Anda di halaman 1dari 8

KONSEP KETATANEGARAAN

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila

Kelompok VIII

Rindi Sekar Wangi (1810702039)


Tika Dwi Damayanti (1810702040)
Ni Made Astuti Primawati (1810702043)

Dosen : Arif Pradono, S.S, M.I.Kom

Jurusan : D3 Fisioterapi

Fakultas : Ilmu Kesehatan

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

Jl. Limo Raya No.1, Cinere, Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat
ABSTRAK

Sistem ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD


1945) mengalami perubahan yang sangat penting dan mendasar. Supremasi Hukum harus
ditegakkan oleh seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, dan seluruh lapisan yang menjalankan
kekuasaan. Amandemen UUD 1945 telah memberikan ruang bagi terselenggaranya mekanisme
checks and balances diantara ketiga lembaga negara, yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
DPR sebagai lembaga Legislatif dalam menjalankan fungsi-fungsinya memiliki hak-hak
sebagaimana yang telah diatur dan ditentukan dalam Pasal 19 sampai Pasal 22B UUD 1945 hasil
Amandemen, diantaranya hak angket. Tujuan penelitian ini adalah untuk lebih mengetahui dan
memahami kewenangan DPR-RI menurut peraturan dan perundang-undangan negara Republik
Indonesia sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk lebih
memahami dan mengkajipenggunaan hak angket oleh DPR-RI dalam pengusutan kasus Bank
Century.Penelitian ini bersifat deskriptif dan dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hokum
normatif empiris. Lokasi penelitian ini dilakukan di Gedung DPR/MPR RI. Jenis data yang
digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data melalui wawancara
dan penelitian kepustakaan baik buku-buku, peraturan perundang-undangan, makalah-makalah,
hasil penelitian terdahulu, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data menggunakan
analisis kualitatif. Berdasarkan penelitian ini, Berhubung tata cara Angkettidak diatur secara
khusus maka ketentuan dalam Undang-Undang yang lama masih berlaku, yaitu Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-
Undang yang diberlakukan pada masa berlakunya UUDS 1950, dalam pemeriksaan pemeriksaan
saksi-saksi kasus Bank Century, Pimpinan Pansus selalu memberikan rujukan pada UU No. 6
tahun 1954. Dan berdasarkan UU No. 6 Tahun 1954 dimana seharusnya dilakukan dalam rapat
tertutup tetapi dilakukan dalam rapat terbuka maka disamping merupakan pelanggaran hukum
maka juga membuat tidak efektif kewajiban untuk memberikan keterangan sebenarnya.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat
dan hidayah-Nya kami bias menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami buat guna memenuhi
tugas dari dosen. Makalah ini membahas tentang “KONSEP KETATANEGARAAN”, semoga
dengan makalah yang kami susun ini kita sebagai mahasiswa Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jakarta dapat menambah dan memperluas pengetahuan kita.

Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna, maka
dari itu kami masih mengharapkan kritik dan saran dari bapak/ibu selaku dosen-dosen
pembimbing kami serta temen-temen sekalian, karena kritik dan saran itu dapat membangun
kami dari yang salah menjadi benar. Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita, akhir kata kami mengucapkan terima kasih.
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Negara adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan diorganisasi oleh
pemerintah negara yang sah, yang umumnya memiliki kedaulatan. Sebuah negara tentunya harus
mempunyai berbagai unsur yang membentuknya menjadi sebuah kesatuan. Menurut
Oppenheimer dan Lauterpacht unsur-unsur tersebut antara lain adalah rakyat yang bersatu,
daerah atau wilayah, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain.

Setelah beberapa unsur tersebut terpenuhi, negara tidak akan dengan langsung berjalan
dengan sendirinya. Maka dari itu untuk menjamin keberlangsungan proses penyelenggaraan
negara  sesuai dengan fungsi dan tujuannya, keberadaan sistem ketatanegaraan menjadi sangat
penting. Sistem ini ibarat sebuah kontrak sosial yang mengikat secara hukum antara pemerintah
dengan rakyatnya. Dengan sistem ini, siapapun yang berkuasa akan melaksanakan roda
pemerintahan dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat.

Indonesia dibentuk sebagai negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensial yang
didalamnya terdapat lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selain itu, sistem ketatanegaraan
indonesia juga dibangun dari berbagai lembaga lain yang masuk kedalam tiga lembaga besar
tersebut. Pada saat ini banyak masyarakat bahkan pelajar yang kurang memahami tentang Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, padahal suatu bangsa akan menjadi baik jika seluruh warga
negaranya memahami, mengerti, dan dapat menjalankan dengan penuh tanggung jawab
sebagaimana peraturan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Maka dalam makalah ini, penyusun akan menguraikan hal-hal yang berkaitan
dengan sistem ketatanegaraan yang dijalankan oleh Negara Indonesia.

1.2 Rumusan masalah


1. Apakah pengertian dari konsep ketatanegaraan ?
2. Bagaimana konsep ketatanegaraan di Indonesia ?
3. Bagaimana Indonesia menjalankan konsep ketatanegaraannya pada saat ini ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian konsep ketatanegaraan
2. Mengetahui konseep ketatanegaraan di Indonesia
3. Mengetahui kondisi Indonesia dalam menjalankan sistem ketatanegaraanya pada saat
ini
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Ketatanegaraan


Istilah Sistem Ketatanegaraan  merupakan gabungan dari dua kata, yaitu: “Sistem” dan
“Ketatanegaraan”. Sistem berarti keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai
hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap
keseluruhannya, sehingga hubungan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-
bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi
keseluruhnya itu.
Dan Ketatanegaraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata tata
negara yang artinya seperangkat prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah ,
bentuk negara, dan sebagainya yang menjadi dasar peraturan suatu negara. Sedangkan menurut
hukumnya, tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang
menyangkut sifat, bentuk , tugas negara dan pemerintahannya serta hak dan kewajiban para
warga terhadap pemerintah atau sebaliknya. Jadi dapat disimpulkan Ketatanegaran adalah segala
sesuatu mengenai tata negara.
Dari pengertian itu, maka secara harfiah Sistem Ketatanegaraan dapat diartikan sebagai
suatu bentuk hubungan antar lembaga negara dalam mengatur kehidupan bernegara.

2.2 Sistem Ketatanegaraan di Indonesia

a.      Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Sebelum Amandemen UUD 1945

Sistem Ketatanegaran  sebelum Amandemen UUD 1945 Pelaksanaan kekuasaan


Negaranya dilakukan dengan pembagian (bukan pemisahan) tugas atau fungsi dari masing-
masing penyelenggara Negara.
Secara konstitusional sistem ketatanegaraan Indonesia pada masa pemerintahan orde baru
menggunakan UUD 1945. Secara prinsip terdapat lima kekuasaan pemerintah Negara Republik
Indonesia menurut UUD 1945, yaitu:
1)      Kekuasaan menjalankan perundang-undangan Negara , disebut juga kekuasaan eksekutif
dilakukan oleh pemerintah ( dalam hal ini adalah Presiden)
2)      Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah , disebut juga
kekuasaan konsultatif dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung
3)      Kekuasaan membentuk Perundang-undangan Negara atau kekuasaan legislative dilakukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden
4)      Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara , disebut kekuasaan eksaminatif atau
kekuasaan inspektif, dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
5)      Kekuasaan mempertahankan perudang-undangan Negara atau kekuasaan Yudikatif,
dilakukan oleh Mahkamah Agung (C.S.T Kansil : 1978,83).

Pada masa ini lembaga tertingginya adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),
kemudian Presiden, DPA (Dewan Pertimbangan Agung), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat),
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan MA (Mahkamah Agung).

b. Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945


Salah satu agenda penting dari gerakan reformasi adalah amandemen terhadap UUD
1945 yang kemudian berhasil dilaksanakan selama 4 tahun berturut-turut melalui Sidang
Tahunan MPR yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
Adapun Latar Belakang pelaksanaan Amandemen UUD 1945 :
1). Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada
kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini
berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
2). Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni
kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional
yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi)
dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
3). UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat
menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di
amandemen).
4). UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur
hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga
Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
Perubahan pada UUD 1945 setelah amandemen membawa perubahan pula pada Sistem
Ketatanegaraan yang dimana sebelumnya MPR memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dirubah
menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.

2.3 Kondisi Republik Indonesia dalam Menjalankan Sistem Ketatanegaraannya pada Saat
ini
Menurut Bapak Sulardi (Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah
Malang) arah pembangunan ini mulai tak terarah sejak GBHN hilang dari peredarannya
meskipun sudah terdapat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Visi
pembanguan nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Visi
itulah yang hingga saat ini belum ditemukan wujudnya. Alih-alih terwujud, keresahan dan
ketidakpastian masa depan bangsa justru ada di depan mata dan bahkan menjauh dari nilai-nilai
Pancasila.
Sistem presidensial, yang berlaku sekarang, membawa konsekuansi bahwa presiden
dipilih oleh rakyat. Karena presiden dipilih oleh rakyat, dia bertanggung jawab kepada rakyat
dan konstitusi. Dengan demikian, konsekuensi ketatanegaraan berkaitan dengan arah
pembanguan nasional ditentukan oleh presiden dengan mewujudkan janji-janji yang dia
kampanyekan menjelang pemilihan presiden. Janji-janji itulah yang semestinya diwujudkan
dalam visi dan misi RPJPN, yang dapat diurai menjadi pembangunan jangka pendek dan jangka
panjang.
Hasrat untuk kembali menghadirkan GBHN yang disusun oleh MPR  sebagai pedoman
pembangun nasional secara konstitusional telah tertutup. Bangsa ini sebaiknya menghormati dan
melaksanakan kesepakatan yang diwujudkan dari hasil perubahan UUD 1945. Kini presiden
bukan lagi bawahan MPR dan MPR bukan lagi pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat,
sehingga tidak mungkinlah memaksa MPR menyusun GBHN dan menyodorkan kepada presiden
untuk melaksanakan. Inilah konsekuensi dari perubahan.
BAB 3

ANALISIS KASUS DAN SOLUSI

A . Contoh Kasus

Penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara dalam kasus E-KTP dapat dikatakan
sebagai praktik korupsi politik. Korupsi politik secara sederhana dapat diartikan sebagai
penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Pejabat negara yang terlibat dalam korupsi politik biasanya menggunakan kewenangan yang ada
ditangannya untuk mendapatkan keuntungan, baik material maupun non material.

B . Solusi Kasus

Melihat persoalan yang terjadi dalam kasus korupsi yang melibatkan pimpinan maupun
pejabat lembaga tinggi negara, diperlukan kebijakan yang lahir dari kebijaksanaan guna
mengatasi korupsi yang semakin sistemik di negeri ini. Oleh karena itu, pertama, diperlukan
pengawasan yang ketat oleh masyarakat sipil terkait rekrutmen atau penerimaan pimpinan
maupun pejabat di lembaga tinggi negara. Kedua, mendorong partai politik untuk memperkuat
komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, melakukan pelaporan dan publikasi
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), secara berkala. LHKPN diharapkan
ke depan, tidak hanya dilaporkan pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun.
Tapi LKHPN juga dilaporkan secara berkala setiap saat pada masa jabatanya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai