1.1 Definisi
Gingivitis merupakan suatu inflamasi yang melibatkan jaringan lunak di sekitar gigi
yaitu jaringan gingiva (Manson, 2013). Gambaran klinis gingivitis adalah munculnya warna
kemerahan pada margin gingiva, pembesaran pembuluh darah di jaringan ikat subepitel,
hilangnya keratinisasi pada permukaan gingiva dan pendarahan yang terjadi pada saat
dilakukan probing (Lang, 2009).
Penyebab utama terjadinya inflamasi gingiva adalah adanya akumulasi bakteri plak
yang bersifat patogen. Plak merupakan lapisan tipis biofilm yang mengandung bakteri,
produk metabolisme bakteri, dan sisa makanan. Akumulasi plak ini akan merangsang respon
inflamasi pada gingiva yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada daerah akumulasi
sejumlah organisme patogen (Newman, 2012). Proses infeksi ini dimulai dari adanya invasi
oral patogen yang berkolonisasi pada biofilm plak gigi. Bakteri yang menginvasi didominasi
oleh spesies bakteri obligat anaerob gram negatif seperti Porphyromonas gingivais, Prevotella
intermedia, Tannerella forsythia, Fusobacterium nucleatum, Campylobacterrectus, serta
fakultatif anaerob gram negatif seperti Actinobacillus actinomycetemcomitans dan Eikenella
corrodens (Lamont dkk., 2010; Samaranayake, 2012).
Pencegahan penyakit gingivitis adalah berusaha agar bakteri dan plak pada
permukaan gigi tidak diberi kesempatan untuk bertambah dan harus dihilangkan. Tetapi
untuk melakukannya harus dengan cara teratur dan berkesinambungan, diperlukan
kedisiplinan pribadi dari masingmasing orang. Caranya dengan menjaga kebersihan gigi dan
mulut yaitu menyikat gigi secara teratur setiap selesai makan dan sebelum tidur, mengatur
pola makan dan menghindari makanan merusak gigi yaitu makanan yang banyak
mengandung gula, menggunakan obat kumur agar sela-sela kecil gigi bersih dari bakteri dan
perbanyak minum air putih serta periksa gigi sekali enam bulan ke puskesmas dan dokter gigi
(Fione dkk, 2013).
Gambar 5. Teknik menggunakan benang gigi. Ujung benang digulungkan pada jari tengah.
Panjang benang cukup jika ibu jari kedua tangan dapat bersentuhan pada posisi telapak tangan datar.
Ibu jari dan jari telunjuk menggerakkan benang. Benang dibentuk menyerupai huruf C dan digerakkan
Posisi anak dan orang tua juga merupakan hal yang penting untuk diketahui.
Salah satu metode yang dilakukan adalah orang tua berdiri di belakang anak dan
keduanya menghadap ke arah yang sama. Kepala anak bersandar pada salah satu
lengan orang tua dan lengan lainnya menyikat gigi anak. Tangan yang tidak menyikat
gigi dapat digunakan untuk menarik pipi anak (Gambar 6). Penggunaan agen kontrol
plak secara umum tidak dianjurkan (McDonald, 2011).
Gambar 6. Posisi membersihkan gigi anak kelompok usia prasekolah (McDonald, 2011).
Pada usia sekolah (usia 6-12 tahun), anak dapat lebih bertanggung jawab
terhadap kebersihan gigi dan mulutnya. Keterlibatan orang tua masih dibutuhkan.
Namun, orang tua beralih peran sebagai pengawas aktif. Pada paruh kedua tahap ini,
mayoritas anak telah mampu melakukan pembersihan gigi mulut dasar (menyikat gigi
dan penggunaan benang gigi). Orang tua dapat membantu menyikat gigi atau
membantu penggunaan benang gigi pada daerah-daerah yang sulit dijangkau. Orang
tua harus secara aktif memeriksa gigi anak secara rutin. Penggunaan agen disclosing
setelah anak menyikat gigi sangat bermanfaat untuk memvisualisasi plak yang belum
dibersihkan dengan baik. Pada usia ini, penggunaan pasta gigi berfluoride sangat
penting. Gel fluoride ataupun fluoride kumur dapat diberikan pada anak dengan risiko
karies. Penggunaan klorheksidin dapat dianjurkan bagi anak dengan risiko karies dan
penyakit periodontal yang tinggi (McDonald, 2011). Pada kelompok usia ini juga
dapat diajarkan teknik menyikat gigi dengan teknik Bass. Teknik Bass ini
menekankan penempatan ujung bulu sikat di bagian margin gingiva untuk
membersihkan plak supragingiva dan subgingiva. Sikat gigi ditempatkan pada bidang
oklusal mencakup tiga sampai empat gigi dan dimulai dari gigi yang terletak paling
distal. Kemudian, bulu sikat ditempatkan pada margin gingiva dengan sudut 45 0
terhadap sumbu panjang gigi (Gambar 7). Lalu, dilakukan gerakan memutar pendek
ke arah depan dan belakang tanpa mengangkat ujung bulu sikat. Gerakan ini
menyebabkan bulu sikat masuk ke area sulkus gingiva dan sebagian area
interproksimal gigi (Gambar 8) (Baruah, 2017; Newman, 2012).
Gambar 7. Metode Bass: Bulu sikat ditempatkan 450 terhadap sumbu panjang gigi. Menyikat
dilakukan dengan gerakan memutar ke depan dan ke belakang (Newman, 2012).
Gambar 8. Metode Bass: Posisi bulu sikat pada area margin gingiva. Bulu sikat sedikit
memasuki sulkus gingiva (Newman, 2012).
Selain melakukan pembersihan plak dengan sikat gigi dan benang gigi, dokter
gigi memberikan edukasi terhadap diet yang dikonsumsi anak. Walaupun sering
diabaikan oleh dokter gigi, diet adalah faktor risiko karies paling penting. Pencatatan
riwayat asupan makanan sangat berguna dalam mengidentifikasi anak dengan risiko
karies tinggi. Mengubah kebiasaan makan seseorang merupakan tantangan yang sulit.
Oleh karena itu, nasihat harus diberikan secara individual, praktis, dan realistis.
Nasihat yang diberikan adalah frekuensi makan lebih penting untuk diperhatikan
dibandingkan kuantitas makanan. Peningkatan frekuensi makan menyebabkan
peningkatan durasi paparan asam hasil fermentasi bakteri pada permukaan gigi. Oleh
karena itu, mengudap antar jam makan utama sebaiknya dihindari. Konsumsi
minuman bersoda, jus buah dan minuman olahraga yang terlalu sering sebaiknya
dihindari. Minuman tersebut bersifat kariogenik, sangat erosif dan tinggi kalori.
Apabila anak berhasil mengikuti nasihat, permen dapat digunakan sebagai imbalan.
Namun, harus dibatasi hanya pada saat makan utama. Edukasi juga diberikan pada
orang tua bahwa makanan dengan label “no added sugar” mengandung gula alami
yang tinggi. Sebaiknya nasihat diet yang diberikan tidak seluruhnya negatif, alternatif
postitif juga harus diberitahu seperti mengunyah permen karet bebas gula yang dapat
meningkatkan laju alir saliva, membantu remineralisasi serta mencegah
demineralisasi. Nasihat terbaik adalah “berikan gigimu waktu istirahat” yaitu
setidaknya diberi jeda 2 jam antara waktu makan dan kudapan (Cameron, 2013).
Selanjutnya, kontrol berkala sangat penting dilakukan untuk mencegah karies
dan gingivitis. Interval kontrol berkala ditentukan sesuai faktor risiko karies dan
faktor risiko gingivitis anak.
2. Profilaksis Oral
Profilaksis oral mengacu pada teknik-teknik yang digunakan oleh dokter gigi
untuk menghilangkan plak, noda, dan kalkulus dari gigi pasien. Dengan demikian,
profilaksis gigi juga berguna untuk mencegah karies dan gingivitis. Profilaksis oral
terdiri dari penggunaan sikat gigi, brush atau rubber cup, instumen tangan seperti
sickle scaler dan kuret, ultrasonic scaler, dan benang gigi.
3. Terapi Fluoride
Fluoride telah menjadi solusi pencegahan karies selama hampir 60 tahun yaitu
sejak fluoridasi air pertama di AS pada akhir tahun 1940 dan awal tahun 1950. Prinsip
kerja fluoride adalah efek topikalnya terhadap permukaan email gigi. Fluoride dapat
meningkatkan remineralisasi dan menurunkan tingkat demineralisasi. Ion fluoride
menggantikan beberapa gugus hidroksil pada hidroksiapatit untuk membentuk
fluorapatit. Fluorapatit lebih sulit larut maka ketika terjadi remineralisasi, email akan
menjadi lebih resisten terhadap karies. Fluoride juga memiliki pengaruh terhadap
proses glikolisis mikroorganisme sehingga mengurangi produksi asam oleh bakteri
dan mempengaruhi metabolisme enzimatik karbohidrat yang menyebabkan penurunan
akumulasi polisakarida dan jumlah plak (McDonald, 2008; Cameron, 2013).
Metode pemberian fluoride terdiri dari fluoridasi komunitas, fluoride topikal
untuk pemakaian di rumah dan aplikasi fluoride yang dilakukan oleh tenaga
profesional atau dokter gigi. Pemberian fluoride tingkat komunitas dapat dilakukan
dengan fluoridasi air minum, garam, dan susu. Di Indonesia, metode pemberian fluor
komunitas belum diIakukan. Yang paling umum dilakukan adalah metode pemberian
secara profesional oleh tenaga kesehatan. Namun, fluoridasi air merupakan metode
yang efektif, efisien, dan aman dalam pencegahan karies. Konsentrasi fluoride pada
air sekitar 0,8-1 ppm. Prevalensi karies pada komunitas dengan air yang mengandung
fluoride berkurang sekitar 20-40%. Garam dengan fluoride merupakan alternatif
sumber fluoride komunitas di beberapa negara seperti Spanyol, Hungaria, Perancis,
dan sebagian wilayah Brazil. Jumlah fluoride yang ditambahkan adalah 250 g F/kg
garam (250 ppm). Penggunaan susu dengan fluoride jarang digunakan karena sulitnya
logistik dan adanya pasta gigi berfluoride sebagai pilihan yang lebih baik (Cameron,
2013).
Metode pemberian fluoride untuk pemakaian di rumah terdiri dari pasta gigi
yang mengandung fluoride, fluoride kumur, tooth mousse (Casein Phosphopeptide-
Amorphous Calcium Phosphate), tablet fluoride, dan gel stannous fluoride.8
Penggunaan pasta gigi fluoride merupakan metode yang paling umum dan praktis.
Fluoride yang terkandung di dalam pasta gigi dapat berupa sodium fluoride, sodium
monofluorophosphate (MFP), dan stannous atau amine fluoride. Penggunaan pasta
gigi fluoride telah terbukti mengurangi prevalensi karies sebanyak 25% di berbagai
negara. Anak usia di atas 6 tahun dianjurkan menggunakan pasta gigi dengan
konsentrasi fluoride sebesar 1000-1450 ppm. Anak usia di atas 10 tahun yang
memiliki risiko karies tinggi atau memiliki lesi karies aktif dianjurkan menggunakan
pasta gigi dengan konsentrasi fluoride >1400 ppm (Cameron, 2013).
Program kumur fluoride di sekolah telah berkurang karena adanya pasta gigi
berfluoride yang digunakan secara luas untuk mencegah karies. Program kumur ini
dapat diterapkan di daerah terpencil karena harga pasta gigi yang relatif mahal.
Terdapat dua jenis metode kumur fluoride yaitu metode kumur harian dengan
menggunakan 0,05% sodium fluoride (200 ppm F-) dan kumur per minggu dengan
menggunakan 0,2% sodium fluoride (900 ppm F-). Metode kumur harian lebih umum
digunakan karena lebih mudah untuk dilakukan. Berkumur fluoride dilakukan di
waktu yang berbeda dengan waktu menyikat gigi, fluoride kumur dianjurkan
dilakukan sepulang sekolah. Larutan kumur fluoride baik digunakan untuk anak yang
menjalani perawatan ortodontik, anak dengan hiposalivasi karena medikasi dan
disfungsi kelenjar saliva, anak dengan kondisi sistemik sehingga karies menjadi
masalah kesehatan serius misalnya pada kondisi penyakit kardiovaskular, anak
dengan lesi karies aktif dan anak yang tidak mampu menyikat gigi.
Tablet fluoride tidak umum digunakan karena penggunaan pasta gigi yang
mengandung fluoride telah luas. Selain itu, studi menemukan kepatuhan penggunaan
tablet fluoride masih rendah. Konsumsi hingga 1 mg fluoride dalam 1 tablet dapat
menyebabkan fluorosis. Oleh karena itu penggunaan rutin tablet fluoride tidak lagi
disarankan (Cameron, 2013).
Gel stannous fluoride (SnF2) dengan karier metilselulosa dan gliserin dapat
digunakan di rumah untuk remineralisasi lesi putih dan lesi hipomineralisasi. Gel ini
mengandung 1.000 ppm ion F- dan 3.000 ppm ion Sn2+. Penggunaan 0,4% gel
stannous fluoride terbukti dapat menghentikan perkembangan karies. Orang tua
mengaplikasikan gel stannous fluoride pada permukaan gigi yang kering dengan
cotton bud. Orang tua harus memahami dengan baik instruksi penggunaan gel yaitu
gel diberikan setelah anak menyikat gigi dengan bersih dan anak tidak makan dan
minum selama 30 menit setelah pemberian gel SnF2 (Cameron, 2013).
Terapi fluoride yang dilakukan oleh tenaga profesional atau dokter gigi terdiri
dari fluoride varnish, concentrated fluoridated gel, acidulated phosphate fluoride
(APF) gel, neutral sodium fluoride gel, dan larutan stannous fluoride. Fluoride
varnish dikembangkan untuk memperlama masa kontak antara fluoride dan email.
Bahan ini dapat menurunkan risiko karies lebih dari 40%. Indikasi fluoride varnish
adalah hipersensitif email dan dentin, sebagai alternatif penutupan fisur gigi molar
permanen yang baru erupsi pada anak yang kurang kooperatif, pengenalan perawatan
gigi pada pasien anak yang cemas, remineralisasi lesi putih, pencegahan karies pada
anak dengan karies aktif pada gigi sulung dan/atau gigi permanen, tindakan preventif
pada anak dengan penyakit sistemik dan berkebutuhan khusus (Cameron, 2013).
Penggunaan fluoride varnish untuk mencegah karies memerlukan jangka
waktu panjang maka sebaiknya diaplikasikan minimal tiga kali dalam satu tahun
untuk efek optimal. Bahan ini dapat diaplikasikan secara praktis. Profilaksis rutin
tidak harus dilakukan karena adanya plak tidak mempengaruhi penyerapan fluoride.
Gigi dikeringkan terlebih dahulu untuk meningkatkan adhesi dan penyerapan fluoride.
Produk fluoride varnish yang tersedia di pasaran adalah Duraphat yang mengandung
50 mg NaF/mL (5% NaF, 22.600 ppm ion F -). Jumlah yang dianjurkan adalah 0,25
mL (6 mg ion F-) untuk gigi sulung, 0,40 mL (9 mg ion F -) untuk periode campur, dan
0,75 mL (17 mg ion F-) untuk gigi permanen. Bahan ini dapat melepas fluoride secara
perlahan pada gigi selama 12-48 jam setelah aplikasi (Cameron, 2013).
Concentrated fluoridated gel digunakan untuk preventif dan perawatan. Gel
fluoride yang tertelan dapat menyebabkan fluorosis ringan sehingga produk ini harus
digunakan dengan sangat hati-hati dan tidak digunakan pada anak usia di bawah 10
tahun. Gel konsentrasi tinggi (9.000 – 12.300 ppm ion F -) terbatas untuk penggunaan
profesional, sedangkan gel konsentrasi lebih rendah (1.000 ppm ion F-) dapat
digunakan di rumah dengan anjuran profesional. Penggunaan produk ini sudah
berkurang karena adanya fluoride varnish yang lebih praktis (Cameron, 2013).
Gel acidulated phosphate fluoride (APF) mengandung 12.300 ppm ion F-,
terdiri dari campuran sodium fluoride, hydrofluoric acid, dan orthophosphoric acid.
Terdapat juga gel dengan kandungan 5.000 ppm ion F- yang terdiri dari sodium
fluoride, phosphoric acid, dan sodium phosphate monobasic. Gel APF konsentrasi
tinggi hanya terbatas untuk penggunaan profesional. Langkah penggunaan APF
adalah pertama dilakukan pembersihan gigi atau profilaksis oral. Kemudian, isolasi
per regio untuk memudahkan kontrol saliva. Sepertiga tray aplikator diisi dengan gel
APF (kurang lebih 3-9 gram gel per 2 regio). Lalu, tray diletakkan pada rahang dan
pasien diinstruksikan untuk mengigit ringan tray selama 1-4 menit. Tray dikeluarkan
dan pasien membuang residu gel. Pasien diberikan instruksi untuk tidak berkumur,
minum atau makan selama 30 menit setelah aplikasi untuk mendapatkan keuntungan
maksimal (Cameron, 2013).
Gel neutral sodium fluoride dapat digunakan untuk kasus erosi email, dentin
tereskpos, karies dentin, dan permukaan email yang sangat porus seperti kasus
hipomineralisasi. Sodium fluoride yang diaplikasikan pada permukaan gigi akan
berinteraksi dengan kristal hidroksiapatit secara cepat untuk membentuk kalsium
fluoride. Kalsium fluoride bereaksi dengan hidroksiapatit untuk membentuk
fluoroapatit yang akan meningkatkan konsentrasi fluoride. Peningkatan konsentrasi
fluoride pada permukaan gigi akan menghasilkan struktur gigi menjadi lebih stabil
dan lebih resisten terhadap serangan karies. Hal tersebut juga akan membantu proses
remineralisasi pada daerah dekalsifikasi awal. Contoh produk ini adalah 2% gel
neutral NaF dengan kandungan 9000 ppm ion F−. Sodium fluoride stabil secara
kimiawi, rasanya dapat diterima, dan tidak mengiritasi gingiva. Produk ini tidak
menyebabkan diskolorasi gigi, resin komposit, dan restorasi porselen. Berbeda dengan
acidulated phosphate fluoride (APF) dan stannous fluoride yang dapat menyebabkan
diskolorasi. Gel sodium fluoride merupakan pilihan pada gigi yang terdapat restorasi
GIC, resin komposit atau porselen karena bahan yang asam dapat mengikis restorasi
tersebut (Cameron, 2013).
Larutan stannous fluoride konsentrasi 10% dapat digunakan untuk permukaan
gigi dengan risiko karies seperti pit dan fisur yang dalam atau lesi putih. Selain dapat
bereaksi dengan hidroksiapatit, larutan stannous fluoride juga dapat menyebabkan
reaksi antara tin dan email sehingga terbentuk stannous tri-fluorophosphate yang
lebih tahan terhadap serangan karies. Tin hydroxyl phospate dapat larut dalam cairan
mulut sehingga menimbulkan rasa logam. Tin trifluorophosphate adalah hasil akhir
reaksi antara tin dan email yang bertanggung jawab memperkuat struktur gigi. Selain
itu, dapat pula terbentuk kalsium fluoride yang mampu bereaksi dengan hidroksiapatit
untuk menghasilkan beberapa fluorhidroksiapatit. Namun, SnF saat ini sudah jarang
digunakan karena memiliki berbagai kekurangan misalnya rasa yang tidak enak
karena dapat menimbulkan rasa logam serta dapat menyebabkan diskolorasi gigi
akibat adanya reaksi antara ion Sn dan sulfida dari makanan (Cameron, 2013).
1. Alpers A., 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. American Dental Association. (2007). A Look at Toothbrush. Journal of American
Dental Association, 138, 1288.
3. Baruah, K. (2017). A review on toothbrushes and tooth brushing methods. International
Journal of Pharmaeutical Science Invention, 6(5), 29–38.
4. Centre for Oral Health Strategy. (2014). Early Childhood Oral Health Guidelines for
Child Health Professionals, 3rd Edition. North Sydney.
5. Cameron, A. C., & Widmer, R. P. (2013). Handbook of Pediatric Dentistry (4th ed.).
Canberra: Mosby.
6. Chauhan,V.S., Chauhan,R.S., Devikar,N., Vibhute,A., dan More,S., 2012,Gingival and
Periodontal Disease in Children and Adolescents.Dental Allied Sciences; 1(1):26-29.
7. Departemen Kesehatan RI.2002. Pedoman pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
8. Fione, V., R., Maramis, J., L., dan Meylandari, D., P. (2013). Pengaruh Berkumur
Dengan Larutan Madu terhadap pH Saliva Pada Ibu-Ibu Jemaat Getsemani Senduk. JIK
Volume 7 No. 2: 157-162.
9. Fitri, Sari. I., 2015. Pengaruh Susu Fermentasi Terhadap pH Saliva pada Siswa Kelas VIII
SMP Muhammadiyah 1 Godean. Skripsi. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta : Yogyakarta.
10. Kamath, D.G, Nayak, S.U, 2014, Detection, Removal and Prevention of Calculus: Literature
Review, The Saudi Dental Journal 26 : 7–13
11. Kwan SYL, Petersen PE, Pine CM, Borutta A. 2005. Health-promoting schools: an
opportunity for oral health promotion. Bulletin of the world health organization. 83(9):
677-685.
12. Lamont RJ, Jenkinson HF. 2010. Oral microbiology at a glance. Oxford: WileyBlackwell.
3-9.
13. Lang NP, Schatzle MA, Loe H. 2009. Gingivitis as A Risk Factor In Periodontal Disease. J Clin
Periodontal. 2009; 36(10): 3-8.
14. Lindemeyer, R. G. (2007). The Use of Glass Ionomer Sealants on Newly Erupting Permanent
Molars. Journal of Canadian Dental Association, 73(2), 131–134.
15. Manson JD, Eley BM.2013. Buku Ajar Periodonti. Edisi 2. Jakarta: Hipokrates. 44-53.
16. McDonald, R., Avery, D., & Dean, J. (2011). Dentistry for The Child and Adolescent (9th
ed.). Missouri: Mosby/Elsevier.
17. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. 2012. Carranza’s Clinical Periodontal 11 th ed.
Philadelphia W.B. Saunders Company. 60(1): 72-5.
18. Newman, M., & Takei, H. (2012). Carranza’s Clinical Periodontology (11th ed.). St.
Louis: Mosby/Elsevier Saunders.
19. Octavia M, Soeroso Y, Kemal Y. Efek klinis pasca skeling dan penghalusan akar kasus
periodontitis kronis poket 4-6 mm. Dentika Dental Journal. 2015;18(3):211-7.
20. Raphael, S., & Blinkhorn, A. (2015). Is there a place for Tooth Mousse® in the
prevention and treatment of early dental caries? A systematic review. BMC Oral Health,
15(1), 113.
21. Samaranayake, Lakshman. 2012. Essential Microbiology for Dentistry fourth edition.
Elsevier. China
22. Tarigan, Rasinta. 2014. Karies Gigi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
23. Wahyukundari MA. Perbedaan kadar matrix metalloproteinase-8 pasca scaling dan pemberian
tetrasiklin pada penderita periodontitis kronis. J PDGI 2009; 58(1):1-6.