Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan sub sektor peternakan masih memegang peranan penting

dalam strategi pembangunan daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini, karena

peternakan merupakan salah satu sumber penghasilan masyarakat NTT yang

sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sub sektor ini. Salah satu

komoditi dari beberapa macam komoditi sub sektor peternakan yang memiliki

nilai strategis dan berperan penting dalam pembangunan perekonomian di NTT

adalah ternak sapi.

Ternak sapi merupakan ternak penghasil daging yang memiliki peranan

penting sebagai sumber pendapatan, tenaga kerja, sebagai komoditi adat atau

status sosial seseorang dalam masyarakat. Selain itu, sebagai penghasil pupuk

organik dan produk utama penghasil bahan pangan sumber protein hewani bagi

konsumen. Oleh karena itu, ternak sapi sangat berperan dalam memberi

sumbangan atau manfaat bagi peternak maupun masyarakat lainnya.

Secara geografis Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) merupakan salah

satu Kabupaten di Propinsi NTT yang berbatasan langsung dengan daerah Distrik

Oecusse Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) yangmemiliki jumlah

populasi ternak sapi yang cukup banyak di NTT. Selama beberapa tahun

perkembangan populasi ternak sapi di Kabupaten TTU mengalami peningkatan.

1
Tabel 1. Populasi ternak potong di Kabupaten TTU, 2013 - 2015 (ekor)

Jenis Ternak 2013 2014 2015


Sapi Perah - - -
Sapi Bali 106 576 115 084 117 784
Kerbau 558 720 720
Kuda 1 138 834 872
Kambing/Domba 34 431 41 017 44 655
Babi 77 575 87 007 90 487
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Timor Tengah Utara 2016

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa populasi ternak sapi di

Kabupaten TTU dari tahun 2013 sampai 2015 mengalami peningkatan.

Peningkatan populasi ini disebabakan karena adanya usaha peternakan yang

dilakukan oleh masyarakat. Usaha yang dilakukan masyarakat ini dipengaruhi

oleh permintaan pasar sapi yang semakin hari semakin meningkat. Peningkatan

kebutuhan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kebutuhan pangan masyarakat

dan juga ekspor ke daerah lain.

Tabel 2. Banyaknya Ternak yang Dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) dan
di Luar RPH serta Ternak yang Dikirim/ Diperdagangkan ke Luar Daerah
Menurut Jenis Ternak dan Status Kepemilikan di Kabupaten TTU Tahun
2015.
No Jumlah Pemotongan Jumlah Penjualan
Jenis Ternak RPH Melalui
Pelabuhan
Luar RPH Transportasi
Wini
Darat
1 Sapi 1647 6 3123 7100
2 Kerbau 3 - 25 23
3 Kuda - - 9 -
4 Kambing/Domba 191 - - -
5 Babi 251 - - 30
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Timor Tengah Utara

Dari Tabel 2 dapat dilihat pula bahwa jumlah ternak sapi yang dipotong di

Rumah Potong Hewan (RPH) di Kabupaten TTU pada tahun 2015 adalah

2
sebanyak 1.653 ekor (1,40%). Sedangkan ternak sapi yang dikirim atau

diperdagangkan ke luar daerah Kabupaten TTU pada tahun 2015 adalah sebanyak

10.223 ekor (8,67%). Hal ini mengindikasikan bahwa ternak sapi masih menjadi

komoditas unggulan yang banyak diperdagangkan. Hal tersebut dapat berdampk

positif bagi pengembangan usaha ternak sapi.

Pengembangan usaha ternak sapi di daerah perbatasan dengan RDTL

sebagian besar merupakan peternakan rakyat yang sistem pengembangannya

masih bersifat ekstensif tradisional. Perlu diketahui bahwa setiap usaha yang

dijalankan tentu akan berujung pada pemasaran. Sebab tanpa pemasaran pelaku

bisnis akan rugi karena barang hasil produksinya tidak dapat dijual. Mosher

(1968) dalam Widiarti (2010) pemasaran merupakan syarat mutlak dalam

pembangunan pertanian dan peternakan. Tanpa adanya pemasaran hasil-hasil

peternakan, maka usaha peternakan akan bersifat statis dan usaha tersebut hanya

akan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peternak saja.

Sebagian besar peternak di kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL

menjual ternak sapinya dalam dua bentuk yaitu menjual dengan cara melihat

tampilan ternak dan menjual dalam cara ditimbang. Pemasaran ini dilakukan oleh

peternak melalui pedagang perantara seperti blantik desa dan pedagang

pengumpul kecamatan karena di daerah kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL

pemasaran ternak sapi lebih banyak dikuasai oleh pedagang perantara atau blantik.

Biasanya pedagang pengumpul atau blantik ini akan mendatangi para peternak

untuk membeli ternak sapi, selanjutnya para pedagang pengumpul tersebut akan

3
menjual ternak sapi yang telah dibeli pada pedagang lokal lainnya, RPH maupun

luar daerah.

Keberadaan blantik di sisi lain sangat membantu petani dalam

memasarkan ternaknya dan memudahkan petani mendapatkan uang tunai bila

peternak membutuhkan. Pemasaran ternak sapi menggunakan jalur pemasaran,

sehingga produk peternakan tersebut dapat sampai di tangan konsumen. Jalur

pemasaran yang relatif panjang menyebabkan kerugian baik bagi peternak

maupun konsumen, karena konsumennya terbebani dengan beban biaya

pemasaran yang berat untuk membayar dengan harga yang tinggi. Sedangkan bagi

peternak, perolehan pendapatan menjadi lebih rendah karena harga penjualan

yang diterima jauh lebih rendah.

Lembaga pemasaran hadir untuk membantu pemindahan ternak sapi maka

akan menimbulkan margin pada setiap lembaga pemasaran; sesuai banyaknya

lembaga pemasaran yang terlibat akan menyebabkan margin pemasaran semakin

besar, yang pada akhirnya mempengaruhi efisiensi pemasaran ternak sapi di

kawasan perbatasan Indonesia dan RDTL. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi margin pemasaran sapi yaitu biaya, tingkat persaingan antara

pedagang, jalur atau rantai pemasaran, kondisi wilayah dan banyaknya perantara

(lembaga) yang terlibat dalam menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke

konsumen. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor

di atas, maka dilakukan suatu penelitian tentang “Studi Pemasaran ternak Sapi

pada Kawasan Perbatasan Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste

di Kabupaten Timor Tengah Utara”.

4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana pola saluran pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan

Indonesia dan RDTL?

2. Berapa besar margin pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan

Indonesia dan RDTL?

3. Saluran pemasaran manakah yang paling efisien di kawasan perbatasan

Indonesia dan RDTL?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pola saluran pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan

Indonesia dan RDTL.

2. Menganalisis margin pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan

Indonesia dan RDTL.

3. Mengkaji saluran pemasaran manakah yang paling efisien di kawasan

perbatasan Indonesia dan RDTL.

1.4 Kegunaan
Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti, sebagai penerapan teori yang diperoleh selama kuliah,

menambah pengetahuan dan pengalaman penulis serta sebagai salah

satu syarat dalam menempuh pendidikan strata satu di Fakultas

Peternakan Universitas Nusa Cendana.

5
2. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan

pemikiran, bahan pertimbangan dan evaluasi terhadap penetapan

kebijakan, terutama yang berkaitan dengan pemasaran ternak sapi.

3. Bagi pihak lain, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan

dalam melakukan penelitian yang sejenis.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Sapi


Sejarah pemeliharaan sapi dan perkembangan populasinya di Indonesia,

terutama sapi potong, mengalami pasang surut yang fluktuatif. Hal ini dipengaruhi

oleh berbagai kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian masyarakat secara

global. Sejak zaman kolonial Belanda, terutama sejak didirikan pabrik-pabrik gula

(1830-1835), telah dilakukan pemeliharaan sapi yang tujuan utamanya sebagai

sumber tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan penarik kendaraan

pengangkut tebu. Sapi potong merupakan sapi yang khusus dipelihara untuk

digemukan karena karakteristik yang dimilikinya, seperti pertumbuhanya cepat

dan kualitas daging yang baik. Sapi-sapi inilah yang umumnya dijadikan sebagai

sapi bakalan yang dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga

diperoleh pertambahan berat badan yang ideal untuk dipotong. Pemilihan bakalan

yang baik menjadi langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan usaha.

Salah satu tolak ukur penampilan produksi ternak sapi adalah pertambahan berat

badan harian (Abidin, 2002).

Penyebaran ternak sapi di Indonesia belum merata. Ada beberapa daerah

yang sangat padat, ada yang sedang, tetapi ada yang sangat jarang atau terbatas

populasinya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor pertanian

misalnya adanya usaha pertanian yang tidak menyediakan pakan ternak,

kepadatan penduduk, iklim, daya aklimitasi dan adat istiadat (Sugeng, 2008).

7
Ternak sapi merupakan salah satu sumber penghasil daging yang memiliki

nilai ekonomi yang cukup tinggi dan penting dalam kehidupan masyarakat.

Seekor atau sekelompok ternak sapi bisa memenuhi berbagai macam kebutuhan

terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainya

seperti pupuk kandang, kulit dan tulang (Sudarmono, 2008).

Ternak sapi sebagai salah satu herbifora sangat berperan sebagai

pengumpul bahan bergizi rendah yang berubah menjadi bahan bergizi tinggi,

kemudian diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging. Konsumsi daging

meningkat seiring meningkatnya kesadaran masyarakan akan pentingnya

mengkonsumsi protein hewani. Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak-

anak pra sekolah dapat menyebabkan anak-anak yang berbakat normal menjadi

subnormal. Oleh karena itu, protein hewani sangat menunjang kecerdasan,

disamping diperlukan untuk daya tahan tubuh (Sugeng, 2008).

2.2 Pemasaran
Istilah pemasaran dalam bahasa inggris dikenal dengan nama marketing.

Sedangkan menurut Gifriah (2004) yang dikutip Muflihah (2006), pemasaran

dapat pula dikatakan sebagai tataniaga (marketing) yang diartikan sebagai suatu

proses pertukaran yang meliputi kegiatan untuk memindahkan barang atau jasa

dari produsen ke konsumen.

Limbong dan Sitorus (1987) yang dikutip Muflihah (2006) menyatakan

bahwa tataniaga pertanian mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan

dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dari

produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu

8
yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang dimaksud untuk lebih

memudahkan penyaluranya dan mudah memberikan kepuasan yang lebih tinggi

kepada konsumenya.

Kotler dan Amstrong (2004), mendefinisikan pemasaran dalam dua hal,

yakni defenisi pemasaran secara sosial dan defenisi pasar secara manajerial.

Definisi pemasaran secara sosial merupakan suatu proses sosial yang didalamnya

individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan

dengan menciptakan, menawarkan dan menukarkan produk yang bernilai dengan

pihak lain. Sedangkan pemasaran secara manajerial merupakan proses

perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi serta

penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang

memenuhi sasaran-sasaran individu dan organisasi.

Pemasaran merupakan suatu runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan

untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. Anindita

(2004) menyatakan bahwa ada tiga hal yang perlu menjadi tekanan dalam definisi

tersebut yaitu: 1). Kegiatan yang dimaksud sebagai jasa adalah suatu fungsi yang

dilakukan dalam kegiatan pemasaran. Fungsi ini bertujuan mengubah produk

berdasarkan bentuk (Form), waktu (Time) tempat (Place) dan kepemilikan

(Possession). Jasa menambah nilai dari suatu produk dan dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan konsumen; 2). Titik produsen adalah asal dari produk itu

dijual pertama kali oleh produsen atau peternak; 3). Titik konsumen. Dimana

tujuan suatu pemasaran adalah menyampaikan produknya ke konsumen akhir

sebagai transaksi terakhir.

9
Pemasaran dapat dikatakan produktif apabila menciptakan kegunaan

(utility), yaitu proses menciptakan barang dan jasa yang lebih berguna. Ada empat

jenis kegunaan yang dilakukan dalam pemasaran (Anindita, 2004): 1). Kegunaan

bentuk (Form Utility), yakni apabila suatu barang memiliki persyaratan yang

dibutuhkan untuk menjadi berguna; 2). Kegunaan tempat (Place Utility), yaitu

kegunaan yang ditimbulkan ketika hasil produksi di suatu tempat yang

mensyaratkan barang tersebut; 3). Kegunaan waktu (Time Utility) dilakukan

dalam pemasaran ketika produk tersedia pada saat yang diinginkan; 4). Kegunaan

milik (Possession Utility) dilakukan ketika barang ditransfer atau ditempatkan

diatas kontrol dari seseorang yang diinginkan.

Tiga tipe fungsi pemasaran Sudiyono (2004) yaitu: 1). Fungsi pertukaran

(Exchange Function). Dalam pemasaran produk pertanian, fungsi ini mencakup

kegiatan pengalihan hak pemilikan atas produk. Fungsi pertukaran ini terdiri dari

fungsi penjualan dan pembelian. Dalam melakukan fungsi penjualan, produsen

harus memperhatikan kualitas, kuantitas, bentuk dan waktu yang diinginkan

konsumen atau partisipan pasar dari rantai konsumen berikutnya. Selain itu,

fungsi pertukaran juga menjadi penentuan titik harga pasar. Sesuai dengan

karakteristik konsentratif distribusi pada sistem pemasaran produk pertanian,

fungsi pembelian umumnya diawali dengan aktifitas mencari produk,

mengumpulkan dan menegosiasikan harga; 2). Fungsi fisik (Physical Function).

Fungsi ini mencakup aktivitas handling (perlakuan), pengangkutan (pemindahan),

penyimpanan dan perubahan fisik produk sebagai berikut: a). Storage Function:

fungsi penyimpanan merupakan aktivitas yang bertujuan agar produk tersedia

10
dalam volume transaksi yang memadai pada waktu yang diinginkan. Kegiatan

fungsi ini bertujuan untuk membantu penawaran sebagai persediaan atau

inventori. b). Transportation Function: fungsi pengangkutan terutama berkenaan

dengan penyediaan barang pada tempat yang sesuai. Fungsi ini dapat berjalan

dengan baik dengan melakukan pemilihan alternatif rute dan jenis transportasi

yang digunakan. Fungsi ini termasuk kegiatan bongkar dan muat barang. c).

Processing Function: fungsi ini merupakan kegiatan dari suatu pabrik yang

bertujuan untuk merubah wujud fisik produk, seperti pemotongan hewan, gabah

menjadi beras, dan lain-lain ; 3). Fungsi fasilitas (Facilitating Function). Pada

dasarnya fungsi fasilitas adalah segala hal yang bertujuan untuk memperlancar

fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini dimaksudkan agar dapat menjadi

upaya perbaikan sistem pemasaran sehingga efisiensi operasional dan penetapan

harga jual dapat tercapai. Yang termasuk dalam Fungsi fasilitas adalah

standarisasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan resiko, fungsi informasi

pasar, riset pemasaran dan penciptaan permintaan. a). Standar dization and

grading function. Penetapan dan perlakuan terhadap suatu produk agar seragam

merupakan fungsi standarisasi. Fungsi ini membantu pembelian dan penjualan

barang yang memungkinkan dilakukan transasksi hanya melalui contoh dan

diskripsi dari suatu produk. Fungsi standarisasi dan grading (penentuan

kelompok berdasasrkan kualitas) adalah menyederhanakan dan mempermudah

serta meringankan biaya untuk pemindahan komoditi melalui pemasaran. Grading

adalah penyortiran produk-produk ke dalam kesatuan atau unit menurut salah satu

atau lebih sifat kualitas mereka. b). Financing function. Fungsi pendanaan akan

11
menjadi penting apabila terjadi perbedaan waktu antara pembelian suatu produk

dengan penjualan. Semakin lama dan semakin banyak barang yang disimpan

maka dana yang dibutuhkan semakin besar. Dalam hal ini, peranan lemabaga

keuangan akan menjadi penting. Dalam perhitungan biaya pemasaran, fungsi

pendanaan ini perlu diperhitungkan. c). Risk bearing function. Dalam proses

pemasaran komoditi pertanian, resiko merupakan salah satu faktor yang perlu

diperhitungkan dalam proses pemasaran. Ada dua macam resiko yaitu resiko fisik

dan resiko pasar. Resiko fisik terjadi akibat kerusakan atau penyusutan komoditi

karena sifat dari gempa bumi dan lain-lain. Dalam pengiriman produk pertanian

ke tempat lain, resiko ini diperhitungkan melalui biaya asuransi. Sedanagkan

resiko pasar disebabkan karena perubahan harga yang tidak diinginkan ataupun

perubahan akibat hilangnya pelanggan akibat persaingan di pasar. Resiko pasar

pada umumnya berkaitan dengan kemampuan untuk meramalkan pasar. Menurut

teori efisiensi pasar (bukan pemasaran), bahwa seseorang dapat kaya apabila dia

mampu menguasai informasi termasuk meramal harga. d). Market intelengece

function. Fungsi ini merupakan pekerjaan yang meliputi pengumpulan,

interprestasi dan diseminasi informasi dari berbagai macam data yang diperlukan

agar proses pemasaran dapat berjalan dengan baik. Pekerjaan ini sering dilakukan

dalam manajemen pemasaran agar pengambilan keputusan dapat dilakukan

dengan baik, seperti penyimpanan, transportasi dan lain-lain. e). Market research.

Penelitian pasar seringkali perlu dilkakukan agar pemasaran dapat berjalan secara

efektif dan efisien, seperti selera konsumen, bagaimana meningkatkan penjualan,

12
bagaimana melakukan persaingan di pasar dan sebagainya. f). Demand creation.

Penciptaan permintaan dapat dilakukna melalui iklan, promosi di berbagai media.

2.3 Saluran dan Lembaga Pemasaran

Kegiatan memperlancar arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen,

maka salah satu faktor penting yang tidak boleh diabaikan adalah memilih secara

tepat saluran pemasaran yang akan digunakan dalam rangka usaha pemasaran

barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Yang disebut dengan saluran

pemasaran adalah lembaga-lembaga pemasaran yang mempunyai kegiatan untuk

meyalurkan atau menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen.

Distributor-distributor atau penyalur ini bekerja secara aktif untuk mengusahakan

perpindahan bukan hanya secara fisik tetapi dalam arti agar barang-barang

tersebut dapat dibeli konsumen (Stanton, 1993).

Saluran pemasaran merupakan sekelompok lembaga yang ada diantara

lembaga yang mengadakan kerja sama untuk mencapai satu tujuan. Tujuan dari

saluran pemasaran adalah untuk mencapai pasar-pasar tertentu. Atau dengan kata

lain pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran pemasaran (Swastha,

1991).

Saluran pemasaran dapat berbentuk sederhan dan dapat pula rumit. Hal ini

tergantung dari macam komoditi, lembaga pemasaran dan sistem pasar. Sistem

pasar yang monopoli mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana

dibandingkan dengan sistem pasar yang lain.

Lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang

menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen ke

13
konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu

lainya. Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran

serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen

memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran ini berupa margin pemasaran.

Lembaga pemasaran ini dapat digolongkan menurut penguasanya terhadap

komoditi yang dipasarakan dan bentuk (Sudiyono, 2004).

Lembaga pemasaran adalah orang atau badan usaha yang terlibat dalam

proses pemasaran hasil pertanian atau peternakan yang disebut pedagang

perantara. Pedagang perantara menurut Rahardi (2000) antara lain: a). Pedagang

Pengumpul. Pedagang pengumpul merupakan pedagang yang mengumpulkan

barang-barang dari produsen, kemudian memasarkanya kembali dalam partai

besar kepada pedagang lain; b). Pedagang Besar. Pedagang besar merupakan

pedagang yang membeli barang dari pedagang pegumpul atau langsung dari

produsen serta menjual kembali pada pengecer dan pedagang lain atau kepada

pembeli untuk industri, lembaga dan pemakaian komersial yang tidak menjual

dalam volume yang sama pada konsumen akhir; c). Pedagang Pengecer. Pedagang

pengecer merupakan pedagang yang menjual barang ke konsumen dengan tujuan

memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dalam partai kecil.

14
2.4 Biaya Pemasaran
Biaya pemasaran adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam proses

transfer barang (produk) dari tangan produsen sampai ke tangan konsumen akhir.

Pembiayaan pemasaran adalah pembiayaan dalam kegiatan dan investasi modal

terhadap barang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam proses tataniaga.

Besar kecilnya biaya tataniaga hasil peternakan tergantung dari volume (besar

kecilnya) lembaga-lembaga tataniaga melakukan kegiatan fungsi-fungsi tataniaga

dan jumlah fasilitas yang diperlukan dalam proses transfer barang.

Banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran suatu produk,

akan semakin tinggi biaya pemasaran komoditi tersebut, karena semua lembaga

tataniaga yang terlibat tersebut akan mengambil balas jasa berupa keuntungan

(Profit) dari kegiatan tataniaga yang dilakukan, dan biaya ini akan dibebankan

kepada konsumen akhir.

Meningkatnya biaya tataniaga tidak menjadi indikator bahwa pemasaran

suatu komoditi tidak efisien. Jika peningkatan biaya tataniaga yang diikuti oleh

peningkatan kepuasan konsumen, maka tataniaga komoditi tersebut dikatakan

efisien. Tetapi peningkatan biaya tataniaga yang tidak diikuti oleh peningkatan

kepuasan konsumen, maka pemasaran komoditi tersebut dapat dikatakan tidak

efisien. Jenis-jenis biaya tataniaga (Kamaludin, 2008): 1). Biaya persiapan dan

pengepakan produk (Preparation and packaging cost). Kegiatan-kegiatan yang

tercakup dalam komponen ini adalah pembersihan, sortasi dan grading serta

pengepakan; 2). Biaya penanganan (Handling cost), mencakup kegiatan-kegiatan

seperti penimbangan, pengepakan ulang produk pada pedagang perantara,

bongkar dan muat produk dari alat angkut, sortasi dan dan grading ulang oleh

15
pedagang; 3). Biaya pengangkutan (Transportation cost), mencakup biaya angkut,

per unit produk (jika menggunakan angkutan umum), biaya bahan bakar,

perbaikan alat angkutan, asuransi dan pajak yang harus dibayar dari angkutan,

biaya lain-lain selama produk dalam perjalanan; 4). Kehilangan Produk (Product

losses), yaitu kehilangan atau penyusutan yang terjadi selama pengangkutan,

penyimpanan atau akibat-akibat kegiatan lain seperti pada waktu pencucian,

handling, sortasi dan grading yang dilakukan. Biaya kehilangan produk dihitung

dengan mengasumsikan produk yang hilang tersebut terjual; 5). Biaya

penyimpanan (Storage cost), mencakup: biaya fisik penyimpanan akibat

penggunaan tempat penyimpanan seperti penyusutan gedung, keamanan, listrik

dan lain-lain; biaya perbaikan kualitas produk selama penyimpanan, seperti

pembelian bahan-bahan kimia; biaya yang termasuk dalam biaya kehilangan

produk; biaya finansial (Financial cost) yang harus diterima produk selama

selama produk dalam gudang penyimpanan; 6). Biaya pengolahan (Processing

cost), mencakup seluruh biaya yang digunakan dalam proses transportasi produk

primer menjadi produk olahan, seperti bahan bakar, tenaga kerja dan penyusutan

alat. Hal penting yang harus harus diperhatikan dalam biaya pengolahan adalah

faktor konversi produk primer menjadi produk olahan; 7). Fees, commissions and

unofficial paymennts, mencakup biaya-biaya yang harus dibayar oleh lembaga

pemasaran, seperti biaya-biaya pengurusan izin usaha, biaya komisi yang harus

dibayarkan kepada agen dan pedagang besar serta biaya-biaya tidak resmi lain

yang dibayarkan oleh lembaga pemasaran selama proses pemasaran produk.

16
2.5 Keuntungan Pemasaran
Menurut Soemarso (2004) laba adalah selisih lebih beban atas pendapatan

sehubungan dengan usaha untuk memperoleh pendapatan selama periode tertentu.

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan laba sejauh mana suatu

perusahaan memperoleh pendapatan dari kegiatan penjualan sebagai selisih dari

keseluruhan usaha yang di dalam usaha itu terdapat biaya yang dikeluarkan untuk

proses penjualan selama periode tertentu. Keuntungan adalah selisih antara

penerimaan total dan biaya-biaya. Biaya ini dalam banyak kenyataan, dapat

diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (seperti sewa tanah, pembelian alat)

dan biaya tidak tetap (seperti biaya transportasi, upah tenaga kerja).

Memperoleh laba diharapkan perusahaan perlu melakukan suatu

pertimbangan khusus dalam memperhitungkan laba yang akan diharapkan dengan

memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi laba tersebut. Faktor-faktor

yang mempengaruhi laba menurut Mulyadi (2001), yaitu:1). Biaya. Biaya yang

timbul dari perolehan atau mengolah suatu produk atau jasa yang akan

mempengaruhi harga jual produk yang bersangkutan; 2). Harga jual. Harga jual

produk atau jasa akan mempengaruhi besarnya volume penjualan produk atau

jasa; 3). Volume penjualan dan produksi. Besarnya volume penjualan berpengaruh

terhadap volume produksi produk atau jasa tersebut, selanjutnya volume produksi

akan mempengaruhi besar kecilnya biaya produksi.

Keuntungan pemasaran adalah keuntungan yang bersifat kotor. Dari segi

bisnis, keuntungan ini bersifat semu karena ada unsur-unsur biaya yang tidak

diperhitungkan yaitu biaya tetap, sehingga besarnya keuntungan margin sama

dengan selisih total output dengan biaya operasional.

17
2.6 Margin Pemasaran
Saluran pemasaran ditinjau sebagai satu kelompok atau satu tim operasi,

maka margin dapat dinyatakan sebagai suatu kelompok pembayaran yang

diberikan kepada pedagang atas jasa-jasanya. Jadi, margin merupakan suatu

imbalan, atau harga hasil suatu kerja. Apabila ditinjau sebagai pembayaran atas

jasa-jasa, margin menjadi suatu elemen yang penting dalam strategi pemasaran.

Konsep margin sebagai suatu pembayaran pada penyalur mempunyai dasar logis

dalam konsep tentang nilai tambah.

Margin pemasaran dapat didefenisikan dengan dua cara, yaitu (Kamaludin,

2008): a). Margin pemasaran merupakan selisih antara harga yang dibayar

konsumen akhir dengan harga yang diterima oleh produsen (petani, peternak),

b).Margin pemasaran merupakan biaya dari balas jasa-jasa pemasaran.

Margin pemasaran adalah selisih harga dua tingkat rantai pemasaran atau

selisih harga yang dibayarkan di tingkat pengecer dengan harga yang diterima

oleh produsen (peternak). Dengan kata lain, margin pemasaran menunjukan

perbedaan harga diantara tingkat lembaga dalam sistem pemasaran. Ada beberapa

faktor yang mempengaruhi margin pemasaran yaitu (Cahyaningsih, 2011): harga

ditingkat pedagang (konsumen), harga ditingkat petani, biaya penanganan, biaya

transportasi, biaya input produksi, bentuk produk dan volume produk yang dijual

petani, jarak petani dengan pasar, dan jumlah pedagang yang dikenal petani

(informasi pasar).

18
2.7 Efisiensi Pemasaran
Efisiensi pemasaran adalah seberapa pengorbanan yang harus dikeluarkan

dalam kegiatan pemasaran untuk menunjang hasil yang bisa didapatkan dari

kegiatan pemasaran tersebut. Efisiensi pemasaran dapat dicari dengan menghitung

rasio input-output dalam kegiatan pemasaran yang dilakukan. Semakin tinggi nilai

rasio input-output, maka pemasaran yang dilakukan semakin efisien (Widyasindy,

2010).

Tataniaga dapat dikatakan efisien apabila mampu menyampaikan hasil

produksi kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan mampu

mengadakan pembagian keutungan yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar

konsumen kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan

tataniaga (Rahardi, 2000).

Tingkat efisiensi tataniaga juga dapat diukur melalui besarnya rasio

keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga

didefenisikan sebagai besarnya keutungan yang diterima atas biaya tataniaga yang

dikeluarkan. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya

maka dari segi operasional sistem tataniaga semakin efisien (Purba, 2008).

Efisiensi pemasaran dapat dibedakan atas efisiensi teknis dan efisiensi

ekonomis. Efisiensi teknis berarti pengendalian fisik daripada produk, mencakup

hal-hal prosedur teknis dan besarnya (skala) operasi, dengan tujuan penghematan

fisik seperti mengurangi kerusakan, mencegah merosotnya mutu produk dan

menghemat tenaga kerja. Penghematan fisik mengakibatkan pengurangan ongkos

berupa uang dimana pemasaran berlangsung. Sedangkan efisiensi ekonomis

berarti bahwa pelaku pemasaran dengan teknik, keterampilan dan pengetahuan

19
yang ada dapat bekerja atas dasar biaya rendah dan memperoleh keuntungan.

Untuk mengukur efisiensi ekonomis, margin pemasaran sering dipakai alat

ukurnya (Widiarti, 2010).

Faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi pemasaran

adalah sebagai berikut (Widiarti, 2010): a). Keuntungan pemasaran; b). Harga

yang diterima konsumen; c). Tersedianya fasilitas fisik pemasaran yang memadai

untuk melancarkan transaksi jual beli barang, penyimpanan dan transportasi, d).

Kompetisi pasar, persaingan diantara pelaku pemasaran.

20
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran 
Pengembangan usaha ternak sapi di Daerah Perbatasan sebagian besar

merupakan peternakan rakyat yang sistem pengembangannya masih bersifat

ekstensif sehingga faktor manajemen usaha kurang menjadi perhatian. Perlu

diketahui bahwa setiap usaha yang dijalankan tentu akan berujung pada

pemasaran guna meningkatkan motivasi dan minat dalam pengembangan usaha.

Pemasaran sapi di kawasan perbatasan Indonesia-RDTL pada umumnya

diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti biaya sekolah,

biaya pernikahan, biaya adat istiadat dan lain sebagainya. Hal ini karena sapi

merupakan ternak potensial untuk tabungan masa depan, sehingga banyak

peternak di wilayah ini terus mengembangkan dan membudidayakan ternak sapi.

Di samping itu ketersediaan lahan yang luas dan pakan yang cukup menjadi faktor

pendukung peternak untuk memelihara sapi.

Di kawasan perbatasan pemasaran ternak sapi melibatkan beberapa badan

atau perorangan mulai dari petani peternak (produsen), lembaga-lembaga

perantara dan konsumen. Keberadaan lembaga pemasaran ini diperlukan untuk

menjembatani kesenjangan yang terjadi seperti informasi pasar, ruang, waktu

pemilikan dan bentuk. Namun sistem pemasaran yang terjadi di wilayah tersebut

belum efisien, dapat dilihat dari keuntungan yang diperoleh masing-masing

lembaga pemasaran yang tidak merata. Akibatnya harga tawar para petani

peternak menjadi lemah dan akhirnnya bagian harga yang diterima petani

21
peternak (farmers share) juga rendah. Di sisi lain margin dan keuntungan

pemasaran tidak terdistribusi secara adil di setiap lembaga pemasaran.

Faktor pendukung berhasilnya suatu usaha peternakan sapi adalah

pemasaran yang dilaksanakan dengan baik. Kegiatan pemasaran pada dasarnya

merupakan salah satu kegiatan agribisnis yang memberikan keuntungan (Saragih,

2001). Ningsih et al. (2017) mengemukakan bahwa saluran pemasaran pada

peternakan sapi umumnya panjang. Hal ini karena saluran pemasaran dimulai dari

peternak ke pedagang perantara lalu ke konsumen. Setiap tahap pendistribusian

tersebut terdapat biaya, sehingga semakin kecil kemungkinan peternak

memperoleh keuntungan yang wajar. Saluran pemasaran tersebut perlu

diperpendek untuk memperkecil selisih harga yang terjadi di tingkat peternak dan

di tingkat konsumen.

Tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran adalah

system pemasaran yang efisien. Efisiensi pemasaran tercapai jika sistem tersebut

dapat memberikan kepuasan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran,

yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga- lembaga pemasaran (Limbong,

1987 dalam Anita, 2012). Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis pemasaran

dengan tujuan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, margin pemasaran dan

efisiensi pemasaran. Analisis pemasaran ternak sapi tersebut menggunakan

perhitungan margin pemasaran, farmershare dan analisis efisiensi pemasaran.

Kerangka penelitian secara ringkas dapat dilihat pada bagan berikut ini

22
Skema aliran pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan:

Peternak

Saluran Pemasaran Lembaga Pemasaran Farmer share (%)

Konsumen

Margin pemasaran

Biaya pemasaran Keutungan pemasaran

Efisiensi Pemasaran

Efisiensi teknis Efisiensi ekonomis

Kesimpulan

Gambar 1.Skema kerangka pemikiran pasar ternak sapi di kawasan


perbatasan Indonesia dan RDTL

23
3.2 Hipotesis
Mengacu pada kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Terdapat beberapa pola saluran pemasaran ternak sapi di kawasan

perbatasan Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste.

2. Terdapat selisih margin pada saluran pemasaran ternak sapi di kawasan

perbatasan Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste besar.

3. Saluran pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan Indonesia dan

Republik Demokratik Timor Leste belum efisien.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan di Kabupaten TTU, selama enam bulan

dengan tahap persiapan, pengumpulan data, analisis data, penulisan draft skripsi

dan ujian. Tahap pengumpulam data dalam penelitian ini dilaksanakan selama dua

bulan terhitung tanggal 21 Mei sampai dengan 21 Juli 2018.

3.4 Metode Pengambilan Contoh

Metode pengambilan contoh dilakukan melalui dua tahap (Dwi Stage

Sampling). Tahap pertama adalah penentuan tiga kecamatan contoh dari 24

kecamatan di Kabupaten TTU dengan pertimbangan (Purpossive Sampling)

kecamatan–kecamatan tersebut berbatasan langsung dengan RDTL. Tiga

kecamatan contoh yakni Kecamatan Mutis, Kecamatan Miomaffo Barat dan

Kecamatan Bikomi Utara. Selanjutnya dari ketiga Kecamatan tersebut dipilih lima

desa contoh dengan pertimbangan (Purpossive Sampling) desa-desa tersebut

berbatasan langsung dengan RDTL. Sehingga diperoleh lima desa contoh yakni

24
Desa Naekake A, Naekake B, Tasinifu, Manusasi dan Napan. Tahap ke dua

adalah penentuan peternak contoh. Peternak contoh dalam penelitian ini terdiri

dari peternak dan pedagang. Pemilihan responden peternak dilakukan secara acak

non-proporsional, di mana setiap desa contoh dipilih 18 responden dengan

pertimbangan bahwa memiliki pengalaman usaha di atas tiga tahun, masih aktif

menjual ternak sapi dalam tiga tahun terakhir (2016 sampai dengan 2018) dan

cara pemeliharaan yang dilakukan juga sama yakni secara semi intensif, sehingga

dengan 18 orang responden representatif pada setiap desa contoh dianggap sudah

mewakili populasi yang ada. Dengan demikian secara keseluruhan terdapat 90

responden peternak representatif. Sedangkan penetuan responden pedagang

perantara dengan menggunakan teknik snow-ball sampling (Sudiyono, 2004). Di

mana sampel tersebut ditentukan mengikuti jalur pemasaran yang didapat dari

informasi peternak dan menelusuri pedagang-pedagang yang terkait dengan

pemasaran ternak sapi sampai pada pembeli akhir.

3.5 Sumber Data


Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara

langsung dengan responden yaitu petani peternak sapi dan pedagang di

Kecamatan Mutis, Kecamatan Miomaffo Barat dan Kecamatan Bikomi Utara.

Jenis data primer yang diambil meliputi: identitas peternak dan pedagang (umur,

jenis kelamin, pendidikan, lama usaha, status pekerjaan), biaya, keuntungan dan

margin pemasaran. Sedangkan jenis data sekunder yang diambil meliputi:

25
dokumentasi dan data diperoleh melalui buku statistik dan berbagai sumber dari

instansi yang terkait dengan penelitian ini.

3.6 Metode Pengambilan Data


Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a).

Observasi yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan secara

langsung terhadap lokasi penelitian dan aktivitas masyarakat sehari-hari; b).

Wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara langsung

dengan peternak dan pedagang. Untuk memudahkan dalam proses wawancara

digunkan kuisioner atau daftar pertanyaan yang disusun sesuai kebutuhan

penelitian; c). Dokumentasi yaitu cara pengumpulan data yang diperoleh dari

dokumen-dokumen yang ada dan diperoleh dari peternak dan pedagang.

3.7 Metode Analisis Data


Tujuan pertama dilakukan analisis deskripsi kualitatif untuk

mengidentifikasi pola saluran pemasaran ternak sapi di kawasan perbatasan,

digunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang menjelaskan, merinci atau

menggambarkan objek yang diteliti.

Tujuan kedua yaitu analisis margin pemasaran, dilakukan dengan

menghitung besarnya biaya, keuntungan dan margin pemasaran pada tiap lembaga

pemasaran dalam saluran pemasaran yang digunakan.

a. Biaya Pemasaran
Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk memasarkan ternak

sapi dari produsen (peternak) ke konsumen. Besarnya biaya pemasaran dapat

dirumuskan menurut Soekartawi (2002) sebagai berikut:

26
BP = BP1 + BP2 + BP3 + ... + BPn
Keterangan:
BP = Biaya pemasaran ternak sapi
BP1, BP2, BPn = Biaya pemasaran tiap lembaga pemasaran ternak sapi

b. Keuntungan Pemasaran
Keuntungan bagi lembaga pemasaran dalam menyalurkan ternak sapi

merupakan imbalan atas jasa yang dilakukan selama kegiatan pemasaran ternak

sapi. Keuntungan pemasaran merupakan penjumlahan dari keuntungan yang

diperoleh lembaga pemasaran yang terlibat. Sehingga keuntungan pemasaran

dapat dirumuskan Soekartawi (2006) sebagai berikut:

KP = KP1 + KP2 +KP3 + ...+KPn


Keterangan:
KP= Keuntungan pemasaran ternak sapi secara total
KP1, KP2, KPn = Keuntungan pemasaran ternak sapi tiap lembaga pemasaran.

c. Margin Pemasaran
Margin pemasaran merupakan perbedaan harga yang dibayarkan pedagang

dengan harga yang diterima oleh peternak. Menurut Tomek dan Robinson (1977)

untuk menghitung margin dari setiap lembaga pemasaran digunakan rumus:

MP = Pr – Pf
Keterangan:
MP = Margin pemasaran ternak sapi
Pr = Harga ternak sapi ditingkat pedagang
Pf = Harga ternak sapi ditingkat peternak

Margin pemasaran yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran

merupakan penjumlahan dari biaya pemasaran dengan keuntungan pemasaran

27
yang diperoleh lembaga pemasaran, yang dirumuskan menurut Widiastuti dan

Harisudin (2013) adalah sebagai berikut:

MP = BP + KP
Keternagan:
MP = Margin pemasaran ternak sapi
BP = Biaya pemasaran ternak sapi
KP = Keuntungan pemasaran ternak sapi

Tujuan ketiga yaitu mengetahui efisiensi pemasaran, dapat dilakukan

dengan menghitung persentase efisiensi teknis dan persentase efisiensi ekonomis

menurut Soekartawi (2002) yaitu dengan rumus sebagai berikut:

a. Efisiensi Teknis

ET = x 100%

b. Efisiensi Ekonomis
Efisiensi ekonomis dihitung dengan nilai persentase dari margin

pemasaran dan persentase bagian yang diterima peternak (farmer share)

Soekartawi (2002) yaitu:

i. Persentase margin pemasaran

MP = x 100%

ii. Persentase bagian yang diterima peternak

F = [ 1- ] x 100%

Keteranga:

MP = Margin pemasaran ternak sapi


Pr = Harga di tingkat konsumen

28
Pf = Harga di tingkat petani/peternak

Kriteria yang digunakan untuk mengetahui bahwa pemasaran dapat

dianggap efisien adalah masing-masing saluran pemasaran mempunyai nilai

persentase yang efisien teknis rendah, persentase margin pemasaran terendah dan

persentase bagian yang diterima peternak tertinggi.

Tingkat efisiensi setiap saluran pemasaran dihitung dengan menggunakan

indeks efisiensi yaitu indeks efisiensi teknis dan indeks efisiensi ekonomis yang

dirumuskan menurut Hanafiah dan Saefudin (1983) yang dikutip Widiarti (2010)

adalah sebagai berikut:

Indeks Efisiensi Teknis = x 100%

Indeks Efisiensi Ekonomis = x 100%

Kriteria yang digunakan untuk mengetahui bahwa suatu saluran pemasaran

merupakan saluran tingkat efisiensinya paling tinggi menurut Hanafiah dan

Saefudin (1983) adalah sebagai berikut:

1. Jika saluran pemasaram tersebut mempunyai nilai indeks efisiensi

teknis yang terendah.

2. Jika saluran pemasaran tersebut mempunyai nilai indeks efisiensi

ekonomis yang tertinggi. Menurut Putri et al, (2014) kaidah keputusan

29
pada efisiensi pemasaran adalah: a). 0-33% = Efisien; b). 34-67% =

Kurang efisien; c). 68-100% = Tidak efisien

1.8 Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran

Beberapa definisi dan konsep pengukuran yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ternak sapi merupakan ternak penghasil daging yang memiliki

peranan penting sebagai sumber pendapatan, tenaga kerja,sebagai

komoditi adat istiadat atau status sosial seseorang dalam masyarakat.

2. Produsen merupakan petani yang beternak sapi secara intensif dan

memahami tentang pemasaran ternak sapi.

3. Saluran pemasaran merupakan rangkaian dari lembaga-lembaga

pemasaran yang dilalui dalam penyaluran ternak sapi dari produsen ke

konsumen.

4. Lembaga pemasaran merupakan komponen-komponen dari suatu

sistem pemasaran yang menyalurkan ternak sapi dari produsen ke

konsumen.

5. Pedagang pengepul desa atau blantik desa adalah orang atau lembaga

yang secara langsung mengumpulkan ternak sapi dari peternak dan

kenudian memasarkanya kembali kepada pengepul kecamatan.

6. Pedagang pengepul kecamatan ialah orang atau lembaga yang secara

langsung mengumpulkan ternak sapi dari pedagang pengepul desa atau

30
dari peternak dan kenudian memasarkanya kembali kepada pedagang

lain.

7. Pedagang pengepul luar daerah merupakan orang atau lembaga yang

membeli ternak sapi baik dari peternak maupun dari pedagang

pengepul kecamatan untuk dijual kembali ke luar daerah.

8. Konsumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang yang

membeli ternak sapi hidup di Jakarta

9. Harga ternak sapi ditingkat produsen adalah harga jual sapi yang

diterima peternak yang dinyatakan dalam rupiah perekor (Rp/ST).

10. Harga sapi pada suatu lembaga pemasaran adalah harga yang diterima

oleh suatu lembaga pemasaran ketika lembaga pemasaran tersebut

menjual sapi yang dinyatakan dalam rupiah perekor (Rp/ST).

11. Biaya pemasaran merupakan semua biaya yang dikeluarkan untuk

keperluan pemasaran ternak sapi yang meliputi biaya transportasi,

biaya pengemasan, biaya resiko, dan lain-lain yang dinyatakan dalam

rupiah (Rp).

12. Keuntungan pemasaran adalah penjumlahan dari semua keuntungan

yang diperoleh tiap lembaga pemasaran yang dinyatakan dalam rupiah

(Rp).

13. Margin pemasaran adalah selisih atau perbedaan harga yang

dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima produsen

dinyatakan dalam rupiah (Rp).

31
14. Efisiensi pemasaran ternak sapi secara teknis diukur dengan

membandingan biaya pemasan dan nilai produk yang dipasarkan yang

dinyatakan dalam persen (%).

15. Efisiensi pemasaran ternak sapi secara ekonomis diukur dengan

melihat nilai persentase margin pemasaran sapi dan nilai Farmer share

yang dinyatakan dalam persen (%).

16. Farmer share adalah salah satu indikator untuk mengetahui efisiensi

pemasaran secara ekonomis dengan membandingkan harga yang

diterima produsen dan harga yang diterima konsumen yang dinyatakan

dalam persen (%).

32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian


Kabupaten TTU merupakan salah satu kabupaten di Provinsi NTT yang

berbatasan langsung dengan RDTL. Kabupaten TTU terdiri dari 24 kecamatan,

sembilan kecamatan diantarnya yakni Kecamatan Mutis, Kecamatan Musi,

Kecamatan Miomaffo Barat, Kecamatan Bikomi Utara, Kecamatan Bikomi

Selatan, Kecamatan Bikomi Tengah, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kecamatan

Naibenu dan Kecamatan Insana Utara berbatasan langsung dengan wilayah

Negara tersebut di sebelah Utara dan sebelah Barat. Kabupaten TTU berada pada

ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut. Seperti halnya di wilayah lain

diIndonesia, Kabupaten TTU juga hanya dikenal dua musim yaitu kemarau dan

hujan. Secara umum, musim kemarau terjadi pada Juni-September, sedangkan

musim hujan pada Desember-Maret. Namun setahun terakhir telah terjadi

perubahan periode musim yang cukup signifikan. Waktu hujan menjadi lebih

panjang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kondisi tersebut berhubungan

dengan ketersediaan hijauan makanan ternak bagi kelangsungan suatu usaha

ternak sapi. (Kabupaten TTU dalam Angka, 2018).

Kondisi iklim tersebut berdampak pada mata pencaharian penduduk di

wilayah ini yakni umumnya bertani tanaman pangan mengolah lahan kering dan

33
lahan basah (sawah), sedangkan beternak masih merupakan pekerjaan sambilan.

Sistem pemeliharaan ternak masih bersifat ekstensif dimana ternak sapi tidak

dikandangkan melainkan diikat saja di bawah naungan pepohonan, di padang

pengembalaan dan di sawah dengan pakan tambahan berupa limbah pertanian di

samping hijauan sebagai pakan utama.

Pada umumnya peternak di wilayah perbatasan ini menjual ternak sapi ke

pedagang perantara maupun konsumen yang berasal dari wilayah Indonesia.

Walaupun berada diwlayah perbatasan namuun peternak atapun pedagang

perantara tidak menjual ke wilayah RDTL. Berdasarkan hasil wawancara dengan

responden bahwa pemasaran ke wilayah RDTL pernah dilakukan melalui pasar

illegal diperbatasan RI-RDTL namun kondisinya berisiko seperti apabila

tertangkap oleh petugas perbatasan, diberikan sanksi berupa sejumlah uang

sehingga banyak peternak yang menghentikan pemasaran ke wilayah tersebut. Di

samping itu apabila melalui jalur legal maka peternak atapun pedagang

dihadapkan pada aturan yang rumit seperti pengurusan surat dan aturan-aturan

lain yang memerlukan waktu yang lama dan biaya besar.

4.2. Identitas Peternak dan Pedagang

Identitas peternak maupun pedagang yang ditinjau dalam penelitian ini

meliputi umur, tingkat pendidikan, mata pencaharian pokok, jumlah anggota

keluarga dan lama beternak/berdagang.

4.2.1. Identitas Peternak


Umur Responden.— Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata

umur peternak adalah 49±7,54 tahun dan koefisien variasi (KV) 15,38% dengan

34
kisaran umur 41-57 tahun; Dari kisaran umur tersebut 100% peternak termasuk

usia produktif yaitu 15-65 tahun. Menurut Chamdi (2003), pada kondisi umur

15-65 tahun seseorang termasuk dalam kategori umur produktif dimana

kemampuan kerja dan kemampuan berpikir tergolong masih baik, sehingga

dapat menjalankan dan melanjutkan usaha ternak sapi.

Berkaitan dengan usaha ternak sapi umur peternak sangat mempengaruhi

kemampuan fisik bekerja dan berpikir. Peternak usia produktif mempunyai

kemampuan fisik yang lebih besar dan lebih cepat menerima hal-hal baru

misalnya teknologi pakan dan lain-lain, yang mana dapat bermanfaat bagi

pengembangan usaha ternak sapi. Peternak usia non-produktif memiliki banyak

pengalaman sehingga sangat berhati-hati dalam bertindak.

Tingkat Pendidikan.— Hasil penelitian menunjukkan bahwa 56% peternak

berpendidikan SD, 18% berpendidikan SMP, 16% berpendidikan SMA dan

sisanya 10% berpendidikan Sarjana; Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat

pendidikan yang lebih tinggi lebih terbuka dalam perkembangan ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni, akses terhadap informasi dan pengetahuan baru

tentang pola-pola usaha beternak sapi yang baik dan benar. Di sisi lain tingkat

pendidikan yang lebih tinggi dapat memberikan kemampuan manajerial yang

lebih baik terhadap usaha yang dijalankan.

Mata Pencaharian Pokok.— Hasil penelitian menunjukkan bahwa

semua sebanyak 86% peternak di Kabupaten TTU bermata pencaharian pokok

sebagai peternak dan sisanya 14% responden bermata pencaharian sebagai PNS.

Sektor perternakan merupakan mata pencaharian pokok yang mendominasi dan

35
dijadikan sumber pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di

Kabupaten TTU. Hal ini didukung oleh adanya ketersediaan lahan yang

memadai untuk usaha perternakan.

Jumlah Anggota Keluarga.— Berdasarkan hasil penelitian rata-rata

jumlah anggota keluarga peternak adalah 5±1,50 orang dan KV 29,40% dengan

kisaran 5±2 orang. Banyaknya anggota keluarga dari satu sisi akan

menguntungkan sebagai potensi tenaga kerja yang tersedia untuk menunjang

usaha yang dijalankan; sedangkan dari sisi lain banyaknya anggota keluarga

berdampak pada meningkatnya kebutuhan hidup, sehingga untuk memenuhi

kebutuhan tersebut peternak meningkatkan skala usaha.

Kepemilikan Ternak.— Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata

kepemilikan ternak sapi peternak adalah dewasa 20 ST, muda 7 ST dan anak 3

ST. Tingkat kepemilikan ternak sangat berpengaruh kepada besar kecilnya

pendapatan usaha peternakan sapi. Hal ini sejalan dengan pendapat

Sostroamidjojo dan Soeradji (1990) dalam Krisna et al, (2014) yang menyatakan

bahwa skala usaha peternakan sapi rakyat digambarkan oleh jumlah kepemilikan

ternak yang kecil, ternak yang dimiliki petani hanya satu sampai beberapa ekor.

Pengalaman Usaha.— Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata

lama usaha peternak adalah 13±27 tahun dan KV 37,60% dengan kisaran 7-36

tahun. Mubyarto (1995) menyatakan bahwa lama usaha dapat mempengaruhi

seseorang dalam menjalankan usaha dan secara tidak langsung mempengaruhi

hasil yang diperolehnya. Peternak yang berpengalaman dalam usaha ternak sapi

di satu sisi mudah menerapkan teknologi baru karena mengetahui seluk-beluk

36
usahanya, namun di sisi lain memiliki banyak pengalaman membuat peternak

lebih berhati-hati dalam bertindak terutama dalam menerima hal-hal baru.

Sebaliknya peternak yang sedikit berpengalaman dalam usaha ternak sapi lebih

mudah menerima hal-hal baru bagi peningkatan usahanya, namun seringkali

sulit dalam menerapkan hal-hal baru tersebut.

4.2.2. Identitas Pedagang


Umur Responden.-- Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur

pedagang adalah 46±6,45 tahun dan KV 14,06% dengan kisaran umur 39-53

tahun. Dari kisaran umur tersebut 100% pedagang termasuk usia produktif yaitu

15-65 tahun. Menurut Chamdi (2003), pada kondisi umur 15-65 tahun seseorang

termasuk dalam kategori umur produktif dimana kemampuan kerja dan

kemampuan berpikir tergolong masih baik, sehingga dapat menjalankan dan

melanjutkan usaha dagang ternak sapi.

Tingkat Pendidikan.-- Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak

56% responden pedagang berpendidikan SD, sebanyak 22% berpendidikan

SMP sedangkan sisanya 22% berpendidikan SMA. Hal ini mengindikasikan

bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi dapat memberikan kemampuan

manajerial yang lebih baik terhadap usaha yang dijalankan.

Mata Pencaharian Pokok.-- Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebanyak 77,78% pedagang bermata pencaharian pokok sebagai petani dan

22,22% responden pedagang lainnya bermata pencaharian pokok sebagai

pedagang.

37
Jumlah Anggota Keluarga.-- Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-

rata jumlah anggota keluarga pedagang adalah 5±1,22 orang dan KV 26,24%

dengan kisaran 4-6 orang.

Lama Usaha.-- Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama usaha

pedagang adalah 8-24 tahun dan KV 47,02.

4.3. Pola Saluran Pemasaran Sapi di Kabupaten TTU


Hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa usaha ternak sapi di

Kabupaten TTU masih bersifat ekstensif tradisional dan belum adanya penerapan

teknologi perternakan yang modern. Usaha ternak sapi di lokasi penelitian

cenderung hanya sebagai usaha sambilan di samping usaha tani tanaman pangan

dan usaha sambilan lain yakni memelihara ternak skala kecil seperti ayam

kampung, babi dan kambing. Sistem usaha yang masih ekstensif tradisional yang

demikian mengakibatkan produksi ternak belum optimal. Usaha ternaksapi yang

mana merupakan usaha sambilan dan merupakan usaha tambahan untuk

kebutuhan ekonomi keluarga. Kondisi ini menyebabkan rendahnya dorongan bagi

peternak dalam meningkatkan produksi berskala besar ke arah yang berorientasi

pasar.

Akhir dari kegiatan peternakan adalah memasarkan hasil kepada

konsumen. Agar hasil ternaknya sampai ke tangan konsumen maka harus

dilibatkan lembaga pemasaran secara aktif.

Lembaga pemasaran yang dimaksud adalah kegiatan dan fungsi-fungsi

pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran berbeda-beda, tergantung dari

kemampuan pembiayaan yang dimiliki sehingga biaya pemasaran (marketing

38
cost) dan keuntungan pemasaran (marketing profit) menjadi berbeda di setiap

tingkat lembaga pemasaran. Dari pihak konsumen akan memberikan jasa berupa

margin kepada lembaga pemasaran.

Pemasaran sapi di perbatasan Kabupaten TTU-RDTL sebagian besar harga

jualnya masih dikuasai oleh pedagang perantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai

keterbatasan yang dimiliki peternak antara lain; kurangnya modal dan rendahnya

tingkat pengetahuan peternak dalam proses pemasaran sapi terutama informasi

pasar. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran langsung transaksi para

pedagang perantara, diketahui bahwa pemasaran sapi di Kabupaten TTU, terdapat

beberapa saluran pemasaran yang melibatkan beberapa pedagang perantara yaitu

pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang antar pulau. Adapun skema

saluran pemasaran sapi di Kabupaten TTU dapat dilihat pada Gambar 2.

PETERNAK

PEDAGANGPENGUMPUL

PEDAGANG ANTAR 1. 2.
PULAU
PEDAGANG BESAR
3.
KONSUMEN

Gambar 2. Saluran Pemasaran ternak Sapi pada Kawasan Perbatasan


Indonesia dan Timor Leste di Kabupaten TTU.

39
Berdasarkan Gambar 2 di atas dapat dilihat bahwa terdapat tiga macam

saluran pemasaran yang terbentuk. Ketiga macam saluran pemasaran tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Peternak Konsumen

Saluran pemasaran ini terjadi dimana konsumen bertemu langsung

dengan Peternak. Tempat transaksi yang terjadi pada saluran yang pertama

ini terjadi di tempat tinggal peternak (lihat Tabel 3).

2. Peternak Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Konsumen

Saluran pemasaran ini banyak dilakukan oleh peternak sapi di

Kabupaten TTU. Pada saluran ini peternak menjual sapi ke pedagang

pengumpul lalu pedagang tersebut menjualnya ke pedagang besar dan

dijual ke konsumen yang membutuhkannya. Tempat transaksi jual beli

sapi pada saluran pemasaran yang kedua ini biasanya terjadi di rumah

peternak dan pasar (lihat Tabel 4).

3. Peternak Pedagang Antar Pulau Konsumen

Saluran pemasaran ini, sapi dibeli dari peternak langsunng oleh

pedagang antar pulau dan pedagang antar pulau menjualnya ke konsumen

di luar pulau. Tempat transaksi yang terjadi biasanya berlangsung di

rumah peternak dan pasar fisik. Masing-masing kelembagaan ini selalu

berusaha menjaga keharmonisan hubungan secara berkelanjutan, di mana

pedagang tingkatan lebih di atas tetap menjaga agar pedagang di

40
bawahnya dapat melakukan kegiatan pemasaran secara rutin dan

menguntungkan (lihat Tabel 5).

Ketiga saluran pemasaran sapi yang ada di Kabupaten TTU dapat dilihat

bahwa pada saluran tataniaga kedua dan ketiga memerlukan biaya lebih tinggi

dalam proses pemasaran sapi dari tangan produsen ke konsumen. Hal ini dapat

dilihat pada Tabel 3 bahwa pada saluran I biaya pemasaran yang dikeluarkan

sebesar Rp0 karena tidak ada pedagang perantara yang terlibat. Pada saluran II

biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang sebesar Rp105.000/ST dan

memperoleh keuntungan sebesar Rp895.000/ST. Selanjutnya biaya pemasaran

yang dikeluarkan oleh pedagang sebesar Rp175.000/ST dan diperoleh keuntungan

sebesar Rp1.825.000/ST. Besaran biaya pemasaran yang bervariasi tersebut

dipengaruhi oleh biaya transportasi dari kantong produksi ke pasar. Adanya

perbedaan saluran pemasaran mempengaruhi tingkat harga, share keuntungan dan

margin pemasaran yang diterima oleh setiap lembaga pemasaran. Pada saluran III

biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang antar pulau sebesar

Rp3.505.000/ST dan memperoleh keuntungan sebesar Rp1.995.000/ST.

4.4.Fungsi-Fungsi Pemasaran Sapi di Kabupaten TTU

Fungsi-fungsi pemasaran ternak sapi yang dijalankan di perbatasan

Kabupaten TTU-RDTL adalah fungsi pertukaran (fungsi pembelian dan fungsi

penjualan), fungsi penampungan, fungsi pengangkutan, fungsi pembiayaan, fungsi

penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar.

1. Fungsi Pertukaran

41
Fungsi pertukaran adalah semua tindakan yang memperlancar

perpindahan hak milik dari produsen ke konsumen. Fungsi ini meliputi

fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi pertukaran ini berhubungan

dengan penentuan tempat dan waktu yang tepat untuk menjawab

permintaan konsumen pada tempat dan waktu yang diinginkan sesuai

dengan bentuk, jumlah dan mutu serta macam produk yang diperjual

belikan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa penjualan dan pembelian sapi

dari peternak baik oleh konsumen maupun pedagang perantara dilakukan

di rumah peternak. Transaksi jual beli sapi dapat terjadi apabila ada

kesepakatan harga diantara mereka. Apabila para konsumen dan pedagang

perantara ini mendatangi rumah peternak maka biaya pemasaran

ditanggung oleh para pedagang perantara dan konsumen. Akibatnya terjadi

penekanan harga ditingkat peternak untuk menutupi biaya transportasi

yang dikeluarkan oleh para pedagang perantara dan konsumen. Fungsi

pertukaran menghasilkan kegunaan hak milik.

2. Fungsi Fisik

Fungsi fisik adalah semua tindakan atau perlakuan terhadap barang

sehingga memperoleh kegunaan tempat dan waktu. Fungsi ini meliputi

fungsi penyimpanan dan pengangkutan.

a. Fungsi Penyimpanan

Fungsi ini diperlukan untuk menyimpan barang selama belum

dijual atau diangkut ke daerah pemasaran. Kegiatan penyimpanan

42
dilakukan oleh pedagang perantara untuk mengumpulkan sapi dalam

jumlah tertentu sebelum dijual ke konsumen. Selain itu juga sapi yang

belum habis terjual, akan ditampung sementara oleh pedagang

perantara untuk menunggu permintaan konsumen. Fungsi

penyimpanan akan memberikan kegunaan waktu.

b. Fungsi Pengangkutan

Pengangkutan berfungsi memindahkan barang-barang dari suatu

tempat ke tempat yang lain secara cepat, tepat dan teratur, sesuai

dengan waktu agar barang yang dibutuhkan oleh konsumen selalu

tersedia sesuai dengan waktu dan tempat yang diperlukan. Sarana

angkutan sapi di Kabupaten TTU menggunakan truk, tergantung dari

jumlah sapi yang dijual dan dibeli.

Sarana angkutan yang menggunakan truk akan mengakibatkan

terjadinya keterlambatan tiba di tempat pemasaran. Hal ini juga akan

menambah biaya yang tinggi bagi para pelaku pemasaran. Dengan

demikian faktor pengangkutan turut berperan dalam meningkatkan

keuntungan lembaga pemasaran yang selanjutnya mempengaruhi harga

ditingkat peternak. Fungsi yang ditimbulkan oleh fungsi pengangkutan

adalah kegunaan tempat.

3. Fungsi Fasilitas

Fungsi fasilitas adalah semua tindakan untuk memperlancar

pelaksanaan fungsi fisikdan pertukaran yang terjadi antara produsen dan

43
konsumen. Fungsi ini meliputi fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan

resiko dan fungsi informasi pasar.

a. Fungsi Pembiayaan

Fungsi pembiayaan merupakan faktor penting untuk memperlancar

barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Pada kenyataannya

kegiatan pemasaran sapi di Kabupaten TTU, biaya yang dikeluarkan

lebih banyak menjadi tanggungan lembaga perantara. Hal ini terjadi

karena kelemahan peternak dalam membiayai kegiatan pemasaran.

Selain itu juga karena urgensi kebutuhan uang tunai di tingkat peternak

untuk memenuhi kebutuhannya.

b. Fungsi Penanggungan Resiko

Produsen atau lembaga perantara akan menanggung resiko

kemungkinan terjadinya kehilangan atau yang berhubungan dengan

kerugian selama barang itu dalam proses pemasaran. Resiko yang

sering terjadi dalam proses pemasaran sapiadalah penurunan berat

badan. Hal tersebut dapat diatasi dengan pakan yang cukup selama

perjalanan.

c. Fungsi Informasi Pasar

Fungsi ini sangat penting dalam pemasaran suatu produk.

Informasi pasar ini dapat mempertemukan potensial penawaran dan

permintaan. Selain mencantumkan harga komoditas per satuan,

menginformasikan mengenai persediaan komoditas, kualitas komoditas

di tingkat pasar pada tempat dan waktu tertentu.

44
Dari hasil wawancara dengan peternak dan para pedagang

perantara diketahui bahwa sebagian besar para lembaga pemasaran ini

kurang mengetahui perkembangan harga di pasar. Meskipun dari

beberapa responden yang mempunyai pendidikan formal cukup baik,

namun karena keterbatasan sarana informasi di pedesaan menyebabkan

rendahnya akan pengetahuan mengenai informasi pasar. Selain itu

juga, disebabkan oleh kurangnya bantuan dari pihak pemerintah untuk

menyebarluaskan informasi pasar. Dipihak lain terdapat beberapa

pedagang perantara yang selalu mengikuti perkembangan informasi

pasar dan menyerapnya, sehingga masalah harga sering dikuasai oleh

para pedagang perantara.

4.5. Saluran Pemasaran Sapi di Kabupaten TTU

Untuk mengetahui proses pemasaran sapi di Kabupaten TTU berjalan

secara efisien maka dilakukan perhitungan biaya pemasaran, margin pemasaran,

farmer share dan efisiensi pemasaran dari setiap lembaga pemasaran. Besaran

biaya dan margin pemasaran yang pada setiap saluran pemasaran ternak sapi

dipengaruhi oleh masing-masing harga yang berlaku di tiap peternak dan pelaku

pemasaran berdasarkan harga rata-rata dari sejumlah peternak dan pelaku

pemasaran.

1. Saluran I

Tabel 3. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran I


pemasaran ternak sapi di Kabupaten TTU.

No Mata Rantai Tataniaga Harga (Rp) Share(%)

1 Peternak 9.500.000 100%

45
2 Konsumen 9.500.000
Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah)

Saluran pemasaran sapi yang pertama seperti pada Tabel 3 terlihat bahwa

konsumen membeli langsung sapi dari peternak sehingga tidak ada biaya

pemasaran yang dikeluarkan oleh peternak. Harga jual peternak dan harga beli

konsumen yang diperoleh merupakan harga kesepakatan antara kedua pihak yang

melakukan transaksi pemasaran. Pada saluran I nilai farmer’s sharenya adalah

100% karena rantai pemasaran tergolong pendek dan tidak melibatkan lembaga

perantara. Hal ini sesuai pendapat Saliem (2004) menyatakan bahwa semakin

tinggi harga yang diterima produsen, semakin efisien pemasaran tersebut.

Selanjutnya ditambahkan oleh Soekartawi (2002) bahwa untuk mengukur efisiensi

pemasaran adalah persentase antara biaya pemasaran dengan nilai produk yang

dipasarkan dan pemasaran tidak akan efisien jika biaya pemasaran semakin besar

dari nilai produk yang dipasarkan atau pemasaran yang efisien jika biaya

pemasaran lebih rendah dari nilai produk yang dipasarkan.

46
2. Saluran II

Pada saluran II pemasaran sapi tidak langsung dari peternak ke konsumen

namun melibatkan dua lembaga perantara yakni pedagang pengumpul dan

pedagang besar yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran II


pemasaran ternak sapi di Kabupaten TTU.

No Mata Rantai Tataniaga Harga (Rp)/ST Share(%)

1 Peternak 9.500.000 76%


2 Blantik Desa 10. 500.000 84%
Biaya:
a) Kesehatan 15.000 0,12%
b) Retribusi 10.000 0,08%
c) Pakan 80.000 0,64%

Total Biaya 105.000 0,84%

Keuntungan 895.000 7,16%


3 Pedagang Besar 12.500.000 100%
Biaya:
a) Retribusi (Kefa-Kupang) 75.000 0,6%
b) Transportasi 20.000 0,16%
c) Pakan 80.000 0,64%

Total Biaya 175.000 1,4%

Keuntungan 1.825.000 14,6%


4 Konsumen 12.500.000

Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah).

a. Farmer share

47
Nilai Farmer share yang diperoleh pada saluran kedua menurut klasifikasi

umum ternak sapi yang dijual sebesar 76% dari harga yang dibayar oleh pedagang

besar. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak di daerah ini sudah menerima

harga yang layak, namun share yang diterima peternak tersebut bukanlah share

yang sebenarnya. Sebab masih ada banyak biaya-biaya yang tidak terhitung pada

saat ternak sapi masih berada di tangan peternak sebelum terjadi kesepakatan

harga dengan para pedagang perantara. Dengan demikian saluran pemasaran

kedua ini sudah efisien. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Azzaino

(1983) bahwa sistem pemasaran dikatakan efisien apabila dapat memberikan suatu

balas jasa yang seimbang kepada semua pelaku pemasaran yang terlibat yaitu

peternak, pedagang perantara dan konsumen akhir. Farmer share yang diperoleh

pada saluran ini lebih kecil dibandingkan pada saluran I karena pada saluran II

melibatkan peran lembaga pemasaran yang menyalurkan sapi dari produsen ke

konsumen. Kegiatan penyaluran barang ini tentunya akan menimbulkan biaya

operasional selama proses pemasaran sehingga lembaga pemasaran berusaha

untuk menekan harga di tingkat peternak dan meningkatkan harga jual di tingkat

konsumen untuk memperoleh keuntungan. Perbedaan harga inilah yang

menyebabkan terjadinya variasi nilai farmer share.

b. Biaya.

Saluran ini terdapat biaya pemasaran yakni sebesar Rp105.000/ST yang dikel

uarkan blantik desa untuk mendistribusikan sapi ke pedagang besar. Sedangkan

biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang besar untuk mendistribusikan

48
sapi ke konsumen sebesar Rp175.000 atau meningkat hingga 1,4% dibandingkan

biaya yang dikeluarkan oleh blantik desa.

c. Keuntungan.

Pedagang besar memperoleh keuntungan sebesar Rp1.825.000/ST atau

sebesar 14,6% dibandingkan keuntungan yang diperoleh blantik desa yang

memperoleh keuntungan sebesar Rp895.000/ST atau sebesar 7,16%. Nilai

keuntungan ini mengindikasikan bahwa setiap pendistribusian 1 ekor sapi dari

pedagang pengumpul ke konsumen oleh pedagang besar diperoleh keuntungan

sebesar nilai tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya biaya yang dikeluarkan

oleh pedagang besar lebih tinggi dibandingkan blantik, sehingga untuk menutupi

biaya tersebut pedagang menaikan harga jual untuk memperoleh keuntungan.

Kondisi tersebut sesuai dengan yang dilaporkan oleh Rum (2011) bahwa

pedagang yang terlibat dalam proses pemasaran memiliki informasi yang cukup

mengenai situasi permintaan dan penawaran, sehingga dua kekuatan inilah yang

pada akhirnya berperan dalam proses penentuan harga.

3. Saluran III

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada saluran III pemasaran sapi dari peternak

ke konsumen yang ada di Kabupaten TTU melibatkan satu lembaga perantara

yakni pedagang antar pulau yang membeli sapi dari peternak lalu dijual ke

konsumen.

49
Tabel 5. Rata-Rata Biaya, keuntungan dan Farmer share pada saluran III
pemasaran ternak sapi di Kabupaten TTU.

No Mata Rantai Tataniaga Harga (Rp/ Share(%)


ST)
1 Peternak 9.500.000 63,33%
2 Pedagang Antar Pulau 15.000.000 100%
Biaya:
a) Kesehatan 15.000 0,1%
b) Retribusi 10.000 0,06%
c) Pakan 80.000 0,53%
d) Biaya retribusi (Kefa -Wini) 5.000 0,03%
e) Transpor dari penampungan ke 50.000 0,33%
pelabuhan Wini
f) Biaya pakan selama penampungan di 30.000 0,2%
karantina
g) Biaya kesehatan (pengambilan sampel 2.500 0,016%
darah) dan surat ijin
h) Tenaga kerja selama penampungan 50.000 0,33%
sampai antar pulau
i) Biaya beli bambu (250 batang) 5.000 0,03%
j) Biaya kapal 400.000 2,66%
k) Pakan selama perjalanan 150.000 1%
l) Karantina luar pulau 7.500 0,05%
m) Biaya penyusutan 600.000 4%
n) Biaya makan dan minum untuk 5 orang 500.000 3,33%
Penjaga
o) Tiket pesawat pedagang 1.600.000 10,66%
Total Biaya 3.505.000 23,36%
Keuntungan 1.995.000 13,3%
Sumber: Data Primer, 2018 (Diolah).

a. Farmer share.

50
Pada pada saluran III nilai farmer share sebesar 63,33% dari harga yang

dibayar oleh pedagang antar pulau. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak di

daerah ini sudah menerima harga yang layak. Kondisi ini menunjukkan bahwa

saluran III efisien. Mubyarto (1995) menyatakan bahwa pemasaran dianggap

efisien apabila mampu menyampaikan hasil dari produsen ke konsumen dengan

biaya murah. Tinggi rendahnya margin pemasaran dan bagianyang diterima

peternak merupakan indikatordari efisiensi pemasaran. Semakin rendahmargin

pemasaran dan semakin besar bagianyang diterima peternak, maka sistem

pemasaran tersebut dikatakan efisien.

b. Biaya.

Saluran pemasaran ini tergolong pendek, namun biaya pemasaran tinggi yakni

mencapai Rp3.505.000/ST atau sebesar 23,36% dibandingkan saluran II. Kondisi

ini dipengaruhi oleh jarak pasar dan produsen yang jauh sehingga untuk proses

pendistribusian ternak membutuhkan biaya operasional yang lebih besar. Hal ini

sesuai pendapat Soekartawi (1993) yang menyatakan bahwa biaya pemasaran

adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran. Besarnya biaya

pemasaran berbeda satu sama lain disebabkan karena, macam komoditas, lokasi

pemasaran, dan efektivitas pemasaran yang dilakukan. Semakin kecil biaya

pemasaran yang dikeluarkan, maka semakin efektif pemasaran dijalankan.

c. Keuntungan

Keuntungan yang diperoleh pedagang antar pulau pada saluran ini tergolong

tinggi mencapai Rp1.995.000/ST lebih tinggi dibandingkan keuntungan yang

diperoleh pada saluran pemasaran II. Hal tersebut menggambarkan bahwa dengan

51
korbanan biaya sejumlah nilai tersebut memberikan keuntungan yang besar bagi

pedagang tersebut. Pola pemasaran demikian tergolong menguntungkan untuk

dijalani bagi pedagang antar pulau. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh

penguasaan informasi pasar yang lebih baik oleh pedagang antar pulau

dibandingkan pedagang pengumpul dan peternak.

4.6. Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten TTU


4.6.1. Efisiensi Teknis (ET) dan Ekonomis (EE) Saluran II

= 2,24%

Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi pada saluran II diperoleh nilai ET

sebesar 2,24% tergolong rendah, sehingga secara teknis saluran II efisien karena

52
ET ≤ 33%. Hal ini berdasarkan kaidah keputusan efisiensi pemasaran menurut

Putri et.al, (2014) yang menyatakan bahwa jika efisiensi pemasaran: a). 0-33% =

Efisien; b). 34-67% = Kurang efisien; c). 68-100% = Tidak efisien. Walaupun

saluran II tergolong panjang namun besaran biaya pemasaran yang dikeluarkan

tergolong rendah. Nilai EE diperoleh sebesar 97,14% tergolong tinggi, sehingga

secara ekonomis saluran II tidak efisien. Hal ini berdasarkan kaidah keputusan

efisiensi pemasaran menurut Putri et.al, (2014) yang menyatakan bahwa jika

efisiensi pemasaran: a). 0-33% = Efisien; b). 34-67% = Kurang efisien; c). 68-

100% = Tidak efisien.

4.6.2. Efisiensi Teknis (ET) dan Ekonomis (EE) Saluran III

= 23,36%

Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi pada saluran III diperoleh nilai ET

sebesar 23,36% tergolong rendah, sehingga secara teknis saluran II efisien karena

ET ≤ 33%. Hal ini berdasarkan kaidah keputusan efisiensi pemasaran menurut

Putri et.al, (2014) yang menyatakan bahwa jika efisiensi pemasaran: a). 0-33% =

53
Efisien; b). 34-67% = Kurang efisien; c). 68-100% = Tidak efisien. Nilai ini lebih

tinggi dibandingkan saluran II, walaupun saluran pemasarann tergolong pendek

namun besaran biaya pemasaran yang dikeluarkan tergolong tinggi. Nilai EE

diperoleh sebesar 56,91% lebih rendah dibandingkan saluran II sehingga secara

ekonomis saluran III kurang efisien. Hal ini berdasarkan kaidah keputusan

efisiensi pemasaran menurut Putri et.al, (2014) yang menyatakan bahwa jika

efisiensi pemasaran: a). 0-33% = Efisien; b). 34-67% = Kurang efisien; c). 68-

100% = Tidak efisien. Pada saluran III keuntungan yang diperoleh masing-masing

pihak yang terlibat dalam pemasaran tergolong rendah.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Pola saluran pemasaran ternak sapi di Kabupaten TTU-RDTL terdiri dari

tiga saluran pemasaran yakni pola I: peternak - konsumen, pola II:

peternak – pedagang pengumpul – pedagang besar - konsumen dan pola

III: peternak – pedagang antar pulau – konsumen.

2. Keuntungan pemasaran pada ketiga pola pemasaran tersebut berbeda

antara satu dengan yang lainya. Keuntungan tertinggi terjadi pada saluran

III yang besarnya Rp1.995.000 tetapi farmer sharenya hanya 63,33%

dibandingkan dengan saluran II yang farmer sharenya sebesar 76%.

54
3. Saluran II: Secara efisiensi teknis adalah efisien karena memiliki nilai ET

sebesar 2,24%. Namun secara efisiensi ekonomis tidak efisien karena

memiliki nilai EE diperoleh sebesar 97,14%. Sedangkan pada saluran III:

Secara efisiensi teknis adalah efisien karena memiliki nilai ET sebesar

23,36%. Namun secara efisiensi ekonomis kurang efisien karena memiliki

nilai EE diperoleh sebesar 56,91%.

5.2. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah:

1. Bagi Pemerintah yang terkait dalam bidang peternakan terutama Mitra Tani;

perlu menyiapkan timbangan digital sehingga penentuan harga ternak sapi

ditentukan dengan taksiran berat badan bukan tafsiran berat badan,

menyebarluaskan informasi pasar sehingga peternak dan pedangang

mengetahui harga pasar.

2. Bagi para lembaga pemasaran; perlu memilih dan menentukan saluran

pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan. Sehingga memberikan

keuntungan kepada semua pihak yang terlibat dalam pemasaran sapi.

3. Bagi peneliti: perlu adanya penelitian lanjutan tentang pendapatan

peternak dari usaha ternak sapi di daerah perbatasan RI-RDTL sebagai

tambahan informasi.

55
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Penggemukan Sapi


Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Anindita, R. 2004. Pemasaran Hasil Pertanian. Papirus. Surabaya.

Anita. Muani, A., dan Suyatno A., 2012. Analisis Efisiensi Pemasaran Jeruk Siam
Di Kecamatan Tebas Kabupaten Sambas. Jurnal Sains Mahasiswa
Pertanian Vol 1, No 1, Desember 2012, hal 22-31 Fakultas Pertanian
UNTAN diunduh pada tanggal 19 Mei 2015

Azzaino, Z. 1983. Pengantar Taternakaga Perternakan: Diktat Kuliah Fakultas


Perternakan. Unila. Bandar Lampung.

Badan Pusat Statistik. 2016. TTU dalam angka 2016. BPS Kabupaten Timor
Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

Boediono, 2010. Ekonomi Mikro. BPFE, Yogyakarta.

Cahyaningsih,Y. 2011. Analisis Strategi Pemasaran pada PT. Pura Dekorindo


Kudus. Skripsi. Fakultas Ekonomi, Universitas Muria Kudus. Kudus.

56
Chamdi, A.N., 2003.Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Kambing di Kecamatan
Kradenan Kabupaten Grobogan. Prosiding seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner, Bogor. Hal. 312-317

Downey, W. D., dan S. P. Erickson. 1992. Manajemen Agribsnis. Erlangga,


Jakarta.

Fandari, A. F., 2015. Analisis Margin dan Efisiensi Pemasaran Day Old Duck
(DOD) pada Beberapa Lembaga Pemasaran di Kabupaten Sidrap. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar.

Gifriah. 2004. Analisis Efisiensi Pemasaran Tanaman Anggrek (Dendrobium SP)


Di DKI Jakarta. Skripsi. Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.

Hanafiah, A. M., A. M. Saefudin. 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. UI Press.


Jakarta.

Hasyim, A. I. 1994. Taternakaga PerternakanDiktat Kuliah Fakultas Perternakan


Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Kabupaten TTU, dalam Angka. 2018. BPS Kabupaten TTU, Kefamenanu


Kamaludin, 2008. Lembaga dan saluran pemasaran. www. Jurnalistik.co.id.
Diakses pada tanggal 25 Maret 2018.

Koesmara, Sudi Nurtini, dan I Gede Suparta Budisatria. 2015. Faktor-Faktor


Yang Mempengaruhi Margin Pemasaran Sapi Potong Dan Daging Sapi Di
Kabupaten Aceh Besar. Buletin Peternakan. Vol. 39 (1): 57-63, Februari
2015.

Kotler, P dan Amstrong, G. 2004. Dasar-dasar Pemasaran. Jilid ke-2 edisi ke-9.
PT: Indeks. Jakarta.

Krisna, R., Harry. 2014. Hubungan Tingkat Kepemilikan dan Biaya Usaha dengan
Pendapatan Peternak Sapi Potong di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa
Barat (Studi Korelasi). Jurnal Aplikasi Manajemen. 12(2): 295-305.

Krova, M., dan D. Ratu. 2010. Manajemen Agribisnis. Bahan Ajar Mandiri.
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana. Kupang.

Limbong, S., 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian (Bahan Kuliah Jurusan Ilmu-
ilmu Sosial Ekonomi Pertanian). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mosher, A. T. 1968. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Jayaguna, Jakarta.

57
Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Perternakan. Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial,Yogyakarta.

Muflihah, A. L. 2006. Analisis Margin Pemasaran Cabe Rawit Hijau (mata rantai
lahan budidaya di Karawang dan Pasar Induk Keramat Jati Pasar Rebo
Jakarta Timur). Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Mulyadi, 2001. Sistem Akuntansi. Jilid 3 cetakan ke-3. Selemba Empat. Jakarta.

Ningsih, U. W., dan B. Hartono. 2017. Analisis Pemasaran Sapi Potong Melalui
analisis Margin, Transmisi Harga, Struktur Pemasaran, Perilaku
Pemasaran dan Kinerja Pemasaran. Jurnal-Jurnal Peternakan. Volume 27
(1): 1-11.

Nurlala, S. 2009. Analisis Margin Pemasaran Ubi Kayu ( Manihot utilissima)


studi kasus di Kecamatan Slogohimo. Skripsi. Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Putri, Y. R., S. I. Santoso, dan W. Roessali. 2014. Farmer Share Dan Efisiensi
Saluran Pemasaran Kacang Hijau(Vigna radiata, L.) Di Kecamatan
Godong Kabupaten Grobogan. Agri Wilasodra. 6 (2) September 2014.

Rahardi, F. 2000. Agribisnis Tanaman Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rum, M. 2011. Analisis Margin Pemasaran dan Sensitivitas Cabai Besar di


Kabupaten Malang. Jurnal Agribisnis. 8 (2): 133-141 Desember 2011.

Saragih, Bungaran. 2001. Suara dari Bogor-Membangun Sistem Agribisnis.


USESE. Bogor.

Saliem, H.P. 2004. Analisis Margin Pemasaran: Salah Satu Pendekatan dalam
Sistem Distribusi Pangan. Dalam: prosiding Prospek Usaha dan
Pemasaran Beberapa Komoditas Perternakan. Monograph Series No. 24.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Perternakan, Bogor.

Singarimbun, M dan S. Effendi. 2011. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi. PT.
Pustaka LP3ES. Jakarta.

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. PT. Rajagrafindo Persada.


Jakarta.

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Perternakan.


Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soemarso, 2004. Akuntansi suatu pengantar Jilid 2. Selemba Empat. Jakarta.

58
Soekartawi. 2006. Analisis Usaha Tani. Jakarta: UI Press.

_________. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Perternakan. Rajawali Press, Jakarta.

Stanton, Wiliam J. 1993. Prinsip pemasaran jilid 2 (diterjemahkan oleh: Sadu


Sundanu). Erlangga. Jakarta.

Sudarmono, 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian Cetakan Ketiga. Universitas


Muhammadiyah Malang, Jawa Timur.

Sugeng, Y. B. 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Swastha, B. 1991. Pengantar Bisnis Modern. Liberty. Yogyakarta.

Tomek, W. G. And K. L. Robinson. 1977. Agriculture Product Price. London.


Cornell University Press.

Widiarti, E. 2010. Analisis Margin Pemasaran Jahe di Kabupaten Wonogiri.


Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Widiastuti dan M. Harisudin. 2013. Saluran dan Margin Pemasaran Jagung di
Kabupaten Grobogan. Jurnal SEPA 9 (2) : 231-239.

Widyasindy, P. 2010. Strategi Pemasaran Ayam Pedaging dengan Menggunakan


Analisis Scorpio di KUD “Sari Bumi” Buluwalang Kabupaten Malang.
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Yusuf dan J. Nulik. 2008. Kelembagaan Pemasaran Ternak Sapi Potong di Timor
Barat, NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur.

59
LAMPIRAN

1. IDENTITAS PETERNAK

JUMLAH
LAMA
UMUR ANGGOTA
RESPONDEN PEKERJAAN PENDIDIKAN BETERNAK
(TAHUN) KELUARGA
(TAHUN)
(JIWA)

1 43 PETANI SD 5 15
2 32 PETANI SD 2 8
3 44 PETANI SD 6 15
4 56 PETANI SD 6 20
5 45 PETANI SMA 4 16
6 65 PNS SMA 7 35
7 57 PETANI SD 6 30
8 40 PETANI SD 4 10
9 45 PNS S1 6 17
10 50 PETANI SD 7 25
11 48 PETANI SD 5 23
12 32 PETANI SMP 5 8
13 42 PETANI SD 6 15

60
14 54 PETANI SD 7 30
15 39 PETANI SMP 4 13
16 55 PETANI SD 8 25
17 45 PETANI SMA 5 15
18 52 PNS S1 6 20
19 54 PETANI SD 6 22
20 35 PETANI SD 1 8
21 56 PNS S1 8 26
22 48 PETANI SD 5 17
23 37 PETANI SD 4 8
24 42 PETANI SD 2 10
25 42 PETANI SMP 4 11
26 37 PETANI SD 2 7
27 48 PETANI SMA 6 13
28 45 PETANI SD 5 12
29 43 PETANI SMP 6 13
30 60 PETANI SMA 8 30
31 44 PNS SMA 6 12
32 45 PETANI SMP 4 15
33 50 PETANI SD 5 20
34 44 PETANI SD 4 14
35 60 PETANI SMP 3 30
36 40 PETANI SMP 5 8
37 50 PETANI SD 7 20
38 58 PETANI SD 2 28
39 45 PETANI SD 6 15
40 61 PETANI SD 5 32
41 38 PETANI SD 5 11
42 50 PETANI SMA 6 20
43 65 PETANI SD 7 35
44 62 PETANI SD 6 35
45 56 PNS SMA 8 26
46 40 PETANI SMA 4 10
47 41 PETANI SMA 2 11
48 58 PETANI SD 6 28
49 47 PETANI SMP 5 20
50 52 PETANI SMP 5 22
51 43 PETANI SD 4 12
52 52 PETANI SMA 4 21
53 58 PNS S1 2 28
54 49 PETANI SD 5 19
55 39 PETANI SD 4 10

61
56 50 PETANI SD 6 20
57 43 PETANI SMP 5 15
58 47 PETANI SD 6 19
59 42 PETANI SD 5 12
60 52 PNS S1 5 23
61 48 PETANI SD 5 19
62 51 PETANI SMP 8 21
63 51 PNS S1 8 21
64 65 PETANI SD 6 36
65 45 PETANI SD 4 15
66 60 PNS D3 5 29
67 55 PETANI SD 6 30
68 47 PNS S1 5 20
69 50 PETANI SMP 4 22
70 45 PNS S1 4 16
71 55 PETANI SD 7 25
72 40 PNS S1 5 12
73 61 PETANI SD 6 32
74 49 PETANI SMA 4 19
75 50 PETANI SD 5 22
76 52 PETANI SMP 7 20
77 50 PETANI SD 5 20
78 48 PETANI SD 4 18
79 49 PETANI SMP 3 17
80 55 PETANI SD 5 25
81 48 PETANI SD 5 18
82 55 PETANI SD 4 25
83 50 PETANI SD 5 21
84 60 PETANI SD 6 29
85 48 PETANI SD 5 18
86 40 PETANI SD 4 12
87 56 PETANI SMP 6 26
88 50 PETANI SMA 4 19
89 45 PETANI SMP 5 16
90 60 PETANI SD 6 30
JUMLAH 4410 PNS = 14% SD = 56% 459 1761

RATA-RATA 49 PETANI = 86% SMP = 18% 5 20

SD 7.54 SMA = 16% 1.50 7.36


KV (%) 15.38 S1 = 10% 29.40 37.60

2. RATA-RATA KEPEMILIKAN TERNAK

62
JUMLAH KEPEMILIKAN
RESPONDE
TERNAK (ST)
N
DEWASA MUDA ANAK
1 6 3,5 1,25
2 11 5,5 1,75
3 8 4 1,75
4 8 3 1
5 9 4,5 1,75
6 16 7 2,5
7 14 4,5 2
8 11 4,5 1,5
9 32 11 3,75
10 45 13,5 5,75
11 36 12 3,75
12 12 3 1,25
13 13 4 1,5
14 12 3,5 1,25
15 14 3,5 1,25
16 17 4 1,75
17 28 8 3,5
18 9 2,5 0,75
19 14 4 1,75
20 15 5 2
21 22 5,5 2,75
22 17 6 2,25
23 14 3,5 1,5
24 13 4 1,5
25 14 3,5 1,5
26 22 6,5 3,5
27 16 5,5 2
28 15 4 1,75
29 13 3,5 1,5
30 20 6,5 2,5
31 17 3,5 2
32 17 4 1,75
33 13 3,5 1,5
34 14 4 1,75
35 18 7,5 2,25
36 16 4 2
37 19 7 3,25
38 28 9 4,75

63
39 23 11 4
40 23 8 4,25
41 11 4 2
42 14 6 2,25
43 21 6,5 3,5
44 28 9 4,75
45 40 16,5 8,75
46 21 7,5 3,5
47 16 7 2,75
48 17 5,5 2,75
49 17 5,5 2,5
50 32 11 6
51 18 5,5 2,75
52 16 7 3,25
53 35 14 6
54 23 8,5 4,25
55 22 8 4
56 20 7,5 3,5
57 24 7,5 4,5
58 21 7,5 3,75
59 19 6,5 3,75
60 24 8 4,25
61 24 8,5 4
62 24 7,5 3,75
63 22 5 3,5
64 24 9 3,5
65 24 8,5 4
66 24 8 4,25
67 30 8,5 4,5
68 28 9,5 4
69 26 9 3,75
70 22 8 4,25
71 24 8,5 3,5
72 27 8,5 4,25
73 22 8,5 3,25
74 20 7 3
75 21 7 3,75
76 21 6,5 2,75
77 22 6 3,25
78 23 7,5 3,75
79 23 8,5 4
80 23 8 3,75

64
81 22 8,5 3,5
82 25 9 4,25
83 28 9 4,25
84 22 7,5 3,5
85 22 7,5 3,5
86 25 9 3,5
87 22 6,5 4
88 24 9 4
89 22 8,5 4
90 22 8,5 3,5
JUMLAH 1831 619,5 281,5
RATA-
RATA 20,34 6,88 3,13
SD 6,98 2,62 1,32
KV (%) 34,29 38,05 42,35

3. RATA-RATA HARGA SAPI

RESPONDE HARGA JUAL (Rp/ST)


N
DEWASA
1 9.000.000
2 10.000.000
3 9.000.000
4 10.000.000
5 9.000.000
6 10.000.000
7 9.000.000
8 10.000.000
9 9.000.000
10 10.000.000
11 9.000.000
12 10.000.000
13 9.000.000
14 10.000.000
15 9.000.000
16 10.000.000
17 9.000.000
18 10.000.000
19 9.000.000
20 10.000.000
21 10.000.000

65
22 10.000.000
23 9.000.000
24 10.000.000
25 10.000.000
26 10.000.000
27 9.000.000
28 10.000.000
29 9.000.000
30 10.000.000
31 9.000.000
32 10.000.000
33 10.000.000
34 10.000.000
35 10.000.000
36 10.000.000
37 10.000.000
38 9.000.000
39 10.000.000
40 9.000.000
41 10.000.000
42 9.000.000
43 10.000.000
44 9.000.000
45 10.000.000
46 9.000.000
47 10.000.000
48 9.000.000
49 10.000.000
50 9.000.000
51 10.000.000
52 9.000.000
53 10.000.000
54 9.000.000
55 10.000.000
56 9.000.000
57 10.000.000
58 9.000.000
59 10.000.000
60 10.000.000
61 9.000.000
62 10.000.000
63 9.000.000

66
64 10.000.000
65 9.000.000
66 10.000.000
67 9.000.000
68 10.000.000
69 9.000.000
70 10.000.000
71 9.000.000
72 10.000.000
73 9.000.000
74 10.000.000
75 9.000.000
76 9.000.000
77 10.000.000
78 9.000.000
79 9.000.000
80 9.000.000
81 10.000.000
82 9.000.000
83 9.000.000
84 9.000.000
85 9.000.000
86 10.000.000
87 9.000.000
88 9.000.000
89 9.000.000
90 9.000.000
JUMLAH 855000000
RATA-
RATA 9.500.000
SD 502801,14
KV (%) 5,29

4. IDENTITAS BLANTIK
JUMLAH
LAMA VOLUME
RESPONDEN UMUR PEKERJAAN PENDIDIKAN ANGGOTA
USAHA PEMBELIAN
KELUARGA

1 39 PETANI SD 4 10 7
2 47 PETANI SD 5 15 15
3 40 PETANI SMA 5 8 8
4 42 PETANI SD 5 10 8
5 46 PETANI SD 2 15 10

67
6 45 PETANI SMP 6 12 12
7 61 PETANI SD 6 30 10
JUMLAH 364 38 104 100

RATA-RATA 45.5 4.75 13 12.5

SD 6.87 1.28 7.76 7.52

KV 15.09 26.98 59.73 60.17

5. RATA-RATA HARGA BELI DAN HARGA JUAL SAPI DI TINGAKAT


BLANTIK
RESPONDEN HARGA BELI TERNAK (Rp/ST) HARGA JUAL Rp/ST)
1 10,500,000 11,000,000
2 9,000,000 10,000,000
3 9,500,000 10,500,000
4 9,000,000 10,500,000
5 9,000,000 11,000,000
6 9,500,000 10,500,000
7 10,000,000 10,000,000
JUMLAH 66,500,000 73,500,000
RATA-RATA 9,500,000 10,500,000
SD 577350.27 408248.29
KV 6.08 3.89

6. IDENTITAS PEDAGANG BESAR DAN PEDAGANG ANTAR PULAU


JUMLAH
LAMA VOLUME
RESPONDEN UMUR PEKERJAAN PENDIDIKAN ANGGOTA
USAHA PEMBELIAN
KELUARGA

Pedagang
1 45 Antar Kota SMP 4 25 100
Pedagang
Antar
2 48 Pulau SMA 5 23 200
JUMLAH 93 9 48 300
RATA-
RATA 46.5 4.5 24 150
SD 2.12 0.71 1.41 70.71
KV 4.56 15.71 5.89 47.14

68
7. RATA_RATA HARGA BELI DAN HARGA JUAL SAPI DI TINGKAT
PEDAGANG BESAR DAN PEDAGANG ANTAR PULAU
RESPONDEN HARGA BELI TERNAK (Rp/ST) HARGA JUAL (Rp/ST)
1 10,500,000 12,500,000
2 9,500,000 15,000,000

8. RINCIAN BIAYA BLANTIK


Biaya Kesehatan 15,000
Biaya Retribusi 10,000
Biaya Pakan 80,000
Jumlah 105,000

9. RINCIAN BIAYA PEDAGANG BESAR


Biaya retribusi (Kefa -kupang) 75,000
Transportasi 20,000
biaya pakan 80,000
Jumlah 175,000

10. RINCIAN BIAYA PEDAGANG ANTAR PULAU

No. Rinciaan Biaya Harga (Rp/ST)

1 biaya kesehatan Rp.15.000/ST


2 Biaya retribusi Rp.10.000/ST
3 biaya pakan Rp.80.000/ST
4 Biaya retribusi (Kefa -Wini) Rp.5.000 /ST
5 Transpor dari penampungan ke pelabuhan Wini Rp50.000/ST
6 Biaya pakan selama penampungan di karantina Rp.30.000/ST
7 Biaya kesehatan (pengambilan sampel darah) dan surat ijin Rp.2.500/ST
8 Tenaga kerja selama penampungan sampai antar pulau Rp.50.000/ST
9 Biaya beli bambu (250 batang) RP.5.000/ batang
10 Biaya kapal Rp.400.000/ST
11 Pakan selama perjalanan Rp.150.000/ST
12 Karantina luar pulau Rp.7.500/ST

69
13 Biaya penyusutan 3% Rp.600.000/ST
Rp.500.000
Biaya makan dan minum untuk 5 orang Penjaga
14 /sekalijalan
15 Tiket pesawat pedagang PP Rp.1.600.000

11. GAMBAR-GAMABAR PENELITIAN

Gambar 1. Pengambilan data dari salah peternak

Gambar 2. Pengambilan data dari salah blantik desa

70
Gambar 3. Pengambilan data dari salah pedagang

Gambar 3. Pengambilan data dari salah pedagang.

Gambar 4. Penampungan ternak sapi

Gambar 5. Pengangkutan ternak sapi dengan truk

71
Gambar 6. Kapal angkut ternak sapi di pelabuhan Wini

Gambar 6. Kapal angkut ternak sapi di pelabuhan Wini

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1993,

sebagai anak ke enam dari enam orang bersaudara

dari Bapak Yoseph Abi dan Ibu Balbina Efi. Penulis

mengawali pendidikan pada tahun 2001 di Sekolah

Dasar Negeri Oemofa dan tamat berijasah pada tahun

2007.

Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah

Menengah Pertama Negeri Oemofa dan tamat berijasah pada tahun 2010. Pada

tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas

Negeri Mutis Naekake dan tamat berijasah pada tahun 2013. Dengan berbagai

alasan yang ada, penulis masih istirahat setelah menyelesaikan Sekolah

Menengah Atas. Pada tahun 2014 penulis diterima sebagai mahasiswa melalui

jalur SBMPTN pada Fakultas Peternakan Jurusan Ilmu Peternakan Universitas

72
Nusa Cendana Kupang hingga akhir penulisan skripsi ini.

Kupang, Januari 2019

Romandus Abi

73

Anda mungkin juga menyukai