan dan ketrampilan
yang memadai untuk
menjawab pertanyaan dari
permasalahan peternak
8 Petugas penyuluh cepat
tanggap dalam melayani
masalah/pengaduan peternak
9 Petugas penyuluh mudah
dihubungi dan di temui untuk
berkonsultasi
63

Efektivitas Penyuluhan

Jawablah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan pengalaman Bapak/Ibu setelah


menerima/ mengalami pelayanan dari penyuluh lapang dengan memberi tanda silang (x)
di kolom

N
Pernyataan Ya Tidak
o
A Sadar
Apakah materi yang disampaikan petugas
penyuluh (PPL) dapat dipahami.
B Minat
Apakah Bpk/Ibu berminat untuk membuat
silase.
C Menilai
Apakah Bpk/Ibu pernah menilai seberapa besar
keuntungan yang diperoleh jika Bpk/Ibu
membuat silase untuk pakan ternak, setelah
Bpk/Ibu menerima materi dari petugas
penyuluhan (PPL).
D Mencoba
Setelah petugas penyuluh memberikan materi
tentang pembuatan silase, Apakah Bpk/Ibu
pernah mencoba membuat silase.
E Adopsi

Apakah Bpk/Ibu selalu menggunakan silase


untuk budidaya ternaknya.
64

Lampiran 2.

Correlations

Correlations
Frek1 Frek2 Frek3 Frekuensi
interaksi
dengan PPL
Pearson Correlation 1 .816** .816** .921**
Frek1 Sig. (2-tailed) .001 .001 .000
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .816** 1 1.000** .977**
Frek2 Sig. (2-tailed) .001 .000 .000
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .816** 1.000** 1 .977**
Frek3 Sig. (2-tailed) .001 .000 .000
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .921** .977** .977** 1
Frekuensi interaksi
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000
dengan PPL
N 12 12 12 12
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary


N %
Valid 12 100.0
Cases Excludeda 0 .0
Total 12 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.

Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.953 3

Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
9.8333 1.788 1.33712 3
65

Correlations

Correlations
Kepemilika Kepemilikan Kepemilikan Jumlah
n1 2 3 Kepemilikan
Ternak
Pearson Correlation 1 .649* .529 .804**
Kepemilikan1 Sig. (2-tailed) .022 .077 .002
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .649* 1 .933** .969**
Kepemilikan2 Sig. (2-tailed) .022 .000 .000
N 12 12 12 12
Pearson Correlation .529 .933** 1 .911**
Kepemilikan3 Sig. (2-tailed) .077 .000 .000
N 12 12 12 12
Jumlah Pearson Correlation .804** .969** .911** 1
Kepemilikan Sig. (2-tailed) .002 .000 .000
Ternak N 12 12 12 12
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary


N %
Valid 12 100.0
Cases Excludeda 0 .0
Total 12 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.

Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.837 3

Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
8.0000 2.364 1.53741 3

Correlations
66

Correlations
DK1 DK2 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8 D

Pearson
1 .522 .561 .496 .692* .563 .746** .522
Correlation
DK1
Sig. (2-tailed) .082 .058 .101 .013 .057 .005 .082
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.522 1 .683* .726** .843** .570 .676* 1.000**
Correlation
DK2
Sig. (2-tailed) .082 .014 .008 .001 .053 .016 .000
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.561 .683* 1 .474 .811** .093 .814** .683*
Correlation
DK3
Sig. (2-tailed) .058 .014 .120 .001 .774 .001 .014
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.496 .726** .474 1 .464 .626* .390 .726**
Correlation
DK4
Sig. (2-tailed) .101 .008 .120 .129 .029 .210 .008
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.692 *
.843** .811** .464 1 .389 .842** .843**
Correlation
DK5
Sig. (2-tailed) .013 .001 .001 .129 .211 .001 .001
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.563 .570 .093 .626* .389 1 .272 .570
Correlation
DK6
Sig. (2-tailed) .057 .053 .774 .029 .211 .393 .053
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.746** .676* .814** .390 .842** .272 1 .676*
Correlation
DK7
Sig. (2-tailed) .005 .016 .001 .210 .001 .393 .016
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.522 1.000** .683* .726** .843** .570 .676* 1
Correlation
DK8
Sig. (2-tailed) .082 .000 .014 .008 .001 .053 .016
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.380 .728** .497 .528 .613 *
.599 *
.492 .728**
Correlation
DK9
Sig. (2-tailed) .223 .007 .100 .078 .034 .039 .104 .007
N 12 12 12 12 12 12 12 12
Pearson
.748** .935** .751** .769** .883** .669* .794** .935**
Dukungan Correlation
Kelembagaan Sig. (2-tailed) .005 .000 .005 .003 .000 .017 .002 .000
N 12 12 12 12 12 12 12 12
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Reliability
67

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary


N %
Valid 12 100.0
Cases Excludeda 0 .0
Total 12 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.

Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.923 9

Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
30.5000 25.545 5.05425 9

Frequencies
Statistics
Umur Jumlah
Kepemilikan
Ternak
Valid 60 60
N
Missing 0 0
Mean 46.75 4.70
Median 49.00 4.00
Mode 50 4
Std. Deviation 6.578 1.986
Minimum 10 2
Maximum 54 15
Sum 2805 282

Frequencies

Frequency Table
68

Pekerjaan Utama
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Penderes Kelapa 16 26.7 26.7 26.7
Petani 40 66.7 66.7 93.3
Valid
Pegawai 4 6.7 6.7 100.0
Total 60 100.0 100.0

Tingkat Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
SD 45 75.0 75.0 75.0
SMP 14 23.3 23.3 98.3
Valid
SMA 1 1.7 1.7 100.0
Total 60 100.0 100.0

Frekuensi interaksi dengan PPL


Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
7 3 5.0 5.0 5.0
8 6 10.0 10.0 15.0
9 33 55.0 55.0 70.0
Valid
10 13 21.7 21.7 91.7
11 5 8.3 8.3 100.0
Total 60 100.0 100.0

Tingkat Adopsi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Rendah 44 73.3 73.3 73.3
Valid Tinggi 16 26.7 26.7 100.0
Total 60 100.0 100.0

Nonparametric Correlations

Correlations
69

Umur Jumlah Tingkat Frekuensi Dukungan


Kepemilikan Pendidikan interaksi Kelembaga
Ternak dengan PPL

Correlation
1.000 .097 -.194 .161 .1
Coefficient
Umur
Sig. (2-tailed) . .459 .138 .219 .2
N 60 60 60 60
Correlation
Jumlah .097 1.000 .254 .033 .1
Coefficient
Kepemilikan
Sig. (2-tailed) .459 . .050 .801 .2
Ternak
N 60 60 60 60
Correlation
-.194 .254 1.000 .086 .1
Tingkat Coefficient
Pendidikan Sig. (2-tailed) .138 .050 . .512 .1
Spearman' N 60 60 60 60
s rho Correlation
Frekuensi .161 .033 .086 1.000 .0
Coefficient
interaksi
Sig. (2-tailed) .219 .801 .512 . .9
dengan PPL
N 60 60 60 60
Correlation
.137 .149 .197 .003 1.0
Dukungan Coefficient
Kelembagaan Sig. (2-tailed) .297 .257 .131 .982
N 60 60 60 60
Correlation
-.071 .404** .446** .106 .4
Coefficient
Total Adopsi
Sig. (2-tailed) .588 .001 .000 .422 .0
N 60 60 60 60
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Anda mungkin juga menyukai