1. Uji Lab dan Data Laboratorium Diabetes Mellitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: sering lelah dan lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2011). Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Cara kedua yaitu pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga adalah dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (PERKENI, 2011).
American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 menambahkan pemeriksaan kadar
hemoglobin terglikasi (HbA1C) dapat mendiagnosis DM selain sebagai kontrol glikemik pasien DM. HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang. Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa yang berubah mendadak. Kategori HbA1c, HbA1c < 6.5 % : Kontrol glikemik baik HbA1c 6.5 -8 % : Kontrol glikemik sedang HbA1c > 8 % : Kontrol glikemik buruk.
2. Uji Lab dan Data Laboratorium Hipoglikemia
Gejala hipoglikemia jarang terjadi sebelum kadar gula darah mencapai 50 mg/dL. Maka dari itu diagnosis hipoglikemia baru bisa ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan hasil pemeriksaan kadar gula darah. Penyebabnya bisa ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan penderita, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Jika dicurigai suatu hipoglikemia autoimun, maka dilakukan pemeriksaan darah mengetahui adanya antibodi terhadap insulin. Untuk mengetahui adanya tumor penghasil insulin, dilakukan pengukuran kadar insulin dalam darah selama berpuasa (kadang sampai 72 jam). Pemeriksaan CT scan, MRI atau USG sebelum pembedahan, dilakukan untuk menentukan lokasi tumor. Untuk mengkonfirmasi hipoglikemia perlu dilakukan pemeriksaan darah: glukosa, keton, laktat,piruvat,asam amino atau alanin, amonia,asam urat,serum elektrolit, pH, bikarbonat, AST,ALT, CPK, insulin, C peptide, growth hormon, kortisol, glukagon, epinefrin, free fatty acid, 526 ß-hidroksibutirat, asetoasetat, karnitin, asilkarnitin. Pemeriksaan urine berupa keton, reduksi di urin, asam organik dan asilglisin. Beberapa pemeriksaan penunjang untuk Hipoglikemia : 1. Gula darah puasa Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa (sebelum diberi glukosa 75 gram oral) dan nilai normalnya antara 70- 110 mg/dl. 2. Gula darah 2 jam post prandial Diperiksa 2 jam setelah diberi glukosa dengan nilai normal < 140 mg/dl/2 jam 3. HBA1c Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar gula darah yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat mengontrol hasil tes dalam waktu 2- 3 bulan. HBA1c menunjukkan kadar hemoglobin terglikosilasi yang pada orang normal antara 4- 6%. Semakin tinggi maka akan menunjukkan bahwa orang tersebut menderita DM dan beresiko terjadinya komplikasi. 4. Elektrolit, tejadi peningkatan creatinin jika fungsi ginjalnya telah terganggu 5. Leukosit, terjadi peningkatan jika sampai terjadi infeksi
Dapus ADA, 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Diabetes Care USA. 27 : 55
PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia; 2011.