Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH QAWAID FIQHIYAH

BAHAYA HARUS DIHILANGKAN

Disusun Oleh :
1. Fatmah Ashari 622019014
2. Septiani Nurul Khotimah 622019030
3. Septiani 622019037P

Dosen Pembimbing :
Yahya, S.Pd.I.,LC.,M.P.I

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


FAKULTAS AGAMA ISLAM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmat serta
inayah-Nya, yang karena-Nya, kami diberikan kekuatan dan kesabaran untuk menyelesaikan
sebuah makalah dengan judul “ Bahaya harus dihilangkan ” laporan ini dibuat sebagai
pemenuhan tugas .
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan Nabi Agung kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua, yang
merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan
merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.Kami sungguh-sungguh
sadar bahwa penulisan makalah ini dapat selesai sesuai waktu yang telah diberikan. tentunya
makalah kami tetap jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami meminta masukkan dan
kritikan yang dapat membangun penulis, yang kemudian dapat menyempurnakan laporan ini.

Palembang, 26 Oktober 2020

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................i


i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................................................2
1.3 Tujuan ............................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................3
2.1 Pengertian Adh-Dhararu Yuzaalu .................................................................................................3
2.2 Dalil-dalil qaidah ...........................................................................................................................4
2.3 Macam-Macam Kemudharatan .....................................................................................................5
2.4 Contoh-Contoh Penerapan Kaidah ................................................................................................5
2.5 Kaidah-Kaidah Turunan ................................................................................................................6
BAB III PENUTUP ...........................................................................................................................9
Kesimpulan ..........................................................................................................................................9
Daftar pustaka ......................................................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Pada dasarnya qawaid fiqhiyyah yang dibuat para ulama berpangkal dan menginduk kepada lima
qaidah asasiyyah (qawaid asasiyyah al-khamsah). Kelima qaidah pokok ini melahirkan
bermacam-macam qaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama menyebut kelima qaidah
asasiyyah ini dengan qawaid al-kubra.Adapun qawaid asasiyyah tersebut adalah sebagai berikut:

Qaidah pertama:
"Segala perkara tergantung kepada tujuannya."
Qaidah kedua:
"Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan keraguan."
Qaidah ketiga:
"Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan."
Qaidah keempat:
"Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan."
Qaidah kelima:
"Adat kebiasaan dijadikan hukum."
Qaidah yang keenam, merupakan tambahan oleh Ibnu Nujaim adalah :
"Tidak ada pahala kecuali dengan niat"

Memperhatikan terhadap qaidah keenam di atas, maka menurut al-Suyuthi telah masuk pada
bagian cabang qaidah yang pertama. Karena tujuan itu sama dengan niat. Kalau seseorang
mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan keridhaan Allah atau untuk ibadah, atau apapun saja
yang baik karena Allah, maka akan mendapat pahala. Begitu pula sebaliknya, kalau niat atau
tujuannya untuk yang tidak baik, maka tidak mendapat pahala.

1
2.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Adh-Dhararu Yuzaalu ?
2. Jelaskan dalil-dalil tentang kaidah Adh-Dhararu Yuzaalu?
3. Apa saja kemudharatan itu?
4. Berikan contoh dari penerapan kemudharatan?

2.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Adh-Dhararu Yuzaalu ?
2. Untuk mengetahui dalil-dalil tentang kaidah Adh-Dhararu Yuzaalu?
3. Untuk mengetahui apa saja kemudharatan itu?
4. Untuk mengetahui contoh dari penerapan kemudharatan?

BAB II
PEMBAHASA
2
2.1 Pengertian Adh-Dhararu Yuzaalu (Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin)
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan, Kedua, bahwa keadaan
dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal
yang dilarang ) itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum.
Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang
turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi ada beberapa
pengertian diantaranya adalah Abu Bakar al-Jashas, mengatakan makna Dharar adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya. Menurut
al-Dardiri, Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.
pendapat para ulama yaitu:
 Menurut Mazhab Maliki, Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan
keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
 Menurut al-Suyuti, Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas, kalau ia tidak
mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
 Sedangkan al-Nadwi mengutip pendaspat al-Khusni mengatakan bahwa dhirar adalah
sebagai perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tetapi merugikan orang lain, sedangkan
dharar adalah perbuatan yang merugikan orang lain tetapi tidak menguntungkan diri sendiri.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil simpulan, bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Kebolehan berbuat atau
meninggalkan sesuatu karena dharar adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan
yang selain yang demikian itu.

2.2 Dalil-Dalil Kaidah


1. Dasar al-Qur’an:
a.) Qur’an surah al-Baqarah ayat 60:
3
“dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”

b.) Qur’an surah al-A’raf ayat 56:


“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”

c.) Qur’an surah al-Qashash ayat 77:


“dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang orang yang berbuat kerusakan.”

d.) Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 231:


“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian
kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri.”

2. Dasar Qaidah dari Hadis Rasulullah SAW.:

Hadis Rasulullah SAW. riwayat dari Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas:

“Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan (merugikan)”

Para ulama menganggap hadis di atas sebagai jawami’al-kalim, kemudian hadis tersebut
dijadikan sebagai qaidah fiqhiyyah asasiyyah.

2.3 Macam-Macam Kemudharatan


Pada dasarnya, secara umum kemudharatan terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

4
a. Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat. Seperti praktek hudud, hukum
qishash, dan hukuman ta’zir dari ulil amri, secara dzhahir semua ini adalah bentuk mudharat
tetapi hakikatnya mendatangkan maslahat.
b. Kemudharatan yang menimpa banyak orang dan susah dihindari ( ‫)تَ ُع ُّم بِ ِه ا ْلبَ ْل َوى‬. Seperti, asap
kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan kemudharatan yang juga dimaafkan
karena hampir tidak mungkin menghilangkannya. Atau contoh lain, dalam jual beli, seorang
penjual yang menjual apel 1 keranjang maka tidak bisa dijamin 100% pasti bagus semua.
c. Kemudharatan dimana orang yang ditimpa kemudharatan itu telah memafkan. Contoh,
seorang wanita yang akan menikah dengan lelaki miskin, sehingga dia (si istri tersebut) akan
mendapat kemudharatan. Namun jika walinya ridha maka hal ini tidak masalah.
d. Kemudharatan yang diharamkan, yaitu selain dari tiga jenis kemudharatan di atas. Dalam
َّ ‫ اَل‬ini, yang menjadi pokok pembahasan adalah jenis kemudharatan yang ke empat
kaidah ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
yang mana merupakan kemudharatan yang harus dihilangkan. Adapun tiga kemudharatan yang
pertama, keluar dari pembahasan kaidah ini.

َّ ‫اَل‬
2.4 Contoh-Contoh Penerapan Kaidah : ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
Contoh-contoh lain dari kaidah sangat banyak, intinya segala hal yang bisa menimbulkan
kemudharatan harus dihilangkan. Akan tetapi, berikut ini beberapa contoh tentang kaidah ini
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari:
 Dua orang yang telah selesai melakukan transaksi jual beli. Misal, seorang pembeli
membeli sebuah mobil kepada seorang penjual dengan harga yang jauh melebihi harga pasaran.
Setelah si pembeli mengetahui bahwa dia dibohongi dan merasa dirugikan dengan harga jual
yang terlalu mahal (ghabn) tersebut, maka dia berhak mengajukan khiyar ghabn ke pengadilan.
Bentuknya dengan diberikan kesempatan kepadanya untuk memilih apakah dia tetap lanjutkan
pembelian, atau dia batalkan, atau dia memilih tetap membeli tetapi mengambil ganti rugi.
 Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia menyimpannya.
Ketika harga pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan harga yang tidak wajar. Maka
pemerintah berhak untuk memaksanya agar menjualnya kembali dengan harga yang wajar.
 Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya tersebut
mengarah ke jalan umum. Maka pemerintah berhak untuk menyuruhnya agar memasukkan
talang tersebut ke bagian rumahnya.
5
 Seorang suami yang tidak pulang ke rumahnya dalam waktu yang lama sehingga istri dan
anak-anaknya tidak pernah dinafkahi dan tidak bisa dihubungi sehingga tidak diketahui apakah
dia sudah meninggal atau bagaimana. Semua ini menimbulkan kemudharatan bagi istri dan anak-
anaknya. Maka pemerintah berhak untuk memvonis si suami dianggap sudah meninggal agar si
istri bisa menikah lagi, atau dianggap cerai.

2.5 Kaidah-Kaidah Turunan


 Pertama: ‫در اإْل ِ ْم َكا ِن‬
ِ َ‫ض َر ُر يُ ْدفَ ُع َعلَى ق‬
َّ ‫اَل‬
(kemudharatan dihilangkan semaksimal mungkin meskipun tidak seluruhnya hilang)
Ini merupakan kaidah yang penting terutama dalam masalah nahi mungkar, karena diantara
bentuk kemudharatan adalah kemungkaran. Patut diketahui bahwa nahi mungkar ada dua bentuk,
pertama nahi munkar untuk menghilangkan kemungkaran secara total, kedua nahi mungkar
dengan cara meminimalkan kemungkaran tersebut. Bahkan dalam beberapa kondisi, perbuatan
nahi mungkar itu sendiri mengandung kemungkaran, tetapi itu dilakukan demi menghilangkan
kemungkaran yang lebih besar darinya.
Diantara dalil akan kaidah ini, Allah berfirman,
‫ۗ فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم َوا ْس َمعُوا َوأَ ِطيعُوا َوأَنفِقُوا خَ ْيرًا أِّل َنفُ ِس ُك ْم‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah
dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.” (QS At-Taghabun : 16)
Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah seperti Nabi Yusuf yang menjadi bendahara negeri
Mesir padahal negeri Mesir saat itu adalah negeri kafir. Namun Nabi Yusuf masuk ke dalam
sistem kafir tersebut untuk mengurangi kemudharatan negeri tersebut walaupun tidak akan
seluruhnya hilang. Demikian pula di zaman sekarang, orang yang masuk ke dalam lembaga-
lembaga pelayanan masyarakat yang mana masih menganut sistem kafir, maka dia tidak akan
bisa menghilangkan kemungkaran tetapi paling tidak dia bisa menguranginya.
 Kedua: ‫ض َر ُر اَل يُزَا ُل بِ ِم ْثلِ ِه‬
َّ ‫اَل‬
(kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal apalagi
kemudharatan yang lebih parah.
Diantara contoh penerapannya, misalnya seseorang yang diancam akan dibunuh apabila tidak
membunuh kawannya. Jika dia dibunuh maka itu adalah kemudharatan, namun jika dia ingin
6
menyelamatkan dirinya dengan membunuh kawannya tersebut maka itu adalah bentuk
menimbulkan kemudharatan yang sama. Sehingga dalam hal ini dia tidak boleh melakukannya,
karena nyawanya tidak lebih berharga dari pada nyawa kawannya. Dan kemudharatan tidak
boleh ditolak dengan memunculkan kemudharatan yang sama.
 Ketiga: ‫اِرْ تِ َكابُ أَخَ فِّ الض ََّر َري ِْن‬
(menempuh kemudharatan yang lebih ringan yang mana kedua mudharat tersebut tidak bisa
dihindari)
Kaidah ini diterapkan apabila dihadapkan pada dua kemudharatan yang tidak bisa dihindari
semuanya secara sekaligus, tidak boleh tidak harus dilakukan dan tidak ada pilihan ketiga. Maka
dalam hal ini sikap yang diambil adalah menempuh kemudharatan yang lebih ringan.
Contoh penerapan kaidah turunan ini adalah apa yang dikatakan oleh para ulama, ketika terjadi
peperangan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Kaum musyrikin menyandera sebagian
kaum muslimin dan menggunakannya sebagai “tameng” mereka. Mereka memanfaatkannya agar
bisa semakin maju ke barisan kaum muslimin lalu menyerangnya. Apabila pasukan kaum
muslimin dihadapkan dengan kasus ini, maka panglima perang bisa memutuskan untuk
membunuh “tameng” kaum musyrikin tersebut walaupun mereka adalah kaum muslimin, demi
menghindarkan mudharat yang lebih besar yaitu berjatuhannya nyawa kaum muslimin yang
lebih banyak jika dibiarkan saja.
 Keempat : ‫يُحْ تَ َم ُل الض ََّر ُر ْالخَاصُّ لِ َد ْف ِع الض ََّر ِر ْال َعا ِّم‬
(ditempuh kemudharatan yang khusus untuk menolak kemudharatan yang umum)
Contoh penerapan kaidah ini, seseorang yang memiliki rumah, tembok rumahnya miring yang
mana bisa menimbulkan gangguan bagi beberapa tetangganya. Maka pemerintah bisa
menyuruhnya untuk memperbaiki temboknya tersebut walaupun harus menghabiskan sekian
dana yang tidak sedikit, demi menghindarkan gangguan yang bisa menimpa banyak tetangganya.
 Kelima : ‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ِ‫صال‬ ِ ‫َدرْ ُء ْالمفَا ِس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
(menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan)
Kaidah ini diterapkan apabila maslahat dan mudharatnya sama, tidak ada dari keduanya yang
lebih besar. Maka didahulukan untuk meninggalkannya demi menghindarkan diri dari mudharat
yang akan timbul walaupun harus mengorbankan maslahat yang bisa diraih.
Diantara dalil tentang kaidah ini yaitu hadits Nabi,
َ َ‫اق إاَّل أَ ْن تَ ُكون‬
‫صائِ ًما‬ ِ ‫َوبَالِ ْغ فِي ااِل ْستِ ْن َش‬
7
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air dalam hidung) kecuali jika engkau
berpuasa.” (HR Abu Daud no. 142).
Beristinsyaq (menghirup air ke hidung) dengan sungguh-sungguh akan mendatangkan maslahat,
tetapi ketika berpuasa menghirup dengan sungguh-sungguh dikhawatirkan air yang masuk bisa
tertelan masuk ke dalam lambung sehingga membatalkan puasa.
Contoh penerapan kaidah ini, jika ada seorang wanita yang wajib baginya untuk mandi junub,
namun dia tidak menjumpai tempat mandi yang tersembunyi dari penglihatan para lelaki. Maka
dia wajib menunda mandinya demi menghindarkan diri dari kemudharatan yaitu dilihat oleh
lelaki ketika mandi.
Adapun jika kemaslahatan itu lebih besar daripada kemudharatan yang akan timbul, maka
mengambil kemaslahatan itu lebih diutamakan walaupun harus menghadapi kemudharatan.
Misalnya apabila dalam sebuah negeri diadakan pemilihan Presiden, dimana calonnya adalah
seorang muslim dan seorang kafir. Maka memilih dan mengikuti pemilu lebih afdhal walaupun
harus menabrak sistem kafir demokrasi tersebut, campur baur antara laki-laki dan perempuan
ketika memasuki TPS (Tempat Pemungutan Suara). Karena kemaslahatan yang menanti jelas
lebih besar jika Presiden yang terpilih dari orang muslim dibandingkan apabila menghindarkan
diri dari kemudharatan ketika memasuki TPS.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan yang didasarkan pada
hadist nabi “‫ ضرار ل َو ضرر ل‬.“َ Kedua, bahwa keadaan dharurat dapat memperbolehkan hal yang
8
dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja.
Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus
ditanggung untuk mencegah bahaya umum. Dalam al-Qur’an ayat-ayat yang mengandung kata
yang berakar dari( ‫ )ض‘‘رر‬.Ayat-ayat itu seluruhnya menyuruh mengusahakan kebaikan dan
melarang tindakan merugikan; keharusan mengikuti ajakan perbaikan hubungan (‫)إصالح‬suami
isteri (QS. al-Baqarah ayat 228), larangan merujuki isteri dengan maksud yang tidak baik (‫)ضرار‬
(QS. al-Baqarah ayat 231), larangan membuat keputusanyang merugikan dalam pembagian
warisan (‫ ( )مض‘ار غ‘‘ير‬QS. al-Nisa ayat 12), larangan saling merugikan antar anggota rumah
tangga suami, isteri dan anak (‫( )التضار‬QS. al-Baqarah ayat 233), dan larangan menyusahkan
isteri (‫ ( )والتضاروهن‬QS. al-An’am ayat 6).

Daftar pustaka
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Muassasah al-Risalah, 1999
Ali Ahmad al-Nadwi, Mawsu`ah al-Qawa`id wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah, Dar`Alam al-
Ma`rifah, 1999,
Helim, Abdul, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at Taisi
Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah

Anda mungkin juga menyukai