OLEH :
KELOMPOK 12
SARJANA KEPERAWATAN
Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan asuhan
keperawatan ini. Dalam makalah yang penulis buat ini, penulis membahas mengenai “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN GAWAT DARURAT DENGAN TRAUMA
MUSKULOSKELETAL”.
Sehubungan dengan tersusunnya asuhan keperawatan ini, penulis mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
setinggi – tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam
penulisan makalah ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada :
Akhir kata semoga asuhan keperawatan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN
Latar Belakang...............................................................................................1
Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
Tujuan Penulisan............................................................................................ 3
ii
2.5 Sprain.......................................................................................................14
a. Definisi Sprain.....................................................................................14
b. Etiologi Sprain.....................................................................................14
c. Manifestasi Klinis Sprain.....................................................................14
d. Tanda dan Gejala Sprain......................................................................15
e. Patofisiologi Sprain..............................................................................15
f. Pemeriksaan Diagnostik Sprain............................................................ 15
g. PenatalaksanaanSprain......................................................................... 15
2.6 Strain........................................................................................................ 16
a. Definisi Strain………………………………………………………… 16
b. Etiologi Strain………………………………………………………… 17
c. Manifestasi Klinis Strain……………………………………………… 17
d. Patofisiologi Strain……………………………………………………. 17
e. Klasifikasi Strain………………………………………………………. 18
f. Komplikasi Strain……………………………………………………… 20
g. Penatalaksanaan Strain………………………………………………… 20
2.7 Kontusio................................................................................................... 20
a. Definisi Kontusio………………………………………………………. 20
b. Etiologi Kontusio………………………………………………………. 20
c. Manifestasi Klinis Kontusio……………………………………………. 21
d. Gejala Kontusio………………………………………………………… 21
e. Patofisiologi Kontusio………………………………………………….. 22
f. Penatalaksanaan Kontusio………………………………………………. 22
iii
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
Pengkajian Keperawatan................................................................................ 24
Diagnosa Keperawatan.................................................................................. 31
Intervensi Keperawatan................................................................................. 32
Implementasi Keperawatan............................................................................ 40
Evaluasi Keperawatan.................................................................................... 40
Kesimpulan.................................................................................................... 42
Saran.............................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA
iv
BABI
PENDAHULUAN
1
2
Resiko yang lebih fatal yang perlu diketahui adalah kematian. Peristiwa yang sering
terjadi pada klien dibagi dalam tiga periode waktu sebagai berikut :
1. Kematian dalam detik-detik pertama sampai menit berikutnya (50%).
Kematian disebabkan oleh laserasi otak dan pangkal otak, kerusakan sumsum tulang
belakang bagian atas, kerusakan jantung, oarta, serta pembuluh-pembuluh darah besar.
Kebanyakan klien tidak dapat ditolong an meninggal ditempat.
2. Kematian dalam menit pertama sampai beberapa jam (35%).
Kematian disebabkan oleh perdarahan subdural atau epidural, hematopneumotoraks,
robekan limpa, laserasi hati, fraktur panggul, serta fraktur multipel dengan resimo besar
akibat perdarahan yang masif.
Sebagian klien pada tahap ini dapat diselamatkan dengan pengetahuan dan
penanggulangan trauma yang memadai.
3. Kematian setelah beberapa hari ampai beberapa minggu setelah taruma (15%). Kematian
biasanya disebabkan oleh kegagalan beberapa organ atau sepsis. Peran perawat dalam
membantu mengurangi resiko tersebut cukup besar. Resiko kegagalan organ dan reaksi
sepsis dapat dikurangi secara signifikan dengan asuhan keperawatan yang komprehensif.
Penanggulangan klien trauma memerlukan peralatan serta keterampilan khusus yang
tidak semuanya dapat dilakukan oleh perawat, berhubung keterampilan dan pengetahuan
yang dimiliki setiap Ners bervariasi, serta peralatan yang tersedia kurang memadai.
Trauma muskuloskletal biasanya menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya dan
struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling sering terjadi
akibat trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan dislokasi.
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui sekaligus memberikan informasi baik mahasiswa maupun kalayak
umum tentang penanganan yang baik dan tepat serta asuhan keperawatan yang tepat
diberikan kepada pasien dengan Trauma Muskuloskeletal.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khususnya yaitu:
1. Untuk mengetahui laporan pendahuluan tentang Trauma Muskuloskeletal;
2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Teoritis pada pasien dengan Trauma
Muskuloskeletal..
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Menentukan mekanisme terjadinya trauma merupakan hal yang penting karena dapat
membantu kita dalam menduga kemungkinan trauma yang mungkin saja tidak segera timbul
setelah kejadian. Trauma musculoskeletal bisa saja dikarenakan oleh berbagai mekanisme.
a. Direct injury
Dimana terjadi fraktur pada saat tulang berbenturan langsung dengan benda keras
seperti dashboard atau bumper mobil.
b. Indirect injury
Terjadi fraktur atau dislokasi karena tulang mengalami benturan yang tidak langsung
seperti frkatur pelpis yang disebabkan oleh lutut membentur dashboard mobil pada
saat terjadi tabrakan.
c. Twistinginjury
4
5
Menyebabkan fraktur, sprain, dan dislokasi, biasa terjadi pada pemain sepak bola dan
pemain sky, yaitu bagian distal kaki tertinggal ketika seseorang menahan kaki ke
tanah sementara kekuatan bagian proksimal kaki meningkat sehingga kekuatan yang
dihasilkan menyebabkan fraktur.
d. Powerfull muscle contraction
Seperti terjadinya kejang pada tetanus yang mungkin bisa merobek otot dari tulang
atau bisa juga membuat fraktur.
e. Fatique fracture
Disebabkan oleh penekanan yang berulang-ulang dan umumnya terjadi pada telapak
kaki setelah berjalan terlalu lama atau berjalan dengan jarak yang sangat jauh.
f. Pathologic fracture
Dapat dilihat pada pasien dengan penyakit kelemahan pada tulang seperti kanker
yang sudah metastase.
2.3 Fraktur
a. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menjadi dua bagian atau
lebih sehingga menimbulkan gerakan yang abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Apabila
terjadi fraktur maka tulang harus diimobilisasi untuk mengurangi terjadinya cedera
berkelanjutan dan untuk mengurangi rasa sakit pasien.
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik
berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45
tahun dan sering berhubungan dengan olah-raga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, wanita lebih sering
mengalami fraktur daripada lakilaki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada monopouse (Reeves, Roux,
Lockhart, 2001).
6
b. Etiologi
a. Fraktur terjadi karena tekanan yang menimpa tulang kebih besar daripada
daya tulang akibar trauma
Gejala yang paling umum pada fraktur adalah rasa nyeri yang terlokalisir
pada bagian fraktur. Biasanya pasien mengatakan ada yang menggigitnya atau
merasakan ada tulang yang patah. Apa yang dikatakan pasien merupakan
sumber informasi yang akurat.
Pada pasien dengan multiple trauma, fraktur adalah trauma yang paling
nyata dan dramatis juga hal yang paling serius. Oleh karena itu lakukan
primary survey dan lakukan tindakan penanganan trauma dan lakukan
stabilisasi jika memungkinkan.
a. Swelling
Terjadi karena kebocoran cairan ekstra seluler dan darah dari
pembuluh darah yang telah rupture pada fraktur pangkal tulang.
b. Deformitas
7
d. Jenis Fraktur
a. Fraktur Tertutup (Simple Fracture)
Fraktur tertutup adalah keadaan patah tulang tanpa disertai hilangnya
integritas kulit. Fraktur tertutup dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya
perdarahan internal kekompartemen jaringan dan dapat menyebabkan kehilangan
darah sekitar 500 cc tiap fraktur. Setiap sisi patahan memiliki potensi untuk
menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar akibat laserasi pembuluh
darah di dekat sisi patahan.
Fraktur tertutup biasanya disertai dengan pembengkakan dan hematom.
Strain dan sprain mungkin akan memberikan gejala seperti fraktur tertutup. Dan
karena diagnosis pasti terjadinya fraktur hanya dapat dilakukan dengan
8
e. Tipe Fraktur
a. Fraktur Trasversal
Garis frakturnya memotong melintang dari arah luar sampai menembus
bagian tengah secara tegak lurus dari tulang biasanya disebabkan oleh
kecelakaan langsung.
b. Fraktur Greenstick
Terjadi pada anak dimana tulang masih bisa dibengkokan seperti dahan yang
masih muda dan garis frakturnya melintang lurus pada bagian luar dari tulang
perpendicular sampai batas tengah tulang.
c. Fraktur Spiral
Biasanya terjadi karena kecelakaan memutar (terpelintir) dan garis frakturnya
tidak rata
d. Fraktur Oblique
Garis fraktur melintang pada tulang tegak lurus dan oblik.
e. Fraktur Comminuted
Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.
a. Penatalaksanaan Fraktur
1. Stabilkan jalan napas.
2. Kontrol perdarahan.
3. Tutup sucking chest wound (luka terbuka pada dada).
4. Resusitasi cairan.
5. Jika ada fraktur terbuka, balut luka sebelum melakukan pembidaian
dan jangan mendorong kembali tulang yang terlihat.
6. Jangan pernah berusaha untuk meluruskan fraktur termasuk sendi-
sendi, meskipun ada beberapa tulang pada fraktur yang dapat
diluruskan.
7. Tourniket tidak dianjurkan pada fraktur terbuka kecuali pada trauma
amputasi atau anggota gerak yang sudah tidak dapat diselamatkan lagi.
8. Imobilisasi ekstremitas sebelum memindahkan pasien dan imobilisasi
sendi bagian atas dan bawah dari tulang yang fraktur.
b. Tujuan Imobilisasi
1. Untuk menjaga fraktur tertutup agar jangan menjadi fraktur terbuka.
Hal ini mungkin terjadi jika ujung tulang yang fraktur masih dapat
bergerak bebas ketika pasien dipindahkan.
2. Untuk mencegah kerusakan sekitar nervus, pembuluh darah dan
jaringan yang lain dari ujung tulang yang fraktur.
3. Untuk meminimalkan perdarahan dan bengkak.
4. Untuk mengurangi nyeri.
2.4 Dislokasi
a. Definisi
b.Etiologi
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi,
diantaranya :
ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau
kontraksi otot dan tarikan.
d. Tanda dan gejala
1. Nyeri
2. Deformitas
3. Paralisis
4. Hilangnya pulsasi (jika tekan nervus dan pembuluh darah).
Pada kebanyakan kasus pada pasien dengan fraktur atau dislokasi selalu
cek nadi, kekuatan otot dan sensasi (pulsasi, motorik dan sensorik) pada bagian
distal daerah yang terluka. Hilangnya pulsasi berarti ekstremitas dalam keadaan
yang membahayakan dan transportasi ke rumah sakit seharusnya tidak ditunda.
Informasikan terlebih dahulu ke rumah sakit yang akan dituju agar petugas dan
dokter bedah tulang telah siap ketika pasien tiba.
e. Patofisiologi
f. Komplikasi
a. Komplikasi Dini
1. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang
mati rasa pada otot tesebut.
2. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.\
3. Fraktur disloksi
b. Komplikasi lanjut.
13
g. Penatalaksanaan Dislokasi
Penatalaksanaan pada pasien dengan dislokasi adalah imobilisasi pasien pada
posisinya saat pertama kali ditemukan. Jangan coba meluruskan atau mengurangi
dislokasi kecuali jika ada seorang ahli. Lakukan imobilisasi pada bagian atas dan
bawah sendi yang dislokasi untuk menjaga kestabilan waktu transport.
Mungkin satu-satunya dislokasi yang paling berbahaya pada ektremitas bawah
adalah dislokasi pada lutut, sedangkan dislokasi pada pergelangan, siku, bahu,
panggul an pergelangan kaki masih dapat ditoleransi 2 atau 3 jam tanpa adanya
bahaya kerusakan permanen.
2.5 Sprain
a. Definisi
b.Etiologi
1. Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang
normal, seperti melingkar atau memutar pergelangan kaki.
2. Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari posisi
normalnya karena anda terjatuh, terpukul atau terkilir.
c.Manifestasi klinis
1. Nyeri
2. Inflamasi/peradangan
3. Ketidakmampuan menggerakkan tungkai.
15
e. Patofisiologi
Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi,
yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong /
mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo terjadi
pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olah
raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi
lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak
semestinya tanpa diselingi peredaan (Brunner & Suddart,2001: 2357)
f. Pemeriksaan Diagnostik
a. Riwayat:
1. Tekanan
2. Tarikan tanpa peredaan
3. Daya yang tidak semestinya
b. Pemeriksaan Fisik :
Tanda-tanda pada kulit, sistem sirkulasi dan muskuloskeletal .
g. Penatalaksanaan
a. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
b. Kemotherapi
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri
dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral
setiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
16
c. Elektromekanis.
1. Penerapan dingin dengan kantong es 24 0C
2. Pembalutan / wrapping eksternal. Dengan pembalutan, cast atau
pengendongan (sung)
3. Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
4. Latihan ROM. Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan
perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung
jaringan yang sakit.
5. Penyangga beban. Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan
kruk selama 7 hari atau lebih tergantung jaringan yang sakit.
2.6 Strain
a. Definisi
Strain adalah trauma pada jaringan yang halus atau spasme otot di sekitar
sendi dan nyeri pada waktu digerakkan, pada strain tidak ada deformitas atau
bengkak. Strain lebih baik ditangani dengan menghilangkan beban pada daerah
yang mengalami injuri.
Jika tidak ada keraguan pada injuri diatas, imobilisasi ekstremitas dan
evaluasi dilanjutkan di ruang gawat darurat.
17
b.Etiologi
1. Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak,
seperti pada pelari atau pelompat.
2. Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak.
3. Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang
berlebihan/tekanan berulang-ulang,menghasilkan tendonitis (peradangan
pada tendon).
c.Manifestasi Klinis
Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa:
1. Nyeri
2. Spasme otot
3. Kehilangan kekuatan
4. Keterbatasan lingkup gerak sendi.
5. Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh karena
penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-ulang, menghasilkan :
6. Tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh, pemain tennis bisa
mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil tekanan yang terus-
menerus dari servis yang berulang-ulang.
d. Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung
(impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik
pada arah yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi
,otot belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring
(otot paha bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa
menghindarkan daerah sekitar cedera kontusio dan membengkak (Chairudin
Rasjad,1998).
18
e. Klasifikasi Strain
Derajat I/Mild Strain (Ringan)
Derajat i/mild strain (ringan) yaitu adanya cidera akibat penggunaan yang
berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa
stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament (Chairudin Rasjad,1998).
a. Gejala yang timbul :
1. Nyeri local
2. Meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot
b. Tanda-tandanya :
1. Adanya spasme otot ringan
2. Bengkak
3. Gangguan kekuatan otot
4. Fungsi yang sangat ringan
c. Komplikasi
1. Strain dapat berulang
2. Tendonitis
3. Perioritis
d. Perubahan patologi
Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon
namuntanda perdarahan yang besar.
e. Terapi
Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian istirahat,kompresi
dan elevasi,terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan
otot.
Derajat II/Medorate Strain (Ringan)
Derajat ii/medorate strain (ringan) yaitu adanya cidera pada unit muskulotendinous
akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan.
a. Gejala yang timbul
1. Nyeri local
2. Meningkat apabila bergerak/apabila ada tekanan otot
3. Spasme otot sedang
19
4. Bengkak
5. Tenderness
6. Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
b. Komplikasi sama seperti pada derajat I :
1. Strain dapat berulang
2. Tendonitis
3. Perioritis
c. Terapi :
1. Immobilisasi pada daerah cidera
2. Istirahat
3. Kompresi
4. Elevasi
f. Perubahan patologi :
Adanya robekan serabut otot
Derajat III/Strain Severe (Berat)
Derajat III/Strain Severe (Berat) yaitu adanya tekanan/penguluran mendadakyang
cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament yang menghasilkan
ketidakstabilan sendi.
a. Gejala :
1. Nyeri yang berat
2. Adanya stabilitas
3. Spasme
4. Kuat
5. Bengkak
6. Tenderness
7. Gangguan fungsi otot
b. Komplikasi :
Distabilitas yang sama
c. Perubahan patologi :
Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon.
d. Terapi:
20
f.Komplikasi
1. Strain yang berulang
2. Tendonitis
g. Penatalaksanaan
1. Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat penyembuhan
2. Meninggikan bagian yang sakit,tujuannya peninggian akan mengontrol
pembengkakan.
3. Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau kering diberikan
secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan mengurangi perdarahan
edema dan ketidaknyamanan.
4. Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 – 72 jam sedangkan mati rasa
biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung selama
30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin untuk
menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan memperoleh
kembali fungsinya secara penuh setelah diberikan perawatan konservatif
2.7 Kontusio
a. Definisi
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul,mis : pukulan,
tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart,2001: 2355).
Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan pada kulit.
Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil pecah, sehingga
darah dan cairan seluler merembes ke jaringan sekitarnya (Morgan, 1993: 63)
b. Etiologi
1. Benturan benda keras.
2. Pukulan.
3. Tendangan/jatuh
21
c. Manifestasi Klinis
1. Perdarahan pada daerah injury (ecchymosis)karena rupture pembuluh darah kecil,
juga berhubungan dengan fraktur.
2. Nyeri, bengkak dan perubahan warna.
3. Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas dan kehilangan
darah yang banyak (Brunner & Suddart,2001: 2355).
\
d. Gejala
1. Nyeri
2. Bengkak
3. Perubahan warna
4. Kompres dingin intermitten kulit berubah menjadi hijau/kuning, sekitar satu minggu
kemudian, begkak yang merata, sakit, nyeri dan pergerakan terbatas.
5. Kontusio kecil mudah dikenali karena karakteristik warna biru atau ungunya beberapa
hari setelah terjadinya cedera.
6. Kontusio ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada kulit. \
7. Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah yang terbatas
disebut hematoma.
8. Nyeri pada kontusio biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan yang
menyertai sedang sampai berat (Hartono Satmoko, 1993:191)
22
e. Patofisiologi
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada kerusakan
kulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana pembuluh darah lebih rentan rusak dibanding
orang lain. Saat pembuluh darah pecah maka darah akan keluar dari pembuluhnya ke
jaringan, kemudian menggumpal, menjadi Kontusio atau biru. Kontusio memang dapat
terjadi jika sedang stres, atau terlalu lelah. Faktor usia juga bisa membuat darah mudah
menggumpal. Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut menurun (Hartono Satmoko,
1993: 192).
Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalamifagositosis dan didaurulang
oleh makrofag. Warna biru atau unguyang terdapat pada kontusio merupakan hasil reaksi
konversi dari hemoglobin menjadi bilirubin. Lebih lanjut bilirubin akan dikonversi
menjadi hemosiderin yang berwarna kecoklatan.
Tubuh harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan dan tetap
mengalir dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi pembuluh darah,
jumlah dan kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme pembekuan darah yang harus
baik. Pada purpura simplex, penggumpalan darah atau pendarahan akan terjadi bila
fungsi salah satu atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu (Hartono Satmoko, 1993:
192).
f. Penatalaksanaan
1. Mengurangi/menghilangkan rasa tidak nyaman.
2. Tinggikan daerah injury.
3. Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit setiap pemberian)
untuk vasokonstriksi, menurunkan edema, dan menurunkan rasa tidak nyaman.
4. Berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24 jam prtama (20-30
menit) 4 kali sehari untuk melancarkan sirkulasi dan absorpsi.
5. Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan bengkak.
6. Kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4 jam bila ada indikasi
(Brunner & Suddart,2001: 2355).
7. Menurut Agung Nugroho (1995: 53) penatalaksanaan pada cedera kontusio
adalah sebagai berikut:
23
WOC Terlampir,
BAB III
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang mana dilakukan
pengumpulan data, pengelompokan data, serta analisa data yang menghasilkan suatu
masalah keperawatan yang dikumpulkan melalui wawancara, pengumpulan riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, dan review
catatan sebelumnya. Pengkajian dalam keperawatan gawat darurat dilakukan dengan
primary survey dan secondary survey. Proses pengumpulan data primer dan sekunder
terfokus tentang status kseeshatan pasien gawat darurat di rumah sakit secara sistematik,
akurat, dan berkesinambungan. (Khumairoh,2013).
1. PengkajianPrimer
a. Airway
c) Agitasi(hipoksia)
24
25
3) Lihat dan dengar bukti adanya masalah pada saluran nafas bagian atas
potensial penyebab obtruksi, seperti muntahan danperdarahan.
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
5) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
beriso untuk mengalami cedera tulang belakang.
6) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi:
a) Chin lift / jawthrust
b) Lakukansuction
b. Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Yang perlu diperhatikan dalam
pengkajian breathing pada pasien antara lain :
1) Look, listen, dan feel : lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasipasien.
a) Inspeksi dari tingkat pernafasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sianosis, penetrating injury.
b) Palpasi untuk menilai adanya pergeseran trakea, fraktur
ruling iga, subcutaneousemphysema
c) Auskultasi untuk menilai adanya suara abnormal pada dada.
2) Observasi prgerakan dinding dadapasien.
Pengkajian circulation dilakukan untuk melihat ada atau tidak tanda syok atau
perdarahan pada pasien. Hipovolomia adalah penyebab syok paling umum pada
trauma. Diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis : hipotensi, takikardia,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill , dan
penurunan produksi urin. Langkah-langkah dalam pengkajian status sirkulasi
pasien, antara lain:
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jikadiperlukan
selesai dilakuakn, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang.
2. Pengkajiansekunder
Pengkajian sekunder/secondary survey merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe , dari depan hingga belakang. Secondary surey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda- tanda syok telah mulai membaik.
a. Anamnesis
a) Riwayat kesehatansekarang
b. Pemeriksaanfisik
3) Toraks
B. DiagnosaKeperawatan
C. Intervensi Keperawatan
7. Diberikan untuk
mengurangi nyeri
dan spasme otot.
2 Kerusakan Setelah diberikan 1. Kaji kulit untuk 1. Memberikan
integritas kulit / asuhan keperawatan luka terbuka, informasi
jaringan selama…x…jam kemerahan, gangguan sirkulasi
berhubungan diharapkan kerusakan perdarahan, kulit dan masalah-
dengan fraktur integritas kulit/ perubahan warna. masalah yang
terbuka : bedah jaringan dapat diatasi 2. Massage kulit mungkin
permukaan ; dengan kriteria hasil : dan tempat yang disebabkan oleh
pemasangan 1. Penyembuhan luka menonjol, penggunaan traksi,
kawat, sesuai waktu. pertahankan terbentuknya
perubahan 2. Tidak ada laserasi, tempat tidur yang edema
33
5. Inadekuat volume
sirkulasi akan
mempengaruhi
sistem perfusi
jaringan.
6. Mencegah aliran
vena / mengurangi
edema.
5 Resiko infeksi Setelah diberikan 1. Inspeksi kulit 1. Pen atau kawat
berhubungan asuhan keperawatan untuk mengetahui yang dipasang
dengan tidak selama…x…jam adanya iritasi atau masuik melalui
adekuatnya diharapkan agar tidak robekankontinuita kulit dapat
pertahanan terjadinya infeksi s. memungkinkan
primer, dengan kriteria hasil : 2. Kaji sisi pen/kulit terjadinya infeksi
kerusakan kulit 1. Mencapai perhatikan tulang.
dan trauma penyembuhan luka keluhan 2. Dapat
jaringan. sesuai waktu. peningkatan mengindikasi
2. Bebas drainase nyeri/rasa terbakar timbulnya infeksi
purulen, eritema atau adanya lokal/nekrosis
dan demam. edema, eritema, jaringan dan dapat
3. Tidak ada tanda- drainase/bau tak menimbulkan
tanda infeksi. enak. osteomielitis.
3. Berikan perawatan 3. Dapat mencegah
pen/kawat steril kontaminasi silang
sesuai protokol dan kemungkinan
dan latihan infeksi.
mencuci tangan 4. Tanda perkiraan
4. Observasi luka infeksi gangren.
untuk 5. Kekakuan otot,
pembentukan bula, spasme tonik otot
krepitasi, rahang dan disfagia
37
D. Implementasi Keperawatan
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keoperawatan dengan cara melakukan
identitas sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam
melakukan evaluasi perawat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tidakan
keperawatan dengan criteria hasil. Menurut Nursalam (2008), pada tahapan evaluasi ini
terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasiselama
proses perawatan berlangsung (evaluasi proses) dan kegiatan melakukan evalusia dengan
targettujuan yang diharapkan (evaluasi hasil).
4.1 Kesimpulan
Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang terdiri dari tulang, otot,kartilago,
ligamen, tendon, fascia, bursae, dan persendian. Trauma merupakankeadaan ketika
seseorang mengalami cedera dan mengakibatkan trauma yangdisebabkan paling umum
adalah kecelakaan lalulintas, industri, olahraga, dan pekerjaan rumah tangga. Trauma
muskuloskeletal adalah kondisi dimanaterjadinya cedera atau trauma pada sistem
muskuloskeletal yang menyebabkandisfungsi struktur disekitarnya dan struktur pada
bagian yang dilindungi dan penyangganya
Trauma muskuloskletal biasanya menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya
dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling
sering terjadi akibat trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan
dislokasi.
Kontusio merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada jaringan
lunak yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang langsung mengenai
jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh. Sprain adalah bentuk cidera berupa
penguluran atau kerobekan pada ligament (jaringan yang menghubungkan tulang
dengan tulang) atau kapsul sendi, yang memberikan stabilitas sendi. Strain adalah
bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur muskulo-tendinous (otot
dan tendon) sedangkan Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi.
4.2 Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
kita tentang asuhan keperawatan klien dengan trauma musculoskeletal : kontusio,
sprain, strain dan dislokasi. Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi. Terima
Kasih.
42
DAFTAR PUSTAKA