Anda di halaman 1dari 19

DILEMAH FAKTOR SOSIAL DAN KELUARGA

DI SUSUN OLEH :

FINSENSIA SERLIANA LERO


2017610038
HALDIN KRINSNA LENDE
FELIS FATIMAH
FERDI BABU WUDA

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2020

BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Karakter suatu bangsa sangat penting untuk menentukan keberlangsungan hidup


suatu bangsa tersebut. Bangsa dengan karakter kuat akan mampu eksis dan
bersaing dalam percaturan dunia global. Sebaliknya bangsa yang mengalami
krisis karakter akan tergilas oleh perubahan akhirnya menjadi banga pecundang
dalam persaingan global. Karakter suatu bangsa akan kuat apabila apabila
masing masing lembaga yang ada pada masyarakat baik itu negara, keluarga,
lembaga pendidikan, lembaga pers ataupun struktur masyarakat yang lain dapat
menjalan-kan fungsinya dalam menjaga nilai dan norma dan mampu
mengendalikan perilaku anggotanya agar bertindak sesuai dengan nilai dan
norma yang ada di masyarakat. Keluarga sebagai peletak dasar pertama dan
utama dari sistem nilai dan norma pada kehidupan modern sering kali bergeser
peranannya disebabkan orang tua lebih sibuk bekerja karena tuntutan hidup
yang makin tinggi, sehingga seringkali mengabaikan fungsi lainya. Banyak
kaum ibu atas nama emansipasi, merintis menjadi wanita karier yang super
sibuk sehingga tidak punya waktu untuk mendidik anak-anak mereka atau
memberi kenyamanan bagi para suami mereka. Kurangnya kasih sayang dan
kenyamanan dalam keluarga sehingga banyak anak yang melarikan diri dari
keluarga dan terjebak da-lam pergaulan bebas, tawuran, mengonsumsi rokok,
minuman keras, dan narkoba. Tidak sedikit jumlah tindak kriminalitas yang
dilakukan oleh remaja, seperti pengompasan, anarkisme ala geng motor, dan
tindak kekerasan di antara geng anak perempuan. Kejujuran juga dirasakan
mulai melemah dalam praktik pendidikan di Indonesia. Kasus bertindak curang
baik berupa me-nyontek, mencontoh pekerjaan teman seolah-oleh merupakan
pekerjaan sehari-hari. Praktik kecurangan yang dilakukan para pendidik dalam
Ujian Nasional, markup nilai demi mengejar kelulusan selalu terjadi setiap
tahun. Di kalangan perguruan tinggi tidak kalah memprihatinkan fenomena
menyontek ujian dan tugas di kalangan mahasiswa, plagiarisme dalam karya
ilmiah bahkan jual beli ijazah dari mahasiswa tingkat sarjana sampai dengan
doktoral marak terjadi. Kasus PAK palsu yang melibatkan beberapa oknum
guru, bukti lain bahwa dunia pendidikan telah kehilangan kejujuran yang
seharusnya hal itu diajarkan pada anak didiknya.

1.2Rumusan masalah
1) Apakah ada hubungan antara dukungan sosial keluarga dan
penyesuaian diri dengan konflik peran ganda perempuan menikah
yang bekerja?
2) Apakah ada perbedaan konflik peran ganda perempuan menikah yang
bekerja berdasarkan tingkat pendidikan?

1.3Tujuan
1) Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dukungan sosial
keluarga dan penyesuaian diri dengan konflik peran ganda perempuan
menikah yang bekerja.
2) Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan konflik peran ganda
perempuan menikah yang bekerja berdasarkan tingkat pendidikan.

1.4Manfaat
1) Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan
ilmiah untuk mengembangkan ilmu psikologi, khususnya psikologi
sosial, psikologi keluarga, dan psikologi kepribadian agar lebih kaya
dan aplikatif.
2) Secara praktis hasil penelitian dapat menjadi sumber informasi bagi
para pimpinan organisasi atau perusahaan maupun instansi keluarga
(suami), perempuan itu sendiri, dan para peneliti lebih lanjut. Dengan
mengetahui informasi tersebut diharapkan para pimpinan organisasi
atau perusahaan maupun instansi, dan keluarga (suami) dapat
memberikan dukungan yang positif dan membantu penyesuaian diri
pada perempuan yang bekerja untuk mengurangi konflik peran ganda
yang dialaminya.
BAB II
ISI

2.1Teori Struktural Fungsional

Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan sebuah struktur yang tercipta
dalam masyarakat. Contohnya memiliki peran dan fungsi masing masing dalam
tatanan struktur masyarakat. Struktural fungsionalisme lahir sebagai reaksi
terhadap teori evolusionari. Jika tujuan dari kajian kajian evolusionari adalah
untuk membangun tingkat tingkat perkembangan budaya manusia, maka tujuan
dari kajian kajian struktural fungsionalisme adalah untuk membangun suatu
sistem sosial, atau struktur sosial, melalui pengajian terhadap pola hubungan
yang berfungsi antara individu-individu, antara kelompok kelompok, atau antara
institusi sosial di dalam suatu masyarakat, pada suatu kurun masa tertentu

Menurut teori struktural fungsional seperti yang dikemukakan Parsons bahwa


masyarakat akan berada dalam kedaaan harmonis dan seimbang bila
institusi/atau lembagalembaga yang ada pada masyarakat dan nega-ra mampu
menjaga stabilitas pada masyarakat tersebut. Struktur masyarakat yang dapat
menjalankan fungsinya dengan baik dengan tetap menjaga nilai dan norma yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat maka hal ini akan menciptakan stabilitas pada
masyarakat itu sendiri.
Teori struktural fungsional Talcot Parsons dimulai dengan empat fungsi penting
untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan skema AGIL. Melalui
AGIL ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistem.
Menurut Parson fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah
pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Menurut Parson agar
dapat bertahan sebuah sistem harus terdiri dari 4 fungsi yaitu :
1. Adaptation (adaptasi).
Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan
kebutuhannya.
2. Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistem mendefinisikan dan men-capai tujuan utamanya.
3. Integration (integrasi).
Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi
komponennya. Sistem juga harus menge-lola antar hubungan ketiga fungsi
penting lainnya (A, G, L). Masyarakat harus me-ngatur hubungan di antara
komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.
4. Latency (pemeliharaan pola)
Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik mo-
tivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang
motivasi. Menurut Parsons sebuah sistem sosial harus memiliki persyaratan-
persyaratan yaitu sistem sosial harus terstruktur sedemikian rupa sehingga bisa
ber-operasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainya, untuk
menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang
diperlukan dari sistem yang lain, sistem sosial harus mampu memenuhi
kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan, sistem harus mampu
melahirkan partisipasi yang memadai dari anggotanya, sistem sosial harus
mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi menganggu, bila konflik akan
menimbulkan ke-kacauan maka itu harus dikendalika, untuk kelangsungan
hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa. Masyarakat sebagai suatu sistem
diatur oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mapan. Suatu masyarakat yang
bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka secara fungsi-onal masyarakat
tersebut telah mampu men-jaga nilai dan norma agar kehidupan masyara-kat
tersebut dapat berjalan selaras dan har-monis. Konflik dalam suatu sistem
masyara-kat struktur fungsional yang teratur akan mampu teratasi dengan
sendirinya, karena sistem selalu akan membawa pada keteratur-an. Tetapi pada
masyarakat yang secara struktural fungsional tidak mampu menjalan-kan
perananya maka akan terjadi gesekan, konflik yang akan berujung pada krisis
karakter dalam masyarakat.

2.2Teori Sosial Konflik

Salah satu gejala sosial yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir di
Indonesia adalah meningkatnya peran kaum perempuan di sektor publik.
Tampak tidak ada sektor publik yang belum dimasuki oleh kaum perempuan,
baik sebagai dokter, perawat, bidan, guru, dosen, pengusaha dan politisi
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Selain itu, beberapa tahun belakangan ini
ada kecenderungan banyak perusahaan memilih mempekerjakan perempuan
dibanding laki-laki. Pilihan tersebut disebabkan perempuan adalah pekerja yang
tekun, teliti, hati-hati, tidak senang protes dan menerima apa adanya, prestasi
mereka jauh lebih bagus dibanding laki-laki untuk jenis pekerjaan tertentu.
Beberapa jabatan clerical seperti misalnya bagian keuangan, administrasi
umum, dan bidang-bidang yang sejenis dengan itu banyak dijabat oleh
perempuan (Goldsmit dalam Nuryoto, 1998).
Media Indonesia Nasional (dalam Susanto 2011) mencatat jumlah pekerja
perempuan di Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan. Hal senada
juga diungkapkan oleh Biro Pusat Statistik (dalam Ginting, 2011) bahwa
partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat.
Pada tahun 1988 jumlah pekerja perempuan di Indonesia berkisar 23.874.000
orang. Tahun 2003 mencapai 35,37% dari jumlah pekerja perempuan secara
keseluruhan 100.316.000 orang. Tahun 2007 meningkat menjadi 35.479.000
orang, sedangkan jumlah pekerja laki-laki hanya bertambah 287 ribu orang.
Peningkatan jumlah pekerja perempuan yang bekerja di sektor publik
sebagaimana data BPS di atas, menunjukkan bahwa perjuangan kaum
perempuan menuntut persamaan hak atas laki-laki mulai membuahkan hasil.
Dalam aspek pendidikan kaum perempuan juga telah mengalami banyak
kemajuan. Hal ini telah mengubah pandangan masyarakat bahwa kaum
perempuan sebagai makluk derajat kedua pelan-pelan mulai terkikis seiring
dengan kemajuan teknologi informasi dan perubahan kehidupan demokrasi di
Indonesia.
Selain faktor di atas, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan berhubungan dengan tingkat konflik peran ganda perempuan
menikah yang bekerja. Penelitian Barnett & Bruch menyatakan bahwa tingkat
pendidikan seorang perempuan berhubungan secara signifikan dengan tinggi-
rendahnya konflik peran ganda pada perempuan. Menurut Lidz perempuan yang
berpendidikan tinggi mengalami konflik peran ganda berupa dilema antara
gambaran diri yang memiliki kemampuan dan kesempatan dengan harapan dari
lingkungan sosialnya yang berorientasi pada sifat femininnya sebagai isteri atau
ibu dalam rumah tangga.

2.3Teori Ekologi

Teori ekologi dalam perkembangan anak menekankan pada interaksi antara


orang dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Manusia dipandang sebagai
makhluk yang berkembang dan beradaptasi melalui interaksi dengan semua
elemen lingkungannya. Teori ekologi memperhatikan faktor internal maupun
eksternal yang mempengaruhi masalah perkembangan anak. Penekanan penting
model ini adalah pada konsep “the person‐in‐environment”. Ekologi manusia
adalah suatu pandangan yang mencoba memahami keterkaitan antara manusia
dan lingkungannya. Ekologi perkembangan adalah lingkungan belajar, yaitu
suatu wahana untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, dan
mengendalikan interaksi dan transaksi dinamik antara individu dengan
lingkungan. Hal yang penting dalam teori ekologi adalah bahwa pengkajian
perkembangan anak dari sub sistem manapun, harus berpusat pada anak, artinya
pengalaman hidup anak yang dianggap menjadi penggerak perkembangan anak
(Bronfenbrenner& Morris, 1998). Masing-masingsub sistem ini diuraikan
berikut ini :

1.Mikrosistem adalah sub sistem yang mempunyai interaksi langsung dengan


individu, yaitu terdiri dari keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan
lingkungan. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif
dalam setting ini, tetapi anak juga aktif membangun setting mikrosistem ini,
artinya individu juga aktif terlibat dalam interaksi dengan sub sistem ini.

2.Eksosistem merupakan sistem sosial yang lebih besar dimana anak tidak
berfungsi secara langsung. Sub sistemnya terdiri dari pengalaman-pengalaman
dalam setting sosial lain di mana anak tidak memiliki peran yang aktif tetapi
mempengaruhi perkembangan karakter anak.

3.Makrosistem merupakan lapisan terluar dari lingkungna anak. Sub sistemnya


terdiri dari kebudayaan, adat istiadat dan hukumdi mana individuberada. Hal ini
terjadi karena kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan semua
produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi
(Berk,2000).

Berdasarkan kajian ekologi dalam pendidikan karakter maka karakteristik


lingkungan dimana pendidikan karakter itu berlangsung (konteks), yaitu
karakteristikkeluarga akan menentukan metode pendidikan karakter dalam
keluarga.2.Sub sistem teman sebayaTeman sebaya merupakan bagian dari
mikrosistem, sehingga bisa berinteraksi langsung dengan anak. Peran teman
sebaya melalui interaksi sosial tampaknya perlu diperhatikan juga. Pada masa
kanak-kanak akhir, anak akan lebih mengikuti standar-standar atau norma-
norma teman sebaya daripada norma di rumah maupun di sekolah. Norma-
norma tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara sesama anggota
kelompok (Santrock, 2002). Akibatnya kekuatan kelompok sebaya dapat
membentuk karakter anak. Hasil penelitian Sussman et.al(2003) menemukan
bahwa afiliasi dengan teman sebaya berkaitan dengan pembentukan perilaku
yang beresiko, sehingga dapat mengganggu kesehatan mental anak

2.4Teori Pertukaran Sosial

Teori Pertukaran Sosial dari Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa
bentuk dasar dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang,
dimana orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu
untuk memenuhi kebutuhannya.
John Thibaut dan Harold Kelley menyatakan bahwa ”Setiap individu
secara sukarela memasuki dan tinggal didalam suatu hubungan hanya selama
hubungan itu cukup memuaskan dalam hal penghargaan dan pengorbanannya”
(1959, hal. 37) . Sebagaimana diamati oleh Ronald Sabatelli dan Constance
Shehan (1993), pendekatan Pertukaran Sosial memandang hubungan melalui
metafora pasar, dimana setiap orang bertindak berdasarkan tujuan pribadi untuk
mencari keuntungan. Yang menjadi ciri khas dalam teori menurut Thibaut dan
Kelley ini adalah “Tingkat Perbandingan”. Maksudnya adalah penunjukan
ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan
individu pada waktu sekarang.
Di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan memainkan peran
penting dalam membentuk kehidupan masyarakat, terutama ketika hubungan
antar pribadi itu mampu memberi dorongan kepada orang tertentu yang
berhubungan dengan perasaan, pemahaman informasi, dukungan, dan berbagai
bentuk komunikasi yang mempengaruhi citra diri orang serta membantu orang
untuk memahami harapan-harapan orang lain. Para tokoh teoritisasi pertukaran
sosial (exchange theory) terutama George C. Homans menujukkan bahwa
terdapat lima bentuk dasar dan perilaku sosial yang dapat dirumuskan dalam
bentuk proposisi sebagai berikut:
Proposisi yang pertama yang disebut dengan proposisi sukses,
mengungkapkan bahwa semakin sering suatu tindakan yang dilakukan oleh
seseorang itu mendatangkan manfaat/ganjaran/tanggapan positif dari orang lain,
maka semakin besar kemungkinan tindakan yang serupa akan dilakukan oleh
orang yang serupa
Proposisi yang kedua disebut preposisi rangsangan/stimulus. Proposisi ini
berbunyi “Apabila pada masa lampau ada satu atau sejumlah rangsangan
didalamnya tindakan seseorang mendapat ganjaran, maka semakin rangsangan
yang ada menyerupai rangsangan masa lampau itu, maka semakin besar
kemungkinan bahwa orang tersebut akan melakukan tindakan yang sama”.
Proposisi yang ketiga disebut nilai. Proposisi ini berbunyi “ Semakin
tinggi nilai tindakan seseorang, maka semakin besar kemungkinan orang itu
melakukan tindakan yang sama”. Bila hadiah yang diberikan masing-masing
kepada orang lain amat bernilai, maka semakin besar kemungkinan aktor
melakukan tindakan yang dinginkan ketimbang jika hadiahnya tak bernilai.
Proposisi yang keempat disebut proposisi deprivasi-satiasi. Proposisi ini
berbunyi, ”Semakin sering seseorang menerima ganjaran yang istimewa bagi
tindakan yang dilakukannya, maka semakin kurang bermakna ganjaran-ganjaran
yang diterima berikutnya
Proposisi yang terakhir ini disebut sebagai proposisi persetujuan-
perlawanan. Dalam bagian ini ada dua proposisi yang berbeda. Proposisi yang
pertama berbunyi “ Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran seperti
yang diharapkannya atau mendapat hukuman yang tidak diharapkannya, maka
semakin besar kemungkinana bahwa dia akan menjadi marah dan melakukan
tindakan yang agresif, dan tindakan agresif itu menjadi bernilai baginya.”

2.5Teori Feminis

Teori feminisme dapat dikatakan sebagai salah satu cabang teori sosial. Teori
ini menggunakan perspektif feminisme untuk melihat dan menjelaskan
fenomena sosial. Sering kali miskonsepsi terjadi dalam pemahaman teori ini.
Seperti misalnya, melihat feminisme sebagai teori tentang perempuan.

Feminisme adalah sebuah gerakan wanita yang menuntut emansipasi atau


kesamaan hak dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat
dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era-pencerahan
perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan
Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan
yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.
Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka
sebut sebagai Universal Sisterhood. Pada awalnya gerakan ini memang
diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap
kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum
perempuan (feminim) merasa dirugikan dalam semua bidang dan
dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat
yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan
lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang
apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang
berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar
rumah dan kaum perempuan di rumah.

Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk


´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru
setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap
hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792, Mary Wollstonecraft
membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya
dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada
tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak
kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai
diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak
pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara
umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi
momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak
reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas.
Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme,
stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.

Feminisme Liberal

Ialah pandangan yang menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan


secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan kebebasan dan kesamaan
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap
manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu
pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus
mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka
“persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah
golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik
dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada
posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur
segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan
feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan
tidak tergantung lagi pada pria.

Feminisme Radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini
menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya,
aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial
berdasar jenis kelamin, di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan
kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki
terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang
ada.

Feminisme Post-Modern

Ide Posmo ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan
pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya
pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat
bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

Feminisme Anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-
citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber
permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

Feminisme Sosialis

Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan


Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme
sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan
yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri
dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas,
tanpa pembedaan gender.

2.6TEORI GENDER

Pandangan para ahli psikologi mengenai gender adalah menyangkut


karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh individu, yaitu maskulin, feminine,
androgini dan tak terbedakan. Masing-masing karakteristik kepribadian gender
tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Gender menurut Illich (1998) merupakan satu diantara tiga jenis kata
sandang dalam tata bahasa, yang kurang lebih berkaitan dengan pembedaan
jenis kelamin, yang membeda-bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian
dan diperlukan ketika kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata-kata
benda dalam bahasa Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender
maskulin, feminin dan netral.

Secara terminologis, gender digunakan untuk menandai segala sesuatu yang ada
di dalam masyarakat “vernacular”[bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan,
ruang, waktu, harta milik, tabu, alat-alat produksi dan sebagainya]. Secara
konseptual gender berguna untuk mengadakan kajian terhadap pola hubungan
sosial laki-laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda (Fakih,
1997).

Istilah gender berbeda dengan istilah sex atau jenis kelamin menunjuk pada
perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis (kodrat), gender lebih
mendekati arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial (interpensi sosial
kultural), seperangkat peran seperti apa yang seharusnya dan apa yang
seharusnya dilakukan laki-laki dan perempuan (Mansur Fakih, 1996).

Karakteristik Peran Gender

Maskulin.

Karakteristik peran gender maskulin dapat digambarkan sebagai sosok individu


yang kuat, tegas, berani, dan semacamnya. Individu yang memiliki peran gender
maskulin mempunyai sifat independent, teguh, semangat ingin tahu kuat, harga
diri dan kepercayaan diri yang teguh, keberanian mengambil resiko). Ada
kemungkinan sifat tersebut terbentuk oleh kebiasaan dalam pekerjaan dan
tugas-tugas yang bevariasi dan banyak mengandung tantangan dan polemic.
Sifat lain yang menonjol adalah sifat asertif. Sifat independent terhadap
llingkungan yang disertai sifat mandiri dan otonomi diri merupakan cirri
maskulinitas. Karakteristik sifat yang ada pada peran gender maskulin yang
dikemukakan Sahrah (1996) yakni sebagai berikut: 1) komponen pertama
adalah kemamppuan memimpin, 2) sifat maskulin, 3) rasionalitas. Kemampuan
memimpin dijabarkan dalam sifat aktif, berkemauan keras, konsisten, mampu
memimpin, optimistic, pemberani dan sportif. Sifat maskulin dijabarkan bersifat
melindungi, mandiri, matang atau dewasa dan percaya diri. Komponen
rasionalitas terdiri dari sifat suka mencari pengalaman baru, rasional, dan tenang
saat mengahadapi krisis.

Feminin.

Menurut Pendhazur dan Tetenbaum (1979) dan Bernard (dalam Kuwanto, 1992)
karakteristik perran gebder feminnin lebih memperllihatkan sifat-sifat yang
hangat dalam hubungan personal, lebih suka berafiliasi dengan orang lain
daripada mendominasi. Karakteristik peran gender feminine kebih sensitive dan
tanggap terhadap keadaan yang lain, sikap hati-hati agar menyinggung perasaan
orang lain, cenderung suka menyenangkan orang lain. Selain itu ingin selalu
tampak rapi, lebih bersifat loyal dan pemalu. Karakteristik tersebut
kemungkunan terbentuk dari kebiasaan dan tugasnya yang bersifat domistik.

Menurut Bakan peran gender feminine berkaitan erat dengan kelompok dan
penekanannya terdapat pada prinsip communion, kompromitas, suka membantu,
berperasaan halus, tergantung dan senang pada kehidupan kelompok.
Sebaliknya peran gender maskulin lebih menonjolkan kebebasan individu,
dominasi, mandiri dan agresivitas merupakan ciridari karaktristik peran gender
maskulin.

a. Karakteristik Peran Gender Androgini

Perpaduan dari karakteristik maskilin dan feminine disebut androgini.


Kombbinasi yang dimaksud yaitu apabbila sifat maskulin dan feminine sama
tinggi. Indivvidu yang memiliki karakteristik androgini memiliki sifta maskulin
dan feminine (yang tinggi) secara bersamaan.Misalnya individu dengan prean
gender androgini dapat menunjukkan sifat dominance dan nurturance , rasional
sekaligus penuh pengertian, asertif, sensitive dalam hubungan interpersonal,
tergantung pada situasi yang pantas sesuai dengan berbagai perilaku.
Karakteristik peran gender androgini disamping mamppu mengintegrasikan
sifat maskilin dan feninin dengan baik juga paling dapat menyesuaikan diri
dalam diri berbagai situasi dibamding peran gender lainnya.

b. Karakteristik Gender Tak Terbedakan

Peran gender tak terbedakan ini rendah karakteristik maskulinitasnya dan


sekaligus rendah karakteristiknya femininnya dan tidak memiliki karakkter yang
menonjol sehingga dapat diperkirakan sangat rendah perilaku prososialnya
dibandingkan dengan peran gender maskulin, feminine, dan androgini.

2.7Teori Perkembangan (development)

Memahami perjalanan sebuah keluarga, adalah pembelajaran yang luas tanpa


batas, meliputi sangat banyakdimensi dan mencakup banyak sisi ilmu
pengetahuan. Seperti sudah sering saya tuliskan, bahwa keluarga adalah
"organisme hidup" yang terus tumbuh dan berkembang. Friedman (1986)
menyatakan, meskipun setiap keluarga melalui tahapan perkembangannya
masing-masing secara unik, namun pada dasarnya seluruh keluarga mengikuti
pola yang relatif sama. Masing-masing memiliki kondisi dan memerlukan
waktu yang berbeda-beda untuk menempuh setiap tahapan perkembangan,
namun ada pola yang sama.

Duvall dan Milller mengajukan teori "8 Stages of The Family Life Cycle" yang
banyak digunakan oleh dunia akademik untuk menjelaskan tahap-tahap
perjalanan kehidupan sebuah keluarga dari awal sampai akhirnya. Pada
dasarnya perkembangan sebuah keluarga melalui delapan tahap, yaitu:

Tahap 1 : Keluarga menikah


Tahap pertama sebuah keluarga dimulai pada saat seorang laki-laki dan seorang
perempuan membentuk keluarga melalui proses perkawinan. Dalam keluarga
baru ini, hanya ada suami dan istri. Mereka melakukan proses penyesuaian
peran dan fungsi. Masing-masing belajar hidup bersama serta beradaptasi
dengan kebiasaan sendiri dan pasangannya, seperti pola makan, tidur, bangun
pagi, kebiasaan berpakaian, bepergian, dan lain sebagainya. Mereka akan
melewati masa-masa indah saat fase romantic love, namun akan mengalami
pula masa ketegangan saat berada pada fase disappointment atau distress.

Tahap 2 : Keluarga melahirkan

Keluarga baru yang sudah terbentuk, akan mulai mengalami perubahan ketika
sudah terjadi kehamilan. Ada yang mulai berubah dalam interaksi di antara
suami dan istri karena hadirnya "pihak ketiga" berupa janin yang harus dijaga
dan dirawat oleh mereka berdua. Tahap kedua ini, menurut Duvall, dimulai dari
kelahiran anak pertama hingga bayi pertama ini berusia 30 bulan atau 2,5 tahun.
Namun saya cenderung menarik ke garis yang lebih awal, yaitu sejak mulai
terjadi kehamilan, karena sudah ada perubahan yang nyata pada keluarga baru
setelah sang istri hamil.

Tahap 3 : Keluarga Anak Prasekolah

Tahap ketiga sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama melewati usia 2,5
tahun, dan berakhir saat ia berusia 5 tahun. Pada rentang waktu sekitar 2,5 tahun
ini, ada hal yang spesifik pada sebuah keluarga. Anak pertama mereka sudah
mulai menjadi balita yang mungil, imut dan lucu, dengan segala tingkah
polahnya. Orangtua mulai disibukkan oleh seorang balita yang menyita habis
waktu serta perhatian, terutama dari sang ibu. Anak mulai berulah, anak mulai
punya keinginan, dan anak mulai dipersiapkan untuk memasuki bangku
sekolah.

Tahap 4 : Keluarga Anak Sekolah

Tahap keempat dalam kehidupan keluarga dimulai ketika anak pertama mulai
berumur 6 tahun, berakhir pada saat anak berumur 12 tahun. Anak pertama
mulai masuk Sekolah Dasar, maka orangtua harus menyesuaikan diri dengan
kebutuhan anak pada usia sekolah tersebut.

Tahap 5 : Keluarga Anak Remaja

Tahap kelima kehidupan sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama


mencapai umur 13 tahun, berlangsung sampai 6 atau 7 tahun kemudian ketika
anak pertama berumur 19 atau 20 tahun. Suasana keluarga kembali berubah,
karena mulai ada anak usia remaja di antara mereka, dimana pada tahap
sebelumnya belum ada. Orangtua harus kembali belajar, bagaimana mendidik
anak remaja. Pada saat yang sama, bisa jadi mereka masih tetap harus mendidik
anak-anak lain yang masih sekolah SD dan TK. Pada tahap kelima ini, orangtua
harus mulai memberikan tanggung jawab serta pendidikan yang lebih baik guna
mempersiapkan anak mencapai kedewasaan baik secara biologis maupun
psikologis. Corak interaksi di antara suami dan istri, demikian pula corak
interaksi antara orangtua dengan anak, termasuk interaksi antar-anak, sudah
berubah lagi, dibandingkan pada empat tahap sebelumnya.

Tahap 6 : Keluarga Anak Dewasa

Tahap keenam dimulai sejak anak pertama meninggalkan rumah, berakhir pada
saat anak terakhir meninggalkan rumah sehingga rumah menjadi kosong. Maka
disebut sebagai Launching Family, karena ada peristiwa "pelepasan" anak
meninggalkan rumah induk. Lamanya tahapan ini tergantung jumlah anak dan
ada tidaknya anak yang belum berkeluarga serta tetap tinggal bersama orangtua.
Pada tahap keenam ini, mulai ada sangat banyak perubahan dalam komposisi
keluarga. Ada yang berkurang, namun juga ada yang bertambah. Berkurang
pada contoh anak lulus SMA yang pergi kuliah atau bekerja di kota lain,
sehingga mereka meninggalkan rumah orangtua.

Tahap 7 : Keluarga launching child

Tahap ketujuh dalam kehidupan sebuah keluarga dimulai saat anak yang
terakhir telah meninggalkan rumah, dan tahap ini berakhir saat masa pensiun
kerja atau salah satu dari suami atau istri meninggal dunia. Pada tahap
sebelumnya, masih ada anak yang ikut bersama orangtua, pada tahap ini sudah
tidak ada lagi anak yang tinggal bersama mereka. Semua anak sudah
"meninggalkan" rumah, baik dalam artian fisik maupun dalam artian psikologis.
Anak-anak sudah dewasa semua, sudah menikah, dan tinggal bersama keluarga
barunya.

Tahap 8 : Keluarga Orangtua Usia Lanjut

Tahap kedelapan yang menjadi tahap terakhir dari perjalanan sebuah keluarga,
dimulai ketika salah satu dari suami dan istri atau keduanya sudah mulai
pensiun kerja, sampai salah satu atau keduanya meninggal dunia.

Semakin tua seseorang maka semakin jelas pula perubahan fisik yang terlihat,
misalnya energi yang berkurang, kulit semakin keriput, gigi yang yang mulai
rontok ataupun tulang yang semakin rapuh. Kemudian Penurunan fungsi
sexualitas berhubungan dengan gangguan fisik seperti gangguan jantung,
gangguan metabolisme, seperti diabetes, militus, vaginitis, kekurangan gizi
yang dikarenakan permasalahan pencernaan yang menyebabkan menurunnya
nafsu makan. Pemicu perubahan aspek psikososial pada lansia adalah
menurunya fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif yang merupakan
proses belajar, pemahaman ataupun perhatian sehingga menyebabkan reaksi dan
prilaku lansia melambat. Sedangkan psikomotorik adalah dorongan kehendak
meliputi, gerakan, tindakan, dan koordinasi yang berakibat lansia menjadi
kurang cekatan. Dengan berubahnya kedua aspek tersebut akan berdampak pada
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan kepribadian lansia. Dengan
semakin lanjut usia, biasanya lansia akan melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya dikarenakan segala keterbatasan yang ia miliki. Keadaan ini
berdampak pada menurunnya interaksi sosial para lansia, baik secara kualitas
maupun kuantitas. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya peran ditengah
masyarakat dikarenakan kualitas fisik yang menurun sehingga para lansia
merasa tidak dibutuhkan lagi karena energi nya sudah melemah. Penyesuaian
diri yang buruk akan timbul karena adanya konsep diri yang negatif yang
disebabkan oleh sikap sosial yang negatif berdampak pada kesehatan psikologis
para lansia.

Permasalahan psikologis yang dialami oleh lansia pada umumnya antara lain
Kesepian, kehilangan pasangan hidup atau berada jauh dengan anak-anak yang
telah mempunyai kesibukannya masing, Duka cita, duka cita akibat kehilangan
orang yang dicintai adalah hal yang dapat menimbulkan depresi yang sangat
mendalam, Depresi, beragam permasalahan hidup seperti kemiskinan, penyakit
yang tak kunjung membaik, Kecemasan yang berlebihan, gangguan kecemasan
biasanya terjadi karena depresi, efek samping obat ataupun penghentian
konnsumsi suatu obat, Parafenia, merupakan suatu bentuk scizofenia yang
berbentuk pada rasa curiga yang berlebihan. Hal ini terjadi pada lansia yang
terisolasi atau menarik diri dari kehidupan sosial. Dan Sindroma diganose,
keadaan dimana seorang lansia menunjukan tingkah atau prilaku yang
mengganggu seperti bermain-main dengan urin atau menumpuk barang-
barangnya dengan tidak teratur.

Cara Menyikapi Perubahan Psikologi Lansia Hal penting dalam menyikapi


perubahan psikologi yang dialami lansia adalah peran penting keluarga dalam
membina kondisi psikisnya. Pada umumnya lansia yang masih memiliki
keluarga masih sangat beruntung karena masih memiliki keluarga yang merawat
dan memperhatikan dengan penuh kesabaran
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dan
penyesuaian diri dengan konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja
dan ada perbedaan yang konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja
berdasarkan tingkat pendidikan. Secara signifikan konflik peran ganda
perempuan menikah yang bekerja tingkat pendidikan S2 lebih tinggi daripada
tingkat pendidikan S1. Ketimpangan peran gender sebagai suatu permasalahan,
serta sisi gelap perilaku-perilaku yang di kaitkan dengan maskulin tidak bisa
hanya didekati melalui prespektif perempuan saja, namun juga harus secara
empati melihatnya dari sisi pria. Menurut teori dan paradigma konflik peran
gender, sosialisasi yang berlebihan dalam hal norma-norma maskulin, di tengah
lingkungan yang seksis dan patrichitlah yang berperan dalam hal peran gender,
diskriminasi terhadap wanita serta timbulnya sisi gelap perilaku yang di kaitkan
dengan maskulin seperti kekerasan terhadap wanita, perkosaan, pelecehan
seksual dan lain-lain. Konflik peran gender merupakan implikasi dari
permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidak sadaran atau perilaku
yang disebabkan oleh peran-peran gender yang dipelajari pada masyarakat. Bila
dilihat di Indonesia sendiri, konflik ke arah gender ini meningkat dari tahun-
tahun sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Benninga, J. S. (2003). EDUCATION IMPLEMENTATION AND ACADEMIC


ACHIEVEMENT IN ELEMENTARY SCHOOLS. 20 Journal of Research in
Character Education, 1(1), 19–32.
Mega Novi Utami, Uswatun Hasanah, T. (n.d.). , Uswatun Hasanah. Jurnal Kesejahteraan
Keluarga Dan Pendidikan, 971, 1–5. https://doi.org/DOI:
doi.org/10.21009/JKKP.031.02
Rahayu, D. I. (n.d.). MEMBENTUK KARAKTER BANGSA SEJAK USIA DINI. Jurnal
Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan, 06, 66–76. https://doi.org/DOI:
doi.org/10.21009/JKKP.061.09
Made, N., Widayani, D., & Hartati, S. (2014). KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
DALAM PANDANGAN PEREMPUAN BALI : STUDI FENOMENOLOGIS. 13(2), 149–
162.
Newman, C. J., Vries, D. H. De, Kanakuze, A., & Ngendahimana, G. (2011). Workplace
violence and gender discrimination in Rwanda ’ s health workforce : Increasing safety
and gender equality. 1–13.
Nasir, L. (2017). PERSAMAAN HAK : PARTISIPASI WANITA DALAM PENDIDIKAN
jumlah warga wajib sekolah dengan observasi , wawancara , mendapatkan. Jurnal
Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan, 17(1).
Sinaga, E. U., Muhariati, M., Pendidikan, S., Keluarga, K., Teknik, F., & Jakarta, U. N.
(n.d.). Hubungan intensitas komunikasi orang tua dan anak terhadap hasil belajar siswa.
Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan, 99, 1–5.
Schultz, C. L. (n.d.). Communication and Interpersonal Helping Skills : An Essential
Component in Physiotherapy Education ? Australian Journal of Physiotherapy, 34(2),
75–80. https://doi.org/10.1016/S0004-9514(14)60601-2
Wibowo, D. E. (2011). PERAN GANDA PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER. 3(1),
356–364.
Febriana, D. A. (n.d.). PERBEDAAN ANTARA POLA KOMUNIKASI ORANG TUA
DENGAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT dan INTROVERT PADA REMAJA
DI KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR. Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan
Pendidikan, 03, 1–6. https://doi.org/doi.org/10.21009/JKKP.032.05
Desiningrum, D. R. (2014). KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS LANSIA JANDA / DUDA
DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP DUKUNGAN SOSIAL. Jurnal Psikologi
Undip, 13(2), 102–106.
Sidi, P., & Sidi, P. (2014). KRISIS KARAKTER DALAM PERSPEKTIF TEORI
STRUKTURAL FUNGSIONAL. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan
Aplikas, 2, 72–81.
Apollo, a. cahyadi. (2012). KONFLIK PERAN GANDA PEREMPUAN MENIKAH YANG
BEKERJA DITINJAU DARI DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DAN
PENYESUAIAN DIRI Apollo1. Widya Warta, 000(02), 254–271.

Anda mungkin juga menyukai