Makalah QOWAID KEL 6
Makalah QOWAID KEL 6
Disusun Oleh :
1. Fatmah Ashari 622019014
2. Septiani Nurul Khotimah 622019030
3. Septiani 622019037P
Dosen Pembimbing :
Yahya, S.Pd.I.,LC.,M.P.I
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmat serta
inayah-Nya, yang karena-Nya, kami diberikan kekuatan dan kesabaran untuk menyelesaikan
sebuah makalah dengan judul “ Bahaya harus dihilangkan ” laporan ini dibuat sebagai
pemenuhan tugas .
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan Nabi Agung kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua, yang
merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan
merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.Kami sungguh-sungguh
sadar bahwa penulisan makalah ini dapat selesai sesuai waktu yang telah diberikan. tentunya
makalah kami tetap jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami meminta masukkan dan
kritikan yang dapat membangun penulis, yang kemudian dapat menyempurnakan laporan ini.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Qaidah pertama:
"Segala perkara tergantung kepada tujuannya."
Qaidah kedua:
"Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan keraguan."
Qaidah ketiga:
"Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan."
Qaidah keempat:
"Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan."
Qaidah kelima:
"Adat kebiasaan dijadikan hukum."
Qaidah yang keenam, merupakan tambahan oleh Ibnu Nujaim adalah :
"Tidak ada pahala kecuali dengan niat"
Memperhatikan terhadap qaidah keenam di atas, maka menurut al-Suyuthi telah masuk pada
bagian cabang qaidah yang pertama. Karena tujuan itu sama dengan niat. Kalau seseorang
mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan keridhaan Allah atau untuk ibadah, atau apapun saja
yang baik karena Allah, maka akan mendapat pahala. Begitu pula sebaliknya, kalau niat atau
tujuannya untuk yang tidak baik, maka tidak mendapat pahala.
1
2.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Adh-Dhararu Yuzaalu ?
2. Jelaskan dalil-dalil tentang kaidah Adh-Dhararu Yuzaalu?
3. Apa saja kemudharatan itu?
4. Berikan contoh dari penerapan kemudharatan?
2.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Adh-Dhararu Yuzaalu ?
2. Untuk mengetahui dalil-dalil tentang kaidah Adh-Dhararu Yuzaalu?
3. Untuk mengetahui apa saja kemudharatan itu?
4. Untuk mengetahui contoh dari penerapan kemudharatan?
BAB II
PEMBAHASA
2
2.1 Pengertian Adh-Dhararu Yuzaalu (Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin)
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan, Kedua, bahwa keadaan
dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal
yang dilarang ) itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum.
Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang
turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi ada beberapa
pengertian diantaranya adalah Abu Bakar al-Jashas, mengatakan makna Dharar adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya. Menurut
al-Dardiri, Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.
pendapat para ulama yaitu:
Menurut Mazhab Maliki, Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan
keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
Menurut al-Suyuti, Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas, kalau ia tidak
mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Sedangkan al-Nadwi mengutip pendaspat al-Khusni mengatakan bahwa dhirar adalah
sebagai perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tetapi merugikan orang lain, sedangkan
dharar adalah perbuatan yang merugikan orang lain tetapi tidak menguntungkan diri sendiri.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil simpulan, bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Kebolehan berbuat atau
meninggalkan sesuatu karena dharar adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan
yang selain yang demikian itu.
Hadis Rasulullah SAW. riwayat dari Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas:
“Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan (merugikan)”
Para ulama menganggap hadis di atas sebagai jawami’al-kalim, kemudian hadis tersebut
dijadikan sebagai qaidah fiqhiyyah asasiyyah.
4
a. Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat. Seperti praktek hudud, hukum
qishash, dan hukuman ta’zir dari ulil amri, secara dzhahir semua ini adalah bentuk mudharat
tetapi hakikatnya mendatangkan maslahat.
b. Kemudharatan yang menimpa banyak orang dan susah dihindari ( )تَ ُع ُّم بِ ِه ا ْلبَ ْل َوى. Seperti, asap
kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan kemudharatan yang juga dimaafkan
karena hampir tidak mungkin menghilangkannya. Atau contoh lain, dalam jual beli, seorang
penjual yang menjual apel 1 keranjang maka tidak bisa dijamin 100% pasti bagus semua.
c. Kemudharatan dimana orang yang ditimpa kemudharatan itu telah memafkan. Contoh,
seorang wanita yang akan menikah dengan lelaki miskin, sehingga dia (si istri tersebut) akan
mendapat kemudharatan. Namun jika walinya ridha maka hal ini tidak masalah.
d. Kemudharatan yang diharamkan, yaitu selain dari tiga jenis kemudharatan di atas. Dalam
َّ اَلini, yang menjadi pokok pembahasan adalah jenis kemudharatan yang ke empat
kaidah ض َر ُر يُزَ ا ُل
yang mana merupakan kemudharatan yang harus dihilangkan. Adapun tiga kemudharatan yang
pertama, keluar dari pembahasan kaidah ini.
َّ اَل
2.4 Contoh-Contoh Penerapan Kaidah : ض َر ُر يُ َزا ُل
Contoh-contoh lain dari kaidah sangat banyak, intinya segala hal yang bisa menimbulkan
kemudharatan harus dihilangkan. Akan tetapi, berikut ini beberapa contoh tentang kaidah ini
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari:
Dua orang yang telah selesai melakukan transaksi jual beli. Misal, seorang pembeli
membeli sebuah mobil kepada seorang penjual dengan harga yang jauh melebihi harga pasaran.
Setelah si pembeli mengetahui bahwa dia dibohongi dan merasa dirugikan dengan harga jual
yang terlalu mahal (ghabn) tersebut, maka dia berhak mengajukan khiyar ghabn ke pengadilan.
Bentuknya dengan diberikan kesempatan kepadanya untuk memilih apakah dia tetap lanjutkan
pembelian, atau dia batalkan, atau dia memilih tetap membeli tetapi mengambil ganti rugi.
Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia menyimpannya.
Ketika harga pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan harga yang tidak wajar. Maka
pemerintah berhak untuk memaksanya agar menjualnya kembali dengan harga yang wajar.
Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya tersebut
mengarah ke jalan umum. Maka pemerintah berhak untuk menyuruhnya agar memasukkan
talang tersebut ke bagian rumahnya.
5
Seorang suami yang tidak pulang ke rumahnya dalam waktu yang lama sehingga istri dan
anak-anaknya tidak pernah dinafkahi dan tidak bisa dihubungi sehingga tidak diketahui apakah
dia sudah meninggal atau bagaimana. Semua ini menimbulkan kemudharatan bagi istri dan anak-
anaknya. Maka pemerintah berhak untuk memvonis si suami dianggap sudah meninggal agar si
istri bisa menikah lagi, atau dianggap cerai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan yang didasarkan pada
hadist nabi “ ضرار ل َو ضرر ل.“َ Kedua, bahwa keadaan dharurat dapat memperbolehkan hal yang
8
dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja.
Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus
ditanggung untuk mencegah bahaya umum. Dalam al-Qur’an ayat-ayat yang mengandung kata
yang berakar dari( )ض‘‘رر.Ayat-ayat itu seluruhnya menyuruh mengusahakan kebaikan dan
melarang tindakan merugikan; keharusan mengikuti ajakan perbaikan hubungan ()إصالحsuami
isteri (QS. al-Baqarah ayat 228), larangan merujuki isteri dengan maksud yang tidak baik ()ضرار
(QS. al-Baqarah ayat 231), larangan membuat keputusanyang merugikan dalam pembagian
warisan ( ( )مض‘ار غ‘‘يرQS. al-Nisa ayat 12), larangan saling merugikan antar anggota rumah
tangga suami, isteri dan anak (( )التضارQS. al-Baqarah ayat 233), dan larangan menyusahkan
isteri ( ( )والتضاروهنQS. al-An’am ayat 6).
Daftar pustaka
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Muassasah al-Risalah, 1999
Ali Ahmad al-Nadwi, Mawsu`ah al-Qawa`id wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah, Dar`Alam al-
Ma`rifah, 1999,
Helim, Abdul, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at Taisi
Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah