Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Thalasemia
Thalasemia adalah kelainan kongenital, anomali pada eritropoeisis yang diturunkan
dimana hemoglobin dalam eritrosit sangat berkurang, oleh karenanya akan terbentuk
eritrosit yang relatif mempunyai fungsi yang sedikit berkurang (Supardiman, 2002).
Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang timbul akibat
berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha atau beta (Hoffbrand, 2005).
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah
merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari) (Ganie,
2004).
Nama Thalasemia berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu thalassa yang berarti
lautan dan anaemia (“weak blood”). Perkataan Thalassa digunakan karena gangguan darah
ini pertama kali ditemui pada pasien yang berasal dari negara-negara sekitar
Mediterranean (TIF, 2010). Istilah Thalassemia sekarang digunakan pada kelompok
hemoglobinopati yang diklasifikasi berdasarkan rantai globin spesifik di mana sintesisnya
terganggu (Chen, 2006).
Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit genetik yang
menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul hemoglobin
(Hb).

B. Klasifikasi Thalasemia
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu : (NUCLEUS PRECISE, 2010)
1. Thalasemia Mayor, karena sifat-sifat gen dominan. Thalasemia mayor merupakan
penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya,
penderita kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih
lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek,
hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang
hidupnya. Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia
3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul
gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies cooley. Faies cooley

4
5

adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang
pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi
kekurangan hemoglobin. Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan
perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani
transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup
penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering
transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit.
Yang pasti, semakin berat penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani
transfusi darah.
2. Thalasemia Minor, individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun
individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau
thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor
juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menerita thalasemia
mayor. Pada garis keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor
dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering
mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di
sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di sepanjang
hidupnya

C. Etiologi
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara
genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin
beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan
berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen
pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan
disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak
normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat
berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan
pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita
thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua
orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak
hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila
6

kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap
pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak
mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka
anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen
thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan
lain adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan
yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap
thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawasifat Thalassaemia,
maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia
atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka akan
mempunyai darah yang normal.Apabila salah seorang dari orang tua menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka
akan menderita Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada
anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan
keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia,
maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga
menderita Thalassaemia mayor

D. Patofisiologi
Hemoglobin normal adalah terdiri dari  dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpha
dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta
dalam molekul hemoglobin, sehingga  ada gangguan kemampuan eritrosit membawa
oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpha, tetapi rantai beta
memproduksi secara terus-menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektif.
Ketidakseimbangan  polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini
7

menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan rantai beta
dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami
presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik yang mengalami presipitasi, yang
terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-
badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam
hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi
yang konstan pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar
kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya
sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow
menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer
adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi
asam folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi,
dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian
biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa
atau beta dari hemoglobin berkurang.
Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi
berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif,
anemia kronis serta proses hemolisis.
8

1. Pathway
9

E. Gejala Klinis
Kelainan genotip Talasemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan tidak
jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan (Atmakusuma, 2009).
Semua Talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi, tergantung
jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya (mayor atau minor).
Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, khususnya anemia hemolitik
(Tamam, 2009).
Talasemia-β dibagi tiga sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan,
yakni (1) Talasemia-β minor/heterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom. (2)
Talasemia-β mayor/homozigot: anemia berat yang bergantung pada transfusi darah. (3)
Talasemia-β intermedia: gejala di antara Talasemia β mayor dan minor. Terakhir
merupakan pembawa sifat tersembunyi Talasemia-β (silent carrier) (Atmakusuma, 2009).
Empat sindrom klinik Talasemia-α terjadi pada Talasemia-α, bergantung pada nomor
gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-α yang diproduksi. Keempat sindrom
tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi Talasemia-α (silent carrier), Talasemia-α trait
(Talasemia-α minor), HbH diseases dan Talasemia-α homozigot (hydrops fetalis)
(Atmakusuma, 2009).
Pada bentuk yang lebih berat, khususnya pada Talasemia-β mayor, penderita dapat
mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, pembesaran limpa dan hati
akibat anemia yang lama dan berat, perut membuncit karena pembesaran kedua organ
tersebut, sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus/borok), batu empedu, pucat,
lesu, sesak napas karena jantung bekerja terlalu berat, yang akan mengakibatkan gagal
jantung dan pembengkakan tungkai bawah. Sumsum tulang yang terlalu aktif dalam
usahanya membentuk darah yang cukup, bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran
tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan
mudah patah. Anak-anak yang menderita talasemia akan tumbuh lebih lambat dan
mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal. Karena
penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihanzat besi
bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan
gagal jantung (Tamam, 2009).
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awalnya tidak jelas,
biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat
10

terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan
lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama
biasanya menyebabkan pembesaran jantung. Terdapat hepatosplenomegali, ikterus ringan
mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka
mongoloid akibat system eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan tulang panjang,
tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Kadang-kadang ditemukan
epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu.

Tanda dan gejala lain dari thalasemia yaitu :


1. Thalasemia Mayor:
a. Pucat
b. Lemah
c. Anoreksia
d. Sesak napas
e. Peka rangsang
f. Tebalnya tulang cranial
g. Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
h. Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
i. Disritmia
j. Epistaksis
k. Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
l. Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
m. Kadar besi serum tinggi
n. Ikterik
o. Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar dan
datar.
2. Thalasemia Minor
a. Pucat
b. Hitung sel darah merah normal
c. Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah kadar
normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang
11

F. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah yang
berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi,
sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan
lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda
hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan
oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa
terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes
melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena
peningkatan deposisi melanin (Herdata, 2008)

G. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan
Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakkan
Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin
dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk
skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya
resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira.
Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang
regang bervariasi mengikut order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis
(Wiwanitkit, 2007). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah
dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah
91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53%
(Wiwanitkit, 2007).
12

c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat
mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka
metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan parameter
jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x
(MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi
kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan
Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).

Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh


sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke
Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit
meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula
MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani,
2011).

2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah.
Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%,
Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa
mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia
seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb
H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal
membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J
(Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C
13

atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa


mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan
tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit, 2007).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.Molecular
diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat
juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).

H. Pencegahan
Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting dilakukan bagi pasangan yang
berisiko mempunyai seorang anak yang menderita suatu defek hemoglobin yang berat.
Jika seorang wanita hamil diketahui menderita kelainan hemoglobin, pasangannya harus
diperiksa untuk menentukan apakah dia juga membawa defek. Jika keduanya
memperlihatkan adanya kelainan dan ada resiko suatu defek yang serius pada anak
(khususnya Talasemia-β mayor) maka penting untuk menawarkan penegakkan diagnosis
antenatal.
1. Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
a. Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan populasi dan
konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak
mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
b. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa dan
bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi
kehamilan pada fetus dengan Talasemia β berat.

Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan penapisan


premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting menyediakan program
konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil penapisan Talasemia (Permono, &
Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda berdasarkan ras.
Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV dan MCH sesuai
gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur, biasanya meningkat
14

pada Talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa
menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan Talasemia αo(-/αα) dan
Talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak memiliki risiko mendapat keturunan
Talesemia αo homozigot. Pada kasus jarang dimana gambaran darah
memperlihatkan Talesemia β heterozigot dengan HbA2 normal dan gen rantai α
utuh, kemungkinannya adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan
HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisa
DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini untuk
mencari kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006).
2. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin pada sampel darah
janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun
pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA
diambil dari sampel villi chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12
minggu. Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan
pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS,
mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis pertama yang
digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin menggunakan restriction fragment
length polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi
langsung dari mutasi. Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain
reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi pemutusan
oleh enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai bentuk α
dan β dari Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin. Perkembangan PCR
dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi
individual, membuka jalan bermacam pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi
dan kecepatan deteksi karier dan diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis
menggunakan hibridasi dari ujung oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik
untuk memperbesar region gen globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari
gen globin β dapat diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1
15

jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam (Permono, & Ugrasena,
2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis prenatal.
Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation system), berdasarkan
pengamatan bahwa pada beberapa kasus, oligonukleotida (Permono, & Ugrasena,
2006).

Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini, kurang dari 1%.
Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA janin, non-paterniti, dan
rekombinasi genetik jika menggunakan RELP linkage analysis (Permono, & Ugrasena, 2006).
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan
dini menjadi hal yang lebih penting dibanding pengobatan. Program pencegahan Talasemia
terdiri dari beberapa strategi, yakni (1) penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia, (2)
konsultasi genetik (genetic counseling), dan (3) diagnosis prenatal. Skrining pembawa sifat
dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara
aktif pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara
retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga penderita
Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-nasehat
tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang baik untuk
Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut. Program yang optimal tidak
selalu dapat dilaksanakan dengan baik terutama di negara-negara sedang berkembang, karena
pendekatan prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara
usaha program pencegahan di negara berkembang dengan negara maju. Program pencegahan
retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program
prospektif.

I. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi
yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian
deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
16

(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk


mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara  subkutan dalam waktu
lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan
asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi
dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang
berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin
diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap
penelitian.

Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain: (Rudolph, 2002; Hassan dan Alatas, 2002;
Herdata, 2008)
1. Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum
sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali
transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui
pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap
selesai transfusi darah.
a. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan
efek kelasi besi.
b. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
c. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur
sel darah merah 
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
a. limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya rupture.
b. hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.
17

c. Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita


thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil
tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi besi dan
hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia dibawah 15
tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik dan cocok dengan saudara
kandungnya di anjurkan untuk melakukan transplantasi ini.
3. Suportif
Tranfusi Darah : Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan
kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan
tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk
setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

J. Discharge Planning
1. Istirahat cukup
2. Makan makanan yang banyak mengandung vitamin dan menjalani diet dengan gizi
seimbang
3. Makan makanan yang tinggi asam folat dan vitamin B12, seperti ikan, produk susu,
daging, kacang-kacangan, sayuran berwarna hijau tua, jeruk, dan biji-bijian
4. Berikan dukungan pada anak untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan
kemampuan anak
5. Menjelaskan dan memberikan rekomendasi kepada sekolah tentang kemampuan anak
dalam melakukan aktivitas, memonitor kemampuan melakukan aktivitas secara berkala
dan menjelaskan kepada orang tua dan sekolah

Anda mungkin juga menyukai