Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki riwayat
pemanfaatan yang sangat panjang. Penyediaan BBM mulai kritis karena cadangannya
terbatas sedangkan sumber kayu bakar juga kritis karena luas kawasan hutan (terutama jawa)
sudah kurang dari persyaratan ideal. Jadi salah satu sumberenergi alternatif adalah batubara.
Akhir-akhir ini harga bahan bakar minyak dunia meningkat pesat yang berdampak pada
meningkatnya harga jual bahan bakar minyak termasuk Minyak Tanah di Indonesia.
Minyak Tanah di Indonesia yang selama ini di subsidi menjadi beban yang sangat
berat bagi pemerintah Indonesia karena nilai subsidinya meningkat pesat menjadi lebih dari
49 trilun rupiah per tahun dengan penggunaan lebih kurang 10 juta kilo liter per tahun. Untuk
mengurangi beban subsidi tersebut maka pemerintah berusaha mengurangi subsidi yang ada
dialihkan menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin.
Namun untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dalam hal ini Minyak Tanah
diperlukan bahan bakar alternatif yang murah dan mudah didapat.Briket batubara merupakan
salah satu bahan bakar padat alternatif yang terbuat dari batubara, bahan bakar padat ini
merupakan bahan bakar alternatifpengganti minyak tanah yang mempunyai kelayakan teknis
untukdigunakan sebagai bahan bakar rumah tangga, industri kecil ataupun menengah.
Briket Batubara merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari Batubara, bahan
bakar padat ini murupakan bahan bakar alternatif atau merupakan pengganti Minyak Tanah
yang paling murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal dalam waktu yang
relatif singkat mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana.
A. Briket Batubara
Briket Batubara adalah bahan bakar padat yang terbuat dari Batubara dengan sedikit
campuran seperti tanah liat dan tapioka. Briket Batubara mampu menggantikan sebagian dari
kegunaan Minyak Tanah sepeti untuk : Pengolahan Makanan, Pengeringan, Pembakaran dan
Pemanasan. Bahan baku utama Briket Batubara adalah Batubara yang sumbernya berlimpah
di Indonesia dan mempunyai cadangan untuk selama lebih kurang 150 tahun.
Teknologi pembuatan Briket tidaklah terlalu rumit dan dapat dikembangkan oleh
masyarakat maupun pihak swasta dalam waktu singkat. Sebetulnya di Indonesia telah
mengembangkan Briket Batubara sejak tahun 1994 namun tidak dapat berkembang dengan
baik mengingat Minyak Tanah masih disubsidi sehingga harganya masih sangat murah,
sehingga masyarakat lebih memilih Minyak Tanah untuk bahan bakar sehari-hari.
Namun dengan kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005, mau tidak mau
masyasrakat harus berpaling pada bahan bakar alternatif yang lebih murah seperti Briket
Batubara.
Semakin tinggi nilai kalorinya, panas yang dihasilkan akan semakin tinggi
Semakin tinggi nilai kalorinya, pembakaran akan semakin lama karena unsur zat yang
mudah terbakar (volatile matter) yang dikandungnya akan semakin sedikit
Semakin banyak komposisi batubaranya, pembakaran yang dihasilkan akan semakin
panas dan semakin lama
Semakin tinggi nilai kalorinya semakin sulit menyala, karena kadar volatile matternya
akan semakin sedikit
Semakin rendah nilai kalorinya, panas yang dihasilkan akan semakin berkurang dan lama
pembakaran akan semakin cepat. Batubara dengan nilai kalori rendah juga mengandung
banyak air sehingga menyulitkan dalam penyalaan, berasap dan panas yang berkurang.
Solusinya dengan cara pengeringan (mengurangi kadar air) dan dengan cara karbonisasi
(menaikkan kadar kalori batubara)
2. Biomassa (serbuk kayu keras), sebagai bahan untuk mempercepat dan memudahkan proses
pembakaran
Semakin banyak komposisi biomassa maka briket akan semakin mudah terbakar dan
pencapaian suhu maksimalnya akan semakin cepat
Kelemahannya semakin banyak komposisi biomassanya, lama pembakaran menjadi
semakin berkurang
Biomassa dapat diubah / diolah menjadi bio arang, yang merupakan bahan bakar
dengan tingkat nilai kalor yang cukup tinggi dan dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari
Semakin besar komposisi biomassa, maka kandungan emisi polutan CO dan polusi
HC akan semakin berkurang
Jenis tanah liat yang dipilih, harus mengandung unsur Kaulinik yaitu unsur yang
mempengaruhi kerekatan, kekerasan dan kekeringan
Semakin banyak komposisinya, briket yang dihasilkan akan semakin keras
Semakin banyak komposisinya, gas CO yang dihasilkan akan semakin sedikit
Dari hasil uji coba untuk ketahanan dan lama pembakaran, komposisi yang terbaik
untuk tanah liat adalah 10%
Pemilihan tepung tapioka yang baik juga diperlukan untuk mendapatkan daya rekat
yang kuat dan tidak mudah hancur
Pembuatan “adonan perekat” dari tepung tapioka dengan air juga harus diperhatikan
sehingga benar-benar matang dan kental. Setelah adonan jadi sebaiknya didinginkan
terlebih dahulu sehingga adonan tersebut benar-benar kental dan rekat
5. Molases
Molases diperoleh dari proses kristalisasi larutan tebu yang tidak dapat menghasilkan
gula lagi. Molases merupakan larutan kental berwarna coklatkehitaman yang dapat
digunakan sebagai bahan perekat untuk batubara dan bahancampurannya.
Pemilihan perekat berdasarkan pada:
a. perekat harus memiliki daya adhesi yang baik bila dicampur dengan semikokas;
b. perekat harus mudah didapat dalam jumlah banyak dan harganya murah;
c. perekat tidak boleh beracun dan berbahaya. (Subroto, 2006)
6. Kapur (lime), sebagai bahan imbuhan yang digunakan untuk mengikat racun dan
mengurangi bau belerang
Dari hasil uji coba, komposisi yang terbaik untuk kapur adalah 1%
Komposisi kapur juga perlu diperhatikan, karena apabila terlalu banyak akan
membuat panas pembakaran briket menjadi berkurang.
C. Jenis Briket Batubara
1. Jenis Berkarbonisasi (super), jenis ini mengalami terlebih dahulu proses dikarbonisasi
sebelum menjadi Briket. Dengan proses karbonisasi zat-zat terbang yang terkandung dalam
Briket Batubara tersebut diturunkan serendah mungkin sehingga produk akhirnya tidak
berbau an berasap, namun biaya produksi menjadi meningkat karena pada Batubara tersebut
terjadi rendemen sebesar 50%. Briket ini cocok untuk digunakan untuk keperluan rumah
tangga serta lebih aman dalam penggunaannya.
2. Jenis Non Karbonisasi (biasa), jenis yang ini tidak mengalamai dikarbonisasi sebelum
diproses menjadi Briket dan harganyapun lebih murah. Karena zat terbangnya masih
terkandung dalam Briket Batubara maka pada penggunaannya lebih baik menggunakan
tungku (bukan kompor) sehingga akan menghasilkan pembakaran yang sempurna dimana
seluruh zat terbang yang muncul dari Briket akan habis terbakar oleh lidah api dipermukaan
tungku. Briket ini umumnya digunakan untuk industri kecil.
Produsen terbesar Briket Batubara di Indonesia saat ini adalah PT. Tambang Batubara
Bukit Asam (Persero), atau PT. BA yang mempunyai 3 pabrik yaitu di Tanjung Enim
Sumatera Selatan, Bandar Lampung dan Gresik Jawa Timur dengan kapasitas terpasang
115.000 ton per tahun.
Disamping PT. BA terdapat beberpa perusahaan swasta lain yang meproduksi Briket
Batubara namun jumlahnya jauh lebih kecil dibanding PT. BA dan belum berproduksi secara
kontinyu. Dengan adanya kenaikan BBM khususnya Minyak Tanah dan Solar, tentunya
penggunaan Briket Batubara oleh kalangan rumah tangga maupun industri kecil/menengah
akan lebih ekonomis dan menguntungkan, namun demikian kemampuan produksi dari PT.
BA. masih sangat kecil, untuk mengatasi kekurangan tersebut diharapkan partisipasi serta
keikutsertaan pihak swasta untuk memproduksi dan mensosialisasikan penggunaan Briket
Batubara disetiap daerah.
Lebih murah
Panas yang tinggi dan kontinyu sehingga sangat baik untk pembakaran yang lama
Tidak beresiko meledak/terbakar
Tidak mengeluarkan sauara bising serta tidak berjelaga
Sumber Batubara berlimpah
Namun demikian Briket memiliki keterbatasan yaitu waktu penyalaan awal memakan
waktu 5 – 10 menit dan diperlukan sedikit penyiraman minyak tanah sebagai
penyalaan awal, Briket Batubara hanya efisien jika digunakan untuk jangka waktu
datas 2 jam. (sumber ; pt. ba, bppt)
Parameter Antara Minyak Tanah dan Briket
Briket bentuk telur cocok untuk keperluan rumah tangga atau rumah makan, sedangkan
bentuk kubus dan selinder digunakan untuk kalangan industri kecil/menengah.
Bahan baku batubara dan tanah liat dalam keadaan kering (dijemur terlebih dahulu),
sehingga kadar airnya rendah.
Bahan baku batubara dan tanah liat “di-crusher” dan “di-screen” terlebih dahulu
dengan menggunakan lubang saringan yang kecil dari 3 mm2
Memperbesar komposisi biomassa (serbuk kayu keras), karena biomassa dapat
membantu mempercepat proses penyalaan
Briket batubara yang sudah dicetak harus dikeringkan terlebih dahulu dengan cara
dijemur atau dipanaskan dengan “oven” sebelum dikemas dalam karung. Hal ini
untuk menghindari briket lembab saat digunakan nantinya
Semua bahan diusahakan dalam keadaan kering, karena kelembaban dan kadar air
yang banyak menyebabkan asap yang banyak dan berbau
Pemberian angin atau menggunakan cerobong pada saat penyalaan awal akan
membantu briket cepat menjadi bara sehingga asap dan bau yang dihasilkan dari
pembakaran briket tersebut juga akan berkurang
Penambahan unsur kapur dalam komposisi briket. komposisi terbaik untuk kapur 1%.
Hal ini juga akan mengurangi kadar asap dan bau
Pemberian biomassa juga akan membantu mempercepat batubara menjadi bara
sehingga asap dan bau akan cepat berkurang
Dengan cara batubara dikarbonisasi terlebih dahulu, karena dengan proses
karbonisasi, telah membuang sebagian zat terbang dan gas-gas sisa pembakaran
Pemilihan tanah liat yang baik yang mengandung unsur kaulinik sehingga mempunyai
daya rekat dan kekerasan yang tinggi serta cepat kering
Penghancuran (crusher) dan penyaringan (screen) bahan baku juga berpengaruh
terhadap kekerasan hasil cetak. Semakin kecil partikel bahan baku akan membuat
partikel tercampur (mixer) lebih merata dan padat serta tidak mudah hancur
Pemilihan tepung tapioka dan pembuatan “adonan tapioka” yang baik sehingga
didapatkan campuran adonan tapioka yang kental dan mempunyai daya rekat yang
baik
Penjemuran atau peng-oven-an hasil briket sampai benar-benar kering sebelum
dikemas dalam karung. Untuk mengurangi briket yang hancur dan mutu yang buruk
saat pengiriman dan pemakaian
Pemilihan lokasi pabrik yang dekat dengan sumber bahan baku dan konsumen. Hal ini
akan mempengaruhi harga jual sehingga lebih mudah bersaing di pasar
Proses produksi yang baik dan benar, untuk mengurangi kegagalan produksi atau
“complain” dari konsumen
“Quantity” produksi yang besar akan menurunkan biaya produksi
1. Tanpa Karbonisasi
- Batubara ukuran 170 mesh ditimbang sebanyak 50 gr dan ditampung di dalam beaker glass
500ml
- Sekam padi ditimbang sebanyak 5 gr, lalu dicampurkan dengan beaker glass yang sama
dengan batubara
- Adonan tepung tapioka dibuat dengan cara mencampurkan air sebanyak 30ml dan 5 gr
tepung tapioka. Adonan dibuat hingga menyerupai lem.- Dilakukan pencampuran antara
ketiga jenis bahan tersebut dan diaduk rata, selanjutnya ditempatkan pada cetakan briket
batubara yang telah dipersiapkan sebelumnya.
- Campuran tersebut dicetak dengan menggunakan alat press, setelah jadi maka briket
tersebut dijemur selama 1 jam baru kemudian siap digunakan.
2. Dengan Karbonisasi
- Batubara ukuran 170 mesh ditimbang sebanyak 50 gr dan dimasukkan ke dalam krusibel
- Krusibel tersebut dipanaskan di dalam oven pada suhu 110oC selama 2 jam
- Krusibel dikeluarkan dari dalam oven lalu selanjutnya batubara hasil pemanasan tersebut
ditimbang sebanyak 50 gr dan ditempatkan pada beaker glass
- Sekam padi ditimbang sebanyak 5 gr, lalu dicampurkan dengan beaker glass yang sama
dengan batubara
- Adonan tepung tapioka dibuat dengan cara mencampurkan air sebanyak 30ml dan 5 gr
tepung tapioka. Adonan dibuat hingga menyerupai lem.
- Dilakukan pencampuran antara ketiga jenis bahan tersebut dan diaduk rata, selanjutnya
ditempatkan pada cetakan briket batubara yang telah dipersiapkan sebelumnya.
- Campuran tersebut dicetak dengan menggunakan alat press, setelah jadi maka briket
tersebut dijemur selama 1 jam baru kemudian siap digunakan.
H.Analisa Briket
Pada prinsipnya pembuatan karbon aktif terdiri atas tiga proses sebagai berikut :
2. Proses Karbonisasi
Proses karbonisasi adalah proses perlakuan panas pada kondisi oksigen yang sangat
terbatas (pirolisis) terhadap bahan dasar (bahan organik). Proses pemanasan tersebut
menyebabkan terdekomposisinya bahan dan lepasnya komponen yang mudah menguap dan
karbon mulai membentuk struktur pori-pori. Dengan demikian bahan dasar tersebut telah
mimiliki luas permukaan tetapi penyerapannya masih relatif kecil karena masih terdapat
residu tar dan senyawa lain yang menutupi pori-pori. Bahan dasar hasil karbonisasi disebut
dengan karbon atau arang.
Menurut Yang dkk, 2003, proses karbonisasi dilakukan pada temperatur 400-500 oC
sehingga material yang mudah menguap yang terkandung pada bahan dasar akan hilang.
Sedangkan menurut Satish, (2003) proses karbonisasi dilakukan pada temperatur kurang dari
800 oC. Hsisheng, (1996) dalam penelitiannya melakukan karbonisasi pada temperatur 800-
950 oC. Nugroho Y, (2000) dalam penelitiannya diperoleh batubara Tanjung Enim akan
habis kandungan senyawa yang mudah menguap (volatile matter) pada kisaran temperature
850-950 oC.
3. Proses Aktivasi
Proses aktivasi adalah proses perlakuan panas dengan jumlah oksigen yang sangat
terbatas (pirolisis) terhadap produk karbon. Proses aktivasi ini menyebabkan terjadinya
pelepasan hidrokarbon, tar dan senyawa organik yang masih melekat pada karbon hasil
karbonisasi. Menurut Sontheimer, 1985 pada proses aktivasi terjadi pembentukan pori-pori
yang masih tertutup dan peningkatan ukuran serta jumlah pori-pori kecil yang telah
terbentuk. Dengan demikian karbon aktif hasil aktivasi memiliki luas permukaan internal
yang lebih besar. Karbon hasil aktivasi disebut juga dengan karbon aktif.
Proses aktivasi merupakan proses yang terpenting karena sangat menentukan kualitas karbon
aktif yang dihasilkan baik luas area permukan maupun daya adsorpsinya. Proses aktivasi
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aktivasi kimia dan aktivasi fisika.
1. Aktivasi Kimia
Aktivasi kimia biasanya digunakan untuk bahan dasar yang mengandung sellulosa
dan menggabungkan antara tahap karbonisasi dan tahap aktivasi. Zat kimia yang dapat
mendehidrasi seperti phosforic acid (H3PO4) atau KOH ditambahkan ke bahan dasar pada
temperatur yang telah dinaikkan. Produk ini kemudian akan mengalami pirolisis termal yang
mendegradasi selulosa lalu didinginkan dan terakhir agen aktivasinya diekstraksi. Biasanya
hasil proses ini adalah karbon aktif bubuk densitas rendah. Aktivasi kimia ini bertujuan
mengurangi pembentukan pengotor dan produk samping dengan cara merendam bahan
mentah dalam senyawa kimia. Menurut Yang dkk, (2003) proses aktivasi kimia dilakukan
pada temperatur 500-900 oC dan activating agent yang digunakan bervariasi
seperti phosphoric acid, zinc chloride, potassium sulfide, KOH dan NaOH.
2. Aktivasi Fisika
Aktivasi fisika disebut juga aktivasi termal. Menurut Satish, (2003) aktivasi fisika
adalah proses untuk mengembangkan struktur pori dan memperbesar luas permukaan karbon
aktif dengan perlakuan panas pada temperature 800-1000 oC dengan mengalirkan gas
pengoksidasi seperti uap atau karbondioksida. Hasil dari proses aktivasi dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain laju kenaikan temperatur, laju aliran inert gas, temperatur
proses, activating agent, lama proses aktivasi dan alat yang digunakan pada penelitian
tersebut (Marsh dkk, 2006)
Hsisheng, (1996) melakukan penelitian pembuatan karbon aktif dari tiga jenis
batubara antracit pada temperatur aktivasi 900 oC dengan variasi waktu sampai 200 menit dan
menggunakan CO2 sebagaiactivating agent. Diperoleh bahwa semakin lama proses aktivasi
dilakukan maka semakin besar kandungan batubara yang berkurang dan menghasilkan luas
permukaan yang semakin besar.
Bahan dasar yang telah melalui proses karbonisasi dan aktivasi disebut dengan karbon
aktif. Karbon aktif merupakan jenis adsorben yang paling banyak digunakan sebab adsorben
jenis ini dinilai memiliki luas permukaan yang besar dan daya adsorpsi yang paling baik
diantara jenis adsorben lainnya (Cabe. dkk, 1999).
Batubara merupakan energi yang cukup andal untuk menambah pasokan bahan bakar
minyak mengingat cadangannya yang cukup besar. Dalam perkembangannya, batubara
diharapkan dapat menjadi jembatan dari energi konvensional (terutama minyak) ke energi
non-konvensional yang lebih bersih dan dapat diperbarui. Namun kualitas batubara Indonesia
yang pada umumnya didominasi oleh batubara peringkat rendah (lignit), yaitu sekitar 70%
dari total sumber daya, belum banyak dieksploitasi karena masih mengalami kendala dalam
transportasi dan pemanfaatan. Batubara peringkat rendah ini mempunyai kandungan air total
cukup tinggi sehingga nilai kalor menjadi rendah. Dengan demikian diperlukan teknologi
khusus untuk memanfaatkan batubara peringkat rendah tersebut agar dapat bersaing dengan
batubara peringkat tinggi yang cadangannya sudah mulai menipis.
Bertolak dari kondisi di atas, timbul pemikiran bagaimana menanggulangi tingginya
kadar air dalam batubara. Apakah air lembab dalam batubara dapat di kurangi dengan hanya
memanaskan batubara tersebut sehingga airnya keluar berupa uap, atau apakah pengurangan
kadar air dengan cara ini bersifat permanen, artinya akan tetap stabil setelah disimpan sekian
lama.
Beberapa penelitian untuk mengurangi kadar air telah dilakukan sejak tahun 1920-an
di Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan lain-lain (Suwono, 2000). Salah satu di antaranya
adalah teknologi Upgraded Brown Coal (UBC) yang merupakan teknologi peningkatan
kualitas (upgrading) batubara peringkat rendah melalui penurunan kadar air total yang
dikembangkan oleh Kobe Steel Ltd., Jepang. Keuntungan teknologi ini antara lain karena
proses berlangsung pada temperatur dan tekanan rendah. Untuk mencegah masuknya kembali
air ke dalam batubara, maka dalam proses ditambahkan minyak residu untuk melapisi pori-
pori pada partikel batubara.
Berdasarkan penelitian proses UBC skala labratorium di Puslitbang tekMIRA
(Datin, 2002) dan skala bench di Kobe Steel Ltd., Kakogawa, Jepang, (Shigehisa, 2000),
beberapa batubara peringkat rendah yang berasal dari Indonesia dapat ditingkatkan
kualitasnya.
Dalam proses UBC, batubara dibuat slurry dengan menggunakan minyak tanah yang
dicampur dengan minyak residu, kemudian dipanaskan pada temperatur 150˚C dan tekanan
sekitar 3,5 atm (Deguchi,1999). Batubara hasil proses dipisahkan, dikeringkan, dan dibuat
briket. Campuran minyak tanah dan residu dapat digunakan kembali untuk proses
selanjutnya. Penambahan minyak residu diperlukan untuk menutup pori-pori batubara yang
terbuka sehingga air yang telah keluar tidak akan terserap kembali.
PROSES UBC
Air yang terkandung dalam batubara terdiri atas air bebas (free moisture) dan air
bawaan (inherent moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara mekanik dengan
batubara pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan uap normal.
Sedangkan air bawaan adalah air yang terikat secara fisik pada struktur pori-pori bagian
dalam batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih rendah daripada tekanan normal.
Kandungan air dalam batubara, baik air bebas maupun air bawaan, merupakan faktor yang
merugikan karena memberikan pengaruh yang negatip terhadap proses pembakarannya.
Penurunannya kadar air dalam batubara dapat dilakukan dengan cara mekanik atau perlakuan
panas.
Pengeringan cara mekanik efektif untuk untuk mengurangi kadar air bebas dalam
batubara basah, sedangkan penurunan kadar air bawaan harus dilakukan dengan cara
pemanasan. Salah satu proses dengan cara ini adalah UBC (Upgraded brown coal) yang
diperkenalkan oleh Kobe Steel Ltd., Jepang. Bagan air proses UBC (Kobelco, Ltd., 2000)
Proses UBC dilakukan pada temperatur sekitar 150˚C sehingga pengeluaran tar dari
batubara belum sempurna. Untuk itu perlu ditambahkan zat aditif sebagai penutup permukaan
batubara, seperti kanji, tetes tebu (mollase), slope pekat (fuse oil), dan minyak residu. Untuk
proses UBC, sebagai aditif digunakan minyak residu yang merupakan senyawa organik yang
beberapa sifat kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara. Dengan kesamaan sifat
kimia tersebut, minyak residu yang masuk ke dalam pori-pori batubara akan kering,
kemudian bersatu dengan batubara.
Lapisan minyak ini cukup kuat dan dapat menempel pada waktu yang cukup lama
sehingga batubara dapat disimpan di tempat yang terbuka untuk jangka waktu yang cukup
lama (Couch, 1990). Gambar 2 menunjukan sifat permukaan batubara sebelum dan sesudah
proses pengeringan