Anda di halaman 1dari 27

“HISPRUNG DISEASE”

Paper ini dibuat Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior SMF Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Haji Medan

Pembimbing :

dr. YOSSI Andilla, SpB.

Disusun Oleh :

Raja Huddi Harahap : 102118031

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT HAJI MEDAN SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
paper yang berjudul ”HISPRUNG DISEASE”. Semoga memenuhi tugas
kepanitraan klinik senior Ilmu Bedah di Rumah Sakit Haji Medan.
Penulis megucapkan banyak terima kasih kepada dr. Yossi Andilla, SpB
sebagai pembimbing yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan paper ini
.
Penulis menyadari bahwa paper ini jauh dari kata sempurna, semoga paper
ini sedikit berguna dan bermanfaat bagi yang membacanya. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Medan,27 Juli 2018

Raja Huddin Harahap

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................5

2.1 Embrioogi Kolon................................................................................5

2.2 Anatomi Dan Fisiologi Kolon............................................................6

2.3 Defenisi..............................................................................................8

2.4 Epidemiologi......................................................................................8

2.5 Etiologi...............................................................................................9

2.6 Patofisiologi........................................................................................10

2.7 Gambaran Klinis.................................................................................11

2.8 Diagnosis............................................................................................12

2.9 Penatalaksanaan..................................................................................16

2.10 Komplikasi ......................................................................................19

2.11 Prognosis..........................................................................................20

BAB III PENUTUP......................................................................................21

DAFTAR PUSTA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon

yang ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus

submukosus Meissneri dan pleksus mienterikus Aurbachi. Sembilan puluh

persen kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid. Penyakit ini

diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di

daerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu keduabelas

kehamilan untuk membentuk system saraf intestinal. Kelainan ini bersifat

genetik yang berkaitan dengan perkembangan sel ganglion usus dengan

panjang yang bervariasi, mulai dari anus, sfingter ani interna kearah

proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidak tidaknya sebagian rektum

dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional . 1,2

Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun

1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas

hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa

megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan

peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Risiko tertinggi

terjadinya penyakit Hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai

1
riwayat keluarga penyakit Hirschsprung dan pada pasien penderita Down

Syndrome. Rektosigmoid paling sering terkena, sekitar 75% kasus, fleksura

lienalis atau kolon transversum pada 17% kasus. Anak kembar dan adanya

riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya penyakit Hirschsprung.

Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu

aganglionosis dibandingkan oleh ayah . 2

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini

mungkin mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat

membahayakan jiwa pasien seperti terjadinya konstipasi, enterokolitis,

perforasi usus serta sepsis yang dapat menyebabkan kematian. Diagnosis

kelainan ini dapat ditegakkkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan rontgen dengan foto polos abdomen maupun barium enema,

pemeriksaan histokimia, pemeriksaan manometri serta pemeriksaan patologi

anatom. Manifestasi penyakit Hirschsprung terlihat pada neonatus cukup

bulan dengan keterlambatan pengeluaran meconium pertama yang lebih dari

24 jam. Kemudian diikuti tanda-tanda obstruksi, muntah, kembung, gangguan

defekasi seperti konstipasi, diare dan akhirnya disertai kebiasaan defekasi


1,2
yang tidak teratur .

Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut yang kembung, gambaran

usus pada dinding abdomen dan bila kemudian dilakukan pemeriksaan colok

dubur, feses akan keluar menyemprot dan gejala tersebut akan segera hilang.

Pada pemeriksaan enema barium didapatkan tanda-tanda khas penyakit ini,

yaitu : adanya gambaran zone spastik, zone transisi serta zone dilatasi.

2
Gambaran mukosa yang tidak teratur menunjukkan adanya enterokolitis.

Adanya gambaran zone transisi akan menunjukkan ketinggian kolon yang

aganglionik dengan akurasi 90%. Penyakit Hirschsprung terdapat kenaikan

aktivitas asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam lamina propia dan

muskularis mukosa. Pewarnaan untuk asetilkolineserase dengan tehnik

Karnovsky dan Roots akan dapat membantu menemukan sel ganglion di

submukosa atau pada lapisan muskularis khususnya dalam segmen usus yang

hipoganglionosis. Pemeriksaan elektromanometri dilakukan dengan

memasukkan balon kecil ke dalam rektum dan kolon, dengan kedalaman yang

berbeda-beda akan didapatkan kontraksi pada segmen aganglionik yang tidak

berhubungan dengan kontraksi pada segmen yang ganglionik. Pemeriksaan

patologi anatomi dilakukan dengan memeriksa material yang didapatkan dari

biopi rektum yang dilakukan dengan cara biopsi hisap maupun biopsi manual.

Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion

Meissner dan sel ganglion Auerbach serta ditemukan penebalan serabut


1,2
saraf .

Bila hasil pemeriksaan klinis dan radiologis enema barium ditemukan

tanda khas penyakit Hirschsprung, maka tidak seorang pasienpun yang tidak

menderita penyakit Hirschsprung. Insiden penyakit Hirschsprung adalah satu

dalam 5.000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding

perempuan . 1

Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah

dan pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati

3
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki

keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan.

Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa

dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya

perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis . 1,2

Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan

bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara

dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi

pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini

dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab

utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung . 1,2

Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan

Hirschsprung ini telah diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill

(1946) berupa prosedur rektosigmoidektomi, Duhamel (1956) berupa

prosedur retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur endorektal ekstramukosa

serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection.

Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik

komplikasi dini berupa infeksi, dehisiensi luka, abses pelvik dan kebocoran

anastomose, maupun komplikasi lambat berupa obstipasi, inkontinensia dan

enterokolitis.. 1,2

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Kolon

Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik

bermigrasi dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian

melanjutkan ke arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam

gestasi minggu kelima. Sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon

distal dalam minggu kedua belas. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam

pleksus Auerbach, selanjutnya sel-sel ini menuju ke dalam pleksus

submukosa. Sel-sel krista neural dalam migrasinya dibimbing oleh berbagai

glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf yang berkembang lebih awal

dari pada sel-sel krista neural.

Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik,

yang membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke

bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju

intestine, dimulai dari membran dasar dan berakhir di lapisan muskular.1

Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan

kolon kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon

membentuk tiga buah pita yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek

dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti

sakulus (kantong kecil) dan biasa disebut haustra (bejana). Kolon tranversum

dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi dengan

mesentrium.

5
Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan

embriologik sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium yang

lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian

besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesentrium yang panjang

pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.8

2.2. Anatomi Dan Fisiologi Kolon

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan

panjang sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani.

Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5

inci), namun semakin dekat dengan anus diameternya pun semakin kecil.

Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat

katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum

menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal

mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah

terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.

Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid.

Kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-

turut disebut dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid

mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan

bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan

rektum. Bagian utama usus yang terakhir disebut sebagai rektum dan

membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh).

Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh

6
otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani

adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).9

Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan

proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi

air dan elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang

menampung massa feses yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya

defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari dengan berat akhir

feses yang dikeluarkan adalah 200 gram dan 80%-90% diantaranya adalah

air. Sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak terabsorpsi, bakteri, sel

epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak terabsorpsi.9,10

Gambar 2.1 Anatomi Usus besar (Kolon)

2.3. Definisi

7
Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon

kongenital adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus

neonatal (bayi berumur 0-28 hari). Penyakit Hirschsprung merupakan

penyakit dari usus besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari sistem

saraf enterik. Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot ini

dikendalikan oleh sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi

yang lahir dengan penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion

yang berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam usus

distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot di bagian usus

besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong keluar

feses).3,4

Gambar 2.2 Foto penderita penyakit Hirschsprung berumur 3 hari

2.4. Epidemiologi

Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan

merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada

neonatus. Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi

pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens

penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata

8
mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Sementara untuk distribusi ras

setara untuk bayi berkulit putih dan Amerika keturunan Afrika.5,6

Penelitian yang dilakukan Iqbal dkk. (2010) di Rumah Sakit Sheikh

Zayed, Pakistan menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih tinggi

pada anak laki-laki (70,59% ; 12 dari 17 orang) daripada anak perempuan

(29,41% ; 5 dari 17 orang). Penelitian tersebut juga menunjukkan proporsi

penyakit Hirschsprung lebih banyak ditemukan pada umur < 2 tahun (58,83%

; 10 dari 17 orang) dibandingkan dengan umur > 2 tahun (41,17% ; 7 dari 10

orang).7

2.5. Etiologi

Sel neuroblas bermigrasi dari krista neuralis saluran gastrointestinal

bagian atas dan selanjutnya mengikuti serabut-serabut vagal yang telah ada ke

kaudal. Penyakit Hirschsprung terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti di

suatu tempat dan tidak mencapai rektum. Sel-sel neuroblas tersebut gagal

bermigrasi ke dalam dinding usus dan berkembang ke arah kraniokaudal di

dalam dinding usus.11

Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab terjadinya penyakit

Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan

neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung. Gen lain yang

berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial

yang diturunkan dari faktor gen yaitu gen endhotelin-B dan gen endothelin -3.
12

9
Gambar 2.3 Dilatasi kolon akibat tidak ditemukannya sel saraf pada bagian

akhir usus Pleksus Myenterik (Auerbach) dan Pleksus Submukosal

(Meissner)

2.6. Patofisiologi

Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan

primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada

pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen

kolon atau lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak

adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan

akumulasi/ penumpukan isi usus dan distensi usus yang berdekatan dengan

kerusakan (megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk

berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi, karena

dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas.13

Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang

aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi

usus fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan

dan pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.

10
Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi

kraniokaudal pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal

antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus

bisa terjadi sebagai akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi

menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon), yang

merupakan penyebab kematian pada bayi/anak dengan penyakit

Hirschsprung.14

2.7. Gambaran Klinis

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran

mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran

mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis

yang signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan

terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu

24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan

distensi abdomen biasanya dapat berkurang ketika mekonium dapat

dikeluarkan segera.1

Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan dapat

disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah yang berwarna

hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan

lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis

netrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine. Enterokolitis merupakan

ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung yang

dapat menyerang pada usia berapa saja namun yang paling tinggi saat usia

11
dua-empat minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia satu minggu.

Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk, dan disertai

demam.13,15

2.8. Diagnosis

2.8.1. Anamnesis

Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan

anamnesis adalah adanya keterlambatan pengeluaran mekonium pertama

yang pada umumnya keluar > 24 jam, muntah berwarna hijau, adanya

obstipasi masa neonatus. Jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi

semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat. Selain itu perlu

diketahui adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita

keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia

dua minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.1

.8.2. Pemeriksaan Fisik

Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami

obstipasi. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka

feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan tampak perut

anak sudah kembali normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui

bau dari feses, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus bagian

bawah dan akan terjadi pembusukan.1

12
.8.3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting pada penyakit

Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan

enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk

mendeteksi penyakit Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto

polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski

pada bayi masih sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.

Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa

penyakit Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga

tanda khas yaitu adanya daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal

yang panjangnya bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal

daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran

lumen di proksimal daerah transisi.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas

penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,

yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses.

Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses

ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang tidak mengalami

Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat

menggumpal di daerah rektum dan sigmoid. 1,13

13
Gambar 2.4 Foto polos abdomen pada penderita penyakit Hirschsprung

Gambar 2.5 Foto barium enema pada penderita penyakit Hirschsprung

.8.4. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung dilakukan

melalui prosedur biopsi yang didasarkan atas tidak adanya sel ganglion pada

pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Di

samping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf

(parasimpatik). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi apabila

14
menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu

enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf parasimpatik.

Biasanya biopsi hisap dilakukan pada tiga tempat yaitu dua, tiga, dan

lima sentimeter proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap

meragukan, maka dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus

Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi

hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi.1

2.8.5.Manometri Anorektal

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan

objektif yang mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang

melibatkansfingter anorektal. Dalam praktiknya, manometri anorektal

dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis

meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki dua komponen dasar yaitu

transuder yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter

mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau komputer.

Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit

Hirschsprung adalah hiperaktivitas pada segmen dilatasi, tidak adanya

kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik,

sampling reflex tidak berkembang yang artinya tidak dijumpainya relaksasi

sfingter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses atau tidak

adanya relaksasi spontan. 1,14

15
.9. Penatalaksanaan

Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya

dapat dilakukan dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat

dilakukan tetapi untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan

pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian

antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk

enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan

untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa tubuh.16

Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap

pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan

operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk

mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi,

sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki

kondisi pasien. Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif

dengan membuang segmen yang ganglionik dengan bagian bawah rektum.

Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur

Swenson’s sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soave’s Transanal

Endorectal PullThrough, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior,

prosedur Laparoskopic Pull-Through, prosedur dan prosedur miomektomi

anorektal.

Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik pembedahan yang

berbeda, yaitu dengan prinsip bypass partially rectum dan end to end

anastomosis menggunakan anal approach. Dibandingkan dengan teknik

16
sebelumnya, teknik ini relatif tidak menimbulkan komplikasi pada persarafan

sekitar anus. Soave pada tahun 1964 menyempurnakan prosedur Duhamel

dengan menggunakan transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave

adalah mencegah diseksi luar pada rektum dan mempertahankan normal

muscular cuff untuk menjaga inervasi di sekitar anal sphincter.

Total transanal endorectal pull-through (TTEP) diperkenalkan

pertama kali oleh De La Torre dan Ortega pada tahun 1998 dengan prinsip

prosedur complete dissection dan mobisasi aganglionic colon secara

keseluruhan serta anastomosis kolon normal ke anus melalui muscular tube.

Teknik ini paling banyak digunakan oleh para ahli bedah karena komplikasi

konstipasi dan inkontinensia yang minimal.

Gambar 2.6. Total transanal endorectal pull-through

17
Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik

pembedahan pilihan pada banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical.

Georgeson adalah ahli bedah pertama yang melakukan pendekatan ini

pertama kali sebagai terapi pada neonatus penderita Hirschsprung’s disease,

dimana dilakukan reseksi pada coloanal dan dikeluarkan menggunakan

laparoskopi tanpa melakukan colostomy secara cepat dan hati-hati sehingga

meminimalisasi komplikasi metode laparotomy.1

Gambar 2.7. Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through

Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah

tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita

dalam keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan

resusitasi dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan

pipa lambung. Apabila sebelum operasi ternyata telah mengalami

enterokolitis maka cairan resusitasi cairan dilakukan secara agresif,

pemberian antibiotik broad spektrum secara ketat kemudian segera dilakukan

tindakan dekompresi usus.16

18
.10. Komplikasi

Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat

digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan

fungsi sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada

penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia

mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada

komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1,

infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab

terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan

menyebabkan megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau,

diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi

nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan

terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.

Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi

usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah

pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia.

Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih

virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa,

lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis.

Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang akhirnya menyebabkan

nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa, dan

dapat menyebabkan enterokilitis.

19
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi

penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan

saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat

dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen,

feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus

Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat

pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. Kejadian enterokolitis

berdasarkan prosedur operasi yang dipergunakan Swenson sebesar 16,9%,

Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel sebesar 15,4% dan sebesar Lester

Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen ada sebanyak 29 orang, diare

sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak 2 orang , muntah sebanyak 31

orang, dan panas ada sebanyak 22 orang.1,16

2.11. Prognosis

Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat

bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum

prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat

tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10%

pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga

harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari

tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.5,6

20
BAB III

PENUTUP

Penyakit Hirschsprung atau mengakolon aganglionik bawaan

disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai dari sfingter anai interna dan

meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu

termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Penyakit hirschsprung

terjadi pada 1:5000 kelahiran hidup merupakan penyebab tersering obstruksi

saluran cerna bagian bawah pada neonates. Penyakit yang lebih sering

ditemukan memperlihatkan predominasi pada laki-laki dibandingkan

perempuan dengan perbandingan 4:1

Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab terjadinya penyakit

Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan

neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung. Penyakit

Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal pada precursor

sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia kehamilan minggu

ke-5 dan ke-12.

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran

meconium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran

meconium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis

yang signifikan. Disensi abdomen mrupakan manifestasi obstruksi usus dapat

disebabkan oleh kelainan lain seprti atresia leum. Muntah yan berwarna hijau

21
disebabkan oleh obstrusi usus, seperti pada atresia ileum, entrokolitis

netrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono, D., 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung

Seto. Jakarta

2. Rochadi, 2012. Terapi Pembedahan dan Peran GENA RET pada Penyakit

Hirschsprung, Disertasi, Pascasarjana FK UGM

3. Kedokteran UGM. 2010. Megacolon Congenital/Hirschsprung Disease.

http://dokterugm.wordpress.com/2010/04/27/megacolon-

congenitalhirschprung-disease/. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013

4. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2010. What I

Need to Know About Hirschsprung Disease. http:// digestive. niddk.

nih.gov/ ddiseases/pubs/hirschsprungs_ez/. Diakses pada tanggal 21 April

2013.

5. Sani R., 2010. Hirschsprung Disease (Megacolon Congenital).

http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/hirschprung-disease-

megacolon.html. Diakses pada tanggal 23 Februari 2013

6. Matei, P., 2008. Hirschsprung’s Disease. Dalam : Pediatric

Gastroenterology. Edisi Pertama. Mosby Elsevier. Philadelphia

7. Iqbal, M. Z. dkk., 2010. Hirschsprung Disease. Professional Med J Jun

2010;17(2) : 223-231. http://www.theprofesional.com/article/APRJUN-

2010/1585.pdf. Diakses pada tanggal 21 April 2013

8. Pieter, J. dkk., 1997. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.

Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Cetakan Pertama. EGC. Jakarta

23
9. Lindseth, G. N., 2006. Gangguan Usus Besar. Dalam Patofisiologi. Edisi

Keenam. EGC. Jakarta

10. Guyton, A. C., 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Cetakan Pertama.

EGC. Jakarta

11. Sodikin, 2011. Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier.

Salemba Medika. Jakarta

12. Eketjall, S. dan Carlos F. I., 2002. Functional Characterization of

Mutations in the GDNF gene of Patients with Hirschsprung Disease.

Human Molecular Genetics, 2002, Vol. 11, No.3 hal. 325-32. Diakses

pada tanggal 23 Mei 2013

13. Behrman, R. E. dan William T. S., 1995. Penyakit Hirschsprung. Dalam

: Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Cetakan Ketiga. EGC. Jakarta

14. Markum, A. H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Balai Penerbit

FKUI. Jakarta

15. Irwan, B., 2003. Pengamatan Fungsi Anorektal pada Penderita

Penyakit Hirschsprung Pasca Operasi Pull-Through. Tesis Bagian

Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

16. Sacharin, R. M., 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi Kedua.

EGC. Jakarta

24

Anda mungkin juga menyukai